Share

When You're Mine

Dante sesekali melirik dari kaca spion, melihat Raveen yang begitu posesif memeluk seseorang yang tengah dililit selimut dan tertidur pulas di dekapan laki-laki bermarga Landergee itu. Perempuan yang cantik—meskipun tidak secantik aphroditenya—Dante akui perempuan itu memang sangat cantik. Dante sedikit mengernyit saat Raveen sesekali memberikan kecupan di puncak kepala Lavina. Apa yang terjadi dengan rekannya ini?

“Jangan katakan kau jatuh cinta padanya,” ucap Dante tiba-tiba.

“Hm.” sahut Raveen ala kadarnya. Masih fokus pada perempuan yang baru saja ia kecup keningnya.

“Hei! There’s no love just at the first sight, Dude.” Dante terkekeh tapi Raveen tak peduli. Yang ada di pikirannya sekarang adalah membawa Lavina pergi jauh dan menjadikannya hanya miliknya.

“Aku ingin memilikinya, Dante. Sama sepertimu keinginanmu untuk memiliki aphroditemu,” sahut Raveen yang membuat Dante bungkam. Selalu saja Dante terjebak dalam situasi yang mirip dengan Raveen, meskipun tidak sama 100%. Berawal dari sifat ayah mereka—psikopat—yang diturunkan pada mereka juga sikap obsesif dan ingin mendominasi pada apa dan siapa saja yang mereka inginkan.

“Kau benar.” Dante menyetujui. Tidak akan mendebat. Dia menambah kecepatan laju mobil itu. Memecah kawasan yang cukup sepi hingga sampailah mereka di salah satu rumah di tengah hutan.

Perlahan, Raveen menggendong Lavina menuju rumah itu.

“Kau yakin akan menyembunyikan dirinya di sini?” Tanya Dante. Raveen mengangguk.

“Setidaknya di sini tidak ada yang bisa mendekatinya,” sahutnya. Dante hanya mengangkat kedua bahunya. Ide Raveen yang menyembunyikan salah satu keturuan Dawson di tempat ini bukanlah hal yang bagus.

“Kalau begitu aku pulang.” Dante kemudian keluar dari rumah kayu dengan warna ebony itu, setelah mendapat ucapan terima kasih dari Raveen.

***

Sunyi.

Sekarang di rumah itu hanya ada Raveen dan Lavina. Kini Raveen tengah mengamati wajah Lavinanya lamat-lamat. Sungguh seperti bidadari yang tersesat di bumi. Bagaimana bisa ada makhluk sesempurna ini? Raveen membelai surai perempuan yang tengah terlelap. Dia juga menyingkirkan anak rambut yang berani menghalangi wajah seseorang yang sudah diklaim sebagai miliknya.

“Eunghhhh ....” Lavina sedikit terusik. Tubuhnya sudah peka. Meskipun dia tengah tertidur, dia akan mudah merespon jika ada yang menyentuhnya.

Lavina membuka matanya. Dia nampak terkejut kemudian menegakkan dirinya, beringsut mundur hingga punggungnya membentur headboard tempat tidur. Dirinya ketakutan. Meskpun tak bisa melihat apa pun, tapi memori tentang sentuhan-sentuhan mengerikan itu masih jelas terasa di sekujur tubuhnya.

Raveen mengernyit bingung. Lavina tampak seperti ketakutan. Tubuh gadis itu menggigil kecil. Akan tetapi kebingungan itu segera terjawab ketika teringat apa yang baru saja Lavina alami.

“Lavina,” tegur Raveen. Lavina langsung menoleh ke sumber suara, walaupun dia tak yakin jika yang coba dia ‘tatap’ adalah laki-laki yang memanggilnya.

“Lavina, ini aku Raveen. Kau ingat?” tanya Raveen sembari perlahan mendekat pada Lavina.

Lavina masih membeku. Pikirannya masih mencerna banyak hal. Apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya? Apakah laki-laki bernama Raveen yang datang menyelamatkannya memang benar ada?

“Lavina?” Raveen kembali menegur ketika perempuan itu tak kunjung membalasnya.

“R-Raveen?”

Raveen tersenyum ketika Lavina menyebutkan namanya. Walaupun suaranya lirih, perempuan itu jelas mengingatnya kan? Mengetahui kenyataan itu, Raveen merasa senang.

“Iya, ini aku, Raveen. Jangan takut!” Raveen menyentuh lengan Lavina. Perempuan itu tersentak dan spontan menepiskan tangan Raveen.

Raveen menghela napas. Dia tahu jika tak akan mudah mengurusi perempuan yang trauma setelah diperkosa.

Raveen mencoba menyentuhnya lagi, tapi kali ini di puncak kepala perempuan itu.

“Aku tak akan menyakitimu, Lavina. Percayalah!” Raveen mencoba menghilangkan perasaan terancam pada Lavina.

“Raveen ....” sekali lagi Lavina memanggilnya.

“Iya, aku Raveen,” sahut laki-laki itu kemudian perlahan membuat Lavina jatuh ke pelukannya. Lavina memejamkan matanya saat bau khas yang baru ia kenal menusuk indra penciumannya, membuat dirinya menjadi lebih tenang. Bau yang sama dengan seseorang yang menyelamatkannya dari mipi buruknya. Benar. Laki-laki ini memanglah Raveen, yang tadi menolongnya.

Pelukan yang sangat hangat dan menentramkan. Lavina baru pertama kali merasakannya setelah dulu kehilangan pelukan dari ibunya. Lavina terisak ringan karena begitu merindukan sosok yang bisa menenangkannya seperti ini. Setiap saat dia selalu memanjatkan doa agar Tuhan mengirimkannya seseorang yang bisa menolong dirinya.

Raveen menggumamkan banyak hal agar Lavina bisa tenang. Tentu saja berhasil. Maka saat Lavina selesai terisak, Raveen melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menangkup paras cantik Lavina dan menghapus jejak air mata dari pipinya.

Senyum Raveen melengkung melihat betapa menggemaskannya perempuan yang sudah menjadi miliknya itu. Netranya benar-benar membuat dirinya mabuk kepalang. Satu kecupan mendarat di kening Lavina. Raveen membuatnya nyaman.

“Raveen,” panggil Lavina.

“Ya?”

“Apakah aku sudah keluar dari sana?” Lavina memastikan. Raveen mengubah posisi untuk menemukan kenyamanan untuk memeluk Lavina.

“Benar. Aku sudah membawamu keluar dari rumah itu,” jawab Raveen.

“Lalu ini di mana?” Lavina bertanya lagi.

“Di sebuah rumah di tengah hutan.”

Lavina mengerutkan dahi. Dia bingung. Dia kembali mendongak, meskipun pandangannya tidak tepat pada Raveen.

“Aku tahu apa itu rumah, tapi aku tidak tahu apa itu yang disebut dengan hutan,” sahut Lavina. Ah ... benar. Gadis ini sudah lama terkurung, hingga dia tidak tahu apa-apa soal kehidupan.

“Ini sudah malam, aku akan menjelaskan apa itu hutan besok siang,” balas Raveen. Mata Lavina melebar ingin tahu.

“Apa itu malam? Seperti apa siang?” Dia tampak sangat ingin tahu. Raveen terdiam sejenak sembari memandangi Lavina. Raveen menghela napas kemudian kembali merengkuh tubuh mungil yang masih berbalut selimut itu.

“Aku akan mengajarimu banyak hal, tapi tidak sekarang. Yang perlu kau ingat adalah ini ....”

Chu.

Raveen mencium bibir Lavina, memberikan lumatan pelan dan teratur. Setelah melepaskan tautan bibir mereka, Raveen berkata,

“Ini namanya ciuman. Hanya aku yang boleh melakukan ini padamu.”

Lavina mengerjab dan mengulum bibir bawahnya setelah merasakan sensasi yang ... menggelitik tapi menyenangkan. Merasa terganggu dengan Lavina karena sekarang menggigit bibirnya sendiri, Raveen lantas menjatuhkan ciumannya yang lain.

Ciuman kembali berakhir. Laki-laki itu tersenyum sejenak. Sepertinya ada yang harus dia tegaskan pada entitas tercantik di depannya ini. Raveen menggenggam tangan Lavina, mengarahkan telapak tangannya ke dada Lavina sendiri. Di sana, Lavina bisa merasakan sesuatu yang berdetak. Lavina mengerjab. Apakah di tubuhnya ada sesuatu yang berdegup seperti ini?

“Ini adalah dirimu. Lavina. Milikku ...,” tegas Raveen. Sekali lagi Lavina mengerjab. Jadi sesuatu yang bergerak dan tengah dia rasakan sekarang, menunjukkan bahwa itu drinya?

Kemudian Raveen mengarahkan telapak tangan Lavina menuju dadanya. Di sana Lavina merasakan sesuatu yang berdetak. Sama seperti Lavina, hanya saja detak milik Raveen terasa lebih teratur.

“... dan ini adalah aku. Raveen. Pemilikmu.”

Lavina mengangguk. Dia akan mengingatnya.

Lavina masih takjub. Detak jantung Raveen benar-benar teratur. Tangan kirinya yang bebas mulai meraba dadanya sendiri, mencari di mana letak degup itu ada. Lavina tersenyum ketika menyadari jika detak mereka sama. Untuk pertama kalinya, Lavina merasakan kehangatan yang luar biasa. Kesepian yang menyelimutinya selama ini mendadak sirna hanya karena bisa merasakan degup dirinya dan pemiliknya.

“Ada apa?” Tanya Raveen ketika melihat perubahan mimik perempuan yang matanya masih terbuka lebar. Takjub dan bingung.

“Aku masih tidak mengerti, tapi detak milikku dan milikmu sama, meskipun milikku lebih kencang darimu, tapi aku merasa sangat senang.” Senyum Lavina masih mengembang, membuat Raveen ikut tersenyum. Lengkungan bibir  perempuan ini ternyata lebih indah dibandingkan apa pun. Sekarang Raveen sedikit mengerti mengapa Lavina disembunyikan dari dunia. Matahari pun akan cemburu melihat bagaimana memesonanya ia.

“Mengapa merasa senang?” Raveen penasaran. Begitu banyak yang ingin dia gali dari miliknya ini.

“Aku tidak merasa sendiri lagi,” jawab Lavina. Meskipun lengkungan senyum masih terlukis di wajahnya, namun Raveen tetap bisa merasakan bagaimana kesedihannya.

Raveen kembali memeluk Lavina.

“Aku akan menemanimu mulai sekarang. Kau tidak akan tersakiti atau kesepian lagi,” bisik Raveen.

“Sekarang istirahatlah, aku akan menemanimu di sini. Ingatlah bahwa kau milikku dan aku milikmu,” lanjut Raveen.

Lavina hanya mengangguk. Dirinya telah memutuskan untuk mempercayakan seluruh hidupnya pada pemiliknya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status