Share

Bab 5. Awal Sebuah Perjanjian

"Ada apa? Kenapa raut wajahmu terlihat cemas?"

"Ternyata banyak panggilan tidak terjawab dari bibiku. Aku khawatir terjadi sesuatu di rumah. Bisa tolong lajukan mobilmu lebih cepat!" pintaku dengan perasaan panik.

"Baiklah, untungnya jalanannya tidak terlalu padat," balasnya yang mulai melihat kepanikan di raut wajahku.

Sesampainya di depan rumah Bi Nani, aku dibuat terkejut dengan keadaan di sini.

'Astaghfirullah. Sebenarnya ada apa ini?'

Tanpa memperdulikan keberadaan Revan, aku berlari memasuki rumah. Kulihat Bi Nani sedang bersimpuh di lantai.

"Ya Allah, ini kenapa, Bi?" tanyaku cemas.

Bi Nani menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi.

"Sial, aku terlambat!" gumamku geram.

Tidak berselang lama, Revan datang menghampiri kami. Aku baru tersadar akan keberadaannya. Sepertinya Revan mendengar semuanya.

Dia langsung berpamitan karena ternyata sang ibu terus saja mencarinya. Aku baru teringat dengan tawaran yang tadi Revan berikan.

"Tunggu!" Aku menghentikan langkahnya sebelum ia membuka pintu mobil.

"Apakah tawaranmu yang tadi masih berlaku?" tanyaku memastikan kembali tawarannya. Aku takut ia berubah pikiran setelah melihat keadaanku di sini.

"Tentu. Apa kamu sudah mendapatkan jawabannya?" Revan balik bertanya kepadaku.

Mendengar pertanyaannya, keraguan kembali datang. Tapi, ini jalan satu-satunya agar aku bisa segera mendapatkan uang dalam waktu dekat. Keselamatan Bi Nani dan Danur sekarang menjadi tanggung jawabku juga.

"Sebaiknya kita bicarakan ini nanti. Ini sudah larut sebaiknya tenangkan dulu pikiranmu sebelum mengambil keputusan. Ini kartu namaku, di sana ada nomor teleponku. Kamu bisa menghubungiku nanti," ucapnya ketika melihatku hanya terdiam dan tidak memberikan jawaban.

Revan mulai memasuki mobilnya. Dalam hitungan menit mobil itu telah hilang dari pandanganku.

***

Sekarang aku kembali berdiri di depan gedung apartemen milik Revan. Tidak ingin menunggu lama, tadi pagi gegas aku menghubungi nomor yang tertera di sebuah kartu nama yang Revan berikan. Dan akhirnya dia memintaku untuk datang lagi ke apartemen miliknya.

Sebelumnya, aku meminta Bi Nani dan Danur untuk sementara pergi dari rumah itu. Aku takut ketika aku pergi para rentenir itu datang lagi ke rumah Bi Nani.

Dengan perasaan yang penuh keyakinan, aku mulai melangkahkan kaki menuju pintu masuk. Berjalan menuju sebuah elevator yang akan mengantarkanku ke lantai lima di mana kamar Revan berada.

Ting! Suara pintu elevator mulai terbuka. Hanya ada aku di sana. Setelah menekan angka lima pintu elevator mulai tertutup. Tapi, tiba-tiba pintu elevator tertahan. Apa jangan-jangan ...?"

Saat pintu elevator kembali terbuka, ternyata ... itu Revan. Aku sempat panik, aku takut para rentenir itu mengikutiku sampai ke tempat ini. Walaupun aku memakai masker tapi rasanya aku tetap harus waspada. Ah, rasanya aku yang menjadi penj4hatnya di sini. Aku melepaskan masker dan tersenyum ke arahnya.

"Ternyata benar itu kamu. Kupikir aku salah orang." Sapanya yang diakhiri dengan senyumnya yang manis.

"Tadi, hampir saja jantungku terlepas. Aku kira para b4ndit tua itu mengejarku sampai di sini," ujarku dengan memegang d4daku sebelah kiri.

"Tenang saja, kamu tidak perlu takut. Oh ya, maaf sudah merepotkanmu untuk datang ke apartemenku. Mama sedang istirahat sebaiknya kita bicara di cafe saja," ucapnya sambil menarik tanganku keluar dari elevator. 

Aku tidak bisa berkutik dan mengekor di belakangnya. Sesampainya di cafe yang Revan tuju, ia mengajakku ke sebuah tempat duduk favoritnya. Suasana cafe yang nyaman, dengan alunan musik santai di siang hari serta ruangan yang sejuk dan tidak terlalu banyak pengunjung malah membuatku menjadi mengantuk.

Seorang waiters menghampiri kami. Ia menyodorkan buku menu di hadapanku. Revan mempersilakanku untuk memilih menu yang sudah tertulis di sana. Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti apa nama makanan yang tertulis di sini. Dari bahasa yang digunakan sepertinya cafe ini berkonsep Japanese food.

Aku termasuk tipe orang yang tidak terlalu senang masuk ke tempat seperti ini. Selain harganya yang tidak bersahabat dengan sakuku, makan baso urat Teh Mimin lebih pas di lidahku.

"Mau pesan apa?" tanyanya ketika aku hanya membolak-balik halaman buku menu tersebut.

"Aku tidak lapar, aku pesan minuman saja. Satu minuman yang sama dengan yang kamu pesan, " jawabku. Aku tidak boleh terlihat bo*doh di hadapannya.

"Ok!"

Dia terlihat menunjuk beberapa gambar dan langsung dicatat oleh waiters.

"Jadi, kau setuju untuk berpura-pura menjadi adikku?" tanyanya sesaat setelah waiters tadi meninggalkan kami.

"Iya. Aku mau berpura-pura menjadi adikmu. Asal ... kau tidak lupa dengan janjimu. Aku sangat butuh uang itu sekarang. Kemarin kamu lihat sendiri bagaimana rumah Bi Nani mereka acak-acak. Aku tidak mau terus-menerus mereka teror. Walaupun beliau bukan ayah kandungku, aku tetap harus melunasi hutang-hutangnya. Setidaknya di sana beliau bisa lebih tenang," balasku dengan sudut mata yang mulai memanas.

"Aku mengerti. Tapi, aku juga memiliki syarat."

"Syarat? Apa itu?"

"Pertama, kamu harus bisa membantu memulihkan kesehatan mental mama. Kedua, ketika nanti ayahku datang, kamu harus bersembunyi atau paling tidak kamu harus menggunakan masker! Aku tidak mau ayah sampai tahu kemiripan wajahmu dengan adikku, itu akan membahayakan nyawamu! Ketiga, jangan coba-coba mencintaiku! Kita hanya partner dan setelah kesehatan mental mama membaik perjanjian ini berakhir. Kamu setuju?" ujarnya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku.

Aku tersentak saat Revan tiba-tiba mendekati wajahku. "Kamu bersedia?" tanyanya untuk kedua kalinya.

Aku mencoba mencerna setiap perkataan yang Revan ucapkan. "Maksud kamu?"

"Ikuti saja dan jangan banyak bertanya!" ucapnya dengan penuh penekanan kini.

Seketika, Revan yang kukenal ramah dan terlihat baik kini berubah dingin. Seperti mempunyai dua kepribadian yang berbeda. Tapi, sudahlah yang penting aku bisa segera mendapatkan uang itu. Setelah mamanya pulih aku tidak akan terikat lagi dengannya. Dan apa? Dia bilang jangan coba-coba mencintainya? Ya, ya, ya, aku bahkan cukup tahu diri tentang siapa aku.

Tidak berselang lama, makanan yang ia pesan sudah datang.

Tanpa mendengar lagi jawabanku, Revan memintaku untuk menyebutkan nomor rekeningku. "Berapa nomor rekeningmu?" tanyanya disela ia menyantap hidangan yang telah tersaji.

"Saat ini aku tidak punya tabungan di bank. Jadi, aku tidak punya nomor rekening yang kamu pinta," jawabku jujur apa adanya.

"Baiklah, aku sudah menduganya. Kartu debit ini sudah aku isi dengan sejumlah uang, kamu bisa menggunakannya untuk kebutuhanmu. Tenang saja aku akan secara berkala mengisinya. Selain itu, kamu harus merubah penampilanmu agar terlihat seperti Liana. Jadi, belanjakan apa yang nanti akan dibutuhkan!" Dia menyerahkan sebuah kartu debit platinum berwarna hitam setahuku kartu ini memiliki limit yang cukup besar.

"Dan ini cek, kamu bisa gunakan uang itu untuk membayar semua hutang-hutang ayahmu dan yang lainnya." Revan memberiku selembar cek dan seketika ... mataku membulat sempurna saat aku melihat nominal angka yang tertera di sana. Deretan nol yang berjejer di belakang angka dua berhasil membuatku ternganga.

Du-dua milyar? Apa benar semua uang ini untukku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status