Share

2. Jadi istri keempat. Mau gak?

Lelah rasanya. Adu mulut terjadi antara aku dan juga kedua istri dari Mas Jaka. Mereka berdua mengatai aku yang tidak tidak. Mulai dari janda gatel, sampai janda kurang belaian. Kurang kerjaan. Padahal, mereka pasti malu tuh, mengakui aku sebagai seorang janda idaman. Buktinya, suami mereka terpikat dengan pesonaku.

Bukan salahku bukan, jika aku menjadi seorang yang di idamkan sebagai seorang wanita?

Beruntung, istri pertama si Mas Jaka itu datang saat adu mulut antara kami bertiga sedang sengit sengitnya.

"Kalian itu ngapain di sini malam malam? Mbak kan udah bilang, yang genit itu suami kita, bukan Neng Siska. Masih aja ngeyel mau labrak Neng Siska. Bener bener kalian berdua ini." Istri pertama mas Jaka geleng-geleng kepala saat mengetahui tingkah dari kedua adik madunya.

Nah, ini nih yang bener. Bukan aku yang menggoda suami mereka. Justru, suami merekalah yang secara terang-terangan menggodaku dengan sikapnya yang genit.

"Kami kan cuma mau memberi peringatan aja buat si janda gatel ini, Mbak. Biar dia gak godain laki kita."

Mendengar tuduhannya, bibirku terangkat sebelah ke atas sambil menampilkan ekspresi tak senang. Si Dewi ini. Apa apaan sih? Menuduh orang seenak jidatnya sendiri.

"Jangan sembarangan ya, Kamu!" Aku gak terima. Kutunjuk wajahnya sambil bersuara garang.

"Memang itu kenyataannya kan?!" Dia masih menuduhku dengan tak mau kalah.

Hah! Bisa bisa aku naik darah kalau terus menerus berhadapan dengannya. Frustasi kan aku jadinya!

"Diam kamu, Dik. Kamu kayak nggak tahu aja bagaimana kelakuan suami kita. Memang dasarnya aja suami kita yang genit. Kok kamu malah nyalahin Neng Siska sih."

Merasa di bela aku. Istri pertama dari si Mas Jaka buncit itu memang jauh berbeda sekali dengan kedua istri yang lainnya. sifat dan tingkahnya 180 derajat berbanding terbalik dengan mereka berdua yang songong itu.

Jadi Herman deh aku. Eh, maksudnya heran deh aku. Kok bisa ya, istri yang baik dan Solehah kayak istri pertamanya si Mas Jaka buncit itu malah di selingkuhi.

Dasar laki laki emang gak tau bersyukur. Di kasih yang bening, masih aja cari yang kinclong. Dapetnya malah yang keruh kan?

Ya, kayak si Mbak Dewi dan istri keduanya itu.

"Tuh, dengerin tuh Apa kata dari kakak madu kalian. Bukan aku yang menggoda suami kalian bertiga. Tapi, suami kalian yang menggodaku. Enak aja, datang langsung marah-marah. Kalian pikir aku ini apa, hah?!"

Aku bersungut-sungut marah.

"Kamu!"

"Sudah Dewi, ayo pulang!"

Baru juga Dewi itu menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. Kakak madunya itu sudah menghentikan ucapannya dengan nada tak senang. Sontak saja langsung membuat Dewi gelagapan dan menghentikan ucapannya dengan terpaksa.

"Tapi kan Mbak...." Si Dewi malah merengek. Dikira kakak madunya itu akan luluh apa?

Kita lihat.

"Mbak..."

Dewi merengek terus. Namun, segera di tahan oleh kakak madunya, agar rengekan itu usai sudah sampai di sana.

"Pulang! Atau kalian berdua rasakan akibatnya. Jangan sepelekan status Mbak yang menjadi istri pertama dari suami kalian ya!"

Waw. Tercengang aku! Istri pertama dari si Mas Jaka ini benar-benar mempunyai kekuatan yang luar biasa. ucapannya mampu membuat kedua adik madunya langsung terdiam membisu walau dengan wajah kesal yang begitu terlihat jelas di tampakkan oleh mereka.

"Maaf ya, Neng Siska. Maaf atas kesalahpahaman ini. Mbak gak sengaja bilang di depan mereka. Eh, mereka malah main labrak aja ke sini, tanpa tahu kejadian yang sebenarnya."

Demi apa? wanita cantik yang menjadi istri pertama dari Si Mas Jaka ini meminta maaf kepadaku atas kesalahan yang tidak pernah ia perbuat sama sekali. apakah aku sedang bermimpi?

Oh, tentu saja tidak. Karena beberapa kali kutepuk pipiku dan rasanya cukup sakit. Berarti Aku sedang dalam keadaan dan kondisi yang sadar. tidak sedang bermimpi apalagi berhalusinasi.

"Neng, kok malah bengong?" tanyanya yang mungkin heran karena aku malah terdiam.

"Oh, iya. Gak papa Mbak. Aku mah udah biasa di gituin." Akhirnya, aku membalas juga perkataannya. walau dengan sedikit kaku karena aku terpana dengan semua tingkah lakunya yang manis dan dewasa secara bersama.

Dia tersenyum ke arahku. "Kalau begitu, Mbak pamit ya? Sekali lagi Maafkan kehadiran mereka yang tidak disangka itu. Mereka marah suaminya di goda oleh wanita lain. Tak sadar diri, mereka bahkan sudah melakukannya pada saya."

Hihihi!

Aku tertawa puas. Bukan karena puas menertawakan hal yang terjadi pada istri pertamanya Mas Jaka buncit. Tapi, puas karena melihat kedua istri mas Jaka buncit lainnya yang kini telah berwajah pias.

***

Keadaan rumah sudah tenang. Bebas dari para pengganggu yang selalu mengganggu. Namun, rasa lelah dan juga kantuk yang tadi menyerbu, kini telah hilang Mbak ditelan oleh keheningan malam yang berganti menyerbu.

Ke mana perginya ngantuk itu? Aku mencari-carinya. Tapi, sampai aku lelah tidak ketemu juga apa yang aku cari.

"Gara gara mereka, aku jadi hilang kantuk."

Aku beringsut keatas sofa. Membaringkan diri di sana sambil menatap layar ponsel. Sepertinya, aku tak akan cepat tidur malam ini, karena tidurku sudah terganggu.

Menyebalkan bukan?!

'Ting!'

Tiba tiba saja gawaiku mengeluarkan suara seperti Abang bakso yang memukul pelan mangkuk dengan sendok di tangannya.

Sebuah pesan masuk. Lantas dengan segera aku membukanya.

[Neng, mau gak jadi istri keempat Mas Jaka?"]

'Uhuk! Uhuk!'

Aku tersedak karena pesan masuk dari nomor tak di kenal yang ternyata adalah nomornya si Mas Jaka buncit.

Dasar buncit! Sudah punya tiga istri, masih aja godain janda kayak aku.

Susah memang kalau menjadi seorang janda dengan paras yang menarik, mempesona dan masih muda.

Kuabaikan pesan masuk darinya yang bertanya dengan tidak sopannya. Namun tiba tiba--

[Kok cuma di baca aja si Neng? Jawab dong? Mas Jaka Nanya nih. Mau kan jadi istri keempatnya mas Jaka?]

Dih, ini laki, nanya apa maksa?

Ingin sekali kubilang, kamu nanyeaa? Biar dia kesel sekalian.

Tapi, aku males ngetik ah.

[Kalau mau, Mas Jaka kasih mahar uang lima ratus juta. Mau ya?]

Mulutku menganga membaca pesannya.

[Mas Jaka tambahin deh, sama satu rumah mewah, biar Neng Siska gak usah ngontrak lagi.]

Pesan masuk itu datang secara beruntun. Aku baca satu persatu. Mual juga ternyata. Tapi, tawarannya itu begitu menggiurkan.

Wah, gimana dong? Si Mas Jaka buncit ini sudah merencanakan semuanya ternyata. Niat sekali dia berusaha. Dasar orang kaya raya!

Mahar lima ratus juta, di tambah dengan satu rumah mewah. Ah, membayangkannya aja aku ngiler. Apalagi kalau dapat beneran. Pasti aku kebelinger.

[Cuma di baca doang. Mau gak? Kalau kurang, Mas Jaka tambahin sama satu buah mobil. Biar kalau Neng Siska mau ke mana-mana, Neng Siska bisa adem perginya.]

Waw, tawarannya nambah lagi. Sangat menggiurkan sekali bestie.

[Mas Jaka janji deh, kalau Neng Siska mau jadi istri keempat Mas Jaka-- Mas Jaka bakalan paling sayang sama Neng Siska.]

Setelah semua pesan masuk kubuka. Gegas, aku segera membalasnya. Tak mau aku menyia-nyiakan kesempatan.

"Maaf ya, Mas Jaka buncit. Siska balasnya lama," kataku sambil menulis apa yang ingin aku sampaikan pada pria buncit itu. Sebelum kukirim pesan itu, kutambah pesan dengan emoticon wajah tersenyum manis dengan rona di pipi.

[Gak papa Neng Siska, Mas Jaka selalu sabar menunggu kok. Jadi gimana?.Neng Siska mau kan jadi istri keempatnya Mas Jaka? Pasti mau 'kan? Secara, Kang Mas Jaka ini kan ganteng dan kaya raya. Jadi, wanita manapun akan senantiasa mengharapkan pinangan dari Mas Jaka yang ganteng ini.]

Uwek!

Ingin aku muntah membaca deretan pesan itu. Sudahlah genit, percaya dirinya itu loh... bikin kesel seantero janda.

[Balas dong. Jadi gimana, mau kan neng Siska jadi istri keempatnya Mas Jaka? Ini kesempatan terakhir loh... Cuma satu kali lagi mas Jaka bisa nikah. Dan neng Siska lah orang beruntung yang akan menjadi istri keempatnya Mas Jaka.]

Onde manday... Kesempatan terakhir katanya?

[Ayo dong, Neng Siska. Balas pesan dari mas Jaka. Apa mahar dari mas Jaka masih kurang? Kalau iya, biar mas Jaka tambahin maharnya, biar Neng Siska senang.]

Asyem!

Pesan masuk itu terus bermunculan. Membuat aku jadi bingung ingin membalasnya seperti apa. Kalau aku tolak tawaran itu, aku bisa kehilangan kesempatan emas mendapatkan mahar dengan jumlah dan nominal yang fantastis. Tapi, tapi... Kalau aku harus menikah dengannya...

Ah, rasanya aku tidak sanggup. Sudahlah dia jelek, genit. Banyak istrinya pula.

Apa aku bisa tahan?

Huh, rasanya tidak!

Apalagi kalau aku mengingat Bagaimana perangai dari istri kedua dan juga ketiga dari si Mas Jaka buncit itu, sudah pasti setiap hari aku akan adu jotos dengan mereka berdua.

Tidak mau!

Lagipula, aku juga tidak tega dengan istri pertamanya Mas Jaka buncit yang begitu baik.

Masa sih, sudah bersikap baik kepadaku. Tapi malah aku balas dengan sebuah penghianatan yaitu dengan menikahi suaminya dan menjadi istri keempat, sekaligus madu muda untuknya.

Tidak! Tidak! Tidak!

Aku tak mau!

"Aaakh!" Aku berteriak. Stres sendiri memikirkannya.

Aku tidak akan Setega itu BESTie.

[Maaf ya, Mas Jaka. Kayaknya, Siska gak tertarik deh, buat jadi istri keempatnya Mas Jaka. Siska nyerah sebelum mulai.]

Kubalas pesan dari mas Jaka buncit dengan penolakan langsung, tanpa basa basi. Aku harap, setelah ini ia tak akan menerorku terus menerus dengan mengajakku untuk kaweeen dan menjadikan aku istri keempatnya.

Ting! Ting! Ting!

Cepat sekali membalasnya. Baru juga aku kirim pesannya. Si Mas Jaka buncit itu sudah kembali mengirimi aku pesan.

[Loh, kok gitu?]

[Emangnya udah di pikirin baik-baik, tawarannya Mas Jaka?]

[Mas Jaka kasih kesempatan deh. Yakin mau nolak?]

[Nanti nyesel loh ... Nolak lamaran dari orang ganteng plus kaya raya kayak mas Jaka ini.]

Huwek!

Sekali lagi aku ingin muntah membaca pesan darinya. Pedenya itu loh, tingkat Dewa kematian BESTie.

Herman deh, udah dikelilingi sama satu permaisuri dan dua selir, masih aja kurang. Dan malah mau menjadikan aku selir ketiganya.

Tidak!!!

Lagian, dari mana juga sih dia ini bisa tahu nomorku?

Asyem tenan yang ngasih tau!

Hah! Lelah juga ternyata meladeni laki laki yang gak pernah puas dengan satu wanita itu. Aku abaikan aja semua pesan yang terus menerus masuk ke ponselku.

Bunyi tang Ting, terus terngiang. Tapi aku tetap pada pendirian. Aku abaikan itu semua dan mulai masuk ke dalam dunia mimpi yang semoga saja aku bisa bermimpi bersanding dengan seorang pangeran, bukannya badut, kayak si mas Jaka buncit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status