Menikah dengan mantan rival? Ya atau tidak? Ganaya yang tengah terpepet itu tak punya pilihan selain menerima tawaran pernikahan dari Ginan-- rivalnya semasa kuliah dulu-- demi bisa mendapatkan tempat tinggal secepatnya di kota rantauan. Pernikahan yang sangat mendadak itu tentu saja membuat keduanya perlu beradaptasi dengan segala tingkah dan kebiasaan mereka. Tapi, apa jadinya jika pernikahan yang semula didasari oleh perjanjian itu perlahan mulai tercampur dengan perasaan baru yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan sebelumnya? Akankah pernikahan mereka akan terus berjalan seiring dengan perasaan cinta yang terus tumbuh, atau ... justru akan berakhir setelahnya? Ditambah dengan fakta baru yang Ganaya dapatkan tentang Ginan membuat gadis itu tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Bagaimana kisah mereka selengkapnya? Ikuti kisah mereka di sini.
View More"Nikah sama gue."
Ganaya menghembuskan nafasnya panjang. Harus seperti apa dia bicara pada laki-laki di depannya ini agar berhenti sih? "Lo gila. Tujuan lo sebenernya tuh apa sih?" Ginan menatapnya dengan datar. "Gue butuh istri. Dan lo butuh tempat tinggal. Kenapa enggak?" jawabnya dengan begitu santainya, membuat Ganaya tertawa tidak habis pikir. "Emang beneran gila ya lo. Udah ah. Nggak usah bercanda sama gue. Dibilang gue lagi nggak mood juga." Dan setelah mengatakan itu, Ganaya pun berbalik dan masuk ke dalam unitnya sendiri meninggalkan pria gila yang tidak tahu situasi itu begitu saja di tempatnya. Ganaya menjatuhkan dirinya di atas sofa sederhana yang dia beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri dua tahun yang lalu, tepatnya setelah dia menerima gaji pertamanya di perusahaan tempat dia bekerja sekarang. Nafas berat dia hembuskan, berharap beban yang saat ini tengah bergelanyut di pikirannya itu turut terbuang melalui saluran pernafasannya. "Hari ini berat banget sih?" Aya memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Akhir-akhir ini, hidup memang sedang tak semulus biasanya. "Kenapa juga harus besok malem sih?" desahnya dengan panjang. Dia memang menyewa unit apartemennya ini sudah setahun lamanya, dan sudah empat kali dia memperpanjang sewa karena sesuai dengan budget yang dia punya, pun dia sudah betah tinggal di sini. Tapi, bulan ini berbeda rasanya. Mendadak dia terancam akan kehilangan tempat tinggalnya. Ting! Aya menunduk membaca satu notifikasi yang masuk ke ponselnya. Maaf, Mbak Aya. Boleh minta tambahan waktu lagi nggak? Aku belum ada uangnya... Aya menghela nafasnya panjang membaca isi pesan dari seorang rekan kerjanya yang beberapa bulan lalu meminjam uang sebesar satu setengah juta padanya. "Gaada uang tapi jajan mulu," gumamnya lalu memilih untuk tak membalas pesan itu. "Ahhh, gimana coba?" Aya mengacak rambutnya. Dia belum punya uang lagi untuk memperpanjang masa sewa. "Bodo ah. Semoga aja bonus bulan ini cair agak banyak." Aya mengangguk-anggukkan kepalanya mencoba ber-positif thinking. Ting tong! Aya berdecak menatap ke arah pintu. "Siapa sih?" gumamnya malas, meski tak ayal dia pun beranjak dari duduknya. Ceklek. Aya menghela nafasnya kasar melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang. "Apa lagi?" tanyanya dengan malas. Ginan menatapnya dengan tatapan andalannya. Datar. "Gimana? Mau nikah sama gue nggak?" Aya mengerang menahan kekesalannya. "Plis ya, Ginan. Jangan ngajak gue ribut. Dibilang gue lagi nggak mood juga. Sana lo!" Aya sudah hendak menutup pintu kalau saja tangan besar Ginan tidak lebih dulu menahannya. "Tawaran gue nggak akan gue tawarin lagi. Besok. Kalo lo setuju, temuin gue. Jangan nyesel kalo lo menolak kesempatan baik yang ada," katanya membuat Aya memutar bola matanya. "Nggak bakal nyesel gue nolak tawaran gila lo itu," tegasnya lalu menguatkan dorongannya sampai pintu benar-benar tertutup. "Dasar cowok gila." Ginan Darmakusuma. Laki-laki yang pernah menjadi rivalnya pada jaman kuliah dulu. Laki-laki datar dan tidak ramah yang baru dia tahu kalau mereka ternyata tinggal di apartemen yang sama. Seorang Ginan yang kaku dan datar itu tiba-tiba saja mengajaknya menikah? Seriously? Aya ingin tertawa saja rasanya. Teringat bagaimana bisa si Ginan sampai mengajaknya menikah tadi. Flashback beberapa jam yang lalu. "Ayaaaa! Ya ampuuun gue kangen banget!" Aya membalas pelukan Tania-- teman baiknya semasa kuliah yang sudah lama juga tak dia jumpai. "Gue juga kangen. Lo apa kabar?" tanya Aya setelah pelukan mereka terlepas. "Baiiikkk. Lo sendiri apa kabar? Lama banget deh kita nggak ketemu. Tumben banget nggak sibuk dan bisa ngikut reuni? Biasa kalau gue ajak ketemuan aja bilangnya sibuk mulu," sindir Tania dengan sebal membuat Aya hanya mampu menyengir. "Sorry, sorry... yang penting kita jadi ketemu kan sekarang?" Aya terkekeh melihat wajah Tania yang semakin bete saja. "Tan! Ya! Siniii!" Kedua teman baik itu menoleh saat seseorang melambaikan tangan dari arah sebuah meja panjang yang sudah diisi oleh banyak orang itu. Kedanya pun lantas bergerak mendekat, dan Aya langsung disambut oleh teman-teman mereka dari kelas mata kuliah yang sama. Fyi, reuni kali ini adalah reuni yang diselenggarakan oleh kelas mata kuliah Prof. Hendra dari prodi bisnis dan manajemen. "Weii, apa kabar? Apa kabar?" Basa-basi yang dilayangkan oleh satu sama lain, terasa hangat malam itu. Ditambah, ini adalah reuni perdana mereka setelah lulus empat tahun yang lalu. "Jadi lo masih kerja di perusahaan itu?" Aya mengangguk. "Ihh, iri deh gue. Awet banget. Enak ya kalo dapet bos baik begitu." Si lawan bicara Aya nampak mengerucutkan bibirnya. "Kapan ya gue dapet offering letter lagi? Capek tahu nganggur muluu." "Yah, lo nganggur juga nggak nganggur-nggak banget kali, Na. Dari sidejob lo sebagai make up artist udah lumayan tuh, sebulan bisa lebih dari umr sendiri, kan?" timpal Aya, membuat Nana-- kawan lamanya ini meringis. Iya juga sih. "Weh, si ginan ini? Apa kabar lo, Nan?" Aya menolehkan kepalanya secara refleks. Refleks saja ya, ketika nama seseorang yang semasa kuliah dulu selalu menjadi saingannya dalam memperebutkan nilai terbaik. Ginan Darmakusuma. Laki-laki itu terlihat tidak jauh berbeda sih, dari yang terakhir dia lihat. Sedikit bedanya hanya dirinya yang terlihat lebih dewasa saja, juga terlihat emm,, rapih? Aya ingat sekali bagaimana penampilan rivalnya itu. Terlihat cukup urakan dan berantakan. Ya mungkin karena sekarang sudah bekerja. Jadi lelaki itu lebih bisa menata diri. Baguslah. Aya mengalihkan pandangannya lagi, tak tertarik memperhatikan Ginan atau siapapun itu selain yang sedang ada di hadapannya sekarang. Melanjutkan obrolan kecil di antara teman-teman seperjuangannya dulu. Tak lama kemudian, acara reuni perdana kelas mata kuliah Prof. Hendra pun dimulai. Aya yang sedang menikmati acara itu tiba-tiba merasakan getaran dari dalam tasnya yang dia taruh di belakang tubuhnya. "Bentar, ya," bisiknya pada Tania yang duduk di sampingnya, lalu dirinya beranjak untuk menepi ke tempat yang lebih tenang. "Iya, halo, Mbak?" "Ya, laporan bulan lalu kamu yang pegang, ya?" tanya Sasmi, manajernya di kantor tempatnya bekerja. "Iya, Mbak. Ada apa, ya?" "Ini kok ada minus banyak banget? Kamu lupa apa gimana? Terus kenapa ada data uang masuk dari transaksi bulan lalu yang nggak kamu cantumin? Teledor banget sih, Ya!" Aya mengerutkan keningnya. "Maaf, Mbak. Data uang masuk udah aku cantum semua kok. Sesuai sama bukti transaksi yang aku terima," katanya membela diri. "Cantumin semua apa. Ini aku jadi kena omel sama pak damar gara-gara keteledoran kamu!" "Mbak, tapi aku beneran udah--" "Aku nggak mau tahu ya, Ya. Pokoknya aku mau kamu susun ulang laporan keuangannya. Aku tunggu sebelum besok pagi," kata Mbak Sasmi dengan mutlak, sebelum kemudian dia mengakhiri panggilannya begitu saja. Aya mengerang. Apa malam liburnya tidak bisa tenang sedikit saja, ya? Dia pun berbalik, dan saat itu juga dia tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang berdada keras. "Aw! Eh, sorry, sorry. Saya nggak sengaja." Aya mendongak, dan baru dia tahu kalau orang yang dia tabrak ini adalah Ginan Darmakusuma. "Elo. Sorry, gue nggak sengaja." Ginan hanya mengendikkan bahunya, kemudian berlalu begitu saja. Aya mendengus. Tidak ada basa-basinya sama sekali. Dia pun tidak mempedulikannya. Dia segera bergegas menuju kursinya untuk berpamitan. Dia harus pulang secepatnya. "Loh, kemarin lo bilang free. Kok sekarang malah udah mau balik?" tanya Tania dengan tak rela. Aya meringis tak enak hati. "Iya nih, mendadak banget ini soalnya. Sorry banget yah," kata Aya merasa bersalah. Dengan bibir mencebik, akhirnya Tania memeprsilakan Ganaya untuk pulang. Ganaya pun memeluknya sambil terus menggumamkan kata maaf, sebelum kemudian dia pamit dengan teman-temannya yang lain. Sementara di tempat lain, Ginan terlihat menghela nafasnya berat setelah mendapat panggilan dari sang ibu. Dia memijat pangkal hidungnya. Pembahasan yang selalu dibicarakan ibunya itu benar-benar mulai membuat hidupnya terasa berat. Bahkan mood-nya untuk berkumpul bersama yang lainnya pun menjadi hilang. "Lah, lo mau balik juga?" Ginan mengangguk menanggapi pertanyaan Rendra. Ketua mata kuliah Profesor Hendra itu pun akhirnya hanya bisa menghela nafasnya pasrah, tak bisa juga harus menahan Ginan. "Oke kalo gitu. Thanks banget udah nyempetin dateng ya." Ginan mengangguk saja, lalu mengangkat tangannya tanda berpamitan, sebelum akhirnya dia pun pergi dari sana. Di luar, Ginan mengerutkan keningnya melihat satu sosok yang tak asing di matanya. "Ngapain?" Aya menoleh lalu memalingkan wajahnya lagi saat mendapati Ginan berdiri di sampingnya. "Nunggu taksi," jawabnya dengan tak acuh. Ginan membulatkan mulutnya dan tak mengatakan apa-apa lagi. Aya mengeryitkan keningnya, lalu menatap si pria yang masih berdiri di tempatnya itu. "Lo sendiri ngapain?" Ginan hanya mengendikkan bahunya saja tanpa repot-repot bersuara. Hal itu terang saja langsung membuat Aya mendengus dalam hati. Menyesal dia bertanya pada si irit bicara di sampingnya ini. Aya menolehkan kepalanya ke sana-ke mari, berharap drivernya segera tiba. Lagian si Ginan ngapain malah berdiri diam di sampingnya sih? Seperti tidak ada tempat lain saja. "Aya." "Hm." Aya berdeham tanpa repot-repot menolehkan wajahnya. Bahkan rautnya sekarang terlihat sebal. Bisa-bisanya laki-laki itu mengajaknya bicara setelah tadi tak berniat menjawabnya. Menyebalkan sekali. "Nikah yuk, Ya." "Hah?" ***Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya."Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti."Kenapa?""Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu."Takut kenapa?""Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu."Sini.""Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan bes
Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat."Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu."Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya."Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis.Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini."Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis."Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu."Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, set
"Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya." Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar. Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini. "Terima kasih banyak." Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara. "Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini. Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak. "Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis. Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitah
"H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya
Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel
"H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments