Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.
Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat. "Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu." Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya. "Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis. Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini. "Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis. "Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu. "Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, setidaknya dia sudah bisa menjawab kalau-kalau ditanya sedang sibuk bekerja dimana sekarang. "Gue ... perlu nyiapin apa ya, Nan?" Tiba-tiba saja Ganaya kepikiran. Dia belum pernah bertemu dengan orangtua dari teman lawan jenis entah itu hanya sekedar teman atau yang sedang dekat. "Nyiapin mental," jawab Ginan dengan tak acuh, tanpa menatap Ganaya karena fokus memakan sarapannya. Ganaya mengerucutkan bibirnya. Perasaannya jadi berat sekarang. Dia takut dan juga deg-deg an. Sumpah, nanti dia harus gimana ya saat bertemu kedua orangtuanya Ginan? Kalau mereka tidak suka padanya bagaimana? Ginan meliriknya saat merasa tak ada pergerakan di sampingnya. Dia mengerutkan keningnya melihat Ganaya yang bukannya makan, tapi malah melamun. "Heh!" Ganaya tersentak saat sikunya disenggol. "Kenapa?" "Ngelamunin apa?" Ganaya menggelengkan kepalanya pelan. "Gue cuma lagi bingung aja. Besok gue harus gimana ya, waktu ketemu orangtua lo?" Ganaya menghadapkan badannya ke arah Ginan sepenuhnya. "Orangtua lo sukanya apa, Nan?" tanya Ganaya dengan serius. Ginan menatapnya dengan dalam, sebelum kemudian dia berpaling. "Cucu," jawabnya dengan nada datar. Ganaya melongo dengan kedua matanya yang mengerjap. "C-cucu? Maksudnya ... gue harus ngasih cucu dulu biar diterima jadi menantu sama orangtua lo?" gumamnya bertanya dengan polosnya. Ginan menatapnya lagi dengan datar. Tak habis pikir kalau begitu yang Ganaya pikirkan. Padahal kan maksudnya bukan begitu. Ginan menggelengkan kepalanya, malas menjelaskan lebih lanjut. Biarkan saja Ganaya berpikir sendiri. "Ihh, Ginan!" Ganaya menyenggol lengan kanan Ginan yang hendak menyuap, sehingga nasi yang sebentar lagi masuk ke dalam mulutnya itu kembali berjatuhan ke atas piring. Ginan memberikan tatapan sebalnya. "Serius ihh. Gue beneran nervous nih." Ganaya merengut sebal. Ginan ini apa tidak bisa merasakan kegelisahannya apa? Kenapa tidak peduli sekali begitu. "Nyebelin ah." Ganaya mengomel, mengerucutkan bibirnya. Ginan menghela nafasnya lalu meletakkan sendoknya, menatap Ganaya sepenuhnya. "Ya terus lo mau gue jawab gimana?" tanyanya dengan nada lelah. "Ya apa gitu kek. Yang nenangin gueee. Bukan malah bikin gue makin jadi overthinking," jawabnya dengan bete. Ginan menghela nafasnya lagi. "Okee. Lo mau tahu cara buat dapetin hati orangtua gue, kan?" "Hmmm. Gue juga mau tahu karakter orangtua lo dulu, biar gue bisa siap-siap," katanya dengan lesu. Ginan menatap Ganaya dengan dalam. Membuat gadis itu meneguk ludahnya karena wajah Ginan terlihat serius sekali. Jangan bilang kalau orangtua Ginan adalah tipe orangtua yang ketat. Yang punya seribu standar tersendiri untuk putranya. Yang strict parent, yang sukanya-- "Lagi mikir apa lo?" "Ha?" Ginan mendengus melihat itu. Terlihat jelas sekali kalau Ganaya pasti sedang berpikir yang tidak-tidak sekarang. Padahal dia belum bilang apa-apa. "Orangtua gue udah pingin banget punya cucu. Makanya gue nggak bohong soal apa yang orangtua gue suka." Ganaya menghembuskan nafasnya panjang. "Yahh, tapi masa cucu sih? Kalo cucu kan harus nikah dulu. Ya kali gue sama lo--" Ganaya tak melanjutkan ucapannya. Dia menatap Ginan dengan ngeri. Tak mungkin. Tak mungkin. Tak mungkin. Itu hal yang amat sangat dia tolak! Ctak! "Aw!" Ganaya mengusap dahinya sambil menatap Ginan dengan bibir mengerucutnya. "Sakit. Apaan sih?" "Lo yang apaan? Mikir apa lo hah? Jangan bayangin yang enggak-enggak soal gue dengan otak lo yang kotor itu ya," ingat Ginan membuat Ganaya mendelikkan matanya. "Siapa yang mikir jor-- ehem. Sok tahu lo," lengosnya menghindar. Ya kali dia jujur kalau tadi dia memang sempat memikirkan soal dia dan Ginan yang begituan dulu sebelum menikah. Pikiran laknat memang. Tidak layak ditiru ya. "Intinya, jadi diri sendiri aja. Orangtua gue juga manusia biasa yang nggak bakal punya permintaan yang aneh-aneh sama lo. Tenang aja," kata Ginan sambil kembali menyentuh sendoknya. "Yang bener?" "Hmm." Ganaya menghela nafasnya lega. "Syukurlah." "Tapi gue nggak bohong soal mereka yang pingin cucu. Jadi, jangan nolak kalau kita udah nikah nanti." "No-lak a-pa... m-maksud lo... n-nantu g-gue sama l-lo, emm, kita... be-begituan?" tanya Ganaya dengan ngeri. "Menurut lo?" Ganaya meneguk ludahnya. Tanpa sadar matanya memperhatikan Ginan dari atas sampai bawah. Badannya bagus sih. Wajahnya juga tampan. Apalagi emm... kalau diliat-liat, Ginan ini tidak burum juga. Dia terlihat ... emm,, h-hot... terlihat dari lengannya yang berotot yang terlihat jelas karena lengan kemejanya ditekuk sampau sebatas siku. Apalagi jakunnya. Emm, kenapa tiba-tiba Ginan jadi terlihat seksi ya... d-dia kan jadi membayangkan yang tidak-ti-- eh? Ganaya mematung saat Ginan tiba-tiba saja menoleh membuat kedua mata mereka kini saling bertatapan. Dan, hei-- apa maksudnya itu? Kenapa Ginan malah tersenyum miring?!" ***Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya."Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti."Kenapa?""Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu."Takut kenapa?""Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu."Sini.""Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan bes
Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat."Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu."Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya."Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis.Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini."Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis."Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu."Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, set
"Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya." Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar. Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini. "Terima kasih banyak." Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara. "Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini. Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak. "Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis. Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitah
"H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya
Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel
"H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i