"Ren, jawab Mami!" bentak wanita berkacamata dengan bingkai emas tersebut. "Kamu apakan Sisil?"
Mami menatap tajam pada anak lelakinya itu. Sementara Mas Reno tak berani menatap wanita yang telah melahirkannya tersebut. Lelaki berkaos hitam itu hanya mengusap-usap tengkuknya."Ren?" kejar Mami. "Lihat mata Mami!"Takut-takut Mas Reno menatap wajah Mami, tetapi tak lama menunduk lagi."Kamu enggak mau ngaku?" ancam Mami.Mas Reno masih membisu. Aku menahan diri untuk tak membuka suara. Ingin kulihat apakah Mas Reno berani jujur pada Mami atau tidak."Apa gara-gara masalah ini Sisil sampai sakit?" cecar Mami lagi."Mi, ... Reno ... Reno ...." Mas Reno tergagap."Apa? Ngomong yang benar!" bentak Mami lagi.Aku belum bisa merasa tenang walaupun Mami memarahi Mas Reno seperti ini. Karena kalau nanti Mami tahu Bulan sedang hamil, bisa jadi Mami bisa menerima pernikahan mereka. Dan aku tersingkir.Perhatian kami tiba-tiba buyar saat terdengar suara pintu dibuka. Seorang perawat datang sambil tersenyum sopan."Permisi," ucapnya, kemudian berjalan mendekati kami.Mami tersenyum sekilas kepada perawat itu, tetapi kemudian kembali menatap garang pada Mas Reno. Sedang Mas Reno terlihat salah tingkah menghindari sorot mata Mami."Maaf, Bu. Saya suntikkan obat dulu ya!" izin perawat tersebut.Aku mengangguk setuju. Mami yang berdiri di dekat nakas, mendekat menggenggam jemariku.Usai perawat tersebut pergi, Mami kembali menatap tajam pada Mas Reno. "Kamu berhutang penjelasan pada Mami, Ren!" ucap wanita berwajah tegas tersebut. "Kamu makan dulu, Sil. Biar Mami yang suapin."Aku menurut saja, karena percuma protes pada Mami. Tidak akan pernah didengar.Suapan demi suapan masuk ke mulutku. Membuatku merasa bertenaga lagi. Aku harus kuat menghadapi segala kemungkinan. Jalanku masih panjang.Tak lama setelah aku selesai makan, Papi datang masih dengan jas kerjanya. Lelaki yang usianya sebentar memasuki kepala tujuh itu masih terlihat bugar dan tampan. Ketampanan Mas Reno jelas sekali menurun dari garis wajah Papi. Hanya bibirnya saja yang menurun dari Mami. Membuat wajah Mas Reno benar-benar tak ada cela.Lelaki dengan Alis tebal itu tersenyum ke arahku. "Gimana, Sil? Sudah baikan?" "Sudah, Pi," jawabku sambil meraih jabatan tangannya dan mencium takzim punggung tangannya."Syukurlah," ucap Papi lega. "Ren, kalau perlu kamu ambil cuti! Fokus dulu urus istrimu!" titahnya."Iya, Pi."Walaupun Mas Reno bekerja di perusahaan ayahnya sendiri, Papi tetap memperlakukannya layaknya karyawan lain. Hanya saja Mas Reno tak perlu merangkak dari bawah untuk sampai di posisinya sekarang."Pi, Reno entah bikin masalah apa sama Sisil," lapor Mami.Bergantian Papi menatap Mas Reno dan aku. "Betul begitu, Sil?"Aku hanya diam. Namun, dari raut wajahku, aku yakin Papi bisa tahu kalau itu benar."Ren, kamu ingat, kan, pesan Papi?" tanya lelaki berwibawa itu tegas."I-iya, Pi," jawab Mas Reno bak tersangka yang sedang diadili.Mami mendekatiku, memilih duduk di bibir tempat tidurku. Mungkin dari sini bisa lebih jelas melihat kedua lelaki itu bicara di sofa."Muliakan istrimu!" tegas Papi. "Dia wanita yang paling banyak berkorban untukmu!""Iya, Pi.""Lelaki yang paling baik itu, dia yang paling baik pada istrinya! Percuma kamu baik pada semua orang, kalau sama istrimu sendiri tidak!" pesannya.Mas Reno pasti tersentuh oleh ucapan Papi. Percuma dia berniat baik menolong Bulan, melindungi Bulan, kalau pada akhirnya justru yang ia lakukan menyakitiku. Bahkan menghancurkan pernikahan kami."Kamu lihat Papi, kan?" tanya Papi sambil terus menatap tajam wajah Mas Reno yang sedari tadi menunduk. "Papi ini bos! Usaha Papi sukses! Semua karyawan tunduk patuh pada Papi, tapi di depan Mami, Papi tunduk!" ucapnya berapi-api. "Papi takut kalau sampai enggak bisa buat Mami kamu bahagia. Percuma segala yang Papi punya! Sia-sia kesuksesan Papi, kalau sekedar membahagiakan Mami saja Papi enggak bisa!"Aku tersentuh sekali dengan kata-kata Papi. Papi memang seperti itu. Diusia yang tak muda lagi, hubungan Papi dan Mami masih sangat manis. Walaupun Mami punya watak keras dan tak bisa dibantah, Papi bisa menahan egonya untuk mengalah dan menuruti wanita yang sudah bertahun-tahun mendampinginya."Semua rumah tangga itu ada ujiannya, Ren. Papi sama Mami dulu juga mengalami. Beruntung kamu enggak mengalami hidup susah seperti kami. Pindah kontrakan berkali-kali. Papi di PHK. Pontang-panting melamar kerja. Berjuang demi mendapat rupiah untuk sekedar bisa makan. Sampai akhirnya jalan rezeki Papi terbuka. Gimana Papi tega nyakitin Mami yang sudah begitu setia mendampingi Papi?""Dengar kamu, Ren?" sela Mami."Iya, Mi," jawab Mas Reno."Kamu anak Papi, Ren. Papi enggak mau dengar kamu sampai sengaja menyakiti Sisil!" tegasnya. "Papi enggak pernah didik anak-anak Papi jadi lelaki bejat! Papi selalu ngasih contoh ke kalian, gimana memperlakukan pasangan!"Semua yang Papi katakan benar. Sikap manis Mas Reno padaku selama ini pun karena mencontoh kedua orang tuanya. Itulah pentingnya contoh nyata dari orang tua untuk anaknya. Sayang, aku tak seberuntung Mas Reno. Orang tuaku tak seperti mereka.Mas Reno menunduk semakin dalam. Mata Mami pun semakin garang menatap anak lelakinya tersebut. Entah apa reaksi mereka setelah tahu yang sebenarnya."Sekarang kamu katakan, Ren!" titah Papi. "Apa yang sudah kamu buat sama istrimu?"Mas Reno tak langsung menjawab. Bibirnya masih terkatu rapat."Tegakkan kepalamu!" titah Papi.Perlahan Mas Reno mengangkat wajahnya. Kini wajah yang biasanya cukup putih itu terlihat merah padam. Bahkan pipinya basah. Hidung dan matanya memerah. Mas Reno menangis.Sekilas aku melihat Mami dan Papi terperangah begitu melihat wajah Mas Reno. Mereka pasti mulai mencerna, kalau kesalahan Mas Reno bukan kesalahan yang sepele."Katakan, akui kesalahanmu!" titah Papi. "Setelah itu, minta maaf pada istrimu!"Bibir Reno bergetar. Air mata semakin deras mengalir di pipinya. Kami semua terdiam menunggu pengakuan Mas Reno.Aku terkejut saat tiba-tiba tubuh Mas Reno merosot turun ke lantai. Lelaki itu bersimpuh dengan kedua lengan di pahanya, menyangga beban tubuhnya."Papi, Mi," ucap Mas Reno sambil terisak. "Sil," lanjutnya. "Aku minta maaf. Aku terbawa emosi, sampai enggak bisa mikir dengan jernih. Apalagi efeknya pada pernikahan kita."Air mataku pun luruh juga. Rasanya perih sekali hatiku dengan kenyataan yang telah terjadi. Sungguh, aku ingin semua ini hanya mimpi. Aku mencintai Mas Reno, dan selama ini aku sangat bahagia menjadi istrinya, menjadi bagian dari keluarga besarnya. "Aku hanya berniat menolong, aku kasian pada Bulan," ucapan Mas Reno terhenti. Ia semakin terisak."Maksud kamu?" kejar Mami."Aku ... aku ... sudah menikah dengan Bulan."Aku terperangah melihat Papi tiba-tiba bangkit. Kemudian secepat kilat mendaratkan tamparannya di kedua pipi Mas Reno, sampai berkali-kali.Aku dan Mami sampai terpekik melihatnya. Aku baru pertama kali melihat, Papi marah sampai seperti ini. Papi adalah lelaki berwibawa, ketika marah biasanya Papi lebih memilih diam dan berbicara dengan bijak ketika dirasa waktunya tepat.Namun, kali ini kulihat napas Papi sampai terengah-engah, matanya seakan mau meloncat keluar dari tempatnya, rahangnya mengatup dan giginya sampai gemeletuk."Anak kurang ajar!" umpatnya. "Memalukan!"Dilayangkannya sekali lagi telapak tangannya. Hingga bunyi ceplak terdengar cukup keras ketika telapak tangan itu mengenai pipi kiri Mas Reno.Mas Reno hanya diam dan pasrah dengan apa yang diperbuat Papi. Seolah ia menerima dan merasa pantas diperlakukan seperti itu."Pergi!" bentak Papi. "Pergi sebelum kubunuh kamu dengan tangaku sendiri! Pergi!"Mas Reno bergeming. Ia tak peduli dengan ancaman Papi. "Sisil!" seru P
"Aduh, Ren! Mami pusing. Kenapa segampang itu kamu memutuskan?" sesal Mami."Saat itu Reno sudah benar-benar terpojok, Mi. Reno bingung kalau warga nekat melakukan sesuatu yang buruk pada Reno atau Bulan."Heh, Bulan terus yang dipikirkan! Apa saat itu dia tidak ingat kalau sudah punya istri?Aku membuang muka, enggan melihat Mas Reno lagi. Hatiku sakit, perih, mendengar Mas Reno sepeduli itu pada Bulan.Mami menghela napas panjang. "Harusnya, kan, kamu bisa telpon Papi, telpon polisi, atau siapapun yang bisa bantuin kamu.""Reno panik, Mi.""Haduuh, gini amat kamu, sih, Ren!" sesal Mami. "Mami sama Papi ini sudah tua, Ren. Pinginnya lihat anak-anak hidup bahagia, bisa dengan baik meneruskan usaha. Kalau sudah gini, terus kamu mau ngapain?""Reno tetap mau pertahanin pernikahan Reno, lah, Mi!""Dengan?""Ya Sisil, lah, Mi. Siapa lagi?" protes Mas Reno tampak sekali lelaki ini tersinggung dengan pertanyaan Mami."Loh, kan, sekarang istri kamu dua!" ucap Mami tidak suka, kemudian memija
Aku terpaku menatap wajah Bulan. Wajah yang dulu sewaktu kuliah khas dengan pipi cubynya, kini tampak begitu tirus. Dagunya menjadi lebih lancip dari sebelumnya. Bibirnya kini terlihat lebih tebal, mungkin itu yang disebut bibir sensual. Badannya juga padat berisi. Seksi dan menggoda iman lelaki. Balutan dress ketat berwarna lemon, benar-benar mampu memperlihatkan lekukan tubuhnya yang menggoda.Pantas saja akhirnya Mas Reno jatuh dalam pelukannya. Mana ada kucing yang menolak ketika ditawari ikan yang lezat?Kulirik lelaki yang berdiri di sampingku ini tampak terkejut. Mas Reno pasti tak menyangka, Bulan datang ke rumah ini."Ngapain kamu ke sini?" tanya Mas Reno."Ngapain?" tanya Bulan terlihat murka oleh pertanyaan Mas Reno. "Kemana aja kamu?"Mas Reno melangkah mendekati Bulan. Dicekalnya lengan wanita itu. "Pergi!" geramnya."Lepas, Ren!" bentak Bulan tampak sangat tak suka dengan yang Mas Reno lakukan. "Aku sudah bilang, kan? Kalau sampai kamu berani menghindar, aku akan ke sin
Detak jam di dinding seolah mengolok hatiku yang gelisah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Mas Reno belum juga pulang. Mungkinkah ia akan menginap di tempat Bulan?Berkali-kali kulihat layar ponsel, tetapi tak satu pun pesan masuk dari Mas Reno, apalagi meleponku. Saking asyiknya bersama Bulan, kah? Sampai tidak teringat padaku.Meskipun selama beberapa ini aku bersikap begitu dingin padanya, bahkan aku sampai berpikir telah mati rasa, tetapi nyatanya aku masih merasakan sakit juga memikirkan Mas Reno bersama Bulan. Apakah Bulan lebih istimewa dalam urusan ranjang? Memikirkan itu benar-benar membuat jantungku seperti terbakar.Heh, kenapa aku meminta Mas Reno menunda menceraikan Bulan? Kalau akhirnya hal itu menjadi boomerang untukku sendiri. Seandainya mereka sudah bercerai, tak perlu aku merasakan kesakitan ini?Namun, kalau Mas Reno kuminta menceraikan Bulan saat ini juga, bisa jadi setelahnya mereka tetap mencari celah untuk tetap bersama. Aku tahu, karakter Bulan tidak akan cepa
"Mami bertanya sama beberapa orang di sana," ucap Mami."Terus?" tanyaku penasaran."Sekitar dua minggu sebelum peristiwa itu ada yang lapor ke RW dan RT sana.""Lapor gimana, Mi?" Aku rasanya tak sabar ingin mendengar semua informasi yang Mami bawa. "Katanya rumah yang di kontrak Bulan sering sekali dikunjungi laki-laki saat malam.""Hanya karena itu?" kejarku. Tak percaya rasanya kalau hanya karena hal itu, warga sampai menggerebak seperti itu. Bahkan menuduh Mas Reno dan Bulan melakukan hal yang tidak-tidak, sampai memaksa mereka untuk menikah. Alasan yang terlalu dibuat-buat.Mami menggeleng. "Orang itu menunjukkan beberapa foto tak senonoh, latar belakangnya ada di dalam rumah itu.""Foto?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Foto siapa dengan siapa? Mungkinkah Bulan dengan Mas Reno? Aku menoleh pada lelaki di sampingku yang sejak tadi hanya menyimak. Wajah Mas Reno terlihat serius mendengarkan pembicaraan kami."Mami melihatnya?" tanyaku."Enggak, Sil. Mereka hanya dikasih lihat
Menjijikan! Maksud mereka apa? Pakaian dalam Bulan bahkan dibiarkan tercecer di ruang tamu seperti ini! Bantal-bantal sofa berserakan di lantai. Seolah telah terjadi gempa yang begitu dahsyat.Sengajakah mereka? Sekadar membereskan rumah yang baru ia tempati pun enggan. Atau jangan-jangan wanita tak tahu malu itu masih di rumah ini? Mungkinkah saat ini Mas Reno juga ada di sini? Dimana mereka bersembunyi?"Mas Reno! Bulan! Keluar kalian!" teriakku seperti orang kesetanan. Kalau sampai kutemukan dua manusia biad*b itu di sini, aku pastikan mereka tidak akan bisa bernafas lagi."Mas Reno! Bulan!" Kucari mereka di setiap sudut. Tampak baju yang Bulan kenakan kemarin teronggok di lantai dapur. Benar-benar menjijikan!"Bangs*t! Keluar kalian!" teriakku menggema di seluruh ruangan. "Lakn*t, kalian!" umpatku. "Keluar, pengecut!"Berbagai umpatan tak layak dengar keluar dari bibirku. Seumur hidup rasanya tak pernah aku memaki sekasar ini. Semarah-marahnya, biasanya aku masih bisa menyaring ka
"Pesan dari siapa?" tanya Mas Reno.Aku menatapnya beberapa saat, kemudian tersenyum sinis. "Bukan siapa-siapa."Raut wajah Mas Reno tampak tak suka. Selama ini, di antara kami memang tak pernah ada rahasia. Terkecuali, pengkhianatan Mas Reno tentunya. Meski akhirnya, lelaki itu menceritakannya juga."Oh, gitu, ya?" sahutnya."Ngapain mengalihkan pembicaraan?" ketusku."Ya, udah. Kamu maunya gimana? Aku nurut aja," ucap Mas Reno pasrah."Kamu berani ketemu petugas CCTV?" tantangku."Of course!" Mas Reno berdiri dengan semangat. "Ayo, kita samperin siapa yang ngomong seenaknya begitu!" ucapnya berapi-api.Aku mengedikkan bahu, kemudian mengikuti gerakannya. Kami berjalan menuju ruang monitor CCTV dengan mantap. Kita lihat siapa yang berbohong.Tiba di ruang monitor, kedua petugas yang sedang duduk di meja kerjanya tampak berbeda dengan yang kutemui tadi. Mungkin mereka sudah ganti shift. Namun, tak ada salahnya bertanya pada mereka juga. Siapa tahu mereka juga mengetahuinya."Malam, Pa
Aku berjalan gontai melewati lobi menuju ruang kerja. Nomor Tomi yang masih belum bisa dihubungi membuatku khawatir. Mau tak mau berbagai pikiran buruk berseliweran di kepala.Huft! Apa yang sebenarnya terjadi pada Tomi? Tak biasanya dia menghilang seperti ini.Kulihat Mas Reno berdiri menatap keluar melalui kaca lebar di depannya. Tangan kirinya menempelkan ponsel di telinga. Sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana.Dia tampak serius bicara dengan seseorang melalui ponselnya. Sampai tak menyadari aku sudah berdiri di sebelahnya."Iya, bagus," ucapnya. Entah siapa yang sedang diteleponnya. Aku masih diam menunggunya selesai menelepon."Okey, pastikan semua aman!" lanjutnya. Kemudian terdiam, tampak sedang mendengarkan lawan bicaranya. "Bagus," ucapnya lagi. "Tunggu perintahku selanjutnya!" perintahnya. "Okey, kirim nomor rekeningnya! Habis ini aku transfer!"Ponsel diturunkan dari telinganya. Dipandanginya layar yang masih menyala terlihat foto pernikahan kami di sana. Bibir tipi