"Asal kau mau menjadi istriku yang ke lima." Pria tua yang ada di depanku tertawa puas melihat ketidakberdayaanku saat ini.
"Anda sudah tidak w4ras, saya lebih cocok jadi cucu Anda dibandingkan istri Anda," rutukku karena j1jik mendengar ucapannya.
"Aw ...." Laki-laki tua itu meringis kesakitan setelah aku menginjak kakinya kuat.
"Dasar b0cah ingusan, berani ya kamu main-main denganku?" umpatnya dengan penuh amarah.
Sepertinya aku telah membuatnya semakin marah. Tapi aku tidak peduli. Ayahku yang berhutang dan kini aku yang harus menanggung hutangnya pada banyak rentenir. Bahkan dengan terang-terangan mereka meminta tubuhku sebagai gantinya. Gil4! mereka benar-benar gil4 dan aku hampir dibuat gil4 karena harus berurusan dengan orang gil4 seperti mereka.
Tanpa pikir panjang aku berteriak minta tolong. Seketika orang-orang datang berkerumun dan akhirnya pria tua itu berhasil pergi karena dia takut akan diserang warga.
Suasana rumah kembali tenang setelah pria tua tadi berhasil aku usir, walaupun dia terus meng4ncam akan kembali lagi nanti untuk menagih hutang. Setidaknya, setelah nanti aku berhasil mendonorkan ginjalku aku memiliki cukup uang untuk melunasi hutang-hutang ayahku. Dan pada saat pria tua itu kembali, aku bisa melunasi semuanya.
***
Aku kembali harus menelan pil pahit, beberapa perusahaan yang aku datangi semua menolakku, ternyata sesulit ini mencari pekerjaan di ibu kota. Apalagi hanya bermodal ijazah SMA. Ditambah tadi aku datang terlalu siang, gara-gara harus berurusan dengan pria tua itu. Arghhh.
Tenggorokanku kini terasa kering, berkeliling mencari pekerjaan membuatku lupa untuk sekedar menegak setetes air. Kulirik jam di pergelangan tangan, masih ada waktu sekitar satu jam sebelum jam dua tiba. Aku memasuki sebuah minimarket untuk sekedar membeli air mineral dan sepotong roti untuk mengganjal perutku yang mulai keroncongan dan minta untuk diisi.
"Aw! Ibu siapa?"
Aku terperanjat, baru saja aku akan mengambil botol air mineral, tiba-tiba seorang wanita paruh baya menggenggam tanganku erat. Dia terus saja memanggil namaku dengan sebutan Liana. Selain itu, lirikan matanya pada kalung yang kupakai membuatku curiga. Jangan-jangan ini hanya sebuah modus kejahatan baru untuk mencuri.
"Maaf, Bu! Saya Azila, saya bukan Liana seperti yang ibu maksud."
Sepertinya percuma aku terus menjelaskan, gengaman tangannya semakin kuat, tiba-tiba ia berteriak histeris dan terus menyebut namaku Liana. Untungnya keadaan minimarket dalam keadaan sepi. Tapi, kejadian ini berhasil membuatku gelagapan.
Tidak berselang lama, tiba-tiba dari luar datang seorang laki-laki muda yang kukira berumur tidak jauh dariku, menggunakan kemeja hitam panjang yang bagian tangannya ia lipat ke atas, menghampiri kami. "Kamu siapa?" tanyanya padaku kemudian.
"Anda yang siapa? Apakah kalian sebuah komplotan penjahat?" tanyaku balik padanya.
Ternyata wanita paruh baya tersebut adalah ibunya. Dan mereka bukan komplotan penjahat yang akan mencuri di tempat ini. Aku telah salah sangka. Ia meminta maaf atas perlakuan ibunya padaku. Dia seperti terkejut melihat wajahku. Sama halnya dengan sang ibu, lelaki yang baru kutahu ternyata bernama Revan itu ikut menyebutku Liana.
Revan berusaha membujuk sang ibu untuk melepaskan tangannya dariku, tapi lagi-lagi percuma, ia langsung berteriak histeris dan menjerit-jerit seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya.
Alarm ponselku berbunyi, ternyata itu adalah pengingat jika setengah jam lagi aku harus pergi ke kantor temanku. Sial, genggaman tangan wanita ini masih belum bisa dilepaskan. Bagaimana ini? Bisa terlambat aku sampai di sana. Aku tidak mau rencanaku gagal kali ini. Aku sangat membutuhkan uang itu.
"Maaf, saya harus segera pergi, saya masih ada urusan penting lainnya. Bisa kamu lepaskan tangan ibumu dari tanganku!"
"Sekali lagi aku minta maaf, ibuku sedang sakit. Aku salah telah membiarkannya sendiri, tadi aku keluar sebentar, ponselku tertinggal di mobil. Kamu tahu, wajahmu ... sangat mirip dengan adikku, Liana. Jadi ... aku kira ibuku mengira kamu itu Liana," ujarnya halus sambil menatap wajahku.
Liana? Siapa Liana? Mengapa dari tadi mereka terus memanggilku Liana? Dan mengapa ada suatu getaran aneh ketika wanita ini menyebutku Liana?
Karena tidak ingin menimbulkan keributan lagi, Revan mengajakku untuk masuk ke mobilnya yang terparkir di luar minimarket. Sebuah mobil sedan dari merk ternama terparkir di sana. Dari mobil yang mereka pakai, aku yakini mereka pasti orang kaya. Sementara itu, ibunya Revan terus tersenyum ke arahku dan terus menggenggam tanganku erat.
Rasanya sulit untukku bisa segera pergi. Ya Allah, aku harus apa sekarang? Sebentar lagi jam dua.
Tatapan kami akhirnya kembali bertemu. Ada raut bersalah terlihat di wajah Revan, ketika aku berkata ada hal sangat penting yang harus aku lakukan sekarang. Tetapi lagi-lagi, ibunya tidak membiarkan aku pergi.
"Ibu, maaf saya bukan Liana, saya Azila. Saya harus pergi sekarang. Saya janji nanti kita ngobrol bareng lagi, ya! Saya mohon ibu mau melepaskan tangan ibu ini!" rayuku padanya.
Wanita itu, terus saja menggenggam tanganku seolah tidak ingin terpisahkan lagi. Ada satu perasaan aneh yang tiba-tiba kurasakan saat wanita itu menggenggam tanganku, seperti ada ikatan emosional diantara kami. Walaupun aku sedang gelisah tapi saat bersamanya ada satu ketenangan yang aku sendiri tidak mengerti.
Dering ponselku kembali berbunyi. Rasa panik ini semakin membuatku hampir gil4. Aku memberi isyarat pada Revan, agar dia mau kembali membujuk ibunya.
Akhirnya, aku terpaksa mengikuti ke mana Revan membawa kendaraannya. Aku sudah pasrah dengan perjanjian itu, jam sudah menujukan pukul tiga sore dan aku masih terjebak di dalam sebuah mobil bersama dua orang asing yang sama sekali tidak aku kenal.
"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanyaku pada Revan yang terlihat fokus ke jalanan.
"Suatu tempat di mana adikku berada. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Mungkin setelah melihatnya, ibu mau melepaskan tanganya darimu. Maaf untuk situasi ini. Ini semua diluar kendaliku," ujarnya di balik kemudi.
Ingin sekali aku mengumpat mereka, protes atas apa yang tiba-tiba mereka lakukan padaku. Tapi rasanya tenggorokan ini tercekat, sulit rasanya untuk kubersuara. Terlebih saat melihat ibunya Revan, sepertinya ia sangat kehilangan Liana. Aku belum tahu pasti ada kejadian apa yang membuat ibunya sakit seperti ini.
Liana, kamu sangat beruntung. Ibumu sangat menyayangimu. Bahkan sampai ibumu sakit seperti ini karena terus mengingatmu. Tidak seperti ibuku.
"Kita sudah sampai!" Suara Revan tiba-tiba membuyarkan semua lamunanku. Dari tadi ternyata pandanganku kosong dan tidak memperhatikan ke mana mobil Revan melaju.
Tunggu! Tempat ini ...?
Sore ini, Kediaman Raihanah nampak sedikit ramai. Orang-orang masih terlihat sibuk menata ornamen untuk menyambut kedatangan Revan di rumah ini."Apa nggak berlebihan, Ma? Aku takut Kak Revan malah nggak nyaman dengan penyambutan ini," ungkap Azila saat melihat para pekerja yang tengah sibuk."Mama cuman ingin membuat dia yakin kalau dia masih sangat berharga untuk keluarga kita. Mama sangat senang saat kamu bilang dia mau menginjakkan kakinya lagi di rumah ini. Selama ini, sulit banget buat bujuk diapulang." Tidak ada yang berani membantah perintah Nyonya Besar--kecuali Revan.Namun,tiba-tiba sorot mata itu berubah sendu, seolah mengisyaratkan ada sebuah penyesalan masa lalu yang masih terbayang.Azila yang menyadari hal tesebut, lantas langsung mengganti topik pembicaraan. Ia tidak mau rasa sedih kembali menaungi ibunya. Malam pun tiba, Azila masih berada di kamarnya. Masih berkutat dengan make up yang akan menghi
Semenjak keluar dari rumah sakit, Azila lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Membaca novel kesukaannya atau sekedar melukis untuk menghilangkan kejenuhan. Azila yang terus mendesak sang ibu untuk bercerita tentang bagaimana Revan bisa datang ke rumah sakit menemuinya, malah membuatnya kecewa. Sebuah kenyataan, bahwa selama ini mereka telah mengetahui keberadaan Revan. "Kenapa meraka harus menyembunyikan semua ini dariku? Apa cerita mama dan Liana benar adanya? Arggghh!" Rasa frustasi semakin menguasainya. Azila melemparkan tubuhnya sembarang di atas kasur. Pandangannya kosong, ia hanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih. Rasa sakit mulai kembali menjalar di kepalanya. Ia mencoba kembali tenang. Perlahan menarik napas panjang, ia tidak mau asam lambungnya kembali membuat dirinya terkapar di rumah sakit."Aku nggak bisa kayak gini terus, aku harus temuin kak Revan dan mendengarnya lan
Liana berusaha bangkit dan mengambil obat yang selalu ia bawa di dalam tas kecilnya. "Aku harus bisa!" Dengan napas yang mulai tersenggal-senggal. Hampir saja ia kembali terjatuh sebelum akhirnya ada seseorang yang berhasil menopang tubuhnya yang kurus."Ya ampuuuun, Non?" ucapnya saat berhasil menahan tubuh Liana agar tidak terjatuh. Ternyata itu Alexa dan perawat pribadi Liana yang datang.Dengan sigap sang perawat segera memberikan obat yang harus Liana minum. "Makasih," katanya dengan lemah."Untungnya kita datang tepat waktu, kalau nggak ya ampiun, Non, Non! Nanti kalau udah tenang Yey harus cerita sama Ekye pokoknya! Sekarang Yey istirahat, kita stand by di sini. Kita bakal jagain Yey dua puluh lima jam kalau perlu!" ucapan Alexa berhasil membuat Liana tersenyum."Sekali lagi terima kasih, kalian seperti malaikat yang Allah kirim untuk aku," ujar Liana lemas. Tidak lama kemudian dia terlihat terlelap
Rasa penasaran pada sosok anak kecil yang berada di samping Revan, sepertinya harus Azila tahan dulu. Dia tidak mau merusak suasana hati yang kini sedang berbunga-bunga. Penantiannya pada pria bertubuh tinggi itu tak lekang oleh waktu. Dan kini, saat sang pujaan berada tepat di hadapannya, rasanya tidak rela harus merusak segalanya. "Sebaiknya nanti saja aku tanyakan tentang anak ini. Tapi tunggu, kenapa wajahnya sangat tidak asing, ya?" gumamnya dalam hati. Menyadari tingkah Azila, Raihanah dan Liana mencoba kembali mencairkan suasana yang mulai sedikit kaku dan ada kecanggungan. Mereka juga tidak tahu kalau Revan akan mengajak serta putri dari adiknya-mendiang Shopia-untuk hadir di acara dadakan hari ini. Awalnya mereka akan memberi kejutan di sebuah hotel berbintang. Tetapi karena Azila tiba-tiba masuk rumah sakit, semua rencana dipindahkan secara mendadak. "Hmmm, kita potong kuenya dulu, ya! Kasian tuh yang lain pada nungguin," pinta Liana pada Azila. "Iya, nih, Teh,
Tak terasa cairan itu kembali lolos membasahi pipinya. Cepat-cepat ia menyusutnya. Ia tidak ingin kembali larut dalam kesedihan. Perlahan Azila menutup kembali matanya, menikmati derasnya hujan yang membasahi tubuhnya. Seolah-olah ia bisa merasakan kehadiran Revan ada di dekatnya. Wangi aroma parfum yang ia kenal tiba-tiba menguar masuk ke dalam setiap hela napasnya."Bahkan wangi aroma tubuhmu masih bisa kuingat dengan baik." Azila menarik napas panjang, merasakan aroma parfum yang semakin dekat dengan dirinya."Tunggu! Wangi ini ...?" Azila mengendus wangi parfum itu tanpa membuka matanya."Nggak mungkin itu dia, sepertinya aku terlalu berharap kalau sekarang dia ada di depanku," ucapnya pelan.Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan berputar, perutnya juga mulai terasa mual, mungkin karena Azila seharian ini belum makan. Rencananya ia ingin makan bersama dengan Bi Nani dan Danur. "Neng, Bibi udah nemuin payung--, Yaa Allah, Neng? Kamu kenapa, Neng?" teriak Bi Nani terkejut. Ia berlar
"Sebuah jurang seperti sengaja dibuat untuk memisahkan kita. Seharusnya aku tahu diri, sejak awal, rasa ini tidak sepatutnya ada. Tapi, kenapa ...? Kenapa kamu tidak berterus terang di awal kalau rasa ini berbalas? Kenapa kamu harus pergi dengan menyisakan rasa bersalah yang besar di hidupku? Dan kini, kenapa kamu harus kembali saat aku berusaha keras untuk melupakan semua tentangmu?" Azila tertunduk lesu menatap sebuah foto yang berada di sebuah ruang kerja yang dulu adalah milik 'sang kakak'.Gadis itu akhirnya menangis sejadi-jadinya sesaat setelah mengirimkan sebuah pesan kepada sang ibu, kalau dirinya memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini.Langit kini berubah gelap, bintang-bintang sudah menampakan dirinya untuk menemani sang bulan menyinari malam yang syahdu. Suara daun-daun yang bergesekan karena tertiup angin malam, seolah berbisik lirih menyampaikan pesan rindu yang telah lama ditunggu. "Ya Rabb, hamba sungguh ikhlas dengan segala ketentuan yang telah Engkau gariskan un