Share

3. Kilasan Masa Lalu

Dari jendela besar resto yang berada di lantai tertatas bangunan hotel itu terlihat puluhan kembang api yang meledak dan mekar dengan indah di langit. Sepertinya selain acara peragaan busana BCF ada acara lain juga yang diselenggarakan di hotel sini. Semacam perayaan mungkin. Seolah mereka juga ikut merayakan pertemuan dua orang yang dulunya pernah berbagi hati.

“Hai, El. Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?”

Seketika Elline ingin menjadi kembang api yang meledak dan melebur di langit itu ketika Axel menggenggam tangannya sembari tersenyum hangat. Senyuman yang pernah ia lihat beberapa tahun lalu. Senyuman yang ia rindukan selama bertahun-tahun belakangan. Senyuman yang selalu saja membuat hatinya berdebar tak karuan. 

Sepuluh tahun lalu, mereka masih berada di tingkat akhir junior high school. Tidak seperti kebanyakan siswa yang jika ada waktu luang akan mengobrol dengan teman di kelas, ke kantin, atau bahkan bermain di lapangan. Axel dan Elline lebih memilih perpustakaan sekolah yang sepi untuk menghabiskan waktu luang mereka. Di sana hanya berisi para kutu buku sang juara, dan mereka adalah salah satu di antaranya. 

Jangan salah paham menganggap mereka juga bagian dari kutu buku sekolah. Mereka ke perpustakaan memiliki tujuan lain yang jelas berbeda dari para kutu buku itu. Biasanya Axel akan menghabiskan waktu dengan membaca puluhan komik terbaru dari rak buku sastra. Sedangkan Elline akan menarikan pensilnya di buku sketsa, terus berlatih menggambar atau merancang sebuah pakaian. Namun, hari itu berbeda. Elline tidak lagi terlihat bersenang-senang dengan buku sketsanya. Gadis itu terlihat berkutat dengan tugas sekolah yang beberapa hari  ini telah ia abaikan. 

Beberapa kali ia membolak-balikkan buku dengan suara lumayan keras. Membuat Axel yang sedang membaca komik di seberang meja menatap Elline dengan geleng-geleng kepala. Setiap kali terdengar suara hempasan buku dari gadis itu, Axel selalu mengalihkan tatapannya pada gadis di hadapannya tersebut. Ia akan tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya sembari terkekeh pelan ketika melihat gadis itu menggerutu atau merengut kesal.

“Daripada membaca komik itu sambil menertawakanku lebih baik membantuku menyelesaikan tugas-tugas ini, wahai Tuan Sang Juara Kelas!” Elline melemparkan pulpennya ke atas meja. Ia sudah menyelesaikan empat dari sembilan tugas yang harus dikerjakan. Gadis itu meregangkan kedua lengan, bahu, dan kepala yang pegal karena terlalu lama menunduk ketika menyelesaikan tugas. Ia menyerah untuk terus menulis, lengannya serasa ingin lepas. Tetapi semua tugas itu harus ada besok pagi di ruangan guru atau dia akan dikenai sanksi oleh wali kelasnya. 

“Salah siapa yang menelantarkan tugas selama berhari-hari demi ikut lomba Desainer Junior?” Elline mendecih mendengar ucapan Axel. Ia kembali mengambil bukunya. Berniat menyelesaikan semua tugas-tugasnya hari ini agar besok ia bisa istirahat seharian.

“Masih kuat menyelesaikan tumpukan tugas itu?” Axel meletakkan komik yang tadi dibacanya ketika mendapat gelengan ringan dan ekspresi frustasi dari Elline. Ia menghela napas berat dan mengambil alih buku-buku gadis itu. Kemudian membantunya menyelesaikan tugas yang terlupakan selama tiga hari yang lalu.

“Terima kasih banyak, Jackfrost. Kau yang terbaik!” Elline berujar riang dengan setengah berbisik agar tidak mengganggu pengunjung perpustakaan lain.

“Berhenti memanggilku Jackfrost atau buku-buku ini akan mendarat di tempat sampah lima menit lagi?” Axel memelotot, kemudian melanjutkan dengan suara pelan, “Hah... sampai kapan kau akan memanggilku seperti itu, El?” Elline hanya mengedikkan bahu sambil mencebikkan bibir tidak peduli dengan perkataan sahabatnya.

Sahabatnya? Ia sahabat. Persahabatan yang nantinya akan memunculkan perasaan lain yang tak tergambarkan. Lagi pula tidak ada persahabatan tanpa perasaan di antara lelaki dan perempuan, bukan?

“Kenapa kau tidak suka? Padahal ‘kan dia keren. Apa kau lebih suka aku panggil dengan sebutan ‘Tuan Sang Juara Kelas’?” Elline terkekeh kecil melihat Axel yang langsung menekuk wajah ketika mendengar perkataannya.

“Sekadar informasi, El. Itu lebih terdengar seperti ejekan daripada pujian, dengan kata lain tidak keren sama sekali panggilan yang kau berikan, wahai Nona Yang Gila Menggambar!”

“Sekadar informasi juga wahai Tuan Yang Ingin Dipanggil Keren, potongan rambutmu sangat mirip dengan Jackfrost. Hanya saja rambutmu berwarna hitam sedangkan Jackfrost putih. Walaupun berbeda warna rambut, kau tetap tampan seperti Jackfrost.” Elline menjawab dengan berbisik lirih agar suaranya tidak mengganggu pengunjung, apalagi sampai terdengar oleh penjaga perpustakaan. 

“Apakah aku tampan dengan potongan rambut seperti ini? Wah ada bintang jatuh di mana semalam sampai-sampai kau memujiku hari ini?” Axel berhenti menulis sejenak untuk melemparkan candaan. Ia melanjutkan tugasnya dengan terkekeh pelan ketika puas telah melihat ekspresi wajah yang tidak mengenakkan dari sahabatnya.

“Oh my! Apakah aku mengatakan kau tampan? Lebih tepatnya jika dilihat dari ujung sedotan, Tuan!” Alih-alih beristirahat, Elline malah mengambil buku gambar kesayangannya yang selalu ia bawa kemana pun. Tak lama kemudian ia sibuk menarikan pensil ke atas buku gambar itu.

Axel yang tak habis pikir melihat tingkah gadis itu hanya menggelengkan kepalanya pelan. “Aku membantumu agar kau bisa beristirahat, bukan menggambar begitu,” ujar Axel datar. Tatapannya fokus ke buku tugas Elline dan tangannya masih sibuk menggoreskan pena di sana.

“Diamlah, Xel! Kau tak ingin sahabatmu ini terkenal? Sekarang aku sedang berlatih untuk final lomba Desainer Junior itu.” Axel menghentikan gerakan tangannya menulis sejenak ketika mendengar kalimat Elline. Matanya semakin membulat mendengar penuturan gadis tersebut. Senyumnya semakin melebar melihat Elline yang tetap saja fokus pada buku gambar, kini gadis itu telah tenggelam dalam dunianya sendiri. 

“Adelline! Jadi, kau lolos ke babak final?” Batas dunia yang dibuat Elline tidak berpengaruh pada Axel. Sefokus apa pun gadis itu menggambar, sejauh apa pun gadis itu membuat batas antara dunianya dengan dunia luar, tetap saja Axel dapat menembus batas itu. Seperti sekarang, lelaki itu terus bertanya padanya dengan nada tidak percaya. Namun hanya dijawab dengan anggukan dan gumaman singkat oleh Elline yang masih sibuk menggambar. Axel semakin melebarkan senyumannya melihat reaksi gadis tersebut. Bahkan ia tak sadar telah bertepuk tangan cukup keras hingga mengganggu beberapa pengunjung lainnya.

“Selamat, Elline! Suatu saat nanti aku yakin kau akan sukses dengan impianmu itu!” Axel tersenyum lebar dan menarik pipi sahabatnya. Dia terlihat begitu bahagia.

“Akhirnya si aneh El memulai karirnya juga!” Tawa Axel lepas begitu keras terdengar hingga membuat penjaga perpustakaan menegur mereka.

“Yang lolos babak final siapa dan yang bahagia siapa. Kau lebih aneh, Xel,” gumam Elline sembari terkekeh lucu melihat sahabatnya.

“Nanti kalau kau sudah terkenal, aku akan menjadikanmu desainer pribadiku,” bisiknya pelan, berharap penjaga perpustakaan itu tidak lagi mendengar suara mereka.

“Terima kasih, ya, Xel! Lucu melihatmu yang ikut bahagia untukku.  Jika aku menang, nanti aku akan mentraktirmu di kantin sekolah.” Elline dengan riang berujar sambil menengadah menatap Axel, kemudian kembali menggoreskan pensil itu ke atas buku gambar kesayangannya.

Butuh satu setengah jam bagi Axel untuk menyelesaikan semua tugas Elline. Ia meregangkan tubuhnya yang terasa pegal ketika selesai membereskan semua buku-buku itu. Ia melihat Elline masih berkutat dengan pensil dan buku gambar. Penasaran, Axel memajukan kepala ke arah buku gambar Elline, berniat melihat apa yang sedang digambar gadis itu.

“Ada apa?” tegur Elline menyadari gerakan Axel. Ia segera menutup buku gambar itu, menghalangi mata jahil Axel melihat karyanya.

“Aku ingin melihat gambarmu.” Lelaki itu berusaha mengambil buku gambar yang dipegang Elline. Dengan sigap gadis itu menjauhkan buku gambarnya dari jangkauan tangan panjang Axel. Ia meletakan buku tersebut di sisi lain agar Axel tidak dapat mencuri buku berharganya. 

“Tidak boleh! Kerjakan saja tugas-tugas itu.” 

“Asal kau tahu, aku sudah menyelesaikan semua tugasmu, El! Cih, biasanya juga kau akan memperlihatkannya padaku. Kenapa sekarang kau sembunyikan?” tanya Axel heran. Wajahnya ditekuk seperti anak kecil yang tengah merajuk, membuat Elline tertawa akan tingkahnya yang tidak sesuai dengan umur.

“Hahaha ini bukan urusanmu, anak manis. Terima kasih telah membantuku menghajar semua tugas itu, ya.” Elline menepuk pelan punggung Axel sembari mengusapnya lembut layaknya seorang kakak pada adiknya, sambil sesekali tertawa karena merasa lucu akan tingkah lelaki itu.

Ia kembali melanjutkan kegiatan menggambar yang sempat tertunda tadi. Sedangkan Axel masih betah duduk di depan Elline sambil memperhatikan gadis mungil itu. Beberapa saat tercipta keheningan di antara mereka berdua. Axel yang tidak nyaman dengan suasana tersebut mulai membuka topik pembicaraan baru.

“Hmm, El, bagaimana tanggapanmu jika ada seseorang yang menyukaimu?” Pertanyaan yang tak pernah disangka Elline itu keluar dari bibir seorang Axel Devgan. Membuat tangan gadis tingkat akhir junior high school itu terhenti sejenak, sepersekian detik ekspresi wajahnya sempat berubah mendengar pertanyaan tiba-tiba itu.

“Itu haknya untuk menyukaiku. Aku tidak bisa berikan tanggapan apa pun,” jawab Elline. Ia kembali menggoreskan pensil ke lembaran putih buku gambarnya. Mencoba untuk kembali fokus dan melupakan pertanyaan tidak jelas sahabatnya.

“Apakah... kau akan mencoba membalas perasaannya?” Axel bertanya lagi. Nyatanya lelaki itu belum puas dengan jawaban yang diberikan Elline.

“Entahlah. Aku tidak yakin bisa membalas perasaan orang itu seperti yang ia harapkan.” Gadis itu terhenti dari kegiatannya sejenak. Ia menatap langit-langit perpustakaan, mengira-ngira apa yang ia lakukan jika benar-benar dihadapkan pada situasi seperti itu.

“Kenapa begitu, El?”

“Kenapa juga kau peduli, Xel? Yang penting sekarang tidak ada orang yang menyukaiku karena tidak ada siapa pun yang menyatakan perasaannya padaku.”

“Kenapa?” Axel tetap kukuh dengan pertanyaannya. Nada bicaranya seolah menuntut jawaban pasti dari Elline. Membuat gadis itu menatapnya bingung, kemudian menghela napas perlahan.

“Karena aku sedang menyukai seseorang saat ini. Lagi pula tidak akan ada orang yang menyukai gadis aneh yang gila menggambar sepertiku. Kau sendiri yang memberi julukan itu, bukan?” Elline menjawab disertai kekehan kecil di akhir kalimat. Kemudian ia kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Mengabaikan Axel yang sedikit terkejut dengan jawaban yang ia berikan.

“Bagaimana jika aku katakan ada orang yang menyukaimu?”

“Jangan bercanda, Xel. Candaanmu tidak lucu sama sekali. Memangnya orang bodoh mana yang menyukai gadis aneh ini?”

“Aku orang bodoh itu, El.” Elline tersentak mendengar penuturan cepat dari Axel. Ia terkejut, membuat gambarnya sedikit berantakan. Tanpa sengaja tangannya pun menjatuhkan pensil yang sejak tadi ia pegang. Kepalanya yang sedari tadi tertunduk perlahan terangkat menatap mata kelam milik Axel. Mencari sebuah petunjuk bahwa lelaki di hadapannya itu sedang menjahilinya. Namun nihil. Elline tidak menemukan apa pun. Ia hanya melihat mata hitam indah yang merefleksikan gambaran dirinya. Seolah mata itu selalu melihat padanya dan akan terus menatapnya.

“Jadi, apakah kau mau membalas perasaan orang bodoh ini? Mengganti status persahabatan yang selama ini kita jalani?” Axel meletakkan sebatang cokelat di atas meja di depan Elline. Wajah gadis itu telah dihiasi rona merah, pipinya terbakar malu. Mendadak pasokan udara di paru-parunya menipis. Apalagi melihat tatapan sahabatnya yang tegas dan teduh di saat bersamaan. Dengan perasaan campur aduk antara ragu, senang, dan malu yang membuncah, tangan Elline terulur meraih cokelat di atas meja itu.

“A-aku mau makan cokelat ini saja.” Elline berujar dengan intonasi cepat menyembunyikan rasa malu dan gugup serta degupan jantung yang tidak beraturan. Namun, hal itu dapat membuat Axel tersenyum.  Menurutnya tingkah Elline yang seperti itu sangat menggemaskan. Matanya mellihat buku gambar Ellin yang tidak sengaja terbuka di atas meja, ada sketsa wajahnya di sana, dengan tulisan ‘My first love’ di sudut bawah sebelah kanan. Membuat senyuman Axel bertambah lebar.

“Kau juga orang pertama yang mengetuk pintu hatiku, El,” ujar Axel dalam hati.

Masa sekolah terkadang menjadi masa indah untuk mulai merasakan getaran aneh yang bernama cinta. Namun, terkadang juga bisa menjadi masa kelabu untuk memulai perjuangan menuju masa depan. Tidak bisa dielakkan, mereka pasti akan bertemu dengan suatu keadaan yang mengharuskan mereka memilih antara masa depan ataukah perasaan? Orang lain pun mulai mengatakan bahwa cinta mereka adalah cinta monyet yang baru tumbuh di masa remaja. Namun, orang itu tidak pernah merasakan bagaimana bingung dan sakitnya mereka ketika dihadapkan pada dua pilihan awal yang akan mendatangkan banyak pilihan lain di masa depan. Kisah mereka sesungguhnya baru akan dimulai setelah pilihan pertama ditentukan.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status