Share

Mami

"Apa yang anda lakukan?" pekik Dokter Rahardian saat tiba-tiba tanpa permisi Mas Reno menyibak tirai.

Jantungku rasanya mau meloncat keluar. Kusembunyikan wajah dibalik tubuh Dokter muda itu. Kupegang erat-erat selimut yang menutup tubuhku sampai batas leher. Keringat dingin semakin bercucuran.

"M-maaf, saya ...."

Dokter Rahardian langsung memotong ucapan Mas Reno. "Silahkan pergi, kami sedang memeriksa pasien!" titahnya.

Sepertinya Mas Reno langsung pergi. Aku masih sangat khawatir kalau-kalau dia kesini lagi.

Kulirik bagian kaki, untung saja perawat sudah menutupnya dengan selimut. Jadi Mas Reno tak melihat luka di kakiku.

"Ada-ada saja!" gumam Dokter Rahardian sambil geleng-geleng saat membaca catatan medis dari perawat yang memeriksaku.

"Bu, demamnya cukup tinggi," ucap Dokter Rahardian. "Rawat inap, ya? Takutnya ada infeksi."

Aku tertegun mendengar itu. Siapa yang akan mengurus administrasi dan yang lainnya.

"Gimana, Bu?" tanya Dokter Rahardian. "Apa ada yang bisa dihubungi?"

"Tidak, Dok," jawabku.

"Suami atau sanak keluarga?" tanya Dokter berhidung runcing itu.

"Saya di kota ini sendiri."

"Oh, kalau gitu biar dibantu suster buat urus administrasinya, ya!" usulnya.

Aku mengangguk setuju. Kuambil dompet, lalu menyerahkan kartu identitasku. Dokter Rahardian menerima kartu tersebut dan menyerahkan pada salah seorang perawatnya.

"Tunggu sebentar ya, Bu!" pesan Dokter itu. Kemudian keempat manusia itu meninggalkanku.

Jantungku berdebar-debar, takut kalau Mas Reno kembali. Sungguh aku tak ingin bertemu dengannya dulu. Setidaknya sampai aku sedikit tenang. Biarkan aku menenangkan diri beberapa saat atas kejadian dalam pernikahan kami.

Beberapa waktu kemudian seorang perawat datang. Disusul perawat satu lagi.

"Kami antar ke bangsal ya, Bu?" ucapnya.

Aku mengangguk setuju. Dengan dibantu dua perawat itu aku duduk di kursi roda. Salah seorang dari mereka mendorong kursi rodaku menyusuri lorong demi lorong.

"Bu, kami daftarkan di ruang VIP," ucap perawat tersebut sambil mendorong kursi rodaku. "Kalau Ibu keberatan, nanti bisa kami urus untuk pindah. Soalnya tadi ruang kelas satu dan dua penuh."

"Iya, Sus. Enggak apa-apa. Terima kasih, ya!"

Tiba di kamar, mereka membantuku berbaring. Dirapikannya botol infus dan perlengkapanku yang lainnya. Setelah menjelaskan prosedur di rumah sakit ini, mereka pamit.

Seperginya mereka kuputuskan untuk tidur. Rasanya aku lelah dan ngantuk sekali. Kuputuskan untuk memejamkan mata.

Aku terbangun saat mendengar ada yang memanggil. "Bu Sisil!"

Aku mengerjapkan mata. Terlihat Dokter Rahardian beserta dua perawat berdiri di sebelah tempat tidurku.

"Kami periksa dulu, ya, Bu," izinnya.

Aku mengangguk setuju.

"Sekarang, apa yang dirasakan, Bu?" tanya Dokter berbibir tipis itu. Perpaduan hidung runcing dan bibir tipis itu membuat dia terlihat sangat tampan. Apalagi kulitnya yang kuning bersih. Auranya seperti memancar.

"Bu?" panggil Dokter itu.

Aduh, Sil! Mikir apa, sih!

"Eh, iya, Dok. Saya sudah mendingan. Cuma rasanya ngantuk terus," jawabku.

"Itu karena pengaruh obatnya, Bu," jelasnya.

"Oh."

"Setelah ini, nanti suster akan ngasih beberapa obat melalui injeksi, ya?" ucap lelaki itu lagi.

"Iya, Dok."

Setelah memeriksa kondisiku, mereka bertiga pergi. Kulihat jam di dinding, ternyata sudah hampir jam empat sore. Alarm perutku berbunyi. Rupanya aku tertidur sangat lama.

Kulihat di nakas ada jatah makanku. Mungkin jatah makan siang. Aku beringsut duduk dengan bersandar di kepala bed. Kemudian mengambil piring di nakas.

Saat aku hendak makan, aku mendengar suara pintu terbuka. Aku pikir perawat yang akan memberiku obat sesuai yang dokter katakan. Namun, aku terperangah saat terdengar panggilan histeris dari suara yang sangat kukenal.

"Sayang! Kamu sakit apa?"

Seketika aku menoleh. Ibu Mas Reno?

"Mami?" ucapku terkejut.

"Kamu sakit apa?" tanyanya lagi setelah berada di dekatku. Kemudian memelukku. "Badanmu panas sekali?"

Wanita yang kupanggil mami ini mengurai pelukan kami, kemudian menatap wajahku. "Wajahmu sampai merah kayak tomat gini, Sil?" ucapnya.

Ibu mertuaku ini memang banyak sekali bicara. Kalau bersamanya, ada saja hal yang bisa dibahas. Kami sangat dekat sejak aku masih SMA.

Wanita yang tiga puluh tiga tahun lalu melahirkan Mas Reno ini, sangat menyayangiku. Karena ketiga anaknya laki-laki semua. Aku seperti anak perempuannya yang paling dimanja. Padahal ia punya dua menantu lainnya, tetapi aku sepertinya yang paling disayanginya.

Tak peduli aku belum menjawab satu pun pertanyaannya, ia kembali bertanya, "kamu sakit sejak kapan? Kenapa enggak ngasih tahu Mami?"

"Mas Reno ngasih tau Mami?" tebakku.

"Iya Reno telpon. Mami langsung ke sini. Mami takut kamu kenapa-kenapa, Sil," ucapnya dengan raut khawatir. "Papi juga nanti pulang kantor nyusul ke sini, kok. Mami sudah telpon."

Aku hanya manggut-manggut sambil berpikir. Bagaimana bisa Mas Reno selalu tahu keberadaanku? Dimana pun posisiku dia selalu tahu. Seperti tadi saat aku bersembunyi di balik gerobak, lelaki itu ada di sekitar situ. Kemudian saat di rumah Fani, dia juga tahu. Bagaimana bisa?

"Tadi Mami ketemu Reno di depan, katanya mau beli makan," lanjut Mami membuyarkan pikiranku.

Mami melihat makanan di kasur yang tadi hendak aku makan. "Kamu makan nunggu Reno aja, Sil!" perintahnya sambil mengambil piring itu. "Makanan rumah sakit enggak enak," cibirnya. "Mami sudah pesan sama Reno, suruh beli makanan yang enak-enak buat kamu, biar kamu cepat sehat."

Ditaruhnya makanan itu kembali ke nakas.

"Sisil makan itu aja, Mi," pintaku.

"Jangan, Sil! Nanti nunggu Reno aja," putusnya. Mami memang begitu. Suka mengambil keputusan sepihak. Jarang mempertimbangkan pendapat orang lain. Semuanya harus sesuai dengan pendapatnya.

"Sisil sudah lapar, Mi," rengekku. Sebenarnya aku tak ingin memakan makanan dari Mas Reno.

"Bentar Mami telpon suamimu itu," ucapnya.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Pasrah. Wanita di depanku ini tidak pernah bisa dibantah.

Beberapa saat setelah ditelpon Mami, lelaki yang sedang aku hindari itu datang sembari tersenyum lebar. Seolah mengatakan kepadaku, kalau ia berhasil menemukanku.

"Sayang, maaf ya, Mas lama," ucapnya sambil mendekatiku kemudian mengecup puncak kepalaku.

"Beli apa aja, Ren?" tanya Mami sambil membuka beberapa box makanan yang Mas Reno bawa. Mami memilihkan makanan untukku, kemudian diberikannya pada Mas Reno. Memintanya untuk menyuapiku.

"Sisil makan sendiri aja, Mi," tolakku.

"Kenapa?" tanya Mami.

Mami terkejut mendengar penolakanku. Karena sebelumnya tak sekali pun aku bersikap seperti ini. Hubunganku dan Mas Reno selalu manis di depan Mami. Kalaupun kami bertengkar, tak akan berlangsung lama.

Aku diam seribu bahasa. Melihat aku tak menjawab, Mami beralih kepada Mas Reno.

"Kamu bikin salah apa sama Sisil, Ren?" kejar Mami.

Mata Mami menatap tajam pada Mas Reno. Lelaki itu tak berkutik. Tak bisa kubayangkan bagaimana reaksi Mami kalau tahu Mas Reno telah menikah lagi.

Haruskah kuceritakan itu pada Mami?

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Ellysulistiowati69@gmail.com Sulistiowati
harus nya main cantik, sembuh dl baru bertindak
goodnovel comment avatar
JIN STAR
Kyakny dia ngelacak lokasi Sisil melalu sim card deh .. buang aja kartu hp nya ...
goodnovel comment avatar
Siti Hasni
seru banget ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status