Jessie tidak bisa menghilangkan degup jantungnya yang semakin menggila. Masalahnya, hari ini ia sudah memutuskan untuk melepas kehormatannya dengan Henry, lelaki yang ia cintai. Disisi lain, ia merasa takut jika Henry akan kecewa dengan dirinya yang tak tahu apapun tentang seks.
Jessie mencoba menenangkan diri dengan meminum anggur yang tadi memang dibawakan Henry untuk mereka. Saat ini, keduanya sedang menonton film bersama di ruang tengah apartmen Jessie. Tak ada suara diantara mereka. Henry tampak menikmati jalannya film yang sedang mereka putar, sedangkan Jessie tampak sedang berusaha mengendalikan dirinya agar tak tampak salah tingkah.
“Sepertinya, kau sedang tidak nyaman.” Ucap Henry kemudian.
“Maaf, aku hanya tidak bisa mengendalikan degup jantungku.” Jawab Jessie dengan jujur.
Henry tertawa lebar. Jemarinya terulur mengusap lembut puncak kepala Jessie. “Kalau kau belum siap, aku tidak akan memaksa.”
“Tidak! Aku sudah siap. Uum, maksudku, aku sudah menunggu malam ini.”
Henry menatap Jessie dengan intens. “Kalau begitu, bolehkah aku memulainya sekarang?”
Keterkejutan tampak jelas terukir di wajah Jessie. “Apa? Uum, bukankah ini masih sore, dan aku…” Jessie tampak tidak siap dengan apa yang akan dilakukan kekasihnya tersebut.
Henry tersenyum lembut. “Aku tahu, kau hanya belum siap, Jess.”
“Henry, aku hanya…” Jessie tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Nyatanya apa yang dikatakan Henry adalah hal yang benar. Bahwa ia memang tidak siap melakukan ini. memang pikirannya sangat kuno, tapi mau bagaimana lagi. Jessie menghela napas panjang, lalu ia menjawab. “Ya, sebenarnya, aku belum cukup siap.”
“Aku mengerti.” Henry lalu melirik ke arah jam tangannya, kemudian ia berkata “Sebenarnya, hari ini aku ada janji dengan seorang pasien. Kau, tidak apa-apa bukan jika aku pergi sekarang?”
“Kau pergi karena aku belum siap melakukan seks denganmu?”
“Tidak, bukan begitu.”
“Tapi kita sudah sepakat kalau kita akan menghabiskan malam bersama malam ini. dan kini, kau berkata jika kau memiliki janji dengan pasienmu setelah aku menolakmu.”
“Jess. Tidakkah kau mengerti bahwa ini juga terasa sulit untukku? aku laki-laki normal yang sangat menginginkanmu. Mana mungkin kita bisa menghabiskan malam bersama tanpa melakukan apapun.”
Jessie berdiri seketika. “Kalau begitu, sentuh aku.”
Henry menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku berusaha menghormatimu. Saat kau berkata belum siap, maka aku tak akan melakukannya.”
“Oh Henry.” Jessie terpana dengan lelaki di hadapannya tersebut.
“Biarkan aku pergi. Oke?”
Jessie memejamkan matanya frustasi. Ia tidak ingin Henry pergi dengan kekecewaan yang tampak jelas di wajahnya, tapi mau bagaimana lagi. Jessie juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika dirinya memang belum siap untuk melakukan hal seintim itu dengan Henry. Astaga, apa yang terjadi dengannya?
“Baiklah. Tapi, kau tidak marah denganku, bukan?”
Henry tersenyum lembut. “Tentu saja tidak.” Jawabnya sembari mengusap lembut pipi Jessie. Jessie ikut tersenyum, ia mersa lega, tapi di sisi lain, ia tetap merasa tidak enak karena sudah membatalkan rencana mesra mereka berdua.
****
Jessie mengantar Henry hingga basement. Saat ia kembali, ia mendapati Cody yang berada di sebelah lift. Lelaki paruh baya itu tampak sedang memapah seorang wanita dengan pakaian minimnya.
“Woow, aku tidak menyangka jika kau memiliki teman seperti ini, Cod.” Wanita itu memang tampak seperti wanita jalang dengan pakaian ketatnya, belum lagi gayanya yang sudah seperti wanita yang sedang mabuk membuat Jessie sulit mencerna sebenarnya apa yang sedang terjadi.
“Kau tahu? Temanmu sedang menggila.” Ucap si penjaga apartemen tersebut.
Jessie mengangkat sebelah alisnya. “Teman? Steve? Apa yang dia lakukan?”
“Dia sedang berpesta dengan banyak sekali wanita. Dan aku di sini dibayar lebih untuk mengantar mereka-mereka yang sudah teler seperti ini.”
Jessie menggelengkan kepalanya. “Astaga, apa dia sudah gila? Aku akan menegurnya.” Ucap Jessie kemudian yang segera menuju ke lantai dimana Apartmen Steve berada.
Tak menunggu lama, Jessie akhirnya sampai di depan pintu apartmen Steve. Setelah itu ia membuka begitu saja pintu tersebut karena Jessie memang sudah mengetahui passwordnya.
Jessie sangat terkejut ketika mendapati apa yang ada di dalam apartmen Steve. Musik diputar dengan nyaring, lampu dimatikan dan hanya terdapat lampu gemerlap hingga suasana seperti sedang berada di dalam sebuah kelab malam. Dua orang wanita setengah telanjang menari dengan gaya erotis di atas meja Steve, sedangkan Steve sendiri sedang duduk menikmati tarian tersebut dengan segelas minuman yang berada di tangannya. Tak lupa, terdapat juga dua orang wanita di sisi kiri dan kanannya.
Melihat itu membuat Jessie kesal, sangat kesal. Steve seperti seorang yang kekanakan. Bagaimanapun juga, Jessie merasa jika hal seperti ini tak seharusnya dilakukan oleh Steve. Apa lelaki itu akan mengadakan pesta seks?
Jessie berjalan cepat menuju ke arah hometeater yang memutar lagu-lagu tersebut, kemudian tanpa banyak bicara lagi, Jessie mematikannya. Membuat semua yang berada di ruangan tersebut menatap ke arah Jessie seketika. Tak terkecuali Steve.
Steve berdiri seketika, ia tidak menyangka jika Jessie berada di sini dan melihatnya seperti ini.
“Siapa dia? mengganggu saja.” tanya seorang wanita yang menari di atas meja Steve.
“Keluar dari sini.” Ucap Jessie kemudian.
“Hei, memangnya kau siapa?” tanya perempuan itu. Sedangkan Steve hanya diam masih ternganga dengan kehadiran Jessie.
“Aku kekasihnya. Sekarang kalian keluar dari sini, atau aku akan memanggil polisi untuk menangkap kalian.” Ancam Jessie.
Mendengar itu membuat para wanita yang ada di sana sedikit panik, apalagi saat melihat Steve yang hanya diam ternganga menatap ke arah Jessie. Lelaki itu seakan tak memiliki kemampuan untuk membela mereka dan terkesan membenarkan Jessie. Akhirnya, para wanita itu pergi meninggalkan apartmen Steve dengan sesekali menggerutu kesal pada Jessie.
Setelah para perempuan itu pergi meninggalkan apartmen Steve. Jessie segera memunguti apapun yang berada di ruang tengah tersebut yang baginya tampak berantakan. Sedangkan Steve, ia masih berdiri mematung menatap keberadaan Jessie di sana.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Steve pada Jessie yang tampak lebih fokus pada ruang tengah apartmen Steve ketimbang si pemilik apartmen itu sendiri.
“Kau tidak lihat? Aku sedang membereskan sampah.”
“Kau tahu apa maksud dari pertanyaanku. Kenapa kau disini? Bukankah seharusnya kau kencan dengan pacar Gay mu itu?”
Jessie berkacak pinggang tidak suka dengan pertanyaan Steve. “Yang pertama, kedatanganku kesini untuk menyadarkanmu bahwa kelakuanmu ini mengganggu penghuni apartmen lainnya, dan yang kedua, dia tidak Gay!”
Steve malah bersedekap. “Apartmenku kedap suara. Lagi pula, apartmenmu berbeda Lima lantai dari tempatku, jadi aku tak mungkin mengganggumu.”
“Terserah kau saja.” Jessie menjawab dengan tak acuh. Sebenarnya, Jessie juga tak mengerti apa yang ia lakukan di sini. Seharusnya ia tak peduli dengan Steve, dan bisa dibilang jika ia masih marah dengan lelaki itu. Tapi Jessie tak memungkiri jika malam ini dirinya butuh seorang teman untuk mencurahkan isi hatinya. Mencurahkan kebodohannya karena sudah menolak Henry dan membuat kekasihnya itu kabur begitu saja.
Jessie tahu, bahwa ia butuh teman untuk minum bersama dan menghilangkan kegalauannya yang entah bersumber dari mana. Dan ia juga tahu, bahwa hanya Stevelah teman yang cocok untuk membuatnya lebih baik lagi.
Kenyataan bahwa lelaki itu memilih bersenang-senang dan berpesta dengan banyak wanita jalang membuat Jessie marah. Jessie kesal, kenapa disaat hubungannya terasa sulit dengan Henry, Steve malah bisa sesuka hati tidur dengan berbagai macam wanita. Iri? Tentu saja, tapi Jessie tidak ingin mengungkapkan rasa irinya karena ia tahu bahwa ia tidak berhak merasakan perasaan tersebut.
Ingat, mereka hanya berteman, tidak lebih.
Saat Jessie memilih mengabaikan Steve, saat itulah Steve merasa emosinya terpancing. Secepat kilat Steve mencengkeram kedua bahu Jessie lalu ia bertanya sekali lagi. “Apa yang kau lakukan di sini?” kali ini pertanyaan Steve terdengar tajam dan menuntut.
Jessie tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Ia butuh teman, sungguh, tapi sepertinya mendatangi Steve adalah salah.
“Oke, aku pergi.” Jessie mengangkat kedua tangannya dan bersiap pergi.
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Jess! Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Steve lagi. Jessie tahu jika Steve sudah seperti ini, maka ia tak memiliki jalan lain selain jujur dengan lelaki itu.
Jessie menurunkan bahunya, ia mendesah panjang sebelum berkata “Aku butuh minum. Aku butuh teman minum! Apa kau puas?!” serunya dengan kesal dan frustasi.
Steve yang menatap Jessie merasa terketuk hatinya. Ia tidak pernah melihat Jessie sefrustasi saat ini. Kekesalan yang ia rasakan sepanjang hari pada Jessie karena wanita itu lebih membela kekasihnya dibandingkan dirinya kini lenyap begitu saja saat melihat kebingungan yang tampak jelas di wajah wanita itu.
Jessie memiliki masalah, Steve tahu itu. Wanita itu butuh minum, dan ia akan menemani wanita itu minum hingga melupakan masalahnya.
-TBC-
“Kau hanya perlu bilang jika kau butuh minum, maka aku akan mengajakmu berpesta dengan wanita-wanita tadi.” Ucap Steve saat ia sudah mempersilahkan Jessie duduk di bar kecilnya dan menuangkan minuman beralkohol untuk Jessie.“Kau gila? Aku tidak akan mau berpesta dengan kalian. Apalagi sampai melihat kalian telanjang satu sama lain.”“Itu keterlaluan, Jess. Aku tidak mungkin telanjang di hadapanmu.”“Tapi kau melakukannya kemarin.” Jessie menjawab cepat sembari menenggak minuman yang dituangkan Steve hingga tandas.“Wow, wow, wow, Hei, apa yang terjadi denganmu, gadis biara? Kau tak pernah minum sampai seperti ini.”“Aku benar-benar butuh minum, Steve.” Ucap Jessie lagi kali ini yang sudah menuangkan minuman kembali pada gelasnya. Secepat kilat, Steve menghalangi Jessie hingga mata Jessie menatap ke arah lelaki itu.“Apa kau sudah gila? Apa yang terjadi denganmu?&r
Pagi sialan yang sangat canggung.Sebenarnya, Jessie ingin sekali pergi dari meninggalkan kamar Steve saat lelaki itu masih tidur pulas. Tapi nyatanya, lelaki itu seakan tak membiarkan dirinya pergi karena ketika Jessie bergerak, Steve seakan mengeratkan pelukannya pada tubuh telanjang Jessie.Kini, Jessie merasa terjebak dalam suasana sialan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa sangat canggung saat berhadapan dengan Steve. Bayang-bayang panas kejadian semalam membuatnya tak dapat berkutik. Tapi kenapa Steve seakan tak canggung sedikitpun?Saat ini, Steve sedang sibuk membuat sesuatu di dapurnya. Lelaki itu bahkan tak malu bertelanjang dada di hadapannya.Malu? Ayolah Jess, bukankah kau tahu bahwa temanmu itu memang tak punya malu? Kau saja yang terlalu terbawa suasana.Jessie sempat berpamitan pulang tadi, tapi Steve memaksa dirinya untuk sarapan bersama sebelum pergi. Karena Steve begitu santai, maka Jessie tak bisa menolak d
Siang itu, Jessie menyibukkan diri di dalam butiknya. Hari itu akan ada seorang pelanggan yang memang dijadwalkan mencoba gaun pengantin rancangannya. Miranda, asisten peribadinya juga sibuk membantu Jessie, ketika tiba-tiba telepon di meja Jessie berdering.“Kau tidak mengangkatnya?” tanya Miranda pada Jessie yang sibuk memberi tanda pada gaun yang sedang ia benarkan.Jessie hanya menggelengkan kepalanya.Sudah dua hari berlalu, dan Miranda tak pernah melihat Jessie seperti saat ini. Atasannya itu tak berhenti bekerja jika tidak sedang waktunya makan siang atau pulang. Miranda tahu jika butik Jessie memang ramai pengunjung, tapi biasanya, Jessie hanya akan fokus pada rancangan-rancangannya, bukan menyibukkan diri dengan hal-hal yang bisa dikerjakan oleh bawahannya seperti saat ini.“Kau ada masalah, Jess?” tanya Miranda secara terang-terangan.Jessie memang meminta Miranda dan bawahannya yang lain untuk menganggapnya sebaga
Jessie bersedekap dan bertanya “Untuk apa? Karena kau sudah ‘membaptisku’ malam itu? Atau karena kau tidak menggunakan kondom?” Jessie bahkan ikut menggunakan istilah itu untuk menyebutkan kejadian panas yang sudah mereka lakukan malam itu.“Untuk semuanya.” Ucap Steve dengan penuh sesal.“Kau bukan satu-satunya yang salah, Steve. Ingat, aku menggodamu.”“Tapi aku yang meluncurkan ide gila itu.”“Dan aku yang menyetujuinya.”“Tapi aku tak mengingatkanmu kembali tentang resikonya.”“Aku yang datang padamu, Steve! Astaga, apa bisa kita lupakan saja malam itu?!” Jessie berteriak frustasi. “Aku tidak suka melihat penyesalan dan rasa bersalahmu.”Steve berjalan satu langkah ke arah Jessie. “Aku tidak pernah menyesal.” Ucapnya penuh penekanan.Jessie menatap tepat pada mata Steve, dan lelaki itu benar. Tak
Jessie belum pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Hal itu membuat Miranda menunda kepulangannya hingga sang bossnya itu pulang. Saat Jessie keluar dari dalam ruang kerjanya, ia melihat lampu butiknya masih menyala dan tampak Miranda sedang merapikan sebuah lemari yang penuh dengan renda-renda.Jessie mengerutkan keningnya dan berjalan menuju ke arah bawahannya tersebut. “Miranda? Kau belum pulang?” tanya Jessie sembari mendekat.“Ya. Kupikir kau butuh teman.” Miranda menjawab. Selama ini, mereka memang sudah seperti teman baik.“Tidak, aku baik-baik saja. Seharusnya kau sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu.”“Aku tidak bisa membiarkanmu sendiri, Jess. Tidak setelah apa yang kulihat.”“Kau, melihatnya?” Tanya Jessie dengan sedikit malu. Jika yang dimaksud Miranda adalah pertengkarannya dengan Steve, maka Jessie benar-benar tak dapat menahan rasa malunya.&l
Steve yang melihatnya dari belakang hanya bisa ternganga. Tubuh Jessie sangat indah jika dilihat dari belakang. Lekukannya menggoda, dan permukaan kulitnya tampak halus dan kencang. Dengan spontan, kaki Steve berjalan mendekati Jessie. Lengannya terulur begitu saja melingkari perut Jessie. Steve memeluk tubuh Jessie dari belakang, menyandarkan dagunya pada pundak Jessie, hingga mau tak mau membuat Jessie menghentikan pergerakannya seketika.“Kau sangat indah, Jess.” Steve berbisik dengan serak. Bahkan dengan berani, jemarinya sudah menggapai sebelah payudara Jessie. Jessie tak meronta, wanita itu bahkan tampak menahan kenikmatan, memejamkan matanya karena sentuhan Steve.Jessie melemparkan kepalanya ke belakang, hingga Steve dengan leluasa bisa menikmati leher jenjang wanita tersebut. “Ohh Steve…” dengan spontan Jessie mengerang, menyebutkan nama Steve dengan begitu merdu.Steve kemba
Waktu berlalu cukup cepat. Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh Jessie. Sepertinya baru beberapa jam yang lalu ia melihat Steve memotreti para modelnya dengan gaya yang tak biasa, tapi lelaki itu tentu selalu mempesona ketika bekerja. Ya, setidaknya itulah pendapat Jessie selama ini.Steve tampak sangat menarik saat lelaki itu konsentrasi pada objek tangkapan lensa kamerannya. Ketika lelaki itu memutar fokus lensanya, saat lelaki itu mengerutkan keningnya, saat lelaki itu tampak begitu serius mengambil gambar di hadapannya, Jessie menyukai saat melihat Steve yang seperti itu. Baginya, Steve tampak bertanggung jawab dengan pekerjaannya, tampak dewasa dengan ekspresi seriusnya. Tentu sangat berbeda dengan Steve yang selama ini ia kenal.Jessie tak memungkiri jika beberpa kali jantungnya berdebar tak menentu saat melihat Steve melakukan pekerjaannya dulu sebelum malam sialan itu terjadi. Meski begitu, Jessie tak akan pernah mengakui bahwa ia terpana ketika melihat Steve
Kencan berakhir begitu saja setelah Steve mengantarkan Donna hingga sampai apartmen wanita itu. Donna mengundangnya masuk, tapi Steve menolak. Ia tidak sedang ingin meniduri wanita itu, jadi ia berpikir bahwa lebih baik ia pergi saja.Lagi pula, tujuannya menjalin hubungan dengan Donna adalah untuk menjalin sebuah pertemanan yang sangat dekat, bukan hanya dalam hal asmara. Ia ingin Donna mampu menggantikan sosok Jessie, ketika wanita itu nanti benar-benar pergi menghindar selama-lamanya, maka Steve tak perlu khawatir.Tapi sepertinya, semuanya gagal total. Donna tak pantas untuk menggantikan tempat Jessie, bahkan keduanya tak memiliki kemiripan sama sekali. Donna lebih asik dengan dunianya sendiri, lebih suka menceritakan tentang dirinya sendiri. sangat berbeda dengan Jessie yang tak akan membuka suara jika tidak ditanya apa yang sedang terjadi dengan wanita itu.Steve mengemudikan mobilnya cepat hingga sampailah ia pada gedung apartmennya. Ia mendapati Cody dud