Share

Bab 5

Author: adorable.lady
last update Last Updated: 2025-09-09 14:53:36

Christian berbalik pelan, dengan ekspresi terkejut yang cepat berubah jadi senyum licik—senyum yang sama seperti tadi, penuh rahasia dan kegembiraan.

“Mengantarkan saya pulang sekarang? Setelah ancaman sebarkan video tadi?” Suaranya menggoda, rendah dan serak, tapi dia mengangguk cepat tanpa ragu.

“Baiklah, Lola. Aku terima. Kau yang pegang kemudi malam ini.” Dia melemparkan kunci mobil ke tanganku, jarinya sengaja menyentuh telapakku lebih lama dari yang perlu, membuat listrik kecil menyambar kulitku.

“Tidak! Pakai mobil saya saja, kalau pakai mobil anda, bagaimana dengan mobil saya yang tertinggal disini?” kataku. Lalu melanjutkan. “K-kalau Pak Christian... saya yakin anda memiliki mobil lain.”

Aku menggigit bibir bawah, merasa seperti baru saja melompat ke lubang yang lebih dalam lagi.

Ini ide buruk, bisik pikiranku. Tapi setidaknya, ini lebih baik daripada membiarkan bom waktu itu meledak sendirian di jalan raya. Malam ini, aku yang pegang kendali—setidaknya untuk sementara.

Dia tersenyum, lalu menurut. Mengikutiku masuk ke mobil yang tak jauh dari miliknya.

Porsche Panamera—berwarna putih.

Christian sempat bergeming, lalu menatapku dan tersenyum.

Aku mengernyitkan dahi, apa maksudnya?

Kami masuk bersama kedalam mobil, dia sempat kembali melirikku, sampai akhirnya suaraku pecah.

“Ada apa, Pak?” kataku.

Christian melirikku lagi, lalu menganggukkan kepala pelan, seolah sedang mengonfirmasi sesuatu dalam benaknya.

“Sekarang aku tahu... mengapa mereka sangat tertarik pada kehidupanmu.”

Kata-katanya rendah, serak karena alkohol, tapi tajam seperti pisau bedah.

Aku terdiam sejenak, nafasku tersendat. Lalu paham. Apa maksudnya. Apa yang lelaki ini maksud—menyindir latar belakangku yang selalu jadi bahan gosip di kantor.

“Bahkan lebih dari itu... jika anda tahu.” balasku.

Karyawan kantor ini mengulitiku lebih dari yang Christian tahu.

Bukan hanya sekedar latar belakangku yang menurut mereka tidak pantas ikut turut berkerja, yang mungkin mereka pikir aku cukup duduk manis dirumah mewah dan membiarkan kedua orang tuaku bekerja, sementara aku menghabiskan uang mereka.

Pikiran dangkal dan penuh dengki.

Rumor kedekatannya dengan Christian pun dibesar-besarkan. Padahal aku hanya bekerja sewajarnya, namun memang, awalnya racun tidak akan berubah meskipun diberikan penawar.

Sementara Christian—pria itu tertawa, membuat bau alkohol semakin menyerbak.

Aku menyalakan mesin, getaran halus Porsche meraung seperti bisikan kekuasaan, dan langsung bertanya untuk memotong suasana yang semakin tebal ini.

“Alamat rumah anda dimana, Pak?”

“Rumahku? Aku pikir kau mengajakku ke rumahmu,” katanya dengan enteng, suaranya penuh nada menggoda yang membuat pipiku panas. Matanya berbinar di bawah lampu dashboard yang redup, seperti serigala yang baru saja mencium darah.

Aku berdecak—pria ini—tidak pernah lepas dari pikiran mesumnya.

Bahkan setelah setengah kesadarannya direnggut alkohol pun justru semakin liar.

Tak heran, tak heran jika malam itu, Christian bisa melakukan hal ‘itu’ dikantor. Sekarang semuanya jelas.

Kemudian mobilku berjalan setelah pria itu akhirnya menyebutkan alamat rumahnya. Sengaja aku melaju dengan cukup cepat, karena suasana mobil yang membuatku tak bisa tenang.

Christian—sejak awal tidak melepaskan pandangannya padaku.

“Tch.” Aku berdecak pelan, namun lagi-lagi pria itu membalasnya dengan tawa.

Hingga perlahan mobilku menepi di rumah mewah kediaman Christian.

Seorang sekuriti membukakan pagar rumah, agar mobilku bisa masuk. Setelahnya mesin mati. Aku menatapnya yang kini juga masih menatapku.

“Sudah sampai.” kataku. Tapi pria ini tak bergerak. Masih berduduk santai.

Geram, kemudian suaraku kembali.

“Pak... ini sudah malam, aku juga harus istirahat. Besok aku harus masuk seperti biasa dan kalau sampai tidurku berkurang dan sampai telat datang ke kantor, karyawanmu akan semakin membicarakanku dan juga pasti menyangkut pautkan diriku padamu.”

Kata-kataku mengalir deras, penuh frustrasi yang terpendam, bayangan gosip kantor melintas di pikiranku.

Namun sebelum benar-benar mengakhirkan, aku menambahkan cepat, suaraku tajam seperti cambuk.

“Dan jangan tertawa.”

Itu membuat Christian mengatupkan bibirnya kembali, yang baru saja hendak melengkung jadi tawa lagi—ekspresinya berubah jadi serius pura-pura, tapi matanya masih berbinar nakal, seperti kucing yang baru saja dicuri ikannya tapi tetap puas.

Pria ini sudah tak waras, pikirku.

Jika dikantor, dia akan datang tanpa senyuman dan tatapan tajam yang tak pernah hilang dari wajahnya. Membuat seisi kantor ketakutan. Termasuk Lola—awalnya.

Tapi sekarang, semua yang aku lakukan ia balas dengan tawa yang kini membuatku merasa jengkel.

Karena pria ini terlihat seperti tidak ada niat keluar dari mobilku. Aku keluar dan mengitari untuk membukakan pintunya.

“Sudah, kan? Apa perlu aku juga yang membukakan seatbelt anda, Pak?” kataku.

Sampai sekuriti di pos gerbang tadi menatapku terkejut, matanya melebar di balik kaca jendela kecil—aku lupa masih ada dia di sana. Maka aku menundukkan kepala, malu panas menyengat wajahku seperti tamparan.

Sementara Christian—tertawa lagi. Tapi syukurnya, kali ini ia mau keluar dari mobilku yang kini dipenuhi bau alkohol.

Tanpa menunggunya mengatakan hal aneh lain—atau lebih buruk, mengundangku masuk—aku langsung beranjak, melompat kembali ke kursi pengemudi dan memasuki mobil hingga menjauh dari pekarangan rumah Christian yang megah itu.

“Huftt..”

Akibatnya, aku baru sampai dirumah saat larut malam, hampir berganti hari.

Terlalu telah, bahkan aku belum berganti pakaian, namun rasa kantuk yang menyerangku membuatku tertidur saat itu juga.

***

Hari berganti. Matahari belum menunjukkan sinarnya. Namun,

Drttt… Drttt… Drttt…

Bunyi telepon membuatku terbangun.

Dengan mata yang masih berat, tanganku merogoh-rogoh mencari ponselku yang berdering.

“Aish!”

Tanpa mengecek kembali siapa yang menelponku, dengan acak aku menekan tombol terima.

Lalu setelahnya, satu suara—yang sangat aku kenal, serak dan mendominasi—membuatku terperanjat bangun, duduk tegak dengan jantung berdegup kencang

“Rapat.”

Itu adalah suara Christian.

Aku terus mengingat-ingat daftar rapat hari ini di kepalaku yang pusing, tapi tidak mendapati jadwal rapat sepagi ini—tidak ada email, tidak ada reminder di kalender.

Sialan.

Apalagi yang pria itu rencanakan? Ini pasti permainan barunya, setelah malam kemarin yang sudah cukup bikin gila.

Maka dengan mata yang masih membengkak karena kekurangan tidur, aku mencuci muka dan mengikat asal rambutku agar cepat selesai.

Makeup. Baju. Rambut. Telah selesai.

Kemudian aku melaju cepat menuju kantor.

Dengan terengah-engah aku berlari, tidak akan aku berikan kesempatan para racun itu mendapatkan bahan untuk menggossipiku.

Lalu, sesampainya di lantai kerja. Mataku mengerjap. Nafasku masih terengah. Dan—kantor kosong. Bahkan aku tidak bisa menemukan Christian disana.

Tanganku teralih mencari namanya di ponsel.

Tuk.

“Ada apa?” suara itu terdengar di seberang, tenang dan santai, seolah dia sedang minum kopi pagi, bukan menelepon jam subuh.

Aku menggeretakkan gigi.

“Rapat… aku sudah sampai di kantor…” kataku masih menahan amarah yang membuncah.

Lalu Christian tidak langsung menjawab, terdengar kekehan sebelum akhirnya terdengar.

“Bukan sekarang. Maksudku… hari ini ada rapat. Aku hanya mengingatkan.”

Mengingatkan.

Mengingatkan katanya?

Tidak tahukah dia bahwa Lola sejak tadi mencari-cari jadwal rapat yang mungkin terlewat dari nya? Atau juga berfikir ada rapat dadakan yang dijadwalkan.

Namun, hanya mengingatkan katanya?

“Kau…”

Aku mengepalkan tangan, rasa lelah di tubuhku hilang begitu saja, diganti ledakan kemarahan yang siap meledak.

Tapi setelahnya, terdengar suara berat dari balik punggungku—suara yang sama persis dengan di telepon, dekat dan nyata, napas hangatnya menyapu leherku seperti hembusan angin panas.

“Kau apa?” katanya, suaranya rendah dan menggoda, tangannya mungkin sudah dekat, membuat bulu kudukku merinding.

Aku membeku, jantung berhenti sejenak—dia di sini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 85

    Lola terdiam.Christian menatapnya, tidak dengan maksud lain—hanya memohon tempat untuk bernafas.Lola tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.Dan untuk pertama kalinya, sejak perjalanan itu dimulai, keduanya duduk berdampingan dalam diam yang tidak menyakitkan.Lola menyandarkan kepalanya di bahu Christian, sementara pria itu memejamkan mata.Tidak ada kata cinta di antara mereka malam itu, tapi ada sesuatu yang lebih jujur dari cinta—keberanian untuk berhenti berpura-pura kuat.Dan ketika lampu apartemen dimatikan, hanya cahaya kota yang masuk lewat tirai, Christian membuka matanya pelan, menatap wajah Lola yang tertidur di bahunya.Ia menelusuri garis wajah itu, lalu berbisik lirih, seperti pada dirinya sendiri.“Seandainya kau tahu, Lola... apa yang sebenarnya terjadi malam ini.”Wajahnya suram, tapi ada keputusan di matanya.Ia tahu, begitu matahari terbit nanti, semuanya akan berubah lagi.Tapi untuk sekarang, hanya malam ini, ia izinkan dirinya untuk beristirahat di dunia kecil

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 84

    Hujan tidak turun malam itu, tapi udara terasa lembap, seperti kota baru saja selesai menangis.Di kamar apartemen kecil itu, Lola sudah terlelap di atas kasurnya. Rambutnya terurai berantakan di atas bantal, napasnya teratur, sesekali bibirnya bergerak kecil, mungkin sedang bermimpi, mungkin hanya sekadar bergumam.Ia baru saja menutup matanya kurang dari satu jam lalu. Matanya bengkak karena kelelahan, bukan karena tangis, meski keduanya terasa sama di tubuh yang nyaris tumbang itu.Tapi kemudian suara itu datang.Suara bel apartement nya.Lola menggeliat pelan, mengerang, mencoba mengabaikan. Ia menyelipkan kepalanya ke balik bantal, berharap suara itu hanyalah bagian dari mimpi. Tapi kemudian disusul bunyi bel pintu.Sekali. Dua kali. Panik, mendesak.Ia membuka mata, mendengus kesal. “Tengah malam begini...” gumamnya serak, bangkit setengah malas dari ranjang.Matanya masih setengah tertutup ketika ia menyeret langkah ke arah pintu, masih memakai kaus tipis dan celana tidur panja

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 83

    Esther berdiri terpaku, menatapnya dengan pandangan tak percaya, lalu tiba-tiba ia tertawa mengejek. “Jadi sekarang kau membawa perempuan murahan itu ke dalam pembicaraan keluarga ini? Yang kedua, setelah aku?” katanya dingin. “Kau benar-benar kehilangan akal sehat, Christian.”Kata itu, 'murahan', membuat rahang Christian mengeras. Pria itu bahkan mengepalkan tangannya, mencoba meredam emosi yang semakin menggila. Ia menatap Esther perlahan, pandangannya naik dari ujung sepatu hingga ke mata wanita itu. Dan untuk pertama kalinya sejak perceraian mereka, rahangnya benar-benar mengeras.“Jaga bicaramu.” Suaranya pelan, tapi berat. Terlalu tenang untuk disebut ancaman, tapi cukup membuat udara di sekitar mereka menegang.Esther mengangkat dagu, tak gentar. “Kau marah karena aku mengatakan yang sebenarnya?”“Tidak,” jawab Christian cepat. “Aku marah karena kau dengan mudah meludahi nama orang lain, hanya karena kau ingin terlihat lebih tinggi dariku.” Nadanya kini naik setengah oktaf.I

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 82

    Di sisi ruangan, lilin-lilin panjang menyala tenang, melemparkan cahaya keemasan yang bergetar di wajah tiga orang yang membisu di sana.Tuan Luciano menatap anaknya yang berdiri tegak di hadapannya. Tatapan itu seperti ujung pisau: dingin, presisi, dan berlapis kebencian yang tak terucap.Lalu ia membuka suara pelan, nyaris seperti gumaman:“Jangan pernah kau tadahkan kepalamu, sampai kau memastikan benar-benar bisa hidup tanpa bantuanku.”Christian tidak bergeming. Tatapan matanya menusuk lurus ke arah ayahnya.Kemudian, ia tersenyum tipis, senyum yang bukan untuk ramah, melainkan untuk menyembunyikan rasa muak yang sudah menahun.“Aku bisa hidup dengan kakiku sendiri sejak lama, Ayah,” ucapnya datar.“Hanya saja, setiap aku berhasil melaluinya sendiri, kau selalu memberikanku masalah lain dengan sengaja. Dengan begitu, usahaku akan tertutup, dan kau akan datang seperti pahlawan dalam kehidupanku. Selalu begitu.”Kata-kata itu jatuh seperti pecahan kaca.Nyonya Maria Luciano pucat.

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 81

    Lola duduk di kursi belakang mobil, menatap kosong ke luar jendela. Cahaya lampu jalan berganti satu per satu di wajahnya, menciptakan bayangan samar di pipinya yang basah oleh cahaya. Mobil melaju tenang di jalanan kota yang belum sepenuhnya terjaga.Ia masih bisa mendengar suara Christian sebelum pria itu menjauh.“Antarkan dia pulang. Pastikan dia sampai dengan selamat.”Hanya itu. Tanpa menoleh, tanpa melihatnya sedikit pun. Lalu langkah Christian menghilang, digantikan suara sepatu pria itu yang perlahan menjauh.Lola menunduk. Tangannya menutup wajah, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan gemetar. Ia menepuk-nepuk pipinya pelan, mencoba menahan rasa panas yang tiba-tiba menggenang di mata.Ingin menangis, tapi tidak bisa.Kenyataan memang tidak sesederhana itu, pikirnya. Hanya karena seseorang mencintaimu, bukan berarti segalanya bisa berjalan mudah. Cinta tidak serta-merta memindahkan gunung yang berdiri di antara kalian.Dan begitulah kehidupan, selalu mengingatka

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 80

    Christian masih berdiri di tempat, bahunya naik-turun menahan emosi yang belum surut. Lola menatapnya lekat, menunggu penjelasan yang tak kunjung datang. Lalu akhirnya, suaranya pecah juga.“Sebenarnya apa maksudmu, Christian?” tanyanya tajam. “Kenapa kau bersikap seperti itu tadi?”Christian tak langsung menjawab. Ia menatap jauh, menelan napas berat, tapi diamnya justru membuat Lola semakin tersulut.“Memangnya aku terlihat seperti apa?” lanjut Lola, nadanya meninggi. “Apa kau takut aku melakukan sesuatu dengan Matthew? Apa tidak ada kepercayaanmu padaku?”Christian menatapnya tajam. “Aku tidak bilang begitu.”“Tidak bilang?” Lola tertawa sinis, tapi suaranya bergetar. “Tapi sikapmu jelas menunjukkan itu, Christian. Kau menuduhku seolah aku sengaja pergi dengannya. Seolah aku—” ia berhenti, menahan napas, “seolah aku tidak bisa dipercaya.”Christian mendekat, nada suaranya berat. “Lola, aku tidak menuduh. Aku hanya... khawatir. Kau tidak tahu apa yang terjadi di antara kami bertiga.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status