Share

Bab 5

Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka oleh Mas Haris, aku segera meletakkan kembali ponselnya. Meskipun dada ini bergemuruh amarah, tapi aku harus tetap santai menyikapinya sambil mencari bukti lainnya yang lebih akurat lagi. 

Mas Haris menghampiriku lalu mengambil benda pipih yang barusan kuletakkan di atas meja. 

"Mas, maaf, Sisil mau masuk sekolah, aku harus mendaftarkan di sekolah bonafit, boleh minta uang dua puluh juta?" tanyaku sambil duduk dengan posisi kesepuluh jari ditautkan. 

"Dua puluh juta duit dari mana, Dek? Aku kan sudah pakai uang untuk DP mobil kemarin," timpal Mas Haris. Salahku juga tadi tidak melihat saldonya hanya mengecek mutasi saja. 

"Terus sekolah anakmu bagaimana, Mas?" tanyaku lagi. 

"Yang murah aja, yang masuknya lima juta ke bawah, ada kan?" tanya Mas Haris balik. Ia begitu perhitungan untuk anak istri, tapi tadi aku lihat transferan ke janda lebih banyak dari jatah bulananku.

'Tenang, Elena, jangan gegabah, dia santai, aku harus lebih elegan,' gumamku dalam hati. 

"Ya udah, Mas, lima juta nggak apa-apa," timpalku padanya. 

Kemudian, aku masuk ke dalam kamar melihat Sisil yang tengah tertidur lelap. Aku menatap wajah polosnya sendu, feelingku tidak enak dengan masa depan Sisil, mungkin ia akan kehilangan sosok ayah yang begitu ia kagumi saat ini. 

Kenapa aku berpikir seperti itu? Bukankah belum ada bukti akurat yang menyatakan suamiku ada hubungan gelap? 

Aku mondar-mandir di dekat jendela menghadap jalan ke arah luar jendela. Tiba-tiba ingat bahwa aku punya naskah nganggur di laptop. Ada satu judul novel yang belum aku publikasikan di jagat platform online. Akhirnya aku duduk dan meletakkan laptop di atas paha ini. 

"Aku coba peruntungan masukin naskah ini saja, siapa tahu menghasilkan uang banyak dan bisa membantuku untuk jadi wanita karir." Aku bicara sendirian sambil membuka laptop dan mengirimkan naskah satu persatu ke lima platform. 

"Selesai, semoga bisa menghasilkan uang, untuk pegangan aku jika Mas Haris memang ketahuan ada main belakang," cetusku sambil menutup laptop. 

Ketika aku merebahkan tubuh ini, Mas Haris masuk. Tiba-tiba ia mengambil kunci mobil dan berpamitan padaku. 

"Loh mau ke mana, Mas? Ini malam minggu loh." Aku bangkit sambil mengikat rambut yang tergerai. 

"Iya, ada mau jenguk teman yang tinggal di daerah Depok, katanya masuk rumah sakit karena kecelakaan, aku kan atasan, Dek, harus gerak cepat mengurus asuransi dan yang lainnya." Mas Haris mengulurkan tangannya sambil pamit. Lalu menggeser tubuhnya ke arah Sisil yang masih tertidur. 

Dadaku bergetar, perasaan buruk bermunculan, pikiran negatif lalu lalang di kepala. Entah kenapa aku merasa ada yang janggal dengan ucapan Mas Haris barusan. Namun, aku bisa apa? Hanya diam menjaga Sisil di rumah. 

"Ya udah hati-hati, Mas, siapa nama anak buahmu yang kecelakaan, Mas?" tanyaku sebelum ia melangkah ke luar pintu. 

Mas Haris terdiam sejenak, kemudian menyebutkan satu nama. "Arif!" teriaknya sambil membuka handle pintu. Aku pun mengekor sampai garasi mobil, 'Padahal itu mobil belum ada plat nomor, tapi ia berani membawanya ke lokasi Depok yang cukup jauh dari rumah kami, ini benar atau tidak sih?' tanyaku dalam hati sambil melambaikan tangan ke arah mobil Mas Haris. 

"Ingin ikuti mobilnya, tapi Sisil tidak ada yang jaga," ujarku bicara sendirian. 

Kemudian, Bu Dara melintasi rumahku dengan menggunakan mobilnya dengan seorang laki-laki. Kacabya terbuka jadi ia berhenti dulu sejenak sekadar menyapa. 

"Mbak Elena kok malam-malam di luar?" tanyanya sambil menoleh dari sebelah laki-laki itu. 

"Oh, abis nganter suami ke luar, Bu, barusan pergi," jawabku agak menundukkan kepala dan menyunggingkan senyuman untuknya. 

"Oh ya sudah, saya permisi ya," tutur Bu Dara, mamanya Ondi yang sempat menonjok anakku. 

Aku duduk di depan televisi, merasa lemah tidak bisa melakukan apa-apa di rumah. Padahal hati ini penuh firasat buruk. Tangan ini mengepal sambil memukul sofa empuk yang kami beli sebulan setelah menikah. "Argh, ternyata aku butuh asisten rumah tangga untuk menjaga Sisil sewaktu-waktu jika aku ingin membuntuti Mas Haris," rutukku kesal. 

Aku mendengus kasar sambil bersandar dan menutupi seluruh wajah ini. Tiba-tiba suara deru mobil terparkir di depan rumah. Aku menoleh ke arah luar lalu bangkit untuk melihat siapa yang datang. Dari balik jendela aku mengintip ternyata orang tua angkatku yang datang berkunjung, dari Indramayu mereka datang tanpa menghubungi sebelumnya. 

Aku segera membuka pintu lebar-lebar dan menyambut kedatangannya. Mereka pun memelukku erat-erat. Aku memang sudah tidak memiliki orang tua, tapi mereka, Mama Tania dan Papa Dicky sangat baik, merawatku hingga tumbuh dewasa dan menikah. 

"Mama nggak bilang mau ke sini?" tanyaku padanya. 

"Sengaja, kami mampir setelah meresmikan hotel yang kami buka di dekat sini," terang mama membuatku tersenyum bangga. 

"Aku bangga loh mama dan papa masih saja sibuk launching hotel sana sini," ucapku sambil mempersilakan mereka masuk. "Mbak Fitri memang tidak ikut?" tanyaku menanyakan anak kandung mama. 

"Nggak, malah mama disuruh ke sini sama dia, suruh kamu bantu-bantu mama urus hotel itu," jelas mama. 

"Nggak, Mah. Aku sungkan pada Mbak Fitri, aku hanya anak angkat," cetusku menolak. 

"Gimana ya, ini Fitri kok yang nyuruh," ucap mama lagi. 

"Emang hotelnya di mana?" tanyaku lagi. 

"Di Bekasi, namanya Hotel FitLen, Mama sengaja memberi nama itu, kepanjangannya Fitri Elena," sambung mama lagi. 

Aku pun menganggukkan kepala. Lalu papa mengajak mama pulang. 

"Kita ke hotel sekarang, sudah malam, besok kamu datang ya, biar papa dan mama kenalkan kamu pada karyawan." 

Papa menggandeng tangan mama. "Salam sayang pada cucu Papa ya, Sisil ajak besok ke hotel, Papa kangen," ucap papa angkatku sambil menyalakan mesin mobil. 

Jasa mereka sudah cukup banyak, sejak kecil tinggal bersamanya sudah cukup merepotkan mereka, sekarang malah dipercaya mengurus usahanya. Padahal aku berharap Mbak Fitri aja yang jadi pewarisnya, karena aku pun tidak ingin membuat keluarganya yang lain iri. 

Mereka melambaikan tangan, Bekasi tidak jauh dari sini, hanya butuh waktu empat puluh lima menit tiba di lokasi. 

Aku masuk ke kamar, menarik selimut untuk tidur bersama Sisil, seketika aku coba melupakan kecurigaan ini pada Mas Haris. 

Tepat pukul 21.00 WIB, dimana Mas Haris sudah beranjak pergi sekitar empat puluh lima menit lamanya. Tiba-tiba ponselku bergetar, ada notifikasi masuk dari Bu Dara. Dahi ini mengkerut ketika melihat kontak yang mengirim pesan. 'Tumben Bu Dara mengirim pesan?' Aku bertanya dalam hati sambil mengusap dan melihat isi pesan. Ternyata ia mengirimkan video pendek. 

[Maaf, aku wanita yang pernah diselingkuhi, jadi merasa teriris melihat ini.] tulis Bu Dara setelah berhasil mengirimkan video pendek yang berisikan suamiku tengah merangkul seorang wanita dari belakang. 

[Terima kasih, kalau boleh tahu ini di mana?]

Aku menunggu hanya hitungan detik, ia sudah langsung membalas pesan. 

[Hotel FitLen, Bekasi.]

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status