"Ada apa? Kenapa raut wajahmu terlihat cemas?"
"Ternyata banyak panggilan tidak terjawab dari bibiku. Aku khawatir terjadi sesuatu di rumah. Bisa tolong lajukan mobilmu lebih cepat!" pintaku dengan perasaan panik.
"Baiklah, untungnya jalanannya tidak terlalu padat," balasnya yang mulai melihat kepanikan di raut wajahku.
Sesampainya di depan rumah Bi Nani, aku dibuat terkejut dengan keadaan di sini.
'Astaghfirullah. Sebenarnya ada apa ini?'
Tanpa memperdulikan keberadaan Revan, aku berlari memasuki rumah. Kulihat Bi Nani sedang bersimpuh di lantai.
"Ya Allah, ini kenapa, Bi?" tanyaku cemas.
Bi Nani menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi.
"Sial, aku terlambat!" gumamku geram.
Tidak berselang lama, Revan datang menghampiri kami. Aku baru tersadar akan keberadaannya. Sepertinya Revan mendengar semuanya.
Dia langsung berpamitan karena ternyata sang ibu terus saja mencarinya. Aku baru teringat dengan tawaran yang tadi Revan berikan.
"Tunggu!" Aku menghentikan langkahnya sebelum ia membuka pintu mobil.
"Apakah tawaranmu yang tadi masih berlaku?" tanyaku memastikan kembali tawarannya. Aku takut ia berubah pikiran setelah melihat keadaanku di sini.
"Tentu. Apa kamu sudah mendapatkan jawabannya?" Revan balik bertanya kepadaku.
Mendengar pertanyaannya, keraguan kembali datang. Tapi, ini jalan satu-satunya agar aku bisa segera mendapatkan uang dalam waktu dekat. Keselamatan Bi Nani dan Danur sekarang menjadi tanggung jawabku juga.
"Sebaiknya kita bicarakan ini nanti. Ini sudah larut sebaiknya tenangkan dulu pikiranmu sebelum mengambil keputusan. Ini kartu namaku, di sana ada nomor teleponku. Kamu bisa menghubungiku nanti," ucapnya ketika melihatku hanya terdiam dan tidak memberikan jawaban.
Revan mulai memasuki mobilnya. Dalam hitungan menit mobil itu telah hilang dari pandanganku.
***
Sekarang aku kembali berdiri di depan gedung apartemen milik Revan. Tidak ingin menunggu lama, tadi pagi gegas aku menghubungi nomor yang tertera di sebuah kartu nama yang Revan berikan. Dan akhirnya dia memintaku untuk datang lagi ke apartemen miliknya.
Sebelumnya, aku meminta Bi Nani dan Danur untuk sementara pergi dari rumah itu. Aku takut ketika aku pergi para rentenir itu datang lagi ke rumah Bi Nani.
Dengan perasaan yang penuh keyakinan, aku mulai melangkahkan kaki menuju pintu masuk. Berjalan menuju sebuah elevator yang akan mengantarkanku ke lantai lima di mana kamar Revan berada.
Ting! Suara pintu elevator mulai terbuka. Hanya ada aku di sana. Setelah menekan angka lima pintu elevator mulai tertutup. Tapi, tiba-tiba pintu elevator tertahan. Apa jangan-jangan ...?"
Saat pintu elevator kembali terbuka, ternyata ... itu Revan. Aku sempat panik, aku takut para rentenir itu mengikutiku sampai ke tempat ini. Walaupun aku memakai masker tapi rasanya aku tetap harus waspada. Ah, rasanya aku yang menjadi penj4hatnya di sini. Aku melepaskan masker dan tersenyum ke arahnya.
"Ternyata benar itu kamu. Kupikir aku salah orang." Sapanya yang diakhiri dengan senyumnya yang manis.
"Tadi, hampir saja jantungku terlepas. Aku kira para b4ndit tua itu mengejarku sampai di sini," ujarku dengan memegang d4daku sebelah kiri.
"Tenang saja, kamu tidak perlu takut. Oh ya, maaf sudah merepotkanmu untuk datang ke apartemenku. Mama sedang istirahat sebaiknya kita bicara di cafe saja," ucapnya sambil menarik tanganku keluar dari elevator.
Aku tidak bisa berkutik dan mengekor di belakangnya. Sesampainya di cafe yang Revan tuju, ia mengajakku ke sebuah tempat duduk favoritnya. Suasana cafe yang nyaman, dengan alunan musik santai di siang hari serta ruangan yang sejuk dan tidak terlalu banyak pengunjung malah membuatku menjadi mengantuk.
Seorang waiters menghampiri kami. Ia menyodorkan buku menu di hadapanku. Revan mempersilakanku untuk memilih menu yang sudah tertulis di sana. Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti apa nama makanan yang tertulis di sini. Dari bahasa yang digunakan sepertinya cafe ini berkonsep Japanese food.
Aku termasuk tipe orang yang tidak terlalu senang masuk ke tempat seperti ini. Selain harganya yang tidak bersahabat dengan sakuku, makan baso urat Teh Mimin lebih pas di lidahku.
"Mau pesan apa?" tanyanya ketika aku hanya membolak-balik halaman buku menu tersebut.
"Aku tidak lapar, aku pesan minuman saja. Satu minuman yang sama dengan yang kamu pesan, " jawabku. Aku tidak boleh terlihat bo*doh di hadapannya.
"Ok!"
Dia terlihat menunjuk beberapa gambar dan langsung dicatat oleh waiters.
"Jadi, kau setuju untuk berpura-pura menjadi adikku?" tanyanya sesaat setelah waiters tadi meninggalkan kami.
"Iya. Aku mau berpura-pura menjadi adikmu. Asal ... kau tidak lupa dengan janjimu. Aku sangat butuh uang itu sekarang. Kemarin kamu lihat sendiri bagaimana rumah Bi Nani mereka acak-acak. Aku tidak mau terus-menerus mereka teror. Walaupun beliau bukan ayah kandungku, aku tetap harus melunasi hutang-hutangnya. Setidaknya di sana beliau bisa lebih tenang," balasku dengan sudut mata yang mulai memanas.
"Aku mengerti. Tapi, aku juga memiliki syarat."
"Syarat? Apa itu?"
"Pertama, kamu harus bisa membantu memulihkan kesehatan mental mama. Kedua, ketika nanti ayahku datang, kamu harus bersembunyi atau paling tidak kamu harus menggunakan masker! Aku tidak mau ayah sampai tahu kemiripan wajahmu dengan adikku, itu akan membahayakan nyawamu! Ketiga, jangan coba-coba mencintaiku! Kita hanya partner dan setelah kesehatan mental mama membaik perjanjian ini berakhir. Kamu setuju?" ujarnya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku.
Aku tersentak saat Revan tiba-tiba mendekati wajahku. "Kamu bersedia?" tanyanya untuk kedua kalinya.
Aku mencoba mencerna setiap perkataan yang Revan ucapkan. "Maksud kamu?"
"Ikuti saja dan jangan banyak bertanya!" ucapnya dengan penuh penekanan kini.
Seketika, Revan yang kukenal ramah dan terlihat baik kini berubah dingin. Seperti mempunyai dua kepribadian yang berbeda. Tapi, sudahlah yang penting aku bisa segera mendapatkan uang itu. Setelah mamanya pulih aku tidak akan terikat lagi dengannya. Dan apa? Dia bilang jangan coba-coba mencintainya? Ya, ya, ya, aku bahkan cukup tahu diri tentang siapa aku.
Tidak berselang lama, makanan yang ia pesan sudah datang.
Tanpa mendengar lagi jawabanku, Revan memintaku untuk menyebutkan nomor rekeningku. "Berapa nomor rekeningmu?" tanyanya disela ia menyantap hidangan yang telah tersaji.
"Saat ini aku tidak punya tabungan di bank. Jadi, aku tidak punya nomor rekening yang kamu pinta," jawabku jujur apa adanya.
"Baiklah, aku sudah menduganya. Kartu debit ini sudah aku isi dengan sejumlah uang, kamu bisa menggunakannya untuk kebutuhanmu. Tenang saja aku akan secara berkala mengisinya. Selain itu, kamu harus merubah penampilanmu agar terlihat seperti Liana. Jadi, belanjakan apa yang nanti akan dibutuhkan!" Dia menyerahkan sebuah kartu debit platinum berwarna hitam setahuku kartu ini memiliki limit yang cukup besar.
"Dan ini cek, kamu bisa gunakan uang itu untuk membayar semua hutang-hutang ayahmu dan yang lainnya." Revan memberiku selembar cek dan seketika ... mataku membulat sempurna saat aku melihat nominal angka yang tertera di sana. Deretan nol yang berjejer di belakang angka dua berhasil membuatku ternganga.
Du-dua milyar? Apa benar semua uang ini untukku?
"Kenapa? Apa uangnya kurang?" tanya Revan kemudian. "Tidak, ini terlalu banyak, aku tidak bisa menerimanya," jawabku seraya menyerahkan cek itu kembali. "Bukankah kamu ingin terbebas dari para rentenir itu? Terus kenapa kamu tidak mau menerima cek dariku? Tenang saja, uangku tidak akan berkurang hanya karena cek yang kuberikan padamu!" ucapnya enteng. Ia sedikit menyombongkan harta yang dimilikinya. Tentu saja, baginya uang mungkin tidak bernilai. Ketika kita memiliki privilege dan orang dalam kekuasaan sudah pasti dalam genggaman. "Tetap saja, bagiku ini terlalu banyak! Aku bukan orang yang suka memanfaatkan keadaan!" tolakku lagi. "Sudahlah, lebih baik kamu terima! Anggap saja itu bayaran untuk kontrak kerja yang nanti akan kamu lakukan," ujarnya san
"Tunggu! Biar aku obati lukamu dulu. Apa di mobilmu ada peralatan P3K?" Aku mencari kotak P3K itu di dalam mobil. "Tidak perlu, Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil," tolaknya saat akan kuobati. Aku meneteskan cairan alkohol pada sebuah kapas dan mulai menempelkannya perlahan pada luka disekitar pipi dan sudut bibirnya. "Aw," ringisnya menahan perih. "Maaf, tahan sebentar. Aku beri plester terlebih dahulu." Saat hendak memasangkan plester, tiba-tiba tangan Revan memegang tanganku. Tatapan kami akhirnya bertemu. "Kamu mengingatkanku dengan Liana." Aku yang tadinya salah tingkah langsung melepaskan tangan Revan. Berusaha mengendalikan diri dan mencoba setenang mungkin. "Ya, jelas saja. Karena wajah kami mirip, bukan?" Aku lekas merapikan peralatan P3K dan menyimpannya ke tempatnya semula. Zila, Zila. Tidak sepantasnya aku memikirkan hal konyol itu. Mana mungkin dia akan menyukaiku. Kita hanya partner, jangan coba-coba mencintaiku. Pernyataannya masih ku ingat dengan jel
"Entahlah, mungkin kami sebenarnya adalah kembar yang terpisahkan oleh ... takdir," jawabku asal. Walaupun dalam hati aku berharap dia memang kembaranku. "What?" Sejak kapan memangnya Nona Liana punya kembaran?" tanya Alexa dengan mulut ternganga. "Aku bilang 'mungkin', aku sendiri bahkan belum pernah lihat semirip apa aku dengan gadis yang bernama Liana itu. Mereka hanya bilang aku mirip dan mirip tanpa memperlihatkan foto mendiang padaku." "Ya udah nanti juga yu bakal tau dengan sendirinya, iya 'kan? Eyke sekarang keluar buat manggil petugas terapisnya ke sini. Pokoknya habis ini, yu pasti beneran bakal dibuat se-rileks mungkin." Alexa pamit meninggalkan ruangan ini. "Wah, ruangannya indah sekali. Sungguh nyaman menjadi orang kaya, mereka selalu dimanjakan
"Kenapa Azila harus mengembalikan cek ini, Bi? Dengan uang ini Zila bisa membayar seluruh hutang peninggalan almarhum ayah dan kita bisa terbebas dari para rentenir dan debt kolektor itu. Selain itu, uang ini bisa Bibi pakai untuk operasi Danur nanti," tegasku. Aku kecewa Bi Nani malah memintaku untuk mengembalikan cek ini. Aku kira Bi Nani akan senang dan melompat girang ketika melihat cek ini. Ternyata dugaanku salah."Iya, Bibi tahu. Bibi mengerti. Bibi juga sangat butuh uang itu. Tapi, Bibi tidak mau kamu mendapatkan uang dengan jalan yang salah. Sekarang Bibi tanya? Pekerjaan apa yang Revan berikan dengan bayaran sebesar ini, kalau bukan menjual diri?" ucapnya pedas. "Lihat penampilanmu sekarang!" pekiknya keras. Emosinya meledak. Baru kali pertama, aku melihat Bi Nani semarah ini. Apakah seperti ini, sikap seorang ibu ketika mengkhawatirkan anaknya?"Astaghfirullah,
"Selamat Pak Revan, kinerja Anda sangat bagus dalam memimpin perusahaan ini. Ibu Raihanah pasti sangat bangga pada Anda.""Selamat, Pak. Anda layak jadi CEO di sini.""Anda hebat, pemuda pemberi inspirasi! Muda dan berprestasi. Lanjutkan!""Kami tunggu gebrakan dan inovasi terbaru Anda untuk perusahaan ini!" Itulah, ucapan para penjilat setelah aku terpilih kembali sebagai CEO di perusahaan mama. Mereka adalah orang-orang yang telah papa suap untuk memenangkan vote pemilihan CEO baru pada rapat dewan direksi. "Sudah papa bilang kamu yang akan terpilih kembali, 'kan?" ucap Papa senang ketika aku akhirnya yang terpilih menjadi CEO. "Kamu pantas dan layak mendapatkan semua ini, papa bangga padamu, Nak," ucapnya bangga. "Semua salah, Pah. Jabatan ini seharusnya milik Liana. Papa tahu, semua orang tahu ... kalau aku ini bukan anak kandun
Tin! Tin! Tin! Bip! Bip!Suara monitor tanda vital menggema di seluruh ruangan ICU tempat Liana kini terbaring. Sudah hampir satu tahun sejak kecelakaan naas itu terjadi, Liana belum juga tersadar dari komanya. Namun, aku bersyukur, Tuhan masih memberikan kami kesempatan hidup setelah kejadian tabrakan itu. Walaupun Liana, hanya bisa hidup dengan bantuan dari alat-alat medis yang menempel pada tubuhnya."Maaf, aku datang terlambat, Ana!" ucapku lembut dekat dengan telinga sebelah kanan Liana.Aku sengaja membuat tempat ini khusus untuk Liana. Lokasinya berada di dalam salon Kecantikan Nonamuda. Dengan begitu, papa tidak menyadari nya. Dengan dokter dan perawat terbaik yang kudatangkan khusus untuk menjaga Liana di sini. Bukan tanpa maksud aku menempatkan Liana di sini. Semua demi menyelamatkan hidupnya. Papa yang mengetahui Liana masih hidup pasca kecelakaan itu, terus berusaha mencari cara untuk melenyapkann
Azila kini tengah berada di dalam sebuah mobil bersama seorang asisten yang telah Revan tugaskan untuk menjemputnya. Sesuai janji Revan tempo hari, ia akan mengirimkan seseorang untuk menjemputnya. "Kamu mau bawa saya ke mana? Ini bukan jalan menuju apartemen Revan, bukan?" tanya Azila pada Asisten Revan yang belum dia tahu siapa namanya. Tadi asisten itu hanya memperkenalkan dirinya tanpa menyebutkan nama. "Maaf, Nona. Saya diperintahkan untuk membawa Nona ke kediaman keluarga Tuan Yudistira yang berada di jalan Cenada. Tuan muda dan Nyonya besar sudah menunggu Anda di sana," jelas asisten itu pada Azila. "Jalan Cendana? Sepertinya aku pernah melihat sebuah tulisan 'Jalan Cendana' di buku harian ayah yang tak sengaja kutemukan ditumpukan buku-buku lamaku dulu. Tapi aku lupa jalan Cendana nomor berapa waktu itu? Apakah tempat itu, tempat di mana ayah dulu bekerja?" ucap Azila dalam hatinya, tiba-tiba setel
"Aaaaaaaa ...! Kamu bukan anakku! Kamu bukan anakku! Kamu bukan Liana? Di mana Liana? Di mana Liana?" Ibunya kembali histeris setelah sadar kalau Azila bukan anaknya. Seperti singa yang akan menerkam mangsanya, sang nyonya besar melotot tajam ke arah Azila. "Zila, sebaiknya kamu mundur. Saat ini kondisi mama sangat di luar kendali. Itu bisa membahayakan dirimu!" seru Revan agar Azila menjauh dari sang ibu. Azila tidak mengindahkan ucapan Revan, ia malah berjalan mendekatinya. "Ma, Mama sama sekali tidak mengenaliku? Apa hanya Liana yang ada di hati mama?" batin Azila sedih. Bugh! Seketika gelas yang sedari tadi ia pegang langsung melayang mengenai kepala Azila. Prang! Serpihan pecahan gelas langsung berserakan di lantai. "Ya Allah, apa ini?" Azila terkejut dan tidak sempat mengelak. Ia memegang kepalanya, ada cairan hangat yang tiba-tiba merembes