Share

Bab 4. Tawaran dari Revan

Bukannya tempat ini, sebuah pemakamam umum. Dan ini tempat pemakamam yang sama dengan ayahku?

"Siapa yang meninggal?" Aku langsung bertanya pada Revan sesaat setelah keluar dari mobil.

"Nanti kau akan tahu di sana? Bisa tolong bantu ibuku berjalan?" pintanya padaku karena sang ibu tidak pernah melepaskan tangannya dariku.

"Tentu saja, dari tadi bahkan ibumu sama sekali belum melepaskan tangannya dariku," ucapku dengan nada sedikit kesal.

"Maaf, kami sudah merusak harimu. Tapi, terima kasih sudah berlaku baik dan sopan pada ibuku yang sedang sakit dan sepertinya ... kamu cocok jadi adikku," ujarnya lirih hampir saja tidak terdengar olehku.

"Maaf, bisa kamu ulangi kata-katamu yang terakhir!"

"Tidak, aku hanya bercanda. Tidak usah terlalu dipikirkan," jawabnya enteng yang membuatku kebingungan.

Ternyata benar, tempat ini pemakaman yang sama dengan ayahku berada, hanya berbeda blok. Dia membawaku ke pemakaman khusus untuk keluarga kaya. Perawatannya pun berbeda sesuai kelas mereka.

"Mah, kita sudah sampai di rumah Liana. Mama bisa melepaskan tangan Mama dari gadis itu," bisiknya lirih dekat telinga sang ibu.

Benar saja, seketika ibunya melepaskan tangannya dariku. Ibunya beralih pada sebuah batu nisan yang bertuliskan sebuah nama anaknya di sana. Lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal kematiannya. Tapi, mengapa bertuliskan binti, bukannya seharusnya bin? Entahlah, itu rahasia keluarga mereka, itu bukan urusanku.

Ternyata orang yang bernama Liana tersebut telah berpulang kepada Sang Pencipta. Sekarang aku tahu, apa yang menyebabkan ibunya menderita sakit seperti ini. Ternyata dia telah kehilangan anaknya untuk selamanya. Rasa sayang yang dia rasakan pastinya sangat besar, sampai-sampai dia belum ikhlas untuk kehilangan anaknya tersebut.

"Jadi, Liana ...?"

"Iya, itu Liana. Mungkin kalian seumuran. Satu tahun lalu kami mengalami kecelakaan mobil, aku masih beruntung masih diberikan kesempatan untuk melanjutkan hidup. Tapi ... Liana, dia harus meninggal di tempat. Aku merasa sangat bersalah, karena tidak bisa menjaga adikku satu-satunya. Semenjak kecelakaan itu, mental mama terguncang. Mama masih belum terima kalau Liana sudah tidak ada di dunia ini," jelasnya sambil mengusap lembut kepala sang ibu dan sesekali mengusap nisan Liana. Sudut matanya terlihat berembun.

Entah mengapa ada rasa sakit ketika Revan menceritakan semua ini. Ada satu desakan kesedihan yang aku sendiri tidak mengerti. Akan tetapi, anehnya ada rasa kagum untukku pada Revan. Di usianya yang kutaksir tidak jauh dariku, dia mau merawat ibunya yang sakit seperti ini.

"Maaf, jadi itu sebabnya ibumu terus memanggilku Liana?"

"Ya, wajah kalian ... benar-benar mirip."

***

Sekarang kami telah sampai di sebuah apartemen mewah di kawasan elit ibu kota. Revan mengajakku kemari karena tadi di pemakaman ibunya sempat kembali histeris. Untungnya, aku bisa membujuknya untuk kembali tenang. Revan khawatir ibunya akan kembali histeris jika aku pergi.

Aku merasa bersalah karena sempat berpikir buruk tentang mereka. Akan tetapi, Aku kini benar-benar terjebak dalam situasi yang tidak aku kira sebelumnya. Bersama seorang lelaki muda dan seorang wanita paruh baya yang sedang terguncang mentalnya karena kehilangan anaknya.

Kami telah tiba di depan kamar apartemen milik Revan. Sebuah apartemen dengan gaya minimalis dengan nuansa putih abu yang mendominasi. Kukira itu adalah warna kesukaan laki-laki yang berperawakan tinggi dengan kulit bersih yang pastinya terawat, yang kini ada di sampingku. Wangi parfumnya yang khas lelaki menambah kesan maskulin pada dirinya.

"Ini apartemenku. Aku sengaja membawa mama ke sini, di rumah, mama selalu histeris ketika melihat foto Liana," ucapnya setelah mempersilakan aku duduk. 

"Oh ...!" Hanya kata itu yang terucap, sebenarnya aku iri padanya. Masih muda, kaya dan wajah yang menawan. Kehidupan impian setiap orang.

Aku terus memperhatikan sekeliling apartemen ini, cukup luas untuk seorang laki-laki muda yang hanya tinggal sendirian. Keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaanku yang hanya bisa menumpang hidup pada saudara.

Revan terlihat menghubungi seseorang. Tidak berselang lama, seorang wanita dengan pakaian perawat telah tiba di kamar apartemen miliknya. Ibunya kini telah diserahkan kepada perawat tersebut. Sepertinya itu seorang perawat yang khusus mengurus segala kebutuhan sang ibu. Untungnya, ibunya dalam keadaan tenang dan langsung menurut ketika perawat itu mengajaknya.

Kruk, kruk ... suara perutku kembali terdengar. Aku tersenyum malu karena sepertinya Revan mendengarnya.

"Sepertinya kamu lapar. Tunggu sebentar! Aku sudah memesan makanan untuk makan malam."

"Iya, aku memang lapar, tadi di minimarket aku mau membeli roti untuk mengganjal perutku, tapi tiba-tiba ibumu menggenggam tanganku dan akhirnya aku lupa untuk sekedar mengisi perut ini. Akhirnya semua cacing di perutku berdemo," ucapku terus terang tanpa rasa malu. 

"Sekali lagi aku minta maaf!" ujarnya pelan diakhiri sebuah senyum dengan sebuah lesung pipi yang terukir di senyumnya yang manis.

Tunggu, sejak kapan aku mulai mengagumi lelaki muda di depanku ini?

Akhirnya makanan yang ia pesan datang, dengan cekatan ia mempersiapkan makanan dan menghidangkannya di atas meja. Aku tidak menyangka laki-laki muda kaya seperti dia mau melakukan ini semua. Biasanya mereka manja karena selalu terbiasa dilayani oleh para pelayan. Tidak bisa aku pungkiri, lagi-lagi aku mengagumi Revan.

"Apa kamu sedang mencari pekerjaan?" tanyanya memecah kesunyian yang semula hanya diisi oleh suara denting alat makan.

"Iya, dari mana kamu tahu?" jawabku dengan mulut penuh. Rasa lapar ini begitu menyiksa, apalagi hidangan yang tersaji begitu menggugah selera.

"Dari pakaianmu." Tatapannya kini tertuju pada pakaian yang aku pakai.

"Iya, tadi siang seharusnya aku ada wawancara kerja. Tapi, semua gagal. Mungkin belum rezekinya," balasku cepat.

"Apa kamu mau berpura-pura menjadi adikku?"

"Ukhuk, ukhuk, ukhuk ...."

Aku terkejut mendengar apa yang baru saja Revan ucapkan. Aku langsung menenggak segelas air yang ada di depanku. Seketika, aku langsung menghentikan aktivitas makanku.

"Are you ok? Sorry! Kalau perkataanku baru saja membuatmu terkejut. Aku hanya berpikir, mungkin kehadiranmu bisa mengobati kerinduan mama pada Liana."

Aku hanya bergeming. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibirku ini. Apa dia sudah ikut tidak w4ras seperti ibunya? Apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya?

"Tenang saja, aku pasti akan membayarmu. Anggap saja aku memberimu pekerjaan karena hari ini aku dan mama telah mengacaukan harimu. Kamu hanya perlu menemani mama. Aku sangat berharap mamaku bisa segera sembuh seperti sedia kala." Raut wajahnya berubah sendu.

"Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang, aku tahu ini tidak mudah untuk seorang yang baru saja kau temui. Tapi tenang, aku bukan laki-laki jahat dan aku tidak punya maksud lain. Jadi jangan berpikir negatif tentangku," katanya

memberiku penjelasan.

Mendengar tawaran yang Revan ajukan, aku menjadi tergoda. Namun, Aku sedikit ragu apakah di lain hari akan ada masalah baru ketika aku menerima tawarannya? Apa yang akan terjadi nanti kalau sampai ibunya pulih dan tahu aku berpura-pura menjadi anaknya yang telah meninggal?

Akan tetapi, dia berkata akan membayarku. Setelah aku gagal untuk menjual ginjalku, apakah ini kesempatan untukku bisa mempunyai uang untuk membayar hutang almarhum ayahku dan membantu biaya operasinya Danur? Selain itu, aku ingin tahu semirip apa aku dan Liana. Apa jangan-jangan ... kami sebenarnya adalah saudara kembar yang terpisahkan?

"Baik, aku akan memikirkan tawaranmu." Sorot matanya seketika berbinar mendengar ucapanku.

Tiba-tiba aku teringat dengan Bi Nani dan Danur. Aku mencari benda pipih yang biasanya terus berdering. Sial, ke mana ponselku? Apa tertinggal di dalam mobil Revan?

"Maaf, aku harus pulang sekarang! Ini sudah malam. Bibi pasti mencariku." Aku beranjak, bermaksud merapikan piring sisa makanku.

"Tidak usah dibereskan, biarkan saja! Kamu tamuku. Aku berhak menjamu dengan yang terbaik," sanggahnya saat aku akan merapikan meja makan.

"Sepertinya Mama juga sudah tertidur, aku akan antar kamu pulang!" ucapnya lagi.

"Tidak perlu! Aku bisa pulang sendiri," tolakku aku tidak ingin dia tahu di mana aku tinggal saat ini.

"Ini sudah malam, aku takut terjadi sesuatu padamu," ujarnya seperti mengkhawatirkanku. Ternyata tidak hanya berwajah menawan, dia juga terlihat baik dan perhatian.

'Ya Allah, dia seperti malaikat yang akan menolongku keluar dari semua permasalahan hidupku,' batinku lirih.

Revan telah berganti pakaian dengan yang lebih casual. Sebuah polo shirt warna abu muda melekat pas di badannya yang tinggi.

Aku memalingkan wajahku ke sembarang arah, aku takut dia tahu kalau aku sedang memperhatikannya.

"Apa nanti kamu bisa datang lagi ke sini menemui mamaku?" tanyanya setelah berada tepat di hadapanku.

"Aku tidak tahu, kita lihat nanti!" jawabku asal, karena sebenarnya aku menjadi gugup saat di dekatnya.

"Aku mengerti. Ayo, aku antar kamu pulang!" ajaknya padaku.

Sebenarnya sebelum aku pergi, aku ingin melihat ibunya Revan. Tapi, Revan tidak mempersilakan aku melakukan itu. Akhirnya, kami keluar dari apartemen dan menuju ke bestmen tempat Revan memarkirkan mobilnya.

Sesampainya di dalam mobil, aku langsung mencari keberadaan ponselku.

"Kamu sedang mencari apa?" tanyanya bingung melihat tingkahku.

"Ponselku, aku lupa menyimpannya. Aku kira ponselku terjatuh di sini," balasku sambil terus mencari keberadaan ponselku yang terjatuh.

"Alhamdulillah ketemu!" pekik ku keras karena bahagia benda berharga satu-satunya milikku berhasil kutemukan.

Revan hanya membalas dengan sebuah tawa kecil. Revan memintaku untuk duduk di sampingnya. Kemudian dia mulai melajukan kendaraan roda empatnya keluar meninggalkan apartemen.

Ternyata batere ponselku mati. Aku mulai mengisi daya ponselku. Revan fokus ke jalanan sambil sesekali mengajakku berbincang. Beberapa saat kemudian aku menghidupkan daya ponselku. Sepuluh panggilan tidak terjawab dari Bi Nani. Astagfirulloh, ada apa ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status