Share

The End of Dawson

Raveen segera menuju salah satu bangsal VVIP di rumah sakit setelah mendapat kabar jika sang ibu kecelakaan. Bukan sekedar kecelakaan biasa, ada yang sengaja mencelakainya dengan menabrak mobilnya. Tentu saja itu bukan hal yang mengejutkan karena Keluarga Landergee merupakan salah satu yang paling disegani dan ditakuti. Musuh ada di mana-mana. Ketika ada kesempatan, maka siapa pun ingin mengalahkan dan menghancurkan keluarga itu.

Meskipun kenyataannya keluarganya memang tidak jauh dari kelicikan dan sangat kejam seta memiliki pembenci yang banyak, Raveen tak bisa mentoleransinya. Siapa pun yang berani menyakiti anggota keluarga Landergee, terutama ibunya, maka harus berujung pada maut. Sungguh dia marah. Beraninya dia melukai seorang yang begitu dia sayangi.

“Sialan! Keluarga Dawson akan menerima akibatnya!” Rael, sang ayah menatap udara nyalang saat anak buahnya memberikan kabar jika ternyata Keluarga Dawson yang menjadi dalang atas kecelakaan Emily, sang istri.

“Ayah ....” Raveen segera menghampiri ayahnya yang terlihat sangat kacau. Ia tahu betul bagaimana sang ayah sangat mencintai ibunya. Tidak heran ketika melihat lelaki paruh baya itu terlihat seperti kehilangan separuh hidupnya. Raveen mengerti karena juga merasakan hal yang sama.

“Bunda bagaimana?” Raveen bertanya.

“Dokter masih menanganinya.”

Rael menjawab cepat. Dia sendiri tidak tahu bagaimana keadaan Emily sekarang karena masih dokter masih belum keluar dari ruang operasi.

“Siapa yang melakukan ini, Ayah?” Raveen merasakan matanya memanas. Marah bukan main. Sudah di ubun-ubun. Rasanya ingin meledak.

“Dawson,” jawab sang ayah singkat. Mendengar hal itu, rahang Raveen mengeras. Ambisi ingin melenyapkan mereka semua sudah berada di prioritas pertama.

“Aku yang akan membereskan mereka.” Raveen langsung berbalik arah meninggalkan rumah sakit. Dia harus segera memusnahkan semua yang menjadi musuh bagi keluarga Landergee. Siapa pun itu.

Dia meraih ponsel pintar di saku celananya, mengetikan sesuatu kemudian menghubungi seseorang. Nada sambung terdengar. Tak lama, panggilannya diterima.

“Halo,” sapaan dari seberang.

“Dante, aku butuh bantuanmu,” jawabnya tanpa basa basi. Dante Rembarnt adalah rekannya. Seorang laki-laki yang ayahnya sangat akrab dengan ayah Raveen. Mereka memang sejak dulu sudah bekerja sama, mengingat Landergee dan Rembarnt memiliki masa lalu yang nyaris sama.

“Ada apa?” Dante bertanya.

“Bawalah senjata apa saja yang kau inginkan. Aku harus membantai satu keluarga,” sahut Raveen sembari memasuki mobil kesayangannya. Dia harus cepat ke markasnya untuk mempersiapkan semua rencana pembantaian.

“Haha, baiklah. Aku akan menyusulmu. Aku pergi.

Tut.

Maka setelah mendapatkan persetujuan dari rekannya, Raveen langsung melesat dengan kecepatan penuh. Tujuannya haya satu.

“Lenyaplah kau, Dawson!”

***

Keluarga Dawson adalah keluarga yang cukup besar. Berisi seorang pemimpin keluarga, Robin Dawson yang sudah lanjut usia namun masih bisa melakukan aktivitas layaknya usia produktif, dua istri yang sebenarnya saling berseteru karena berebut kekuasaan, lima putranya yang masing-masing sudah berkeluarga, juga beberapa cucu yang seumuran dengan remaja SMA.

Keluarga Dawson memang bergelimang harta. Keluarganya terpandang dan sangat sempurna. Mereka juga memiliki sedikit kekuasaan di pemerintahan, membuat semua yang menjadi tujuan keluarga itu lancar. Sayang sekali, di balik kesempurnaannya, putra ketiganya, Jordan Dawson memiliki seorang putri yang cacat. Tentu saja itu aib tersendiri bagi keluarga itu. Maka kakak beradik yang lain bersekongkol untuk menyingkirkan putrinya yang cacat itu, beserta Jordan Dawson dan istrinya sekaligus—yah, mengurangi saingan dalam perebutan tahta keluarga.

Sayang sekali, yang berhasil mereka bunuh hanyalah Jordan dan sang istri, tidak dengan Lavina. Gadis itu berhasil selamat. Takdir berbalik ketika tiba-tiba Lavina yang selama ini disembunyikan akhirnya bisa dikenali publik. Kejadian itu dimanfaatkan oleh pihak lain untuk menjatuhkan Dawson. Mereka membuat cerita bahwa Jordan dan istrinya mati karena ada persekongkolah dalam rencana pembunuhan mereka—padahal memang demikian kenyataannya. Maka untuk menjaga nama baik keluarga dan menampik segala rumor yang ada, Lavina yang selamat, terpaksa harus dipertahankan di keluarga busuk itu.

Meskipun demikian, Lavina dikurung di dalam mansion mewah itu. Dia tak boleh keluar—dianggap aib. Tidak sekolah. Home schooling juga tidak. Mereka menganggap bahwa pendidikan tidak akan berguna untuk gadis buta.

Tak hanya sampai di sana, Lavina tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik maka keempat saudara ayahnya yang tersisa selalu melecehkan Lavina. Tentu saja mereka semua melakukannya secara diam-diam—istri mereka tidak boleh tahu.

Lavina benar-benar sangat cantik. Tentu saja para pamannya tertarik dengan kemolekan tubuhnya. Ketika ada kesempatan, mereka akan menyelinap ke kamar Lavina dan melecehkannya. Lavina terang saja memberontak meskipun ketakutan. Tapi apa daya seorang gadis buta? Untunglah Lavina belum berhasil disetubuhi. Mansion itu memang besar, tapi bukan berarti penghuninya sedikit. Suara ribut di kamar Lavina selalu berhasil mengundang perhatian yang lain dan menggagalkan rencana bejat sang paman.

Jiwa biadab para pamannya tidak berhenti sampai di situ. Malam itu, setelah berhasil memberikan peringatan kepada Keluarga Landergee dengan mencelakai Emily, ibu Raveen, mereka membuat pesta besar-besaran untuk merayakan kemenangan mereka. Pesta hanya sebuah pengalih perhatian. Ternyata keempat bersaudara itu merencanakan hal gila. Mereka sengaja bermabuk ria—mengajak istri dan anaknya agar rencana untuk bergiliran menyetubuhi Lavina berhasil.

Di malam yang sama, Raveen berhasil mendapatkan list anggota keluarga Dawson yang harus dia singkirkan. Total ada 20 orang berserta anak dan cucunya. Semua anaknya laki-laki dan semua cucunya laki-laki. Keluarga yang beruntung. Yah, kecuali Lavina yang terlahir sebagai bayi perempuan yang buta. Cacat. Aib.

“Raveen, sudah selesai dengan persiapanmu?” Dante menghampiri Raveen yang masih berkutat dengan kertas yang berisi semua informasi anggota Keluarga Dawson.

“Hm,” sahutnya kemudian meletakkan daftar nama yang baru saja dia baca.

Maka keduanya berangkat untuk misinya. Tidak sulit menemukan kediaman keluarga Dawson yang snagat terkenal itu. Apalagi malam ini mereka tengah mengadakan pesa besar-besaran. Meskipun Raveen dan Dante harus memutar otak untuk menyukseskan semua rencanya untuk pemusnahan. Ternyata wartawan turut diundang dalam pesta. Jika seperti ini, tidak mudah untuk bermain halus dan senyap bukan?

Entah ini keberuntungan atau bukan, tapi kenyataannya rekan Raveen yang akan membantu misi pembantaiannya adalah Dante. Dia laki-laki yang memiliki selera yang sangat unik. Justru dia memiliki rencanya yang lebih gila. Wartawan hanyalah tikus kecil yang tak berguna dengan seluruh beritanya. Bukankah lebih menyenangkan jika aksi pembunuhan mereka disiarkan ke seluruh penujuru? Ultimatum untuk semuanya agar tidak macam-macam dengan Landergee lagi.

“Kau memang gila, Dante.” Raveen menggelengkan kepala saat melihat Dante lebih bringas untuk membunuh.

“Hei, bukanlah itu lebih menyenangkan? Akan menjadi film thriller yang menakjubkan!” Dante menyeringai sembari membayangkan bagaimana darah mangsanya mengotori tubuhnya. “Aku akan bersetubuh dengan darah mereka,” lanjutnya penuh gairah.

Raveen tertawa.

“Baiklah, akan aku pastikan kau bisa berenang dengan darah mereka nanti,” sahut Raveen yang disambut lagi dengan kekehan oleh Dante.

Tak butuh waktu lama mereka dan anak buahnya sampai di kediaman Dawson. Saat berada di sana, Raveen semakin nyalang ingin segera membumihanguskan mereka yang berani menyakiti Emily. Lihatlah! Bahkan mereka sampai membuat pesta seperti ini karena berhasil memukul Keluarga Landergee. Sayang sekali, mereka tidak tahu jika takdir bisa berbalik kapan saja.

Raveen sudah memutuskan untuk tidak memaafkan mereka. Memilih untuk tidak memberi peringatan, dia akan langsung menjatuhkan hukuman yang lebih berat dibandingkan apa yang mereka lakukan pada wanita yang paling Raveen hormati.

Rencana pertama dilakukan, membuat manusia yang tidak ada kaitannya dengan Dawson meninggalkan mansion itu. Mudah saja. Raveen meretas beberapa site perusahaan mereka, mengacak-acak beberapa dokumen penting mereka dan membuat kepanikan masal.

Berhasil?

Tentu saja. Pesta kacau mendadak karena semua pesertanya memutuskan untuk pulang ketika kondisi perusahaan masing-masing dalam keadaan genting. Sekarang hanya tinggal keluarga Dawson saja. Para wartawan ternyata lebih memilih untuk mengikuti para pebisnis lain yang sedang kocar kacir dengan berita buruk yang mendadak itu.

“Wah ... kau menggagalkan rencanaku untuk membuat film thriller,” protes Dante.

Tentu saja Raveen tidak serta merta menyepakati rencana gila Dante. Dia akan mempertimbangkan banyak hal terutama reputasi Landergee dan Rembarnt sendiri. Targetnya hanya Dawson maka tidak perlu menambah korban lain—atau menambah pekerjaan lain karena penyiaran film thriller seperti yang Dante inginkan. Jika benar disiarkan, tentu saja akan menggemparkan dan mereka juga akan mendapat masalah.

“Yang penting kau bisa mandi dengan darah mereka,” sahut Raveen. Dante hanya mengangguk.

“Kau benar. Jadi, bagaimana jika langsung kita bantai saja? Kulitku sudah tidak sabar mencicipi darah mereka.”

Keduanya terkekeh dan langsung masuk ke kediaman Dawson yang sudah terkepung itu. suara musik yang sangat keras memberikan keuntungan tersendiri karena menyamarkan beberapa suara tembakan dan lengkingan.

Raveen yang suka “bermain bersih”, menggunakan senjata api untuk melumpuhkan musuhnya. Sementara Dante yang suka “bermain kotor”, menggunakan pedangnya untuk membunuh—beruntunglah dia yang diajari bela diri dan cara menggunakan pedang sedari kecil—maka keinginannya untuk bermandikan darah, terwujud.

Laki-laki bermarga Landergee itu menyerahkan yang ada di lantai bawah pada Dante dan anak buahnya. Dia harus mencari dan memastikan semua keluarga Dawson musnah tak tersisa. Akhirnya dia sampai di pojok ruangan dengan pintu yang tertutup rapat. Sayup-sayup dia mendengarkan jeritan seorang perempuan, sesekali dia juga mendengarkan isakan kecil disertai dengan lenguhan yang terdengar begitu terpaksa—kesakitan. Dirinya tak peduli dengan kegiatan panas yang terjadi di dalamnya. Pintu kamar itu terdobrak beringan dengan suara tembakan dari senjata Raveen yang menembak secepat kilat.

Dor ... dor ....

Dua tembakan terakhir, Raveen bidikkan pada laki-laki paruh baya terakhir yang berada di atas ranjang. Dia tersungkur dan menggelinding dari ranjang.

“Hik ....”

Saat itulah, Raveen menyadari jika masih ada satu musuhnya yang belum dia bunuh. Ternyata seorang perempuan. Maka saat itulah, Raveen mengarahkan senjatanya pada perempuan yang menyedihkan di ranjang itu.

Jika melihat dirinya yang sangat kacau dengan pakaian terkoyak dan darah—ah noda darah dari korban Raveen barusan—sepertinya dia baru saja dilecehkan. Digilir dengan 4 orang? Wah, menyedihkan sekali.

Saat akan menarik pelatuknya, pandangan Raveen beralih dan jatuh pada mata bening Lavina yang diselimuti dengan bendungan air matanya. Fatamorgana. Apakah memang ada mata seindah itu?

“Hik ....” Sekali lagi Raveen mendengar isakan dari bibir sang perempuan.

Indah. Sungguh pemandangan di depannya sangat indah. Perempuan yang sangat cantik. Kulit mulusnya yang putih, netra dengan manik karamel yang hangat dan teduh, hidung mancung, wajah yang tirus dengan bibir yang tidak tebal dan tidak juga tipis. Apakah memang ada makhluk secantik itu?

Akhirnya laki-laki itu menurunkan senjata  dan mengantunginya. Dirinya berjalan mendekat, ingin memastikan bahwa makhluk yang ada di depannya ini memang nyata adanya.

Kriettt

Raveen duduk di ranjang itu. Perempuan itu langsung beringsut mundur sembari meggigil. Tangannya meraih apa pun untuk mentupi dirinya yang nyaris telanjang. Laki-laki itu masih serius memandang Lavina. Dahinya mengernyit saat menyadari bahwa pandangan Lavina tidak tertuju pada dirinya. Maka dia menggoyangkan tangannya di depan wajah sang gadis.

Tidak ada respon

“Buta rupanya” batin Raveen.

Tapi sungguh, perempuan yang ada di hadapannya ini sempurna. Sayang sekali dia buta dan ... ah, sudah ternoda. Baru saja menikmati bagaimana dibuat hancur oleh para tua bangka yang sudah mati itu, huh?

Tubuhnya memang benar-benar menggoda. Menggagahinya lagi sebelum membunuhnya, tidak apa-apa kan? Toh dirinya juga sudah tidak berharga lagi. Sudah robek. Tidak berguna.

“Kau Lavina?” Raveen masih menimbang untuk membunuh perempuan di hadapannya ini.

Setetes mutiara bening jatuh lagi dari netranya yang terbuka waspada. Menampilkan keteduhan dan keindahan dari manik matanya. Air mata membiaskan dan memantulkan cahaya sehingga menambah kilauan netranya.

Sempurna.

Sungguh tanpa sadar pria itu sudah semakin tenggelam lebih dalam.

Sial sial sial!!!” Batin Raveen kesal.

Tentu saja dia kesal, karena kali ini dia gagal dalam misinya. Jika membunuh ratusan orang yang kuat adalah hal mudah bagi Raveen, maka kali ini dia menyadari bahwa dirinya tak bisa membunuh seorang perempuan yang lemah tak berdaya. Dia tidak bisa menyakiti seorang gadis buta.

“Jangan takut, aku akan menyelamatkanmu,” ucap Raveen membenarkan kegagalan misinya.

“Hik ... pergi!”

Damn it! Bahkan suara gadis itu sangat menggoda rungu Raveen. Bagaimana jika mendengarnya merintih di bawah kungkungannya? Pasti terlampau menyenangkan.

Raveen mendekat dan meraih lengan Lavina. Lavina terkesiap. Dia kaget dan semakin ketakutan—takut disentuh.

“Aku tidak akan menyakitimu, Lavina. Mereka yang berbuat jahat padamu, tidak akan bisa menyakitimu lagi.” Raveen masih berusaha untuk meyakinkan Lavina bahwa dia akan baik-baik saja, sekaligus meyakinkan dirinya sendiri setelah membuat keputusan yang bisa saja membahayakan nyawanya sendiri.

Lavina hanya menggelengkan kepalanya. Tangisnya semakin pecah. Takut tidak karuan.

Raveen menghela napas. Tangannya meraih puncak kepala Lavina dan membelainya lembut. Lavina masih saja kaget, tapi tidak ada penolakan. Mungkin karena sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Sudah pasrah.

Lavina memang benar-benar seperti magnet. Raveen semakin mendekat padanya. Dengan lembut Raveen meraih tangan Lavina, sedikit menariknya dan menjatuhkan perempuan itu dalam dekapannya.

Gigilan tubuh Lavina yang kentara, beresonansi pada Raveen dan membuatnya tersulut. Perasaan marah itu muncul begitu saja. Raveen tidak ingin Lavina disentuh orang lain. Dia ingin melindungi perempuan yang ada di dekapannya ini.

“Hik ... hik ....” Lavina masih terisak. Meskipun begitu, ada sesuatu yang asing menusuk hidung Lavina. Parfum milik Raveen yang begitu wangi—entah mengapa membuatnya sedikit tenang.

“Lavina ... ah, harusnya aku memperkenalkan diri,” ucap Raveen sembari membelai surai Lavina lembut. “Aku Raveen. Jangan takut. Aku yang akan membawamu pergi dari sini. Aku akan membawamu keluar dari semua penderitaanmu,” lanjut Raveen berbisik lembut.

Takdir yang mempertemukan dua insan memang ajaib. Maka perkatan Raveen menjadi penawar bagi ketakutan Lavina. Doa dan harapan yang selama ini dia panjatkan, akhirnya terkabul bukan? Sungguh Lavina membutuhkan seorang life saver dan ingin merasakan kehidupan sebagai manusia.

“Bagaimana? Kau mau ikut denganku keluar dari sini?” Raveen memberikan sebuah tawaran.

Lavina mendongak. Entah apa yang dia tatap. Semuanya sama, hanya kegelapan yang bisa dia pandang. Dia tak tahu bagaimana rupa Raveen, seorang yang baru saja dikenalnya. Dia hanya bisa merasakan sentuhan lembut dan suara Raveen yang menenangkan. Maka tidak salah mempercayai orang asing ini kan?

Lavina mengangguk membuat senyum Raveen mengembang. Raveen membelai wajah Lavina. Menghapus semua jejak darah yang berani mengotori paras cantiknya itu.

“Kalau begitu, jadilah milikku. Hanya milikku. Kau bersedia, Lavina?” Raveen kembali mengajukan syarat.

Keputusan Lavina sudah bulat untuk berjudi bersama takdir, dia mempertaruhkan semuanya pada laki-laki ini. Keputusan untuk menggantungkan harapan pada Raveen patut untuk dicoba, bukan?

Sekali lagi Lavina mengangguk, membuat perjanjian yang tak seorang pun bisa memutuskannya. Maka Raveen menyatukan bibir mereka sebagai sumpah pengikatan antara keduanya. Lumatan lembut yang Raveen lakukan membuat sensasi tersendiri bagi Lavina. Dirinya baru pertama kali merasakannya. Meskipun membuka atau menutup mata tidak ada bedanya bagi Lavina, Lavina memutuskan untuk memejamkan netranya, menerima semua afeksi yang sedang Raveen coba salurkan padanya lewat tautan bibir mereka.

Hari itu juga, Raveen resmi menjadi matahari yang penuh dengan kelembutan dan kehangatan untuk menerangi sang perempuan. Sebuah matahari yang menjadi pemilik mutlak atas Lavina Dawson.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status