Share

Bab 3 - Teman Minum

Jessie tidak bisa menghilangkan degup jantungnya yang semakin menggila. Masalahnya, hari ini ia sudah memutuskan untuk melepas kehormatannya dengan Henry, lelaki yang ia cintai. Disisi lain, ia merasa takut jika Henry akan kecewa dengan dirinya yang tak tahu apapun tentang seks.

Jessie mencoba menenangkan diri dengan meminum anggur yang tadi memang dibawakan Henry untuk mereka. Saat ini, keduanya sedang menonton film bersama di ruang tengah apartmen Jessie. Tak ada suara diantara mereka. Henry tampak menikmati jalannya film yang sedang mereka putar, sedangkan Jessie tampak sedang berusaha mengendalikan dirinya agar tak tampak salah tingkah.

“Sepertinya, kau sedang tidak nyaman.” Ucap Henry kemudian.

“Maaf, aku hanya tidak bisa mengendalikan degup jantungku.” Jawab Jessie dengan jujur.

Henry tertawa lebar. Jemarinya terulur mengusap lembut puncak kepala Jessie. “Kalau kau belum siap, aku tidak akan memaksa.”

“Tidak! Aku sudah siap. Uum, maksudku, aku sudah menunggu malam ini.”

Henry menatap Jessie dengan intens. “Kalau begitu, bolehkah aku memulainya sekarang?”

Keterkejutan tampak jelas terukir di wajah Jessie. “Apa? Uum, bukankah ini masih sore, dan aku…” Jessie tampak tidak siap dengan apa yang akan dilakukan kekasihnya tersebut.

Henry tersenyum lembut. “Aku tahu, kau hanya belum siap, Jess.”

“Henry, aku hanya…” Jessie tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Nyatanya apa yang dikatakan Henry adalah hal yang benar. Bahwa ia memang tidak siap melakukan ini. memang pikirannya sangat kuno, tapi mau bagaimana lagi. Jessie menghela napas panjang, lalu ia menjawab. “Ya, sebenarnya, aku belum cukup siap.”

“Aku mengerti.” Henry lalu melirik ke arah jam tangannya, kemudian ia berkata “Sebenarnya, hari ini aku ada janji dengan seorang pasien. Kau, tidak apa-apa bukan jika aku pergi sekarang?”

“Kau pergi karena aku belum siap melakukan seks denganmu?”

“Tidak, bukan begitu.”

“Tapi kita sudah sepakat kalau kita akan menghabiskan malam bersama malam ini. dan kini, kau berkata jika kau memiliki janji dengan pasienmu setelah aku menolakmu.”

“Jess. Tidakkah kau mengerti bahwa ini juga terasa sulit untukku? aku laki-laki normal yang sangat menginginkanmu. Mana mungkin kita bisa menghabiskan malam bersama tanpa melakukan apapun.”

Jessie berdiri seketika. “Kalau begitu, sentuh aku.”

Henry menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku berusaha menghormatimu. Saat kau berkata belum siap, maka aku tak akan melakukannya.”

“Oh Henry.” Jessie terpana dengan lelaki di hadapannya tersebut.

“Biarkan aku pergi. Oke?”

Jessie memejamkan matanya frustasi. Ia tidak ingin Henry pergi dengan kekecewaan yang tampak jelas di wajahnya, tapi mau bagaimana lagi. Jessie juga tidak  bisa membohongi dirinya sendiri jika dirinya memang belum siap untuk melakukan hal seintim itu dengan Henry. Astaga, apa yang terjadi dengannya?

“Baiklah. Tapi, kau tidak marah denganku, bukan?”

Henry tersenyum lembut. “Tentu saja tidak.” Jawabnya sembari mengusap lembut pipi Jessie. Jessie ikut tersenyum, ia mersa lega, tapi di sisi lain, ia tetap merasa tidak enak karena sudah membatalkan rencana mesra mereka berdua.

****

Jessie mengantar Henry hingga basement. Saat ia kembali, ia mendapati Cody yang berada di sebelah lift. Lelaki paruh baya itu tampak sedang memapah seorang wanita dengan pakaian minimnya.

“Woow, aku tidak menyangka jika kau memiliki teman seperti ini, Cod.” Wanita itu memang tampak seperti wanita jalang dengan pakaian ketatnya, belum lagi gayanya yang sudah seperti wanita yang sedang mabuk membuat Jessie sulit mencerna sebenarnya apa yang sedang terjadi.

“Kau tahu? Temanmu sedang menggila.” Ucap si penjaga apartemen tersebut.

Jessie mengangkat sebelah alisnya. “Teman? Steve? Apa yang dia lakukan?”

“Dia sedang berpesta dengan banyak sekali wanita. Dan aku di sini dibayar lebih untuk mengantar mereka-mereka yang sudah teler seperti ini.”

Jessie menggelengkan kepalanya. “Astaga, apa dia sudah gila? Aku akan menegurnya.” Ucap Jessie kemudian yang segera menuju ke lantai dimana Apartmen Steve berada.

Tak menunggu lama, Jessie akhirnya sampai di depan pintu apartmen Steve. Setelah itu ia membuka begitu saja pintu tersebut karena Jessie memang sudah mengetahui passwordnya.

Jessie sangat terkejut ketika mendapati apa yang ada di dalam apartmen Steve. Musik diputar dengan nyaring, lampu dimatikan dan hanya terdapat lampu gemerlap hingga suasana seperti sedang berada di dalam sebuah kelab malam. Dua orang wanita setengah telanjang menari dengan gaya erotis di atas meja Steve, sedangkan Steve sendiri sedang duduk menikmati tarian tersebut dengan segelas minuman yang berada di tangannya. Tak lupa, terdapat juga dua orang wanita di sisi kiri dan kanannya.

Melihat itu membuat Jessie kesal, sangat kesal. Steve seperti seorang yang kekanakan. Bagaimanapun juga, Jessie merasa jika hal seperti ini tak seharusnya dilakukan oleh Steve. Apa lelaki itu akan mengadakan pesta seks?

Jessie berjalan cepat menuju ke arah hometeater yang memutar lagu-lagu tersebut, kemudian tanpa banyak bicara lagi, Jessie mematikannya. Membuat semua yang berada di ruangan tersebut menatap ke arah Jessie seketika. Tak terkecuali Steve.

Steve berdiri seketika, ia tidak menyangka jika Jessie berada di sini dan melihatnya seperti ini.

“Siapa dia? mengganggu saja.” tanya seorang wanita yang menari di atas meja Steve.

“Keluar dari sini.” Ucap Jessie kemudian.

“Hei, memangnya kau siapa?” tanya perempuan itu. Sedangkan Steve hanya diam masih ternganga dengan kehadiran Jessie.

“Aku kekasihnya. Sekarang kalian keluar dari sini, atau aku akan memanggil polisi untuk menangkap kalian.” Ancam Jessie.

Mendengar itu membuat para wanita yang ada di sana sedikit panik, apalagi saat melihat Steve yang hanya diam ternganga menatap ke arah Jessie. Lelaki itu seakan tak memiliki kemampuan untuk membela mereka dan terkesan membenarkan Jessie. Akhirnya, para wanita itu pergi meninggalkan apartmen Steve dengan sesekali menggerutu kesal pada Jessie.

Setelah para perempuan itu pergi meninggalkan apartmen Steve. Jessie segera memunguti apapun yang berada di ruang tengah tersebut yang baginya tampak berantakan. Sedangkan Steve, ia masih berdiri mematung menatap keberadaan Jessie di sana.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Steve pada Jessie yang tampak lebih fokus pada ruang tengah apartmen Steve ketimbang si pemilik apartmen itu sendiri.

“Kau tidak lihat? Aku sedang membereskan sampah.”

“Kau tahu apa maksud dari pertanyaanku. Kenapa kau disini? Bukankah seharusnya kau kencan dengan pacar Gay mu itu?”

Jessie berkacak pinggang tidak suka dengan pertanyaan Steve. “Yang pertama, kedatanganku kesini untuk menyadarkanmu bahwa kelakuanmu ini mengganggu penghuni apartmen lainnya, dan yang kedua, dia tidak Gay!”

Steve malah bersedekap. “Apartmenku kedap suara. Lagi pula, apartmenmu berbeda Lima lantai dari tempatku, jadi aku tak mungkin mengganggumu.”

“Terserah kau saja.” Jessie menjawab dengan tak acuh. Sebenarnya, Jessie juga tak mengerti apa yang ia lakukan di sini. Seharusnya ia tak peduli dengan Steve, dan bisa dibilang jika ia masih marah dengan lelaki itu. Tapi Jessie tak memungkiri jika malam ini dirinya butuh seorang teman untuk mencurahkan isi hatinya. Mencurahkan kebodohannya karena sudah menolak Henry dan membuat kekasihnya itu kabur begitu saja.

Jessie tahu, bahwa ia butuh teman untuk minum bersama dan menghilangkan kegalauannya yang entah bersumber dari mana. Dan ia juga tahu, bahwa hanya Stevelah teman yang cocok untuk membuatnya lebih baik lagi.

Kenyataan bahwa lelaki itu memilih bersenang-senang dan berpesta dengan banyak wanita jalang membuat Jessie marah. Jessie kesal, kenapa disaat hubungannya terasa sulit dengan Henry, Steve malah bisa sesuka hati tidur dengan berbagai macam wanita. Iri? Tentu saja, tapi Jessie tidak ingin mengungkapkan rasa irinya karena ia tahu bahwa ia tidak berhak merasakan perasaan tersebut.

Ingat, mereka hanya berteman, tidak lebih.

Saat Jessie memilih mengabaikan Steve, saat itulah Steve merasa emosinya terpancing. Secepat kilat Steve mencengkeram kedua bahu Jessie lalu ia bertanya sekali lagi. “Apa yang kau lakukan di sini?” kali ini pertanyaan Steve terdengar tajam dan menuntut.

Jessie tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Ia butuh teman, sungguh, tapi sepertinya mendatangi Steve adalah salah.

“Oke, aku pergi.” Jessie mengangkat kedua tangannya dan bersiap pergi.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Jess! Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Steve lagi. Jessie tahu jika Steve sudah seperti ini, maka ia tak memiliki jalan lain selain jujur dengan lelaki itu.

Jessie menurunkan bahunya, ia mendesah panjang sebelum berkata “Aku butuh minum. Aku butuh teman minum! Apa kau puas?!” serunya dengan kesal dan frustasi.

Steve yang menatap Jessie merasa terketuk hatinya. Ia tidak pernah melihat Jessie sefrustasi saat ini. Kekesalan yang ia rasakan sepanjang hari pada Jessie karena wanita itu lebih membela kekasihnya dibandingkan dirinya kini lenyap begitu saja saat melihat kebingungan yang tampak jelas di wajah wanita itu.

Jessie memiliki masalah, Steve tahu itu. Wanita itu butuh minum, dan ia akan menemani wanita itu minum hingga melupakan masalahnya.

-TBC-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status