Share

Dokter, Tolong Aku!

Beberapa lembar uang dan kartu debet kumasukkan ke dalam saku. Perlahan, kusingkap selimut dan turun dari ranjang. Begitu telapak kaki menapak tanah, rasa sakit menyerang sampai terasa ke ubun-ubun.

"Ah, aku belum minum obat," gumamku.

Segera kuambil obat di nakas dan meminumnya dengan air putih di sampingnya.

Kuhela nafas panjang kemudian bergumam, "aku harus kuat!"

Aku tak bisa kembali bersama Mas Reno, karena tahu hatiku tak akan mampu untuk berbagi. Apalagi dengan Bulan. Dia salah satu alasan dulu aku sempat putus dengan Mas Reno saat masih kuliah. Ternyata setelah putus mereka benar pacaran. Lalu sekarang, wanita itu kembali masuk dalam kehidupan kami.

"Loh, Sayang?" 

Aku terkejut saat tiba-tiba Mas Reno berdiri di depan pintu.

"Mau ngapain?" tanyanya.

Meskipun jantungku berdegup kencang, sebisa mungkin kubuat semua terlihat biasa saja. Aku tak mau lelaki itu mengetahui rencanaku.

"Minum obat," jawabku ketus.

"Oh, kenapa enggak nunggu Mas dulu?" protesnya. "Harusnya kamu tiduran aja biar Mas yang bantu minum obatnya."

Lelaki itu mendekatiku. Tangannya terulur hendak meraih kakiku, tetapi aku menghindar.

"Aku bisa sendiri," ketusku.

Mas Reno malah tersenyum melihat kejutekanku.

"Kamu kalau lagi ngambek gitu cantik banget, Sayang," gombalnya.

Biasanya kalau digombali seperti itu aku akan merajuk manja, tetapi kali ini malah hatiku sakit sekali. Dia pasti seperti ini juga sama Bulan. Hal seperti ini membuat aku yakin untuk berpisah dengan Mas Reno. Aku tak sanggup.

"Ya, sudah. Mas sarapan dulu, ya, Dek?" ucapnya sambil menyelimutiku. "Fani sama Galang sudah nungguin. Kamu tiduran dulu aja, ya? Habis ini kita pulang."

Aku diam enggan merespon. Mas Reno meraih kepalaku dan mengecup puncaknya. Aku sekarang benci kebiasaannya itu. Karena hal itu tidak hanya dilakukannya kepadaku.

Beberapa saat setelah Mas Reno pergi, aku beranjak dari ranjang. Kakiku masih nyeri ketika menempel di lantai, tetapi sudah tak senyeri tadi. Mungkin obat yang tadi aku minum sudah mulai bereaksi.

Dengan jantung berdegup kencang, aku berdiri. Kupakai sandal, kemudian pelan-pelan melangkah mendekati pintu. Dengan hati-hati kutarik gagang pintu. Sedikit berbunyi, membuatku mematung sejenak. Rasanya aku sampai bisa mendengar degup jantungku sendiri.

Usai memastikan kondisi aman, aku mengendap-endap melewati ruang tamu. Telapak kakiku terasa sangat perih seperti tersayat-sayat. Meski begitu kutahan sekuat tenaga agar jangan sampai mengaduh bersuara.

Saat melihat daun pintu, aku ragu. Takut pintu itu masih terkunci. Akan sia-sia usahaku. Dengan tertatih akhirnya aku mencapai kedua gagang pintu keluar rumah Fani.

Kepejamkan mata, menahan debaran yang luar biasa, kutarik salah satu gagang pintu rumah Fina. Terbuka. Hah, akhirnya aku bisa bernafas lega.

Kubuka sedikit daun pintu itu, kulewati dengan tubuh kumiringkan. Dengan tertatih-tatih aku berlari kecil keluar dari pekarangan rumah Fani. Beruntung, pintu pagar juga tak dikunci. Akhirnya aku bisa pergi.

Sambil memesan taksi online, aku tertatih mencari tempat bersembunyi yang aman. Kalau aku terus menyusuri jalan mereka pasti bisa kembali menemukanku. Akhirnya aku memilih bersembunyi di belakang gerobak pedagang nasi goreng.

Taksi datang kurang lebih sepuluh menit lagi. Aku ketar-ketir takut Mas Reno lebih dahulu menyadari kepergianku dan menemukanku. Tanganku sampai gemetar memegangi ponsel. Keringat bercucuran membasahi pelipisku.

Waktu terasa begitu lambat. Berkali kulihat posisi taksi yang kupesan. Rasanya lambat sekali. Bahkan sampai kukirim pesan agar sopir mengebut karena aku terburu-buru. Namun, balasannya mengecewakan. Ia bilang terjebak lampu merah karena melewati jalan utama.

"Aduh! Gimana ini?" gumamku.

Kuremas-remas ujung daster. Celingak-celinguk takut Mas Reno atau Fani dan suaminya mencari ke sini. Udara pagi ini bahkan sampai terasa panas sekali. Padahal matahari saja tampak masih malu-malu menampakan diri.

Akhirnya titik taksi terlihat semakin dekat. Kudengar deru mesinnya. Aku langsung muncul dari persembunyian bersamaan dengan datangnya taksi yang kupesan.

"Sisil!" 

Aku menoleh saat mendengar Mas Reno memanggil. Lelaki itu berlari mengejarku. Segera kuraih pintu mobil. Ternyata masih terkunci. Aku semakin tak karuan.

"Pak! Buka! Cepat!" seruku padahal mobil belum berhenti sempurna. "Cepat, Pak!"

Kulihat Mas Reno semakin dekat. "Sisil!" teriaknya. "Tunggu!"

Pintu mobil bisa kubuka. Bergegas aku masuk dan meminta sopir segera pergi dari sini.

"Cepat, Pak!" titahku.

Kulihat dari spion Mas Reno mengejar mobil yang kutumpangi.

"Sil! Sisil!" 

Samar kudengar lelaki itu memanggilku. Dadaku rasanya begitu sesak. Nyeri seperti terhunus ribuan belati. Tak menyangka akhir hubungan kami seperti ini. Padahal kemarin semua masih baik-baik saja.

Benar memang, hari esok adalah misteri. Lihat saja, kemarin malam bahkan masih dengan mesranya kami memadu cinta, tetapi tadi malam keadaan berbalik seketika. Kemarin pagi, masih dengan manisnya kami sarapan bersama, aku melepas Mas Reno berangkat kerja dengan cinta. Pagi ini aku pergi darinya dengan derai air mata.

Oh, Tuhan jalan hidupku kenapa setragis ini? Kenapa harus aku yang mengalami? Aku hanya punya Mas Reno, kenapa harus diambil juga oleh wanita lain? 

Air mataku terus mengalir. Tak peduli sesekali sopir taksi melihatku dari sepion. Aku hanya ingin menumpahkan kepedihan ini.

"Bu, kita sudah sampai," ucap sopir taksi.

Aku terperangah. Bahkan tadi aku sampai asal memilih tempat tujuan. Karena tidak bisa berpikir akan kemana.

"Oh, eh, Pak, bisa kita lanjut mencari klinik atau rumah sakit terdekat?" pintaku.

"Baik, Bu."

Mobil kembali melaju. Aku harus mengobati kakiku terlebih dahulu. Jahitan kemarin pasti sudah hancur. Bahkan kain yang membalut telapak kakiku kini sudah berwarna darah seluruhnya.

Sopir taksi memilih rumah sakit terdekat. Aku diturunkan di depan pintu IGD. Setelah kubayar aku keluar dari mobil tersebut.

Tertatih aku berjalan menuju pintu, seorang dengan seragam dokter yang tampak sedang menelpon di samping pintu tergopoh berlari ke arahku.

"Tunggu sebentar!" perintahnya. "Saya ambilkan kursi roda dulu."

Aku menurut, berdiri berpegangan pada pilar. Sejurus kemudian dokter tersebut mendorong kursi roda ke arahku.

"Silahkan!" 

Dokter yang kelihatannya masih muda itu membantuku duduk di kursi roda tersebut. Sekilas kubaca nama yang berada di identitas yang tergantung di lehernya, dr. Rahardian Hilmi W.

Setelah membetulkan letak kaca matanya yang agak melorot di hidung runcingnya ia memutariku dan mendorong kursi rodaku.

"Mbak kenapa?" tanyanya sopan.

"Kaki saya menginjak pecahan kaca, Dok," jawabku.

"Baik, saya periksa dulu."

Dibantunya aku berbaring di sebuah brankar. Kemudian dokter tersebut pergi beberapa saat. Kemudian datang bersama tiga orang perawat.

"Jahitannya lepas, Dok," ucap salah seorang perawat setelah membuka balutan kain kasanya.

Meskipun kakiku sedang ditangani, tetapi tetap saja aku khawatir, kalau-kalau Mas Reno mencariku sampai ke sini. Sehingga rasa sakit akibat suntikan dan tindakan lainnya tidak begitu aku rasa.

Tuhan, tolong bantu aku untuk pergi dari Mas Reno! Aku tak bisa bersamanya lagi.

Perawat sedang membalut telapak kakiku, saat sepintas aku melihat sosok Mas Reno membuka-buka tirai pasien. Jantungku semakin berdegup kencang. Keringat dingin sampai bercucuran.

"Bu, kenapa?" Dokter tersebut bertanya saat melihat keningku penuh keringat. "Sakit?" tanyanya.

Aku memandang dokter itu penuh harap. "Dokter, tolong aku!" Ingin kuucap kalimat itu, tetapi lidahku kelu. Sampai akhirnya Mas Reno menyibak tirai tempatku berada.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
JIN STAR
Haih ketahuan lagi 🥱
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status