"H-hah? Lo ngomong apa sih?"
Ginan mengendikkan bahunya. Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?" "Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya. "Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya. Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami. Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri. Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai ibunya padahal dia masih bisa bekerja. "Terserah. Padahal gue juga nggak masalah kalo harus ngasih buat ibu lo," katanya membuat Ganaya menggelengkan kepalanya. "Tapi serius deh, Nan. Ada loker nggak?" Tatapan Ganaya terlihat benar-benar serius. Ginan menghela nafasnya. Dia melanjutkan makannya. "Nggak ada," jawabnya dengan acuh tak acuh. Ganaya berdecak pelan. Harus gimana lagi supaya dia bisa mendapat pekerjaan dengan cepat. Dia mengambil sendoknya dengan tidak bersemangat. Ginan menegak air putihnya. "Nanti gue balik malem. Kemungkinan gue baru bisa ngajak lo ketemu orangtua gue akhir pekan nanti," katanya lalu beralih meraih cangkir berisi kopinya, menegaknya perlahan. Ganaya mengangguk dengan lesu. Ginan meliriknya, tapi tak memberikan komentar apa-apa. Setelah kopinya tandas, dia pun beranjak dan bersiap berangkat menuju tempat kerjanya. "Gue berangkat dulu." Ganaya mengangguk. Dia mengiringi Ginan hingga ke depan pintu. Ginan mengulurkan tangan kanannya, membuat Ganaya menaikkan sebelah alisnya. "Apa?" "Nggak mau salim?" "Hah? Apaan sih? Nggak jelas banget." Ganaya menepis pelan tangan itu. Aneh-aneh saja Ginan ini. Buat apa juga dia harus salim dengan pria itu? Seperti suami istri saj-- "Latian jadi istri yang baik." Kedua mata Ganaya melotot. "Istri baik apa sih?!" Ginan menaikkan sebelah alisnya. "Lo nggak mau jadi istri yang baik emang?" "Ya mau... tapi emang harus banget ya pake salim segala?" Ginan mengendikkan bahunya. "Gue cuma nawarin. Kalo nggak mau ya udah." Setelah mengatakan itu dia pun berlalu meninggalkan Ganaya yang mendesis di tempatnya. Dia pun kembali masuk. Kembali menyibukkan diri mencari lowongan pekerjaan. *** Ginan menutup berkas yang sudah dia tanda tangani sebelum memberikannya kembali pada bawahannya. "Ada loker buat bagian keuangan?" tanyanya membuat kening Adam mengeryit. "Loker? Kenapa tiba-tiba nanyain soal itu?" Dia menyimpan berkas yang dibawanya di antara lengan dan badannya. "Ada yang butuh kerjaan. Kalo ada kasih tahu gue," katanya membuat keryitan Adam semakin dalam saja. Tumben sekali Ginan repot-repot menanyakan itu. Setahunya Ginan bukanlah orang yang suka memikirkan orang lain yang sekiranya tidak ada untung untuknya. "Siapa?" Ginan menatapnya datar. "Nggak perlu tahu. Kabari aja kalo ada," jawabnya dengan jutek sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. Adam berdecih melihat itu. Dia pun tak bertanya lagi dan memilih keluar dari ruangan Ginan untuk melanjutkan pekerjaannya. Ginan menoleh saat handphone-nya bergetar. Dia mengangkatnya tanpa melihat siapa si penelpon. "Halo." "Ginan!" Ginan menjauhkan handphone-nya saat suara yang sangat melengking terdengar. "Apaan sih?" sahutnya dengan malas. Menyesal juga dia main mengangkat panggilan tanpa melihat siapa yang menelponnya. "Lo ... ngenalin cewek ke mama sama papa, tapi nggak ngasih tahu gue?! Gitu lo ya!" Ginan mendatarkan ekspresinya. "Belum gue bawa. Lagian kenapa sih, ribet banget? Lo juga nggak penting-penting banget buat gue kasih tahu," "Apa lo bilang?! Oh, gitu lo ya. Awas aja nggak gue restuin baru tahu rasa lo!" ancam Gina-- sang kakak yang berada jauh di luar pulau sana ikut bersama suaminya. Ginan hanya membalasnya dengan dengusan. "Lo nggak restu, juga gue bakal tetep kawin. Udah ah. Ganggu aja orang lagi kerja." Dan Ginan pun menutup panggilannya begitu saja. Baru dia menyimpan ponselnya, bunyi telepon di atas mejanya itu berbunyi, membuat Ginan lantas mengangkatnya. "Ya." "Ada satu pegawai di divisi keuangan yang baru aja resign. Tadinya sih niatnya nggak mau cari dulu soalnya masih bisa ke-handle. Tapi, karena lo tadi nanyain, jadi gue kasih tahu ke elo." "Oke. Di keep aja. Gue punya kandidat yang cocok." Ginan pun meletakkan kembali gagang teleponnya, lalu beralih meraih kembali ponselnya, mengetikkan sesuatu untuk seseorang yang ada di rumahnya sekarang. 'Ada loker di temoat gue. Jangan lupa siapin hadiah terbaik buat gue.' ***Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya."Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti."Kenapa?""Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu."Takut kenapa?""Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu."Sini.""Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan bes
Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat."Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu."Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya."Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis.Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini."Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis."Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu."Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, set
"Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya." Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar. Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini. "Terima kasih banyak." Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara. "Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini. Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak. "Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis. Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitah
"H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya
Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel
"H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i