Share

2. Ledakan Bintang

Seolah langit belum cukup puas melihat keterkejutan Elline, setelah acara selesai Reno Anggara, perwakilan investor pun mengajak mereka makan malam bersama.

“Lucy, Elline, untuk merayakan kesuksesan acara malam ini sekaligus bentuk kerja sama dengan perusahaan kami, Presdir mengundang kalian untuk makan malam bersama. Beliau telah memesan tempat di restoran hotel ini. Mungkin kalian juga bisa menganggapnya sebagai ucapan selamat datang atas kepindahan resmi kalian dari kami,” ujar Reno ketika mengunjungi ruang rias Elline. Di sana terlihat Lucy sedang menata kembali make up sahabatnya. 

“Bagaimana ya, Ren. Kami berencana mengadakan makan malam berdua. Kau tahu? Semacam party single lady. Jadi....” Lucy menatap Reno yang telah berdiri di belakangnya. Mencoba menolak ajakan itu secara halus. Namun, tarikan Elline pada gaunnya membuat Lucy menoleh dan melihat gadis itu menggelengkan kepala pelan.

Elline pun berdiri dan menghadap Reno sembari mencoba tersenyum. “Bagaimana mungkin kami menolak ajakan dari pihak investor. Terima kasih atas undangan makan malamnya, Ren. Kami merasa terhormat. Rencana kami tadi bisa dilaksanakan di lain waktu.” 

“Ah, syukurlah kau tidak keberatan, Elline. Kalau begitu ayo kita ke resto! Presdir mungkin telah menunggu di sana.” Reno tersenyum lega mendengar tanggapan Elline. Padahal tadi ia khawatir kalau para gadis itu menolak tawarannya.

Setelah mendapat jawaban berupa anggukan dari gadis di hadapannya, Reno pun segera keluar. Memberikan privasi untuk para gadis itu di ruang rias. Sementara dirinya dengan sabar bersedia menunggu di pintu.

“Kenapa kau terima ajakan Reno tadi, El? Apa kau tidak sadar dengan kondisimu sekarang? Kau bukan dalam kondisi yang baik untuk bertemu dengan seseorang dari masa lalu.” Lucy bertanya sembari menekankan kalimat terakhirnya. Menegaskan pada Elline bahwa ia tidak seharusnya bertemu mantan kekasihnya yang telah menggandeng wanita lain itu dengan hidung dan mata memerah menahan tangis.

“Kita harus profesional, Lu. Sebisa mungkin untuk tidak melibatkan perasaan dalam bisnis, bukan? Mereka investor terbesar kita. Akan sangat tidak sopan jika kita menolak ajakan mereka ketika kita baru saja melakukan promosi dan acara peragaan busana dari dana yang mereka berikan. Kau tahu, Lu? Sekarang aku berharap, orang yang kulihat tadi, investor yang akan kita temui, bukanlah orang yang sama dengan seseorang yang kurindukan selama ini.”

Untuk pertama kali Lucy melihat sahabatnya berbicara sambil tersenyum manis namun matanya terlihat begitu sedih dan terluka. Membuat gadis itu menghela napas kasar. Seolah bisa merasakan apa yang Elline rasakan. Walaupun ia tahu, rasa sakit atas keterkejutan yang gadis itu rasakan lebih besar darinya. Ia pun memeluk Elline sembari mengusap punggungnya perlahan. Berharap semoga ia bisa menyalurkan semangat pada sahabatnya. 

Sembilan tahun lamanya Lucy berteman dengan Elline. Semenjak pertama kali mereka menginjakkan kaki di senior high school yang sama hingga melanjutkan ke perguruan tinggi yang sama dengan beasiswa penuh karena sama-sama menjadi finalis dalam lomba desainer junior internasional. Empat setengah tahun yang lalu mereka sama-sama lulus sebagai mahasiswa terbaik dari Royal College of Art di London. Kemudian mencoba magang di beberapa butik desainer ternama. Mereka belajar terus dan belajar lagi untuk mencoba menjadi desainer yang lebih baik. Dua tahun yang lalu dengan berani mereka mencoba merintis karir sebagai desainer pendatang baru di Paris yang dikenal sebagai salah satu kota pusat mode dunia. Siapa yang menyangka sekarang mereka dapat membuka cabang dan kembali ke kampung halaman Elline. 

Selama itu juga Lucy melihat Elline begitu mencintai seseorang dari masa lalunya. Setiap hari gadis itu selalu menanti kapan waktu mereka akan bertemu kembali. Tiada satu hari pun terlewati oleh gadis itu tanpa merindukan kekasih masa lalunya. Bahkan Lucy pun sudah hampir hafal cerita tentang mereka yang setiap ada waktu luang pasti diungkit terus oleh sang sahabat. Mau tidak mau pun ia juga hafal bagaimana sosok itu dulunya. Bagaimana tidak? Jika hampir setiap hari ia disuguhi foto mereka di masa lalu. Walau sudah beberapa tahun terlewati, ia tidak akan mungkin salah mengenali lelaki yang tadi datang bersama seorang wanita itu sebagai mantan kekasih sahabatnya. 

“Silakan lewat sini, Girls.” Reno memimpin jalan. Mereka telah siap untuk acara makan malam. 

Beberapa menit berlalu mereka pun telah sampai di restoran hotel itu. Interiornya begitu mewah dan berkelas. Semua kursi dan meja tersusun dengan jarak yang cukup lebar sehingga membuat para tamu cukup leluasa untuk mengobrol ringan atau membahas topik yang sedikit serius dan membutuhkan privasi. Di ujung sana di samping jendela telah menunggu dua orang yang sejak tadi menjadi objek tersendiri di pikiran Lucy dan Elline. Perlahan tapi pasti kaki mereka mendekati meja persegi dengan taplak dan kursi yang terlihat sangat mahal.

“Axel, Zayra, sudah lamakah di sini? Maaf membuat kalian menunggu lama.” 

Reno yang pertama kali sampai di meja tersebut menyapa orang yang telah lebih dulu duduk di sana. Zayra tersenyum menatap tamunya yang baru saja datang. Sedangkan di sebelahnya, Axel, sibuk dengan ponsel sedari tadi. Lelaki itu bahkan tidak mengindahkan ada orang yang datang ke meja mereka.

“Ayolah, Xel. Tamu kita sudah datang. Simpan dulu ponselmu.”

Axel tidak bergeming. Ia masih sibuk berkutat dengan ponsel di genggamannya.

“Sudahlah, terserah kau saja.” Reno tidak mau ambil pusing lagi dengan sahabat sekaligus pimpinannya itu. Ia pun mengalihkan perhatian pada dua gadis yang baru saja datang bersamanya.

“Sepertinya kita tidak perlu terlalu formal, ya? Kalian tahu? Hal yang formal itu membosankan.” Reno terkekeh kecil mencoba mencairkan suasana. Zayra yang duduk di sebelah Axel pun terlihat tersenyum manis menanggapi candaan Reno.

“Girls, ini adalah Axel Devgan, pimpinan perusahaan kami, sedangkan di sampingnya adalah Zayra Efyana yang sekarang talah berubah menjadi Nyonya Muda Zayra Devgan. Mereka baru menikah beberapa bulan yang lalu di Amerika.” Reno tersenyum pada Lucy dan Elline sembari menunjuk kedua orang di depannya. Tanpa ia sadari kedua gadis itu terdiam mematung mencerna ucapannya tadi.

“Suami istri?” bisik Elline. Sangat pelan namun masih bisa tertangkap indra pendengaran Lucy yang sama terkejutnya dengannya.

“Axel, ini adalah Michelle Adelline pemilik dari Blue Cool’s Fashion, sedangkan di sampingnya adalah Lucy Xian yang merupakan tangan kanan dari Elline.” Reno menarikkan kursi untuk kedua gadis itu sembari memperkenalkan mereka pada Axel dan Zayra.

Tanpa Reno sadari seketika tangan Axel terhenti memainkan ponsel di genggamannya. Perlahan kepala lelaki itu terangkat, menengadah menatap gadis yang baru datang tersebut.

“Wah, siapa sangka desainer yang baru naik daun ini berasal dari kampung halaman yang sama dengan kita, Xel.” Reno pun duduk di kursi yang berada di antara Axel dan Ellin. Ia masih tersenyum hangat dan mencoba mencairkan suasana di antara mereka.

Elline menunduk sedikit memberi hormat sembari memaksakan senyumnya. Ia mengulurkan tangan kemudian berkata, “Halo, Tuan dan Nyonya Devgan. Saya Michelle Adelline. Sebuah kehormatan bisa mengenal Anda berdua.”

Gadis itu memutuskan untuk pura-pura tidak mengenal lelaki di hadapannya. Walau nyatanya nama dan paras lelaki itu sangat mirip dengan orang yang pernah ia kenal. Logikanya telah meneriakan bahwa lelaki di hadapannya ini adalah orang yang sama dengan cinta pertamanya bertahun-tahun yang lalu. Namun, hatinya menyangkal. Ia tidak ingin hatinya hancur lebih dalam. Ia masih berpegang pada ingatan tentang cinta pertamanya yang telah terkubur dalam kenangan. Axel Devgan yang ia kenal adalah lelaki berwajah menyenangkan dengan tawa dan senyum lebarnya, serta memiliki impian besar menjadi musisi ternama. Bukan Axel Devgan yang berwajah datar tanpa ekspresi serta seorang pengusaha yang telah beristri. 

“Hai, El. Lama tidak bertemu.  Bagaimana kabarmu?”

Namun, sayang. Realita tidak berpihak pada Elline malam ini. 

Axel meraih tangan gadis itu. Ada perasaan membuncah ketika ia berjabatan tangan dengan gadis tersebut. Gadis yang selalu menemaninya di saat malam kelam. Gadis yang selalu tinggal dalam mimpinya kala ia terlelap. Sekarang ia memilih untuk tidak masuk ke dalam sandiwara gadisnya. Ya, gadisnya. Seorang gadis yang beberapa tahun lalu mengisi harinya. Bahkan sampai sekarang gadis itu masih memiliki hatinya yang perlahan membeku. Untuk pertama kalinya malam itu Axel tersenyum hangat, melepaskan topeng datar yang selalu ia kenakan.

"Kukira aku adalah mentari yang menunggu gerhana untuk bisa bertemu denganmu, sang bulan. Namun, ternyata aku hanyalah salah satu bintang yang menemanimu di malam kelam. Tidak salah memang, karena mentari juga merupakan bintang yang paling terang dan paling dekat dengan bulan. Hanya saja, aku yang salah paham dan sesaat merasa spesial. Sekarang bintang yang pernah kau dekap itu telah meledak dan hancur berkeping-keping. Dalam semalam, dalam sekajap, bintang terang itu telah menjadi serpihan meteor dan debu-debu kecil yang mengotori langit." - Elline

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status