Setelah Revan pergi beberapa saat yang lalu, Mbok Karsih ikut berpamitan untuk kembali ke dapur dan menyelesaikan pekerjaan rumah yang lainnya. Azila mengekor di belakang Mbok Karsih, karena tidak tahu harus berbuat apa di rumah Revan yang sangat besar ini. Apalagi Revan melarangnya untuk masuk ke kamar ibunya. Itu membuatnya kehilangan kesempatan untuk lebih dekat dengan ibunya sekarang.
"Mbok, saya boleh bantu?" Azila menawarkan bantuan ketika melihat Mbok Karsih sedang meracik bahan makanan.
"Ndak (tidak) usah toh, Non. Ini pekerjaan si Mbok, Non Zila duduk saja," tolak Mbok Karsih.
"Saya bosen, nggak ada yang bisa saya kerjain di sini. Oh iya, kalau stop kontak lampu yang ada di kamar Liana di sebelah mana ya, heheh," kekehnya pelan sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal.
"Oh, lampu di rumah ini semua me
Revan sepertinya terkejut mendapat penuturan Azila. Beberapa saat kemudian, Revan menyuruh Mbok Karsih dan Marni untuk memeriksa kondisi ibunya. Saat Azila akan masuk, Revan langsung menahannya. "Jangan masuk, kau ikut denganku kita bicara di ruang kerjaku!" titahnya. "Tapi, ibumu?" sela Azila. "Ada Mbok Karsih dan Marni yang akan mengurus mama," jelasnya. Mereka langsung masuk ke dalam lift. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Revan ataupun Azila. Mereka membisu larut dalam pikirannya sendiri. "Mama sedang mengobrol dengan seseorang? Apa maksud ucapanmu?" tanya Revan sesaat setelah mereka masuk ke ruang kerjanya. "Iya, tadi aku seperti mendengar ibumu berbincang denga
Seketika, manajer yang ternyata bernama Sofia itu, langsung berhambur memeluk Revan."Revan, aku sangat merindukanmu. Aku minta maaf, semua salahku," Sofia terisak di pelukan Revan. Revan tidak membalas pelukan Sofia, dia hanya terdiam dan membisu. "Kak Revan, sebaiknya kita pergi ke tempat lain. Di sini harganya sangat ma--" ucapan Azila seketika terpotong saat tidak sengaja ia melihat Revan sedang berada dalam pelukan seorang wanita. Setetes cairan hangat tiba-tiba membasahi pipinya. Gegas ia menyusut cairan hangat yang tiba-tiba datang dan mendesak keluar dari matanya itu. "Kenapa aku harus menangis, apa hakku? Aku bukan siapa-siapa baginya. Tapi mengapa, hati ini begitu perih saat melihat dia berada di dalam pelukan wanita lain?" Azila memalingkan wajahnya, ia tidak kuat melihat adegan yang ada di hadapannya. ***[Zila, kamu di mana?] pek
Setelah Revan keluar meninggalkan butik, ia pergi ke lantai paling atas mall, hanya untuk berteriak melepaskan semua penat dan sakit hati yang kembali hadir mengisi relung hatinya. Kehadiran Sofia yang tidak pernah ia duga, membuka kembali kenangan dan luka yang sudah ia kubur rapat sejak dua tahun silam. "Apakah semua perkataannya bisa kupercaya? Sialan! Arrrrrggggggghhhhh ...."Setelah dirasa tenang, Revan baru tersadar bahwa tadi dia datang ke mall ini bersama seseorang. "Azila? Ya ampun aku sampai melupakan gadis itu!"Beberapa kali ia mencoba menghubungi ponsel Azila, namun sayang si empunya tidak menjawab panggilan darinya. Pikirannya bertambah kacau, serangan panik itu datang kembali. Gegas ia mengeluarkan obat dari kantong celananya. Kecelakaan Liana menjadi penyebab ia harus terus mengkonsumsi obat ketika serangan panik itu tiba-tiba datang. Setelah Revan berh
03.40, angka yang kini tertera di ponsel milik Azila. Sudah hampir 40 menit alarm ponsel itu berbunyi. Namun, Azila masih belum menampakan tanda kehidupan untuk segera mematikan alarm tersebut."Bangun, Nak!"Azila seketika terperanjat dari tidurnya. Masih setengah sadar, ia menyentuh pipinya yang nampak masih hangat bekas sentuhan seseorang yang baru saja membangunkannya."Astaghfirullah, siapa yang baru saja membangunku? Rasanya yang tadi itu bukan sebuah mimpi. Sentuhannya masih bisa kurasakan dengan jelas. Hembusan napasnya masih terasa hangat dekat telingaku." Azila memejamkan matanya mencoba merasakan kembali sentuhan lembut itu. Lamunannya seketika terhenti ketika alarm ponselnya kembali berbunyi, membuat Azila tersadar sepenuhnya kalau yang baru saja ia rasakan dan dengar hanya sebuah mimpi belaka.Azila yang suda
"Boneka cantiknya diculik? Maksudnya apa?" Azila benar-benar tidak mengerti apa yang sedang nyonya Raihanah ucapkan."Boneka cantiknya diculik, mereka ja-hat! Mereka culik boneka cantiknya," rengek Raihanah menunjuk tumpukan boneka yang ada di sebuah meja."Mama tenang, ya! Tidak ada yang mau culik boneka cantiknya, Liana bakal jagain semua boneka mama supaya tidak ada orang yang berani ganggu Mama. Tuh! Semua boneka cantiknya ada di atas meja, 'kan?" tunjuk Azila ke arah tumpukan boneka di atas meja.Tiba-tiba tanpa diundang sebuah cairan bening melesat keluar membasahi pipi Azila. Rasa sakit yang teramat perih, kembali ia rasakan ketika berada di dekat nyonya Raihanah."Ya Allah, aku tidak tega melihat wanita ini. Dia sering meracau, berbicara hal yang sama sekali tidak kumengerti. Apa yang sebenarnya terj
Azila dibuat kelabakan karena foto itu sepertinya telah hilang. Semua saku celananya telah Azila rogoh, tapi sayang foto Liana bayi serta kembarannya tetap tidak bisa ia temukan. "Aduh ke mana fotonya, bukannya tadi aku simpan di saku celana, kenapa jadi nggak ada? Apa jangan-jangan ... foto itu yang dia incar? Siapa orang itu sebenarnya? Dan apa maksud semua ini? Kenapa harus aku lagi yang jadi korban?Aaaaaa...," jeritnya dalam hati. Mbok Karsih dan Marni yang melihat tingkah aneh Azila saling bertatapan. "Nyari apa, Non?" tanya Marni memberanikan diri. "Emmm, tidak ada," ucapnya bohong. "Bisa minta tolong ambilkan air hangat dan obat pereda sakit, aku ingin mengompres leherku ini. Rasanya benar-benar sakit," pintanya pada Marni. "Baik, Non. Sebentar saya ambilkan dulu obat dan kompresannya. Tapi, saya takut, Non! Saya takut penyusupnya masih ada di rumah ini," bisik Marni pelan. Raut wajahnya menyiratkan sebuah ketakutan. 'Berarti bukan Marni pelakunya, gadis muda itu terli
"Iya, penyusupnya adalah kamu, Marni!" tunjuk Revan ke arah Marni. Semua mata langsung tertuju pada Marni. "Apa? Den Revan bilang saya pelakunya?" Seketika mata Marni terbelalak, bahkan Marni tidak percaya dengan pendengarannya. "Marni? Penyusupnya?" Azila pun ikut terkejut mendengar perkataan Revan kalau Marni adalah pelaku pemukulan dirinya. Apalagi dari tadi Marni terlihat sangat ketakutan.Mbok Karsih hanya terdiam, dia belum memberikan respon apapun terkait tuduhan Revan pada anaknya. "Bu, tolong Marni! Ibu tahu sendiri dari tadi Marni menemani nyonya besar di kamarnya. Terus bagaimana bisa Marni yang dituduh telah memukul Non Azila?" bela Marni berharap ibunya mau bicara dan menolongnya. Mbok Karsih hanya terdiam, keringat dingin sudah mulai terlihat membasahi keningnya. "Kak, aku kira bukan Marni pelakunya. Walaupun sepertinya dari awal dia memang
Drrttt! Drrttt! Drrttt!Samar-samar kudengar suara ponsel yang terus bergetar. Dengan mata yang masih terpejam kucoba meraih benda pipih itu, yang kuletakkan di atas meja di samping tempat tidurku.Aku mengucek kedua bola mataku. Rasanya berat sekali mata ini terbuka. Badanku lemas, setelah hampir 8 kali aku harus bolak-balik ke toilet di kedai bakso itu. Kalau saja bukan karena aku kembali mengacaukan harinya, rasanya enggan aku menerima tawaran Azila untuk makan bakso di sana.Akan tetapi, entah kenapa, perasaanku yang tadi kacau karena bertemu Sofia, tiba-tiba hilang ketika bersama Azila. Aku jadi tertawa sendiri mengingat kekonyolanku saat tadi bersamanya. Apalagi ketika aku ditantang untuk makan bakso 2 porsi dengan level pedas yang sangat tidak wajar. Hahaha, alhasil aku harus berakhir bolak-balik ke toilet. Tapi, ketika melihat Azila tertawa lepas