Christian berbalik pelan, dengan ekspresi terkejut yang cepat berubah jadi senyum licik—senyum yang sama seperti tadi, penuh rahasia dan kegembiraan.
“Mengantarkan saya pulang sekarang? Setelah ancaman sebarkan video tadi?” Suaranya menggoda, rendah dan serak, tapi dia mengangguk cepat tanpa ragu. “Baiklah, Lola. Aku terima. Kau yang pegang kemudi malam ini.” Dia melemparkan kunci mobil ke tanganku, jarinya sengaja menyentuh telapakku lebih lama dari yang perlu, membuat listrik kecil menyambar kulitku. “Tidak! Pakai mobil saya saja, kalau pakai mobil anda, bagaimana dengan mobil saya yang tertinggal disini?” kataku. Lalu melanjutkan. “K-kalau Pak Christian—saya yakin anda memiliki mobil lain.” Aku menggigit bibir bawah, merasa seperti baru saja melompat ke lubang yang lebih dalam lagi. Ini ide buruk, bisik pikiranku. Tapi setidaknya, ini lebih baik daripada membiarkan bom waktu itu meledak sendirian di jalan raya. Malam ini, aku yang pegang kendali—setidaknya untuk sementara. Dia tersenyum, lalu menurut. Mengikutiku masuk ke mobil yang tak jauh dari miliknya. Porsche Panamera—berwarna putih. Christian sempat bergeming, lalu menatapku dan tersenyum. Aku mengernyitkan dahi, apa maksudnya? Kami masuk bersama kedalam mobil, dia sempat kembali melirikku, sampai akhirnya suaraku pecah. “Ada apa, Pak?” kataku. Christian melirikku lagi, lalu menganggukkan kepala pelan, seolah sedang mengonfirmasi sesuatu dalam benaknya. “Sekarang aku tahu—mengapa mereka sangat tertarik pada kehidupanmu.” Kata-katanya rendah, serak karena alkohol, tapi tajam seperti pisau bedah. Aku terdiam sejenak, nafasku tersendat. Lalu paham. Apa maksudnya. Apa yang lelaki ini maksud—menyindir latar belakangku yang selalu jadi bahan gosip di kantor. “Bahkan lebih dari itu—jika anda tahu.” balasku. Karyawan kantor ini mengulitiku lebih dari yang Christian tahu. Bukan hanya sekedar latar belakangku yang menurut mereka tidak pantas ikut turut berkerja, yang mungkin mereka pikir aku cukup duduk manis dirumah mewah dan membiarkan kedua orang tuaku bekerja, sementara aku menghabiskan uang mereka. Pikiran dangkal dan penuh dengki. Rumor kedekatannya dengan Christian pun dibesar-besarkan. Padahal aku hanya bekerja sewajarnya, namun memang, awalnya racun tidak akan berubah meskipun diberikan penawar. Sementara Christian—pria itu tertawa, membuat bau alkohol semakin menyerbak. Aku menyalakan mesin, getaran halus Porsche meraung seperti bisikan kekuasaan, dan langsung bertanya untuk memotong suasana yang semakin tebal ini. “Alamat rumah anda dimana, Pak?” “Rumahku? Aku pikir kau mengajakku ke rumahmu,” katanya dengan enteng, suaranya penuh nada menggoda yang membuat pipiku panas. Matanya berbinar di bawah lampu dashboard yang redup, seperti serigala yang baru saja mencium darah. Aku berdecak—pria ini—tidak pernah lepas dari pikiran mesumnya. Bahkan setelah setengah kesadarannya direnggut alkohol pun justru semakin liar. Tak heran, tak heran jika malam itu, Christian bisa melakukan hal ‘itu’ dikantor. Sekarang semuanya jelas. Kemudian mobilku berjalan setelah pria itu akhirnya menyebutkan alamat rumahnya. Sengaja aku melaju dengan cukup cepat, karena suasana mobil yang membuatku tak bisa tenang. Christian—sejak awal tidak melepaskan pandangannya padaku. “Tch.” Aku berdecak pelan, namun lagi-lagi pria itu membalasnya dengan tawa. Hingga perlahan mobilku menepi di rumah mewah kediaman Christian. Seorang sekuriti membukakan pagar rumah, agar mobilku bisa masuk. Setelahnya mesin mati. Aku menatapnya yang kini juga masih menatapku. “Sudah sampai.” kataku. Tapi pria ini tak bergerak. Masih berduduk santai. Geram, kemudian suaraku kembali. “Pak—ini sudah malam, aku juga harus istirahat. Besok aku harus masuk seperti biasa dan kalau sampai tidurku berkurang dan sampai telat datang ke kantor, karyawanmu akan semakin membicarakanku dan juga pasti menyangkut pautkan diriku padamu.” Kata-kataku mengalir deras, penuh frustrasi yang terpendam, bayangan gosip kantor melintas di pikiranku. Namun sebelum benar-benar mengakhirkan, aku menambahkan cepat, suaraku tajam seperti cambuk. “Dan jangan tertawa.” Itu membuat Christian mengatupkan bibirnya kembali, yang baru saja hendak melengkung jadi tawa lagi—ekspresinya berubah jadi serius pura-pura, tapi matanya masih berbinar nakal, seperti kucing yang baru saja dicuri ikannya tapi tetap puas. Pria ini sudah tak waras, pikirku. Jika dikantor, dia akan datang tanpa senyuman dan tatapan tajam yang tak pernah hilang dari wajahnya. Membuat seisi kantor ketakutan. Termasuk Lola—awalnya. Tapi sekarang, semua yang aku lakukan ia balas dengan tawa yang kini membuatku merasa jengkel. Karena pria ini terlihat seperti tidak ada niat keluar dari mobilku. Aku keluar dan mengitari untuk membukakan pintunya. “Sudah, kan? Apa perlu aku juga yang membukakan seatbelt anda, Pak?” kataku. Sampai sekuriti di pos gerbang tadi menatapku terkejut, matanya melebar di balik kaca jendela kecil—aku lupa masih ada dia di sana. Maka aku menundukkan kepala, malu panas menyengat wajahku seperti tamparan. Sementara Christian—tertawa lagi. Tapi syukurnya, kali ini ia mau keluar dari mobilku yang kini dipenuhi bau alkohol. Tanpa menunggunya mengatakan hal aneh lain—atau lebih buruk, mengundangku masuk—aku langsung beranjak, melompat kembali ke kursi pengemudi dan memasuki mobil hingga menjauh dari pekarangan rumah Christian yang megah itu. “Huftt..” Akibatnya, aku baru sampai dirumah saat larut malam, hampir berganti hari. Terlalu telah, bahkan aku belum berganti pakaian, namun rasa kantuk yang menyerangku membuatku tertidur saat itu juga. *** Hari berganti. Matahari belum menunjukkan sinarnya. Namun, Drttt… Drttt… Drttt… Bunyi telepon membuatku terbangun. Dengan mata yang masih berat, tanganku merogoh-rogoh mencari ponselku yang berdering. “Aish!” Tanpa mengecek kembali siapa yang menelponku, dengan acak aku menekan tombol terima. Lalu setelahnya, satu suara—yang sangat aku kenal, serak dan mendominasi—membuatku terperanjat bangun, duduk tegak dengan jantung berdegup kencang “Rapat.” Itu adalah suara Christian. Aku terus mengingat-ingat daftar rapat hari ini di kepalaku yang pusing, tapi tidak mendapati jadwal rapat sepagi ini—tidak ada email, tidak ada reminder di kalender. Sialan. Apalagi yang pria itu rencanakan? Ini pasti permainan barunya, setelah malam kemarin yang sudah cukup bikin gila. Maka dengan mata yang masih membengkak karena kekurangan tidur, aku mencuci muka dan mengikat asal rambutku agar cepat selesai. Makeup. Baju. Rambut. Telah selesai. Kemudian aku melaju cepat menuju kantor. Dengan terengah-engah aku berlari, tidak akan aku berikan kesempatan para racun itu mendapatkan bahan untuk menggossipiku. Lalu, sesampainya di lantai kerja. Mataku mengerjap. Nafasku masih terengah. Dan—kantor kosong. Bahkan aku tidak bisa menemukan Christian disana. Tanganku teralih mencari namanya di ponsel. Tuk. “Ada apa?” suara itu terdengar di seberang, tenang dan santai, seolah dia sedang minum kopi pagi, bukan menelepon jam subuh. Aku menggeretakkan gigi. “Rapat… aku sudah sampai di kantor…” kataku masih menahan amarah yang membuncah. Lalu Christian tidak langsung menjawab, terdengar kekehan sebelum akhirnya terdengar. “Bukan sekarang. Maksudku… hari ini ada rapat. Aku hanya mengingatkan.” Mengingatkan. Mengingatkan katanya? Tidak tahukah dia bahwa Lola sejak tadi mencari-cari jadwal rapat yang mungkin terlewat dari nya? Atau juga berfikir ada rapat dadakan yang dijadwalkan. Namun, hanya mengingatkan katanya? “Kau…” Aku mengepalkan tangan, rasa lelah di tubuhku hilang begitu saja, diganti ledakan kemarahan yang siap meledak. Tapi setelahnya, terdengar suara berat dari balik punggungku—suara yang sama persis dengan di telepon, dekat dan nyata, napas hangatnya menyapu leherku seperti hembusan angin panas. “Kau apa?” katanya, suaranya rendah dan menggoda, tangannya mungkin sudah dekat, membuat bulu kudukku merinding. Aku membeku, jantung berhenti sejenak—dia di sini?Nafas hangat Christian menyapu leherku, aroma parfum maskulinnya menguar, membuat bulu kudukku merinding. “Kau apa?” suaranya rendah, tegas.Aku berbalik cepat, tubuhku kaku, dadaku sesak. Christian berdiri di sana, matanya menyipit, dingin, tapi di ujung bibirnya ada senyum kecil—licik, hampir tak terlihat. Aku menahan kemarahan, terjebak lagi oleh pria ini. Wajahnya datar, tanpa rasa bersalah, seperti dia tahu dia memegang kendali penuh.“Ikut aku,” katanya, suaranya tajam, tangannya menunjuk ke ruangannya. Aku mengikuti, kaki terasa berat, napasku tersengal. Di ambang pintu, aku berhenti sejenak, jantungku berdetak keras. "Masuk lagi ke sini? Rencana apa lagi yang Christian lakukan?" batinku, takut dan rasa malas bercampur, aroma parfumnya masih menempel di udara, mengingatkanku pada kejadian semalam.“Duduk,” katanya, sudah di kursi CEO-nya, sedangkan mata Christian tak lepas dariku. Aku menurut, duduk di depannya, tanganku mengepal, berusaha tenang meski dadaku sesak. Dia mel
Christian berbalik pelan, dengan ekspresi terkejut yang cepat berubah jadi senyum licik—senyum yang sama seperti tadi, penuh rahasia dan kegembiraan. “Mengantarkan saya pulang sekarang? Setelah ancaman sebarkan video tadi?” Suaranya menggoda, rendah dan serak, tapi dia mengangguk cepat tanpa ragu. “Baiklah, Lola. Aku terima. Kau yang pegang kemudi malam ini.” Dia melemparkan kunci mobil ke tanganku, jarinya sengaja menyentuh telapakku lebih lama dari yang perlu, membuat listrik kecil menyambar kulitku. “Tidak! Pakai mobil saya saja, kalau pakai mobil anda, bagaimana dengan mobil saya yang tertinggal disini?” kataku. Lalu melanjutkan. “K-kalau Pak Christian—saya yakin anda memiliki mobil lain.” Aku menggigit bibir bawah, merasa seperti baru saja melompat ke lubang yang lebih dalam lagi. Ini ide buruk, bisik pikiranku. Tapi setidaknya, ini lebih baik daripada membiarkan bom waktu itu meledak sendirian di jalan raya. Malam ini, aku yang pegang kendali—setidaknya untuk sementara.
“Memangnya apalagi yang mau diperjelas, Pak?”Aku mengerjap, lalu mataku terpaku pada Christian yang jaraknya semakin dekat padaku. Pria itu menatapku tajam, matanya seperti pisau yang siap mengiris lapisan pertahananku, sengaja mendominasi ruang ini, mendominasiku.Jengah akan percakapan yang tak kunjung usai, aku menghela nafas kemudian mengatakan,“Pak—entah harus berapa kali saya mengatakan pada bapak kalau—kalau saya tidak akan menyebarkan kejadian itu sama sekali, apakah bapak masih tidak percaya pada saya?”Suaraku keluar lebih gemetar dari yang kuinginkan, tapi aku tak peduli lagi.Christian menatapku dalam-dalam, dan tiba-tiba senyum licik itu muncul di ujung bibirnya—senyum yang membuat bulu kuduk merinding.“Entahlah… apa kau ada saran? Tentang apa yang harus aku lakukan padamu.”Aku mendesah pelan, tubuhku sudah sangat lelah, tolong, namun pria ini sepertinya masih ingin bermain-main.“Saya tidak tahu pak.” ucapku akhirnya, suaraku hampir putus asa. Dan sialnya, itu justru
“Saya anggap kamu paham dengan kejadian semalam.”Masih dalam lift, jantungku masih belum tenang. Lagi lagi peringatan bos ini membuatku jengah, aku mulai berbicara.“Pak, dengan rasa hormat sepertinya membahas hal semalam disini agak gak masuk akal, Pak.” katanya mengalihkan dirinya.“Jaga-jaga aja beberapa pegawai salah mendengar yang bapak maksud.”Kali ini dia menang.“Untungnya saya gak laporin bapak ke HR. Kalau saya diam sih rahasia bapak aman ya. Kalau bapak terus mengingatkan hal yang seharusnya saya lupakan. Ya bukan salah bapak semuanya sih, saya juga yang salah lewat.” ujarnya panjang lebar. Ngomong ngomong, liftnya kenapa melambat?“Cukup, Lola.”Lola mematung. Mengerjap kecil.“Kalau kamu mau sebarkan ke pegawai lain silahkan, kasih tau mereka apa yang kamu lihat semalam.”“Nggak! Gak– Pak! Lagian bapak juga yang terus terus ingetin saya untuk diem. Saya diem lho!” imbuhnyaDaripada melihat bosnya menekuk muka, justru Lola lebih takut saat dirinya kini tersenyum. “Ya.”
“Hal paling berbahaya dari kantor bukanlah kerja lembur. Tapi gosip.”Itu yang aku pelajari di minggu pertamaku bekerja. Dan pagi ini, gosip sudah terdengar lebih keras dari mesin fotokopi.“Aku dengar, dia cuma seminggu menikah, habis itu langsung cerai.” “Ya ampun, secepat itu? Gilanya…” “Makanya, siapa yang berani jadi istrinya lagi? Kayak hidup sama es batu.”Aku berdiri di pojokan pantry, pura-pura sibuk menuang air ke gelas. Kupikir kupingku sudah kebal sama bisik-bisik kantor, tapi kali ini setiap kata yang menyebut nama Christian Luciano menancap lebih keras.Karena aku baru saja melihat sesuatu yang… bukan gosip.Apanya dingin?Aku masih bisa merinding sampai ke ujung-ujung jari.Saat makan siang, aku berniat mencari makan dengan turun ke bawah.“Astaga, Lola, kamu pucat banget. Nggak sarapan ya?” suara Bu Emma mengagetkanku.Aku buru-buru tersenyum. “Hehe… iya, Bu. Kayaknya cuma butuh kopi.”Dia mengangkat alis, lalu kembali ngobrol dengan staf lain. Aku menarik napas, ber
Aku benci Senin. Tapi lebih aku benci kenyataan bahwa Senin pertamaku sebagai sekretaris justru membuatku menyaksikan sesuatu yang tak boleh terlihat dari CEO di kantorku.Namaku Lola Sienna. Fresh graduate. Baru sebulan lalu wisuda, dan sekarang sudah harus duduk di kursi sekretaris seorang Christian Luciano. Yes, the Christian.Pria yang hidupnya penuh gosip. Konon pernah menikah, lalu cerai cuma seminggu setelah akad. Orang-orang bilang dia gila. Orang-orang juga bilang dia terlalu perfeksionis, terlalu dingin, dan… terlalu banyak misteri.Aku sih nggak peduli. Selama gajiku lancar, biar saja dia punya seribu rumor.“Lola, tolong ketik ulang proposal ini. Jangan pulang sebelum selesai.”Suara Bu Emma, senior di divisi, membuat bahuku turun drastis.“Baik, Bu,” jawabku pelan. Dalam hatiku, oh selamat tinggal mimpi pulang sebelum malam.Jam dinding menunjukkan pukul 18.30. Lantai kantor sudah sepi. Lampu koridor hanya menyisakan separuh cahaya. Sementara aku masih terjebak dengan hur