Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka oleh Mas Haris, aku segera meletakkan kembali ponselnya. Meskipun dada ini bergemuruh amarah, tapi aku harus tetap santai menyikapinya sambil mencari bukti lainnya yang lebih akurat lagi.
Mas Haris menghampiriku lalu mengambil benda pipih yang barusan kuletakkan di atas meja.
"Mas, maaf, Sisil mau masuk sekolah, aku harus mendaftarkan di sekolah bonafit, boleh minta uang dua puluh juta?" tanyaku sambil duduk dengan posisi kesepuluh jari ditautkan.
"Dua puluh juta duit dari mana, Dek? Aku kan sudah pakai uang untuk DP mobil kemarin," timpal Mas Haris. Salahku juga tadi tidak melihat saldonya hanya mengecek mutasi saja.
"Terus sekolah anakmu bagaimana, Mas?" tanyaku lagi.
"Yang murah aja, yang masuknya lima juta ke bawah, ada kan?" tanya Mas Haris balik. Ia begitu perhitungan untuk anak istri, tapi tadi aku lihat transferan ke janda lebih banyak dari jatah bulananku.
'Tenang, Elena, jangan gegabah, dia santai, aku harus lebih elegan,' gumamku dalam hati.
"Ya udah, Mas, lima juta nggak apa-apa," timpalku padanya.
Kemudian, aku masuk ke dalam kamar melihat Sisil yang tengah tertidur lelap. Aku menatap wajah polosnya sendu, feelingku tidak enak dengan masa depan Sisil, mungkin ia akan kehilangan sosok ayah yang begitu ia kagumi saat ini.
Kenapa aku berpikir seperti itu? Bukankah belum ada bukti akurat yang menyatakan suamiku ada hubungan gelap?
Aku mondar-mandir di dekat jendela menghadap jalan ke arah luar jendela. Tiba-tiba ingat bahwa aku punya naskah nganggur di laptop. Ada satu judul novel yang belum aku publikasikan di jagat platform online. Akhirnya aku duduk dan meletakkan laptop di atas paha ini.
"Aku coba peruntungan masukin naskah ini saja, siapa tahu menghasilkan uang banyak dan bisa membantuku untuk jadi wanita karir." Aku bicara sendirian sambil membuka laptop dan mengirimkan naskah satu persatu ke lima platform.
"Selesai, semoga bisa menghasilkan uang, untuk pegangan aku jika Mas Haris memang ketahuan ada main belakang," cetusku sambil menutup laptop.
Ketika aku merebahkan tubuh ini, Mas Haris masuk. Tiba-tiba ia mengambil kunci mobil dan berpamitan padaku.
"Loh mau ke mana, Mas? Ini malam minggu loh." Aku bangkit sambil mengikat rambut yang tergerai.
"Iya, ada mau jenguk teman yang tinggal di daerah Depok, katanya masuk rumah sakit karena kecelakaan, aku kan atasan, Dek, harus gerak cepat mengurus asuransi dan yang lainnya." Mas Haris mengulurkan tangannya sambil pamit. Lalu menggeser tubuhnya ke arah Sisil yang masih tertidur.
Dadaku bergetar, perasaan buruk bermunculan, pikiran negatif lalu lalang di kepala. Entah kenapa aku merasa ada yang janggal dengan ucapan Mas Haris barusan. Namun, aku bisa apa? Hanya diam menjaga Sisil di rumah.
"Ya udah hati-hati, Mas, siapa nama anak buahmu yang kecelakaan, Mas?" tanyaku sebelum ia melangkah ke luar pintu.
Mas Haris terdiam sejenak, kemudian menyebutkan satu nama. "Arif!" teriaknya sambil membuka handle pintu. Aku pun mengekor sampai garasi mobil, 'Padahal itu mobil belum ada plat nomor, tapi ia berani membawanya ke lokasi Depok yang cukup jauh dari rumah kami, ini benar atau tidak sih?' tanyaku dalam hati sambil melambaikan tangan ke arah mobil Mas Haris.
"Ingin ikuti mobilnya, tapi Sisil tidak ada yang jaga," ujarku bicara sendirian.
Kemudian, Bu Dara melintasi rumahku dengan menggunakan mobilnya dengan seorang laki-laki. Kacabya terbuka jadi ia berhenti dulu sejenak sekadar menyapa.
"Mbak Elena kok malam-malam di luar?" tanyanya sambil menoleh dari sebelah laki-laki itu.
"Oh, abis nganter suami ke luar, Bu, barusan pergi," jawabku agak menundukkan kepala dan menyunggingkan senyuman untuknya.
"Oh ya sudah, saya permisi ya," tutur Bu Dara, mamanya Ondi yang sempat menonjok anakku.
Aku duduk di depan televisi, merasa lemah tidak bisa melakukan apa-apa di rumah. Padahal hati ini penuh firasat buruk. Tangan ini mengepal sambil memukul sofa empuk yang kami beli sebulan setelah menikah. "Argh, ternyata aku butuh asisten rumah tangga untuk menjaga Sisil sewaktu-waktu jika aku ingin membuntuti Mas Haris," rutukku kesal.
Aku mendengus kasar sambil bersandar dan menutupi seluruh wajah ini. Tiba-tiba suara deru mobil terparkir di depan rumah. Aku menoleh ke arah luar lalu bangkit untuk melihat siapa yang datang. Dari balik jendela aku mengintip ternyata orang tua angkatku yang datang berkunjung, dari Indramayu mereka datang tanpa menghubungi sebelumnya.
Aku segera membuka pintu lebar-lebar dan menyambut kedatangannya. Mereka pun memelukku erat-erat. Aku memang sudah tidak memiliki orang tua, tapi mereka, Mama Tania dan Papa Dicky sangat baik, merawatku hingga tumbuh dewasa dan menikah.
"Mama nggak bilang mau ke sini?" tanyaku padanya.
"Sengaja, kami mampir setelah meresmikan hotel yang kami buka di dekat sini," terang mama membuatku tersenyum bangga.
"Aku bangga loh mama dan papa masih saja sibuk launching hotel sana sini," ucapku sambil mempersilakan mereka masuk. "Mbak Fitri memang tidak ikut?" tanyaku menanyakan anak kandung mama.
"Nggak, malah mama disuruh ke sini sama dia, suruh kamu bantu-bantu mama urus hotel itu," jelas mama.
"Nggak, Mah. Aku sungkan pada Mbak Fitri, aku hanya anak angkat," cetusku menolak.
"Gimana ya, ini Fitri kok yang nyuruh," ucap mama lagi.
"Emang hotelnya di mana?" tanyaku lagi.
"Di Bekasi, namanya Hotel FitLen, Mama sengaja memberi nama itu, kepanjangannya Fitri Elena," sambung mama lagi.
Aku pun menganggukkan kepala. Lalu papa mengajak mama pulang.
"Kita ke hotel sekarang, sudah malam, besok kamu datang ya, biar papa dan mama kenalkan kamu pada karyawan."
Papa menggandeng tangan mama. "Salam sayang pada cucu Papa ya, Sisil ajak besok ke hotel, Papa kangen," ucap papa angkatku sambil menyalakan mesin mobil.
Jasa mereka sudah cukup banyak, sejak kecil tinggal bersamanya sudah cukup merepotkan mereka, sekarang malah dipercaya mengurus usahanya. Padahal aku berharap Mbak Fitri aja yang jadi pewarisnya, karena aku pun tidak ingin membuat keluarganya yang lain iri.
Mereka melambaikan tangan, Bekasi tidak jauh dari sini, hanya butuh waktu empat puluh lima menit tiba di lokasi.
Aku masuk ke kamar, menarik selimut untuk tidur bersama Sisil, seketika aku coba melupakan kecurigaan ini pada Mas Haris.
Tepat pukul 21.00 WIB, dimana Mas Haris sudah beranjak pergi sekitar empat puluh lima menit lamanya. Tiba-tiba ponselku bergetar, ada notifikasi masuk dari Bu Dara. Dahi ini mengkerut ketika melihat kontak yang mengirim pesan. 'Tumben Bu Dara mengirim pesan?' Aku bertanya dalam hati sambil mengusap dan melihat isi pesan. Ternyata ia mengirimkan video pendek.
[Maaf, aku wanita yang pernah diselingkuhi, jadi merasa teriris melihat ini.] tulis Bu Dara setelah berhasil mengirimkan video pendek yang berisikan suamiku tengah merangkul seorang wanita dari belakang.
[Terima kasih, kalau boleh tahu ini di mana?]
Aku menunggu hanya hitungan detik, ia sudah langsung membalas pesan.
[Hotel FitLen, Bekasi.]
Bersambung
Aku mengelus dada ketika tahu bahwa Mas Haris tengah berduaan menuju hotel yang baru diresmikan orang tua angkatku. Darah ini mendidih menyaksikan suami menggandeng wanita itu mesra. Aku coba balas lagi pesannya, siapa tahu ada video yang lebih jelas, sebab aku tidak bisa menebak-nebak siapa wanita itu sebenarnya, tubuhnya tertutup jaket Mas Haris.[Bu Dara, boleh minta video lebih jelasnya?" tanyaku padanya. [Hanya itu aja yang kebetulan kurekam lewat video. sekarang orangnya sudah masuk kamar.]Akhirnya aku tidur dengan rasa penasaran yang sudah di puncak. "Sialan kamu, Mas, berkhianat, padahal aku sudah berusaha setia." Aku bicara sendirian di kamar sambil selonjoran dan merebahkan tubuh ini. Ketika aku miring ke kanan, tiba-tiba terlintas untuk ke rumah Gea. Selama ini dialah wanita yang selalu tahu urusan suamiku, Jangan-jangan dia orang yang tadi di hotel. Kalau Gea tidak ada di rumah, artinya memang dia orangnya. Segera aku ambil kunci motor, tapi sebelum beranjak pergi, a
"Meninggal? Kamu ikut dalam proses pemakamannya?" tanya papa. Aku pun menggelengkan kepala, waktu itu hanya tahu dari Mas Haris. Papa mengelus punggung ini, seraya tengah menenangkan putrinya. Meskipun hanya ayah angkat, ia tetap sedih ketika melihat putrinya sedih. "Haris nggak boleh tahu kamu sudah Papa wariskan hotel ini," pesan papa. "Kamu jangan nangis ya, Mama yakin kamu anak kuat seperti almarhumah mamamu," susul mama. Kuat atau rapuh kondisiku saat ini yang ada di pikiran hanya Sisil, dia seorang anak wanita, dan akan tumbuh dengan semestinya, tapi ternyata memiliki seorang ayah yang tidak memiliki perasaan. Mas Haris kelewat cerdik menutupi ini semua. "Tapi, Pah, yang kutahu Tiara ini sudah meninggal dunia tiga tahun lalu, adiknya juga membenarkan hal itu," pungkasku. Tiba-tiba melintas chat Gea melalui inbox yang kubaca beberapa bulan lalu. Papa terdiam menoleh ke arah istrinya. "Tiga tahun lalu? Apa kamu diajak pulang kampung tiga tahun belakangan?" tanya papa menyeli
Aku menghentikan ucapan yang nyaris kubongkar semuanya. Kalau aku tanya tentang Tiara, itu sama saja memudahkan Mas Haris mencari alasan. Jadi lebih baik aku pura-pura saja. "Aku kesal kamu bilang mau jenguk yang kecelakaan di Depok, tapi ternyata ke hotel bersama ketiga manager di Bekasi, itu terniat banget, Mas bohongin istri," sanggahku lagi. Mas Haris terdiam sejenak, lalu ia menarik tubuh ini ke dekatnya. "Maaf ya, tadi terpaksa bohong, aku takut kamu curiga aku ada main dengan lelaki, soalnya di hotel tempatnya," kata Mas Haris. Ia berpura-pura mesra dan takut dikira jeruk makan jeruk, padahal aku tahu mereka tidak bertemu sama sekali di hotel. Yang ia tunjukkan tadi pasti foto editan. Sebaiknya aku pura-pura percaya saja, sambil menyelidiki dan membongkar di waktu yang tepat. "Lupakan, Mas, anggap aku yang salah, kamu memang selalu benar," celetukku sambil melepaskan pelukannya dan memalingkan wajah ini darinya. Mas Haris berdecak bahagia, aku mendengarnya, dan langsung me
Padahal niat berikan obat pencuci perut hanya ingin buka-buka ponsel Mas Haris lagi, tapi ternyata malah kedapatan Gea menghubungi suamiku. Ya, itu foto Gea yang tertera dalam kontak aplikasi berwarna hijau gambar gagang telepon. Mataku berkeliling, lalu diam-diam mengusap layar ponsel, mulut ini jangan sampai terbuka dan menjawab sapaan darinya, supaya tahu mereka mau apa. "Halo, Mas," ucap kontak yang bernama Gea. Namun, kedengeran telinga ini kenapa suaranya berbeda? Aku diam tak menjawab sapaan darinya. Namun tetap meneliti dan mengenali suaranya yang memang bukan suara Gea yang kukenal. "Mas, ada istri kamu ya? Kirain udah berangkat kerja, maaf kalau gitu," cetusnya. Telepon pun terputus begitu saja. Aku terdiam sambil memegang benda pipih milik Mas Haris. 'Apa Gea lagi flu? Suaranya jauh berbeda yang biasa kudengar,' batinku. Akhirnya aku singkirkan pikiran itu, kemudian mengusap kembali ponselnya untuk membaca semua pesan yang ada di aplikasi warna hijau. Teratas kulihat
Balasan dari wanita itu datang, aku gemetar saat membacanya. [Ya udah, kita ketemuan, kita bahas Gea.]Astaga, aku harus jawab apa? Jari ini langsung mengetik pesan dengan lancarnya. [Kita ketemuan di hotel FitLen, sekarang.]Aku membalasnya dengan ide yang muncul tiba-tiba. [Memang kamu nggak kerja, Mas?][Kita ketemuan sekarang, kamu dandan yang cantik, ya. Di Cafe hotel FitLen. ][Oke, Mas.]Pesan dari wanita itu kuhapus semua, tersisa pesan Mas Haris yang menanyakan pola Gea. Aku segera meletakkan ponsel milik Mas Haris dan segera berdandan untuk bertemu dengan wanita itu. Namun, sebelum berganti pakaian, aku mengusap wajah Mas Haris dari depan. Ia terlihat pulas, aku yakin ia takkan bangun hingga selesai bertemu dengan wanita itu. Setelah yakin, barulah aku segera berangkat. Namun, tiba-tiba ada seorang wanita setengah baya datang ketika aku membuka pintu. Astaga, aku lupa bahwa hari ini adalah pertemuan dengannya. "Maaf, Bu. Saya Mbok Wati, mau ketemu Bu Elena, kata Pak Ha
Namun, mendadak bahu ini dipegang oleh seseorang. Aku menoleh ke arahnya, dan ternyata wanita itu adalah Gea. "Gea!" Aku tercengang melihat sosok wanita yang ada di belakangku. Ternyata Gea, adik dari Tiara. Astaga, mimpi apa aku semalam dihimpit masalah seperti ini? Mau memergoki malah kepergok. Tanganku dicekal hingga tak bisa berontak, tenaganya lebih kuat dariku, matanya pun menyorot penuh. "Jangan berisik, ada ruangan khusus nggak untuk kita bicara berdua?" tanya Gea. Aku pikir ia akan marah atau berkoar-koar di hadapan karyawan dan pengunjung cafe, tapi ternyata yang dilakukannya tidak seperti yang aku pikirkan. Aku menoleh sebentar, melihat ke arah Tiara yang tengah menikmati secangkir kopi. "Bukankah setelah ini kakakku akan buang air besar terus menerus?" tanya Gea lagi membuat mataku membulat. Tidak menyangka bahwa dirinya tahu semuanya. Akhirnya aku mengajaknya duduk di satu ruangan khusus, untuk kami supaya bisa ngobrol, sebab Gea tahu semua rencanaku. Kemungkinan be
"Mbak Tiara melakukan itu untuk ...."Gea menghentikan ucapannya. Membuatku semakin penasaran, matanya sengaja berkeliling seraya mengejek. "Apa, Gea?""Nanti ya, aku akan kasih tahu kamu semuanya setelah ada perjanjian di atas materai, sekarang lebih baik kamu bersembunyi, kakakku akan datang meminta pertanggungjawaban ke sini," tutur Gea membuatku terdiam, bingung, sebenarnya ia ada di pihak mana? Langkah kakinya mundur, ia terus mengukir senyuman ke arahku. "Aku akan urus Mbak Tiara, kamu urus dirimu sendiri, Elena!" suruhnya kemudian membuka pintu yang terbuat dari kaca. Lalu ia melambaikan tangannya dan perlahan menghilang dari hadapanku. Aku menghela napas sambil menggebrak meja. Lalu meraih telepon yang ada di hadapanku dan memanggil karyawan lain, selain Burhan. Setelah menunggu beberapa menit, satu orang karyawan datang, ia tertunduk, sudah tahu jati diriku. "Tolong bawakan masker dan pakaian pelayan untuk saya," suruhku. "Ta-tapi, Bu ....""Sudah jangan ngeyel," cetusk
Sisil datang dan menyergap papanya dari belakang. Anakku menyelamatkan mamanya. Dengan menghela napas aku membawa barang belanjaan ke dapur supaya Mas Haris lupa untuk memeriksa kembali. Ditambah lagi Sisil akan segera berangkat les, ia memang aku bikin jadwal les siang, karena masih sulit bangun pagi-pagi. "Aku antar Sisil dulu ya," ucap Mas Haris. Jarak tempat les nya cukup jauh, biasanya aku mengantarkan dengan motor, kali ini Mas Haris sudah membawa kunci mobil. 'Semoga ia lupa untuk tidak membicarakan perihal belanjaan tadi, atau kalau perlu aku beli sayuran dulu ke warung sayuran di dekat rumah,' batinku. "Hati-hati, Mas, aku ikut nggak?" tanyaku basa-basi. Padahal dalam hati ini masih gemetar kalau ikut pasti ia tanya-tanya di jalan. "Nggak usah, abis nganter Sisil aku nerus ke bengkel aja deh, kan setelah dari bengkel bisa langsung jemput lagi," jelas Mas Haris. 'Aku terdiam, ini mobil baru, plat aja belum datang, kenapa sudah mau dibawa ke bengkel?' Pertanyaan-pertanyaan