Beberapa lembar uang dan kartu debet kumasukkan ke dalam saku. Perlahan, kusingkap selimut dan turun dari ranjang. Begitu telapak kaki menapak tanah, rasa sakit menyerang sampai terasa ke ubun-ubun.
"Ah, aku belum minum obat," gumamku.Segera kuambil obat di nakas dan meminumnya dengan air putih di sampingnya.Kuhela nafas panjang kemudian bergumam, "aku harus kuat!"Aku tak bisa kembali bersama Mas Reno, karena tahu hatiku tak akan mampu untuk berbagi. Apalagi dengan Bulan. Dia salah satu alasan dulu aku sempat putus dengan Mas Reno saat masih kuliah. Ternyata setelah putus mereka benar pacaran. Lalu sekarang, wanita itu kembali masuk dalam kehidupan kami."Loh, Sayang?" Aku terkejut saat tiba-tiba Mas Reno berdiri di depan pintu."Mau ngapain?" tanyanya.Meskipun jantungku berdegup kencang, sebisa mungkin kubuat semua terlihat biasa saja. Aku tak mau lelaki itu mengetahui rencanaku."Minum obat," jawabku ketus."Oh, kenapa enggak nunggu Mas dulu?" protesnya. "Harusnya kamu tiduran aja biar Mas yang bantu minum obatnya."Lelaki itu mendekatiku. Tangannya terulur hendak meraih kakiku, tetapi aku menghindar."Aku bisa sendiri," ketusku.Mas Reno malah tersenyum melihat kejutekanku."Kamu kalau lagi ngambek gitu cantik banget, Sayang," gombalnya.Biasanya kalau digombali seperti itu aku akan merajuk manja, tetapi kali ini malah hatiku sakit sekali. Dia pasti seperti ini juga sama Bulan. Hal seperti ini membuat aku yakin untuk berpisah dengan Mas Reno. Aku tak sanggup."Ya, sudah. Mas sarapan dulu, ya, Dek?" ucapnya sambil menyelimutiku. "Fani sama Galang sudah nungguin. Kamu tiduran dulu aja, ya? Habis ini kita pulang."Aku diam enggan merespon. Mas Reno meraih kepalaku dan mengecup puncaknya. Aku sekarang benci kebiasaannya itu. Karena hal itu tidak hanya dilakukannya kepadaku.Beberapa saat setelah Mas Reno pergi, aku beranjak dari ranjang. Kakiku masih nyeri ketika menempel di lantai, tetapi sudah tak senyeri tadi. Mungkin obat yang tadi aku minum sudah mulai bereaksi.Dengan jantung berdegup kencang, aku berdiri. Kupakai sandal, kemudian pelan-pelan melangkah mendekati pintu. Dengan hati-hati kutarik gagang pintu. Sedikit berbunyi, membuatku mematung sejenak. Rasanya aku sampai bisa mendengar degup jantungku sendiri.Usai memastikan kondisi aman, aku mengendap-endap melewati ruang tamu. Telapak kakiku terasa sangat perih seperti tersayat-sayat. Meski begitu kutahan sekuat tenaga agar jangan sampai mengaduh bersuara.Saat melihat daun pintu, aku ragu. Takut pintu itu masih terkunci. Akan sia-sia usahaku. Dengan tertatih akhirnya aku mencapai kedua gagang pintu keluar rumah Fani.Kepejamkan mata, menahan debaran yang luar biasa, kutarik salah satu gagang pintu rumah Fina. Terbuka. Hah, akhirnya aku bisa bernafas lega.Kubuka sedikit daun pintu itu, kulewati dengan tubuh kumiringkan. Dengan tertatih-tatih aku berlari kecil keluar dari pekarangan rumah Fani. Beruntung, pintu pagar juga tak dikunci. Akhirnya aku bisa pergi.Sambil memesan taksi online, aku tertatih mencari tempat bersembunyi yang aman. Kalau aku terus menyusuri jalan mereka pasti bisa kembali menemukanku. Akhirnya aku memilih bersembunyi di belakang gerobak pedagang nasi goreng.Taksi datang kurang lebih sepuluh menit lagi. Aku ketar-ketir takut Mas Reno lebih dahulu menyadari kepergianku dan menemukanku. Tanganku sampai gemetar memegangi ponsel. Keringat bercucuran membasahi pelipisku.Waktu terasa begitu lambat. Berkali kulihat posisi taksi yang kupesan. Rasanya lambat sekali. Bahkan sampai kukirim pesan agar sopir mengebut karena aku terburu-buru. Namun, balasannya mengecewakan. Ia bilang terjebak lampu merah karena melewati jalan utama."Aduh! Gimana ini?" gumamku.Kuremas-remas ujung daster. Celingak-celinguk takut Mas Reno atau Fani dan suaminya mencari ke sini. Udara pagi ini bahkan sampai terasa panas sekali. Padahal matahari saja tampak masih malu-malu menampakan diri.Akhirnya titik taksi terlihat semakin dekat. Kudengar deru mesinnya. Aku langsung muncul dari persembunyian bersamaan dengan datangnya taksi yang kupesan."Sisil!" Aku menoleh saat mendengar Mas Reno memanggil. Lelaki itu berlari mengejarku. Segera kuraih pintu mobil. Ternyata masih terkunci. Aku semakin tak karuan."Pak! Buka! Cepat!" seruku padahal mobil belum berhenti sempurna. "Cepat, Pak!"Kulihat Mas Reno semakin dekat. "Sisil!" teriaknya. "Tunggu!"Pintu mobil bisa kubuka. Bergegas aku masuk dan meminta sopir segera pergi dari sini."Cepat, Pak!" titahku.Kulihat dari spion Mas Reno mengejar mobil yang kutumpangi."Sil! Sisil!" Samar kudengar lelaki itu memanggilku. Dadaku rasanya begitu sesak. Nyeri seperti terhunus ribuan belati. Tak menyangka akhir hubungan kami seperti ini. Padahal kemarin semua masih baik-baik saja.Benar memang, hari esok adalah misteri. Lihat saja, kemarin malam bahkan masih dengan mesranya kami memadu cinta, tetapi tadi malam keadaan berbalik seketika. Kemarin pagi, masih dengan manisnya kami sarapan bersama, aku melepas Mas Reno berangkat kerja dengan cinta. Pagi ini aku pergi darinya dengan derai air mata.Oh, Tuhan jalan hidupku kenapa setragis ini? Kenapa harus aku yang mengalami? Aku hanya punya Mas Reno, kenapa harus diambil juga oleh wanita lain? Air mataku terus mengalir. Tak peduli sesekali sopir taksi melihatku dari sepion. Aku hanya ingin menumpahkan kepedihan ini."Bu, kita sudah sampai," ucap sopir taksi.Aku terperangah. Bahkan tadi aku sampai asal memilih tempat tujuan. Karena tidak bisa berpikir akan kemana."Oh, eh, Pak, bisa kita lanjut mencari klinik atau rumah sakit terdekat?" pintaku."Baik, Bu."Mobil kembali melaju. Aku harus mengobati kakiku terlebih dahulu. Jahitan kemarin pasti sudah hancur. Bahkan kain yang membalut telapak kakiku kini sudah berwarna darah seluruhnya.Sopir taksi memilih rumah sakit terdekat. Aku diturunkan di depan pintu IGD. Setelah kubayar aku keluar dari mobil tersebut.Tertatih aku berjalan menuju pintu, seorang dengan seragam dokter yang tampak sedang menelpon di samping pintu tergopoh berlari ke arahku."Tunggu sebentar!" perintahnya. "Saya ambilkan kursi roda dulu."Aku menurut, berdiri berpegangan pada pilar. Sejurus kemudian dokter tersebut mendorong kursi roda ke arahku."Silahkan!" Dokter yang kelihatannya masih muda itu membantuku duduk di kursi roda tersebut. Sekilas kubaca nama yang berada di identitas yang tergantung di lehernya, dr. Rahardian Hilmi W.Setelah membetulkan letak kaca matanya yang agak melorot di hidung runcingnya ia memutariku dan mendorong kursi rodaku."Mbak kenapa?" tanyanya sopan."Kaki saya menginjak pecahan kaca, Dok," jawabku."Baik, saya periksa dulu."Dibantunya aku berbaring di sebuah brankar. Kemudian dokter tersebut pergi beberapa saat. Kemudian datang bersama tiga orang perawat."Jahitannya lepas, Dok," ucap salah seorang perawat setelah membuka balutan kain kasanya.Meskipun kakiku sedang ditangani, tetapi tetap saja aku khawatir, kalau-kalau Mas Reno mencariku sampai ke sini. Sehingga rasa sakit akibat suntikan dan tindakan lainnya tidak begitu aku rasa.Tuhan, tolong bantu aku untuk pergi dari Mas Reno! Aku tak bisa bersamanya lagi.Perawat sedang membalut telapak kakiku, saat sepintas aku melihat sosok Mas Reno membuka-buka tirai pasien. Jantungku semakin berdegup kencang. Keringat dingin sampai bercucuran."Bu, kenapa?" Dokter tersebut bertanya saat melihat keningku penuh keringat. "Sakit?" tanyanya.Aku memandang dokter itu penuh harap. "Dokter, tolong aku!" Ingin kuucap kalimat itu, tetapi lidahku kelu. Sampai akhirnya Mas Reno menyibak tirai tempatku berada."Siapa, Sil, yang meninggal?" tanya Dokter Rahardian sembari menepikan mobilnya.Aku menoleh ke arah laki-laki itu dengan lelehan air mata di pipi. Bibirku seperti membeku sehingga tidak bisa langsung menjawab pertanyaan calon suamiku itu.Tak banyak bertanya lagi, Dokter Rahardian langsung memelukku. Memang hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Cukup lama aku menangis di pelukan Dokter Rahardian sampai akhirnya aku sedikit tenang dan bisa berbicara."Mami meninggal .... Mami udah meninggal ...." Tangisku kembali pecah dan Dokter Rahardian kembali memelukku.Bagiku Mami bukan cuma ibu mertua yang teramat baik. Mami adalah pengganti ibuku yang entah berada dimana. Dari Mami aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan sekarang aku mendengar kabar kalau wanita berhati mulia itu telah tiada."Udah, kita ke sana sekarang?" tawar lelaki beraroma wangi maskulin tersebut.Aku mengangguk sembari mengusap pipiku yang basah.Begitu tiba di kediaman Papi, hampir semua sanak keluarga sudah berkump
"Dokter Nafisa?" gumamku nyaris tak terdengar. Bahkan oleh diriku sendiri. Saat mata dokter cantik itu terpaku ke menatapku, aku mengangguk kecil sembari tersenyum kaku. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan saat melihat keberadaanku. Padahal jelas kudengar tadi dia bertanya tentang Dokter Rahardian.Apa dia tidak tahu kalau Dokter Rahardian akan ke sini bersamaku?Aku menoleh ke arah Dokter Rahardian. Lelaki itu juga sepertinya sangat terkejut melihat keberadaan gadis yang pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan dirinya. Mungkin dia tidak menyangka, di saat ia ingin memperkenalkanku pada orang tuanya, justru ada gadis yang pernah dijodohkan dengannya itu di sana.Sejurus kemudian, aku melihat Dokter Rahardian menoleh ke arah ibu tirinya dengan tatapan tidak suka. Setelah itu ia menghela napas dan bersikap seperti tidak ada apa-apa. Ia kembali menatap Dokter Nafisa."Udah dari tadi, Sa?" sapa Dokter Rahardian."U-udah." Dokter Nafisa kemudian berjalan perlahan ke arah kami dan du
"Siap ketemu calon mertua?" canda Dokter Rahardian begitu aku membukakan pintu. Bibirnya tersenyum lebar dengan kedua bola mata berbinar terang. Aku tidak tahu sejak kapan dokter itu jadi seceria ini."Aku takut, nih." Aku memang takut kalau-kalau orang tua Dokter Rahardian tidak menerimaku dengan baik. Apalagi mengingat status kesehatanku."Kenapa?" Binar di matanya kini menghangat."Aku takut mereka enggak suka sama aku. Kamu tahu sendiri gimana kondisiku." Aku memajukan bibir bawah. Hatiku risau memikirkan itu.Dokter Rahardian mengambil jemariku dan menempelkan ke dadanya. "Dengarkan aku!" pintanya dengan wajah serius. "Kita ketemu mereka bukan untuk meminta mereka untuk suka sama kamu atau enggak. Apalagi meminta persetujuan. Aku cuma ingin ngenalin calon istriku ke mereka. Itu doang."Perasaanku kini semakin campur aduk. Antara terharu dan kasihan kepada calon suamiku itu. Aku terharu karena lelaki itu tidak menyimpan keraguan sedikitpun untuk menikahiku, tetapi aku juga kasihan
Lama aku menjawab permintaan Mami. Karena bagiku itu tidak mudah. Meski aku tahu, Mas Reno saat ini seperti apa. Namun, lelaki itu hanya masa lalu bagiku. Bahkan dia adalah orang yang menghancurkan hidupku, membunuh anakku, dan merampas masa depanku. Sudah cukup aku berurusan dengan Mas Reno. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, seperti saat-saat terakhir ini."Mas Reno harus punya semangat hidup, dengan atau tidak adanya aku, Mi. Karena seperti apapun, kami berdua sudah punya kehidupan masing-masing. Ini juga dulu yang Mas Reno mau, kan, Mi?"Sebenarnya aku tidak tega mengatakan itu kepada Mami, hanya saja aku tidak mau memberi harapan palsu pada Mami. Perpisahan ini keputusan bersama. Bahkan dulu Mas Reno yang menginginkannya. Toh, hidup dan mati bukan di tangan manusia.Ah, aku jadi teringat Cilla. Bagaimana aku menanti kehadiran anak itu selama delapan tahun pernikahan. Bagaimana bahagianya aku saat tahu ternyata di rahimku bersemayam sebuah janin yang aku ri
Dokter Rahardian menepati janjinya. Ia menjemputku setelah acara selesai, menjelang magrib. Mami dan Papi mengantarku sampai teras. Mami terlihat begitu berat melepasku, berkali-kali dia memelukku dan menangis."Mami harus sehat. Besok-besok aku ke sini lagi. Pokoknya Mami harus sehat, oke?" Aku berusaha memberi semangat pada mantan ibu mertuaku itu."Kalau kamu ada apa-apa, hubungi Mami, Sil! Mami selalu ada buat kamu," ucap wanita yang masih memegang lenganku dengan erat itu."Iya, Mi, pasti. Aku akan sering main ke sini nanti."Mami mengangguk kemudian sekali lagi memelukku. Setelahnya aku berpamitan pada Papi. Lelaki itu tampak lebih tegar daripada Mami. Ia menepuk punggungku dengan sayang, kemudian berkata, "Jaga diri kamu baik-baik, Sil!""Iya, Pi," jawabku. Dan pada saat itu, aku bisa melihat Mas Reno. Laki-laki itu tampak sedang menatap ke arahku dari balik jendela kaca yang ada di kamarnya. Saat menyadari aku melihat dirinya, ia pergi dan tidak bisa aku lihat lagi.Ah, Mas Re
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Aku membekap mulutku sendiri. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini.Seluruh dinding kamar Mas Reno dipenuhi dengan foto-foto kami berdua di berbagai momen dan berbagai ukuran. Setiap sudut ruang berukuran 6x5 meter itu juga dipenuhi dengan barang-barang kenangan kami berdua sejak pacaran. Bahkan beberapa dari barang-barang itu sebelumnya sudah aku simpan di gudang rumah kami dulu karena tidak terpakai. Namun, sekarang semua itu terpajang dengan rapi di kamar ini.Ada dua buah manekin yang ditaruh tak jauh dari ranjang, dipakaikan kaos couple pertama yang kami beli saat ke Bali. Selain itu, dua manekin itu juga dililit dengan syal rajut couple yang kami beli saat ke Dieng, Wonosobo. Dan bagian bawahnya dililit dengan kain songket couple milik kami.Maksud kamu apa, Mas? Maksud kamu apa? Bukannya kamu menceraikanku karena ingin bisa bersatu dengan Bulan? Terus kenapa dengan ini semua? Maksudnya apa?Aku berjalan mendekati Mas Reno, me