Share

Bab 3. Sebuah Pertemuan

"Asal kau mau menjadi istriku yang ke lima." Pria tua yang ada di depanku tertawa puas melihat ketidakberdayaanku saat ini. 

"Anda sudah tidak w4ras, saya lebih cocok jadi cucu Anda dibandingkan istri Anda," rutukku karena j1jik mendengar ucapannya. 

"Aw ...." Laki-laki tua itu meringis kesakitan setelah aku menginjak kakinya kuat. 

"Dasar b0cah ingusan, berani ya kamu main-main denganku?" umpatnya dengan penuh amarah. 

Sepertinya aku telah membuatnya semakin marah. Tapi aku tidak peduli. Ayahku yang berhutang dan kini aku yang harus menanggung hutangnya pada banyak rentenir. Bahkan dengan terang-terangan mereka meminta tubuhku sebagai gantinya. Gil4! mereka benar-benar gil4 dan aku hampir dibuat gil4 karena harus berurusan dengan orang gil4 seperti mereka. 

Tanpa pikir panjang aku berteriak minta tolong. Seketika orang-orang datang berkerumun dan akhirnya pria tua itu berhasil pergi karena dia takut akan diserang warga. 

Suasana rumah kembali tenang setelah pria tua tadi berhasil aku usir, walaupun dia terus meng4ncam akan kembali lagi nanti untuk menagih hutang. Setidaknya, setelah nanti aku berhasil mendonorkan ginjalku aku memiliki cukup uang untuk melunasi hutang-hutang ayahku. Dan pada saat pria tua itu kembali, aku bisa melunasi semuanya. 

***

Aku kembali harus menelan pil pahit, beberapa perusahaan yang aku datangi semua menolakku, ternyata sesulit ini mencari pekerjaan di ibu kota. Apalagi hanya bermodal ijazah SMA. Ditambah tadi aku datang terlalu siang, gara-gara harus berurusan dengan pria tua itu. Arghhh.

Tenggorokanku kini terasa kering, berkeliling mencari pekerjaan membuatku lupa untuk sekedar menegak setetes air. Kulirik jam di pergelangan tangan, masih ada waktu sekitar satu jam sebelum jam dua tiba. Aku memasuki sebuah minimarket untuk sekedar membeli air mineral dan sepotong roti untuk mengganjal perutku yang mulai keroncongan dan minta untuk diisi. 

"Aw! Ibu siapa?" 

Aku terperanjat, baru saja aku akan mengambil botol air mineral, tiba-tiba seorang wanita paruh baya menggenggam tanganku erat. Dia terus saja memanggil namaku dengan sebutan Liana. Selain itu, lirikan matanya pada kalung yang kupakai membuatku curiga. Jangan-jangan ini hanya sebuah modus kejahatan baru untuk mencuri. 

"Maaf, Bu! Saya Azila, saya bukan Liana seperti yang ibu maksud."

Sepertinya percuma aku terus menjelaskan, gengaman tangannya semakin kuat, tiba-tiba ia berteriak histeris dan terus menyebut namaku Liana. Untungnya keadaan minimarket dalam keadaan sepi. Tapi, kejadian ini berhasil membuatku gelagapan. 

Tidak berselang lama, tiba-tiba dari luar datang seorang laki-laki muda yang kukira berumur tidak jauh dariku, menggunakan kemeja hitam panjang yang bagian tangannya ia lipat ke atas, menghampiri kami. "Kamu siapa?" tanyanya padaku kemudian.

"Anda yang siapa? Apakah kalian sebuah komplotan penjahat?" tanyaku balik padanya. 

Ternyata wanita paruh baya tersebut adalah ibunya. Dan mereka bukan komplotan penjahat yang akan mencuri di tempat ini. Aku telah salah sangka. Ia meminta maaf atas perlakuan ibunya padaku. Dia seperti terkejut melihat wajahku. Sama halnya dengan sang ibu, lelaki yang baru kutahu ternyata bernama Revan itu ikut menyebutku Liana. 

Revan berusaha membujuk sang ibu untuk melepaskan tangannya dariku, tapi lagi-lagi percuma, ia langsung berteriak histeris dan menjerit-jerit seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya. 

Alarm ponselku berbunyi, ternyata itu adalah pengingat jika setengah jam lagi aku harus pergi ke kantor temanku. Sial, genggaman tangan wanita ini masih belum bisa dilepaskan. Bagaimana ini? Bisa terlambat aku sampai di sana. Aku tidak mau rencanaku gagal kali ini. Aku sangat membutuhkan uang itu. 

"Maaf, saya harus segera pergi, saya masih ada urusan penting lainnya. Bisa kamu lepaskan tangan ibumu dari tanganku!"

"Sekali lagi aku minta maaf, ibuku sedang sakit. Aku salah telah membiarkannya sendiri, tadi aku keluar sebentar, ponselku tertinggal di mobil. Kamu tahu, wajahmu ... sangat mirip dengan adikku, Liana. Jadi ... aku kira ibuku mengira kamu itu Liana," ujarnya halus sambil menatap wajahku. 

Liana? Siapa Liana? Mengapa dari tadi mereka terus memanggilku Liana? Dan mengapa ada suatu getaran aneh ketika wanita ini menyebutku Liana? 

Karena tidak ingin menimbulkan keributan lagi, Revan mengajakku untuk masuk ke mobilnya yang terparkir di luar minimarket. Sebuah mobil sedan dari merk ternama terparkir di sana. Dari mobil yang mereka pakai, aku yakini mereka pasti orang kaya. Sementara itu, ibunya Revan terus tersenyum ke arahku dan terus menggenggam tanganku erat.

Rasanya sulit untukku bisa segera pergi. Ya Allah, aku harus apa sekarang? Sebentar lagi jam dua. 

Tatapan kami akhirnya kembali bertemu. Ada raut bersalah terlihat di wajah Revan, ketika aku berkata ada hal sangat penting yang harus aku lakukan sekarang. Tetapi lagi-lagi, ibunya tidak membiarkan aku pergi. 

"Ibu, maaf saya bukan Liana, saya Azila. Saya harus pergi sekarang. Saya janji nanti kita ngobrol bareng lagi, ya! Saya mohon ibu mau melepaskan tangan ibu ini!" rayuku padanya. 

Wanita itu, terus saja menggenggam tanganku seolah tidak ingin terpisahkan lagi. Ada satu perasaan aneh yang tiba-tiba kurasakan saat wanita itu menggenggam tanganku, seperti ada ikatan emosional diantara kami. Walaupun aku sedang gelisah tapi saat bersamanya ada satu ketenangan yang aku sendiri tidak mengerti. 

Dering ponselku kembali berbunyi. Rasa panik ini semakin membuatku hampir gil4. Aku memberi isyarat pada Revan, agar dia mau kembali membujuk ibunya. 

Akhirnya, aku terpaksa mengikuti ke mana Revan membawa kendaraannya. Aku sudah pasrah dengan perjanjian itu, jam sudah menujukan pukul tiga sore dan aku masih terjebak  di dalam sebuah mobil bersama dua orang asing yang sama sekali tidak aku kenal. 

"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanyaku pada Revan yang terlihat fokus ke jalanan. 

"Suatu tempat di mana adikku berada. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Mungkin setelah melihatnya, ibu mau melepaskan tanganya darimu. Maaf untuk situasi ini. Ini semua diluar kendaliku," ujarnya di balik kemudi.

Ingin sekali aku mengumpat mereka, protes atas apa yang tiba-tiba mereka lakukan padaku. Tapi rasanya tenggorokan ini tercekat, sulit rasanya untuk kubersuara. Terlebih saat melihat ibunya Revan, sepertinya ia sangat kehilangan Liana. Aku belum tahu pasti ada kejadian apa yang membuat ibunya sakit seperti ini. 

Liana, kamu sangat beruntung. Ibumu sangat menyayangimu. Bahkan sampai ibumu sakit seperti ini karena terus mengingatmu. Tidak seperti ibuku. 

"Kita sudah sampai!" Suara Revan tiba-tiba membuyarkan semua lamunanku. Dari tadi ternyata pandanganku kosong dan tidak memperhatikan ke mana mobil Revan melaju. 

Tunggu! Tempat ini ...? 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Herti Herti
mulai seru nih,lanjut thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status