Emosinya tak dapat ia kontrol. Steve melayangkan pukulannya lagi dan lagi pada wajah Henry. Sungguh, Steve sebenarnya tak mengerti apa yang terjadi dengannya. Ia hanya tidak bisa membayangkan ketika Jessie akan melepas kehormatannya dengan laki-laki bajingan ini. Padahal Steve sadar, jika itu bukanlah urusannya.
Jessie sudah dewasa, jadi ia tidak bisa melarang Jessie untuk tidak melakukan hal tersebut.
Saat Steve tak juga berhenti memukuli wajah Henry, pada saat bersamaan pintu dibuka dan menampilkan Jessie yang baru kembali dari apartmen Steve dengan membawa baju ganti untuk lelaki itu.
Jessie sempat terkejut dengan apa yang terjadi. Ia melihat Henry terkapar diatas lantai dengan Steve yang berada di atasnya dan memukuli Henry berkali-kali. Jessie memekikkan nama Steve dan segera berlari menuju ke arah dua orang lelaki tersebut.
“Steve! Apa yang sudah kau lakukan?” Jessie menarik tubuh Steve agar lelaki itu bangkit meninggalkan Henry yang sudah terkapar di atas lantai.
Jessie menghampiri Henry, dan membantu lelaki itu agar bisa bangkit dan duduk sendiri.
“Henry, kau tidak apa-apa?” tanyanya. Mata Jessie menatap tajam ke arah Steve. “Apa yang kau lakukan, Steve?!” Jessie berseru keras kepada Steve. Sedangkan Steve hanya bisa menatap Henry dengan tatapan membunuhnya.
Kemudian, tanpa banyak bicara lagi, Steve meraih baju ganti yang dibawakan Jessie, kemudian ia masuk ke dalam kamar Jessie untuk mengganti pakaiannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
*****
Masih dengan kekesalan yang entah bersumber darimana, Steve mengenakan pakaiannya secepat mungkin. Ia tidak sudi berlama-lama berada di dalam apartmen Jessie ketika ada si bajingan itu di dalamnya.
Steve lalu menghela napas panjang. Sebenarnya, apa yang terjadi dengannya? Itu bukan urusannya, ketika Jessie akan memberikan kehormatannya pada lelaki itu malam ini, tapi entah kenapa memikirkan hal itu membuat Steve kesal setengah mati.
Setelah mengenakan pakaiannya, Steve segera keluar dari dalam kamar Jessie. Matanya lalu menangkap sepasang kekasih itu sedang berduaan di area dapur. Jessie tampak sedang mengobati memar-memar di wajah kekasihnya, dan itu kembali membuat Steve mendengus sebal.
Steve berjalan dengan cepat menuju ke arah pintu depan apartemen Jessie, melewati sepasang kekasih itu tanpa ingin menatapnya. Hal tersebut membuat Jessie menghentikan aksinya, lalu meninggalkan Henry dan menyusul Steve.
Bagi Jessie, bagaimanapun juga, Steve harus meminta maaf terhadap Henry karena lelaki itu sudah memukuli wajah Henry hingga babak belur. Lagi pula, apa masalah mereka? Jessie tidak pernah berpikir jika keduanya memiliki masalah serius hingga membuat keduanya baku hantam seperti tadi.
Jessie mengejar Steve, dan menghentikan temannya itu saat Steve baru saja membuka pintu apartmen Jessie.
“Hei, kau mau kemana?” Jessie menghentikan Steve dengan menepuk bahu lelaki itu.
“Keluar.”
“Kau belum meminta maaf padanya. Kau tidak lihat wajahnya babak belur karena ulahmu?”
Steve hanya menatap Jessie dengan tatapan membunuhnya. Kemudian melanjutkan langkahnya keluar dari apartemen Jessie tanpa sepatah katapun.
“Hei, Steve! Apa otakmu masih terendam alkohol? Steve! Steven!” Jessie berseru keras, tapi Steve masih melanjutkan langkahnya seakan tak peduli dengan teriakan-teriakan Jessie.
Dengan kesal, Jessie kembali masuk ke dalam apartemennya, sambil menggerutu, ia menuju ke arah Henry kembali dan melanjutkan aksinya untuk mengobati memar-memar di wajah lelaki itu.
“Apa dia gila? Apa otaknya masih terendam dengan alkohol? Dasar tidak tahu diri.” Jessie masih menggerutu sebal, dan itu membuat Henry sedikit tersenyum melihat kekasihnya tersebut.
Ya, itulah yang disukai Henry dari Jessie, wanita yang ceria dan juga cerewet.
“Kau, kenapa kau malah tersenyum seperti itu?”
“Sudahlah, lupakan saja dia.”
“Aku masih tidak habis pikir, kenapa tiba-tiba dia memukulimu seperti itu? Kau tidak mungkin berbuat macam-macam dengannya, bukan?”
Henry sedikit salah tingkah. “Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya bertanya, kenapa dia mengenakan piyamamu, lalu tiba-tiba dia menerjangku dan memukuliku.”
“Mungkin dia masih terpengaruh dengan alkohol.”
“Dia mabuk lagi?” tanya Henry. Ya, setahu Henry, Steve adalah seorang pemabuk. Playboy cap kakap, dan ketika lelaki itu memiliki masalah atau sedang mabuk, lelaki itu lebih memilih menghabiskan waktunya di apartmen Jessie, dan itu benar-benar membuatnya tidak suka.
“Ya, dia gila. Bahkan tadi malam dia telanjang bulat di hadapanku dan memuntahkan isi dalam perutnya di atas karpetku.” Ucap Jessie yang kini sudah kembali mengobati memar-memar di wajah Henry.
“Jess, jika boleh jujur, aku tidak suka melihat kedekatanmu yang tak wajar dengannya.”
Jessie menghentikan pergerakannya seketika. Ia menatap Henry dengan serius. “Apa maksudmu? Kami hanya teman, tak lebih.”
“Ya, tapi kalian sudah sama-sama dewasa. Aku cemburu melihatnya. Apa salah jika aku cemburu padanya?” pancing Henry.
Jessie tersenyum lembut. Ia menangkup kedua pipi Henry dan berkata. “Honey, kau tak perlu khawatir. Steve sudah seperti saudara bagiku. Kami tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak.”
“Tapi aku tidak percaya padanya.”
“Dia tidak akan berani macam-macam denganku, jika dia berani macam-macam sedikit saja, maka akan kutendang bokongnya dari sini.”
Henry mencoba tersenyum. Ia bersikap seolah-olah percaya dengan apa yang dikatakan Jessie, padahal sebenarnya, Henry merasa jika dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sangat cemburu dengan kedekatan yang terjalin antara Steve dan juga Jessie.
*****
Steve tak berhenti mendengus sebal. Hari ini, ia menghabiskan waktunya di rumah Hank, temannya. Bukan tanpa alasan, karena hanya Hanklah yang mungkin mengerti bagaimana perasaannya saat ini.
Biasanya, Hank adalah orang yang menasehati Steve, memberi masukan, bahkan terkadang dia adalah orang yang mengenalkan Steve dengan beberapa wanita yang pernah menjadi teman kencan semalamnya.
Kini, Steve memilih mengubur dirinya pada sofa panjang milik Hank sembari menonton televisi dengan sesekali meminum bir yang memang selalu tersedia di dalam rumah lelaki itu.
“Kau, sebenarnya aku cukup muak melihatmu berada di sini.” Ucap Hank sembari melompat duduk tepat di sebelah Steve. “Ayolah, aku ada kencan, dan aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini seperti orang gila.”
“Kalau begitu, ajak aku kencan.” Jawab Steve dengan wajah cueknya.
“Kau akan menggangguku, Steve.”
“Berengsek! Apa kau tidak bosan berkencan dengan Natalia? Kau bisa memutuskannya dan mencari wanita baru, Sialan!” Steve mengumpat kesal. Hank memang sangat berbeda dengan Steve. Jika Steve memilih hubungan satu malam dengan seorang wanita, maka Hank adalah sosok yang setia.
Entah sudah berapa tahun lamanya Hank menjalin hubungan dengan kekasihnya yang bernama Natalia tersebut.
“Steve, aku bukan kau yang tidak punya perasaan. Saat kau tak bisa berpaling dari seorang wanita, saat itulah kau sudah benar-benar jatuh cinta padanya.”
“Omong kosong tentang cinta! Bagiku, cinta adalah seberapa besar payudaranya.”
Hank tertawa lebar. “Berengsek. Otakmu benar-benar sudah parah. Lebih baik kau pergi dari sini. Aku benar-benar sedang ingin berkencan minggu ini.”
Steve bangkit seketika. “Aku masih bingung. Kenapa ada orang-orang yang membosankan seperti kalian?”
Hank mengangkat sebelah alisnya. “Kalian?”
“Ya, kau dan Jessie. Kalian benar-benar membosankan.”
Hank tersenyum, ia ikut bangkit dan menepuk pundak Steve. “Kau hanya iri pada kami, Steve. Kami memiliki orang yang mencintai kami, dan kau belum memiliki hal itu.”
“Sialan!” lagi-lagi Steve mengumpat kesal. Lalu Steve berjalan pergi keluar dari apartmen Hank.
“Steve, aku akan ke apartemenmu nanti malam.”
“Tak perlu, karena aku akan berpesta dengan beberapa wanita bayaran.”
“Ayolah Steve.” Sungguh, Hank merasa tak enak hati, tapi mau bagaimana lagi. Hari ini adalah hari dimana ia akan melamar kekasihnya. Jadi ia tak mungkin membatalkannya.
“Nikmati saja kencanmu yang membosankan itu.” Ucap Steve dengan nada kesal sembari meninggalkan apartemen Hank. Ya, Steve merasa sangat kesal. Tapi, kenapa juga ia merasa kesal? Apa benar yang dikatakan Hank, bahwa ia hanya merasa iri saja karena tak memiliki wanita yang ia sukai? Ya, mungkin saja.
-TBC-
Jessie tidak bisa menghilangkan degup jantungnya yang semakin menggila. Masalahnya, hari ini ia sudah memutuskan untuk melepas kehormatannya dengan Henry, lelaki yang ia cintai. Disisi lain, ia merasa takut jika Henry akan kecewa dengan dirinya yang tak tahu apapun tentang seks.Jessie mencoba menenangkan diri dengan meminum anggur yang tadi memang dibawakan Henry untuk mereka. Saat ini, keduanya sedang menonton film bersama di ruang tengah apartmen Jessie. Tak ada suara diantara mereka. Henry tampak menikmati jalannya film yang sedang mereka putar, sedangkan Jessie tampak sedang berusaha mengendalikan dirinya agar tak tampak salah tingkah.“Sepertinya, kau sedang tidak nyaman.” Ucap Henry kemudian.“Maaf, aku hanya tidak bisa mengendalikan degup jantungku.” Jawab Jessie dengan jujur.Henry tertawa lebar. Jemarinya terulur mengusap lembut puncak kepala Jessie. “Kalau kau belum siap, aku tidak akan memaksa.”&ldqu
“Kau hanya perlu bilang jika kau butuh minum, maka aku akan mengajakmu berpesta dengan wanita-wanita tadi.” Ucap Steve saat ia sudah mempersilahkan Jessie duduk di bar kecilnya dan menuangkan minuman beralkohol untuk Jessie.“Kau gila? Aku tidak akan mau berpesta dengan kalian. Apalagi sampai melihat kalian telanjang satu sama lain.”“Itu keterlaluan, Jess. Aku tidak mungkin telanjang di hadapanmu.”“Tapi kau melakukannya kemarin.” Jessie menjawab cepat sembari menenggak minuman yang dituangkan Steve hingga tandas.“Wow, wow, wow, Hei, apa yang terjadi denganmu, gadis biara? Kau tak pernah minum sampai seperti ini.”“Aku benar-benar butuh minum, Steve.” Ucap Jessie lagi kali ini yang sudah menuangkan minuman kembali pada gelasnya. Secepat kilat, Steve menghalangi Jessie hingga mata Jessie menatap ke arah lelaki itu.“Apa kau sudah gila? Apa yang terjadi denganmu?&r
Pagi sialan yang sangat canggung.Sebenarnya, Jessie ingin sekali pergi dari meninggalkan kamar Steve saat lelaki itu masih tidur pulas. Tapi nyatanya, lelaki itu seakan tak membiarkan dirinya pergi karena ketika Jessie bergerak, Steve seakan mengeratkan pelukannya pada tubuh telanjang Jessie.Kini, Jessie merasa terjebak dalam suasana sialan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa sangat canggung saat berhadapan dengan Steve. Bayang-bayang panas kejadian semalam membuatnya tak dapat berkutik. Tapi kenapa Steve seakan tak canggung sedikitpun?Saat ini, Steve sedang sibuk membuat sesuatu di dapurnya. Lelaki itu bahkan tak malu bertelanjang dada di hadapannya.Malu? Ayolah Jess, bukankah kau tahu bahwa temanmu itu memang tak punya malu? Kau saja yang terlalu terbawa suasana.Jessie sempat berpamitan pulang tadi, tapi Steve memaksa dirinya untuk sarapan bersama sebelum pergi. Karena Steve begitu santai, maka Jessie tak bisa menolak d
Siang itu, Jessie menyibukkan diri di dalam butiknya. Hari itu akan ada seorang pelanggan yang memang dijadwalkan mencoba gaun pengantin rancangannya. Miranda, asisten peribadinya juga sibuk membantu Jessie, ketika tiba-tiba telepon di meja Jessie berdering.“Kau tidak mengangkatnya?” tanya Miranda pada Jessie yang sibuk memberi tanda pada gaun yang sedang ia benarkan.Jessie hanya menggelengkan kepalanya.Sudah dua hari berlalu, dan Miranda tak pernah melihat Jessie seperti saat ini. Atasannya itu tak berhenti bekerja jika tidak sedang waktunya makan siang atau pulang. Miranda tahu jika butik Jessie memang ramai pengunjung, tapi biasanya, Jessie hanya akan fokus pada rancangan-rancangannya, bukan menyibukkan diri dengan hal-hal yang bisa dikerjakan oleh bawahannya seperti saat ini.“Kau ada masalah, Jess?” tanya Miranda secara terang-terangan.Jessie memang meminta Miranda dan bawahannya yang lain untuk menganggapnya sebaga
Jessie bersedekap dan bertanya “Untuk apa? Karena kau sudah ‘membaptisku’ malam itu? Atau karena kau tidak menggunakan kondom?” Jessie bahkan ikut menggunakan istilah itu untuk menyebutkan kejadian panas yang sudah mereka lakukan malam itu.“Untuk semuanya.” Ucap Steve dengan penuh sesal.“Kau bukan satu-satunya yang salah, Steve. Ingat, aku menggodamu.”“Tapi aku yang meluncurkan ide gila itu.”“Dan aku yang menyetujuinya.”“Tapi aku tak mengingatkanmu kembali tentang resikonya.”“Aku yang datang padamu, Steve! Astaga, apa bisa kita lupakan saja malam itu?!” Jessie berteriak frustasi. “Aku tidak suka melihat penyesalan dan rasa bersalahmu.”Steve berjalan satu langkah ke arah Jessie. “Aku tidak pernah menyesal.” Ucapnya penuh penekanan.Jessie menatap tepat pada mata Steve, dan lelaki itu benar. Tak
Jessie belum pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Hal itu membuat Miranda menunda kepulangannya hingga sang bossnya itu pulang. Saat Jessie keluar dari dalam ruang kerjanya, ia melihat lampu butiknya masih menyala dan tampak Miranda sedang merapikan sebuah lemari yang penuh dengan renda-renda.Jessie mengerutkan keningnya dan berjalan menuju ke arah bawahannya tersebut. “Miranda? Kau belum pulang?” tanya Jessie sembari mendekat.“Ya. Kupikir kau butuh teman.” Miranda menjawab. Selama ini, mereka memang sudah seperti teman baik.“Tidak, aku baik-baik saja. Seharusnya kau sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu.”“Aku tidak bisa membiarkanmu sendiri, Jess. Tidak setelah apa yang kulihat.”“Kau, melihatnya?” Tanya Jessie dengan sedikit malu. Jika yang dimaksud Miranda adalah pertengkarannya dengan Steve, maka Jessie benar-benar tak dapat menahan rasa malunya.&l
Steve yang melihatnya dari belakang hanya bisa ternganga. Tubuh Jessie sangat indah jika dilihat dari belakang. Lekukannya menggoda, dan permukaan kulitnya tampak halus dan kencang. Dengan spontan, kaki Steve berjalan mendekati Jessie. Lengannya terulur begitu saja melingkari perut Jessie. Steve memeluk tubuh Jessie dari belakang, menyandarkan dagunya pada pundak Jessie, hingga mau tak mau membuat Jessie menghentikan pergerakannya seketika.“Kau sangat indah, Jess.” Steve berbisik dengan serak. Bahkan dengan berani, jemarinya sudah menggapai sebelah payudara Jessie. Jessie tak meronta, wanita itu bahkan tampak menahan kenikmatan, memejamkan matanya karena sentuhan Steve.Jessie melemparkan kepalanya ke belakang, hingga Steve dengan leluasa bisa menikmati leher jenjang wanita tersebut. “Ohh Steve…” dengan spontan Jessie mengerang, menyebutkan nama Steve dengan begitu merdu.Steve kemba
Waktu berlalu cukup cepat. Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh Jessie. Sepertinya baru beberapa jam yang lalu ia melihat Steve memotreti para modelnya dengan gaya yang tak biasa, tapi lelaki itu tentu selalu mempesona ketika bekerja. Ya, setidaknya itulah pendapat Jessie selama ini.Steve tampak sangat menarik saat lelaki itu konsentrasi pada objek tangkapan lensa kamerannya. Ketika lelaki itu memutar fokus lensanya, saat lelaki itu mengerutkan keningnya, saat lelaki itu tampak begitu serius mengambil gambar di hadapannya, Jessie menyukai saat melihat Steve yang seperti itu. Baginya, Steve tampak bertanggung jawab dengan pekerjaannya, tampak dewasa dengan ekspresi seriusnya. Tentu sangat berbeda dengan Steve yang selama ini ia kenal.Jessie tak memungkiri jika beberpa kali jantungnya berdebar tak menentu saat melihat Steve melakukan pekerjaannya dulu sebelum malam sialan itu terjadi. Meski begitu, Jessie tak akan pernah mengakui bahwa ia terpana ketika melihat Steve