Share

Bab 6

Author: adorable.lady
last update Last Updated: 2025-09-11 22:58:26

Nafas hangat Christian menyapu leherku, aroma parfum maskulinnya menguar, membuat bulu kudukku merinding.

“Kau apa?” suaranya rendah, tegas.

Aku berbalik cepat, tubuhku kaku, dadaku sesak.

Christian berdiri di sana, matanya menyipit, dingin, tapi di ujung bibirnya ada senyum kecil—licik, hampir tak terlihat. Aku menahan kemarahan, terjebak lagi oleh pria ini. Wajahnya datar, tanpa rasa bersalah, seperti dia tahu dia memegang kendali penuh.

“Ikut aku,” katanya, suaranya tajam, tangannya menunjuk ke ruangannya. Aku mengikuti, kaki terasa berat, napasku tersengal.

Di ambang pintu, aku berhenti sejenak, jantungku berdetak keras. "Masuk lagi ke sini? Rencana apa lagi yang Christian lakukan?" batinku, takut dan rasa malas bercampur, aroma parfumnya masih menempel di udara, mengingatkanku pada kejadian semalam.

“Duduk,” katanya, sudah di kursi CEO-nya, sedangkan mata Christian tak lepas dariku.

Aku menurut, duduk di depannya, tanganku mengepal, berusaha tenang meski dadaku sesak. Dia melempar proposal, kertas itu mendarat dengan bunyi pelan.

“Rapat memang sesuai jadwal,” katanya, suaranya dingin, “tapi proposalmu salah, Lola.” Matanya menyipit, penuh ejekan halus.

Aku melongo, otakku kacau. Salah? “M-maksudnya apa, Pak?” tanyaku, suaraku serak, tanganku meraih proposal itu. Judulnya, proposal yang aku kerjakan sampai lembur.

Christian menarik kertas itu, menunjuk beberapa bagian. “Versi mentah. Susunan kacau. Data salah. Untungnya aku mengecek ini semalam. Kalau tidak, kau bisa dipermalukan, Lola Sienna.” Suaranya rendah, setiap kata seperti tekanan.

Wajahku panas, malu dan panik bercampur.

Setelah aku lihat—semua yang dikatakan Christian benar.

Tidak bisa membayangkan jika aku membawa hasil proposal ini dalam rapat, bisa-bisa menjadi bahan bakar baru untuk membakarku hidup-hidup.

Aku melirik jam, satu setengah jam lagi rapat dimulai. Mustahil menyelesaikannya dalam waktu sesingkat itu. Jantungku kian berdegup kencang. Meski terasa tak mungkin, namun kata yang keluar dari mulutku adalah:

“Pak, saya perbaiki sekarang,” kataku cepat, suaraku gemetar.

Christian tersenyum miring, dingin tapi menggoda. “Butuh bantuan?” tanyanya, suaranya rendah, matanya mengunci pandanganku hingga nafasku tersendat.

Aku terdiam, bingung. Menerima bantuannya?

Meskipun pria dihadapannya ini mulai masuk dalam daftar orang yang Lola hindari, namun tidak bisa mengusik fakta bahwa tidak ada lagi yang bisa membantunya selain Christian.

Lola bahkan menghabiskan banyak waktu hingga lembur, dan kini melakukan ulang dalam kurun waktu satu setengah jam?

Namun keraguan dan kecurigaan masih menyelimutiku. Christian tidak mungkin membantu cuma-cuma kan?

“Setelahnya... Bapak minta apa?” tanyaku, berusaha sembunyikan panik.

Dia tertawa pelan, serak, matanya tajam. “Kenapa kamu selalu berprasangka buruk padaku, Lola?” katanya, suaranya dingin,

Kenapa? Kau tanya kenapa? Justru heran jika aku tidak berpikiran buruk tentangnya karena kenyataannya—yang dilakukan pria ini lebih banyak hal buruk dibandingkan hal baik.

Oh, jangan lupakan kejadian semalam.

“Kerjakan di sini.” Dia membuka laptopnya, mendorongnya ke samping meja. “Sekarang.”

Aku ngelotot. Di sampingnya?

Aku bangkit untuk mengambil laptop, tapi tangan Christian menahan pergelanganku, hangat, membuat jantungku melonjak. Aku tarik tanganku dengan cepat.

“Laptopnya tetap di sini,” katanya, suaranya tegas. “Tidak boleh dipindahkan.”

“Terus saya ngerjainnya gimana, Pak?” tanyaku, kesal, suaraku bergetar.

“Disini” katanya, menunjuk sisa tempat kosong di sampingnya, suaranya seperti perintah mutlak. “Bawa kursimu dan duduk disini.”

“Pak, bagaimana bisa saya kerja di sebelah Bapak?” protesku, suaraku nyaris putus asa.

“Kenapa tidak?” balasnya, suaranya tajam, penuh ejekan halus. “Apa yang kau takutkan, Lola?” Matanya menatapku, seringaian itu kembali terpatri di wajahnya.

Aku menahan napas, kesal, tapi waktuku menipis.

Akhirnya, terpaksa aku menarik kursi ke sampingnya. Namun tubuhku kaku, masih tidak yakin untuk mengerjakannya disamping Christian.

Sementara pria itu yang melihatku ketakutan, mulai tertawa lagi. Tangannya menepuk kursi disampingnya. Mau tidak mau, aku mulai duduk dan laptop terbuka di depanku.

Tapi kehadiran Christian—sungguh tidak bisa diabaikan. Nafasnya yang pelan, tatapannya sejak awal tidak pernah lepas—membuat jari-jariku gemetar. Aku mengetik, berusaha fokus, meski dadaku sesak, tahu dia sedang menikmati ketidaknyamananku.

“Cepat,” katanya sekali, suaranya rendah, seperti tekanan. Aku mengangguk, jari-jariku bergerak lebih cepat, meski kepalaku pusing.

Lalu sampai dibagian dimana aku lupa cara penyelesaiannya.

Mataku melirik Christian, tapi pria ini malah menatapku balik. Ekspresinya terlihat terhibur dengan kebingunganku, dahiku mengernyit. Bukankah jika proposal ini tidak selesai maka nama baiknya juga akan tercoreng?

Tapi mengapa dia terlihat santai sekali?

“Ekhm!” aku berdehem, kembali menatapnya.

“P-pak! Sepertinya… saya lupa cara penyelesaian bagian ini.” kemudian dengan tidak yakin, aku melanjutkan. “A-apa kau bisa membantuku?”

Matanya menatapku terlihat berbinar, seakan menantikan kalimat ini terucap sejak lama.

“Kau mau aku membantumu?” Christian bertanya balik dengan suaranya yang serak.

Aku mengangguk ragu.

“Seperti yang kau ucapkan diawal, Lola Sienna. Aku menginginkan imbalan.”

Aku terperangah, tidak menyangka bahwa Christian akan mengatakan itu terang-terangan. Keraguan menyelimutiku. Aku sangat membutuhkan bantuan Christian, tapi—aku tidak bisa membuang pikiran buruk tentang pria ini!

Benar-benar mencurigakan, sampai akhirnya dengan satu tarikan nafas aku berkata:

“Pak Christian... saya tidak sedang main-main dan sangat membutuhkan bantuan anda. Bukankah jika proposal ini tidak selesai... maka nama baik Bapak juga akan berimbas? ‘Oh Christian Luciano tidak mendidik karyawannya dengan baik, aku jadi meragukan kerja sama dengannya’. Bagaimana jika orang-orang berpikiran seperti itu? Apa Bapak mau?”

Christian jelas kaget dengan rentetan omonganku barusan. Alisnya berkerut, lalu ia mendengus pelan. Tubuhnya semakin mendekat ke arahku, sampai nafas hangatnya kembali menyapu wajahku.

“Jadi kau mengancamku, Lola?” suaranya pelan, tapi tekanannya membuatku merinding.

Aku buru-buru menggeleng. “Bukan begitu, Pak… saya hanya—”

“Tapi masuk akal.” Senyum miring itu muncul lagi. “Jika kau hancur, maka namaku ikut tercoreng. Menarik.”

Jantungku nyaris copot saat akhirnya ia berkata, “Baiklah. Aku akan membantumu.”

Sedetik aku menghela nafas lega, tapi langsung terhenti ketika Christian menambahkan dengan nada dinginnya:

“Tapi imbalan tetap harus ada.”

Aku menatapnya tak percaya. Jadi… ini tetap bukan pertolongan gratis.

“Bagaimana?” Ia menyipitkan mata, suaranya licin. “Kau setuju?”

Aku menahan kesal. Tanganku mengepal di bawah meja, kuku hampir menusuk telapak. Pria ini… selalu saja.

“Oke,” jawabku akhirnya, suara tertahan. “Tapi... beri tahu aku dulu... apa yang Bapak inginkan.”

Senyum Christian makin lebar, terlihat puas atas keputusasaanku.

“Tidak bisa. Kalau aku memberitahu sekarang, itu tidak menarik lagi.”

Aku mendesah kasar, lalu berusaha membalas dengan tatapan paling berani yang bisa kupasang. “Spoiler?”

Christian sempat terdiam, menatapku seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar keluar dari mulutku. Perkataanku barusan dan aku tahu, aku sudah kelewatan.

Tapi bagaimana lagi? Pria ini sangat mencurigakan sehingga membuatku tidak bisa percaya padanya bahkan dalam waktu satu detik.

Untuk pertama kalinya sejak tadi, dia tergelak kecil. Tawa serak, rendah, nyaris tidak terdengar, tapi cukup membuat udara di ruangan terasa lebih menekan. Matanya menyipit, sorotnya penuh ketidakpercayaan.

“Berani-beraninya kau… menawar denganku, Lola Sienna.”

Tubuhku kaku, jari-jari menggenggam erat di bawah meja. Senyum itu bukan tanda kehangatan, tapi tanda bahwa dia justru makin terhibur oleh keputusasaanku. Ini hal biasa, Christian memang sering menjadikannya bahan lelucon. Dan aku tidak kaget.

Namun di tengah suara tawanya, mataku tidak sengaja melirik sekilas ke luar.

Sebagian besar ruangan ini dilapisi oleh dinding kaca besar yang tak memberi celah untuk bersembunyi. Dari balik kaca, beberapa karyawan menatap lurus, mata mereka bergantian menyorot Christian… dan aku.

Darahku berdesir.

Sial.

Para karyawan sudah berdatangan. Tatapan-tatapan itu menusuk, seolah menelanjangi. Bahkan dengan mataku yang minus, aku masih bisa melihat jelas: semua pandangan di luar tertuju pada kami.

Apalagi dengan posisiku yang sedang duduk disamping Christian dan pria itu yang tertawa terhibur. Memberikan bahan gosip secara cuma-cuma.

Sementara Christian seakan tak peduli. Tawanya mereda, tapi senyumnya masih tersisa.

Sedangkan aku… hanya bisa menunduk. Dalam hati, aku tahu ini akan jadi bahan pembicaraan satu kantor lagi.

Dan kali ini, gosipnya pasti jauh lebih liar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 55

    Musik dari piano kecil di pojok ruangan mengalun lembut, membungkus udara dengan kehangatan yang tenang. Lampu-lampu gantung berwarna kuning keemasan menyoroti permukaan meja yang tertata rapi. Di luar jendela, salju turun perlahan, memantulkan cahaya lampu jalan yang pucat. Restoran itu terasa hangat. Georgio sengaja memilih tempat ini, tempat yang seharusnya bisa mencairkan suasana. Ia tahu, rapat kali ini bukan tentang bisnis semata. Christian datang sedikit terlambat. Matanya menelusuri suasana restoran dan baru menyadari, di ujung ruangan, Lola sudah ada di sana. “Sudah datang rupanya,” gumam Giorgio, suaranya pelan tapi cukup untuk membuat Christian mengalihkan pandangan ke Georgio lalu kembali memusatkan pada Lola. Lola balas menatapnya, bibirnya membentuk senyum kecil. Ia hanya mengangguk, sebelum kembali menunduk, merapikan map berisi berkas-berkas rapat. Mencoba tidak memperdulikan kehadiran Christian. Christian memanggilnya, “Lola.” Lola tidak langsung menoleh.

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 54

    Sesuai yang pernah Christian bayangkan, gadis itu benar-benar datang kepadanya.Lola Sienna, alisnya sempat menyipit ketika mendengar nama itu. Sebagai pria berdarah asli Italia, Christian tentu tidak asing dengan nama Siena, sebuah kota tua di jantung negeri itu. Namun setelah ia perhatikan lebih jauh, sekretaris barunya ini jelas bukan berasal dari sana.Kulitnya sangat pucat, nyaris seperti porselen. Garis wajahnya halus, berbanding terbalik dengan tatapannya yang berusaha terlihat tajam.“Terdapat bisnis tekstil yang telah berdiri puluhan tahun di Kota Siena. Setelah saya selidiki, Lola Sienna merupakan anak dari pemegang Sienna Tekstil sekarang. Hal itu didukung oleh kabar menyeruak bahwa ia berasal dari keluarga berada, sehingga para karyawan mencurigai nya masuk ke perusahaan ini dengan tidak murni.”Setidaknya, hal itulah yang sempat Christian cari tahu tentang sekretarisnya. Bukan hal penting, bukan pula sesuatu yang akan memberinya keuntungan. Tapi setelah itu, ia tidak bisa

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 53

    -Christian- Di hari yang sama. Jam digital di pojok meja menunjukkan pukul 18.30. Gedung sudah sunyi. Lampu koridor hanya menyala setengah. Christian bersandar di kursi, menatap layar laptop yang masih menampilkan rentetan angka dan laporan harian. Matanya terasa panas, pergelangan tangannya kaku, dan pikirannya penuh. Ia menutup berkas terakhir, menekan ujung hidung dengan jari tengah, lalu menghela napas lega. Seperti inilah kehidupan normal seorang Christian Luciano. Ia melepas kacamata, menatap pantulan dirinya di kaca. Dasi longgar, kemeja kusut, bahu tegang. Sesekali, Christian butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Melepaskan kendali sebentar. Dan pria dewasa itu, mulai menarik resleting celananya. Bermain pada ‘miliknya’ di tengah keheningan malam. “Hngh…” Beberapa detik berlalu, suara napas yang mulai berat dan denyut di pelipisnya yang makin kencang. Tapi kemudian— Bruk! “Akh!” Suara keras dari arah pintu memecah kesunyian. Christian tersentak, bah

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 52

    -Christian- Hari pertama. Kala itu, ada pepatah yang mengatakan, “Kehidupan selalu menagih sesuatu sebagai gantinya. Kadang uang, kadang waktu, kadang seseorang.” Begitulah yang terjadi di perusahaan IT nomor satu di negeri Kangguru ini. Banyak yang datang dengan harapan bisa mengabdi lama, namun tak sedikit pula yang hanya ingin mendapatkan ‘gelar’ pernah bekerja di sini. Karena jelas, bekerja di sini sama saja dengan mengubur kehidupanmu, dengan imbalan uang. Dan seperti yang lainnya, kali ini seorang gadis melangkah masuk dengan percaya diri. Rambutnya diikat rapi, senyum lebarnya mengiringi setiap langkah, menyapa para karyawan yang anehnya tak memberikan sambutan hangat. Wajah-wajah lelah, guratan sinis, dan beberapa bahkan sengaja mengacuhkannya. “Ini adalah ruang bos. CEO sekaligus pemilik perusahaan House of Luciano,” ucap seorang wanita dengan name-tag Emma Robert. Melalui perkenalan singkat, gadis itu mengetahui bahwa Emma adalah kepala divisi yang akan me

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 51

    “Kenangan,” ulangnya pelan. “Jadi selama ini… semua yang Anda lakukan pada saya… juga ada hubungan dengannya?” Christian menatapnya singkat, lalu mengalihkan pandangan. “Sebagian, mungkin.” Lola menarik napas pendek, bahunya menegang. “Kalau begitu, saya tidak heran kenapa Bu Esther sempat marah pada saya.” Christian menoleh cepat, tatapannya berubah tajam. “Lola—” “Tapi saya heran,” potong Lola cepat, suaranya meninggi sedikit. “Kalau Anda masih punya urusan yang belum selesai dengannya, kenapa Anda bersikap seperti itu kepada saya?” Pria itu terdiam. “Kenapa Anda membela saya di rapat waktu itu?” lanjut Lola tanpa memberi jeda. “Kenapa Anda peduli setiap kali saya terlambat makan? Kenapa Anda memperlakukan saya seolah-olah saya ini… sesuatu yang penting?” Lola berusaha menahan getar di suaranya. Tapi semakin ia mencoba tenang, semakin kalimatnya terdengar rapuh. “Kalau memang hubungan Anda dengan Bu Esther belum selesai, Bapak tidak seharusnya melakukan itu semu

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 50

    Entah mantra apa yang baru saja diucapkan Christian, tapi tubuhnya seakan membeku. Tangannya tak mampu mendorong, kakinya tak sanggup mundur. Lola hanya berdiri di sana, terperangkap di antara tubuh Christian dan meja di belakangnya. “Jadi sekarang, Anda memperluas wilayah kekuasaan Anda, ya? Dari kantor... ke rumah saya juga?” Tatapan Christian tak bergeming. Hanya ada senyum samar di sudut bibirnya, seperti pria itu menikmati setiap helaan napas yang tertahan di antara mereka. Di kantor, Lola tahu betul rasanya hidup di bawah pengawasan Christian. Setiap langkah, setiap file yang ia buka, setiap keputusan kecil, selalu terasa seperti ada mata yang mengamati. Tapi di sini... di rumahnya sendiri... seharusnya Lola bisa bernapas. Namun nyatanya, tidak segampang itu. Ia ingin melawan, ingin mendorong Christian menjauh, atau menegaskan bahwa ini rumahnya, ruang pribadinya. Tapi tubuhnya seakan tak lagi berpihak. Semua keberanian itu terkubur oleh sesuatu yang bahkan tak ia paha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status