Share

Pine Citrust Mint Musk

Raveen menghabiskan malam bersama Lavina. Berada di tepat di sampingnya dan terlelap sembari mendekap perempuan yang juga memeluknya. Pagi ini Raveen terbangun lebih dahulu. Sementara perempuan cantik itu masih terlelap di sisinya. Bibir Raveen tertarik ke atas ketika mengamati tiap inci wajah Lavina.

Dia hendak menyentuh wajah Lavina namun urung saat ponsel miliknya bergetar. Dia menatap layar ponsel itu dan tertera nama sang ayah di sana. Raveen segera bangkit dan keluar dari kamar sejenak.

“Halo.”

Bundamu sudah siuman. Datanglah kemari, dia mencarimu,” ucap sang ayah dari seberang. Raveen menghela napas lega.

“Aku akan segera ke sana, Ayah. Sampaikan salamku untuk Bunda. Aku akan segera menemuinya,” sahut Raveen.

Raveen ...,” suara ayahnya memberat. Memanggil nama Raveen dengan penuh penekanan. Rasanya tidak nyaman.

“Iya, Ayah?”

Apakah kau sudah melenyapkan semua keturuan Dawson?

Deg.

Pertanyaan ayahnya itu membuat Raveen sedikit tidak nyaman

“Tentu,” sahutnya singkat. Kecuali Lavina. Raveen sudah membuat keputusan dan telah melangkah sejauh ini. Dia tidak akan mengalah pada sang ayah. Menyembunyikan Lavina satu-satunya jalan yang bisa dia lakukan saat ini.

Baguslah. Aku sendiri yang akan membunuhnya jika masih ada keturunan Dawson yang hidup.

Deg.

Raveen jelas tahu jika apa yang diakatakan oleh ayahnya bukan sebuah joke.

“Kau tak perlu mencemaskan itu, Ayah. Mereka sudah habis.” Raveen berbohong pada ayahnya.

Maka setelah sambungan panggilan itu terputus, Raveen memejamkan mata sejenak. Dia benar-benar harus memutar otak agar ayahnya tidak tahu keberadaan Lavina. Ayahnya tidak boleh tahu jika Lavina masih hidup. Jika dia hanya menyembunyikan Lavina tanpa melakukan sesuatu yang lain, kebohongannya akan segera tercium oleh sang ayah.

Selanjutnya dia kembali ke kamar untuk menemui perempuan yang sudah berhasil mencuri jiwanya. Di saat itulah, Raveen melihat pemandangan yang sangat menguji imannya. Lavina terbangun. Perempuan itu tengah duduk di atas ranjang dengan salah satu tangan yang mengusap mata kirinya.

“Raveen?” Hidung Lavina tajam. Dia bisa membaui parfum Raveen. Meskipun jaraknya cukup jauh, Lavina masih bisa menangkap aroma yang dia kenal sebagai aroma Raveen.

“Kau sudah bangun?” Raveen masih mematung melihat Lavina.

“Hm.” Lavina mengangguk meskipun sebenarnya dia masih mengantuk dan tetap mencoba beranjak dari ranjang, berdiri sembari mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Tangannya terjulur ke depan tubuhnya, berjaga-jaga jika ada sesuatu di depannya. Dia berjalan mendekat pada arah suara Raveen datang.

Raveen terkesiap. Berhasil mengembalikan kesadaran koordinasinya. Tubuhnya langsung berlari ke arah Lavina dan merengkuh wanita itu.

“Raveen!” Lavina kaget.

“Kau benar-benar berbahaya!” Lirih Raveen.

“Bahaya apa?” Polos, Lavina bertanya.

Raveen tidak berani mengedarkan matanya lebih jauh. Dia menenggak salivanya ketika mengingat pemandangan ‘mengenakkan’ yang baru saja ia lihat. Bagaimana tidak berbahaya? Lavina yang bugil mampu mengundang libido Raveen dan menggodanya agar menjamah Lavina.

“Bukan apa-apa,” sahutnya sembari menetralkan hasratnya.

Raveen meraih selimut yang terjatuh itu dan mengenakannya pada Lavina untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Raveen berdecih merutuki kebodohannya. Kenapa dia tak membawa pakaian Lavina saat membawanya kabur?

“Raveen?” Lavina kembali memanggil laki-laki yang masih sibuk memastikan selimut melingkupi tubuhnya dengan benar.

“Hm?”

“Kau jadi mengenalkanku pada hutan, malam dan siang kan?” Lavina mengingat janji Raveen semalam. Perempuan itu terlihat antusias, terpancar dari binaran matanya. Laki-laki di depannya tertegun sejenak. Rupanya gadis ini masih ingat.

 “Tentu, tapi setelah aku membelikan pakaian untukmu,” jawab Raveen setelah mengecup kening Lavina sekilas.

Lavina baru menyadari jika tidak ada kain yang bernama pakaian, menutupi tubuhnya. Pipinya memanas ketika dirinya menyadari bahwa selimut yang baru saja Raveen pakaikan padanya adalah satu-satunya kain yang menutupinya. Raveen terkekeh kecil melihat perempuan di hadapannya ini malu.

“Tidak perlu malu, Lavina. Kau milikku, jadi kau boleh memperlihatkan semua kecantikanmu padaku. Hanya padaku,” tegas Raveen.

Lavina menunduk kemudian mengangguk malu-malu. Raveen benar. Meskipun Lavina tidak sepenuhnya mengerti apa arti memiliki dan dimiliki, tapi apa pun yang ada pada diri Lavina, Raveen berhak mengetahuinya karena dia telah memilih Raveen sebagai tempatnya bergantung.

Selanjutnya, Raveen pergi meninggalkan Lavina. Dia harus ke rumah sakit dan membawa beberapa pakaian untuk Lavina. Sebenarnya Raveen enggan untuk pergi, namun dia harus cepat sampai di rumah sakit dan memastikan keadaan ibunya.

Selepas Raveen meninggalkannya, Lavina meringkuk di atas tempat tidur. Setelah kepergian Raveen hanya sunyi yang menemaninya. Dalam hati dia hanya berharap Raveen tidak meninggalkannya terlalu lama. Dia tak punya siapa pun selain dirinya sekarang. Terlebih lagi ada satu hal yang harus dia penuhi. Lavina menyentuh perutnya, merasakan sesuatu yang sangat tidak nyaman.

“Uh ... Aku lapar,” lirihnya “Cepatlah kembali Raveen ....”

Di tempat lain, laki-laki itu tergopoh berlari di rumah sakit. Dia sudah merindukan Emily. Maka setelah membuka kamar pasien yang megah itu, Raveen berhambur memeluk sang ibu.

“Bunda baik-baik saja?” Tanya anak tunggalnya, khawatir. Emily mengelus pipi Raveen dengan sayang.

“Bunda baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir,” sahutnya.

“Lain kali Bunda harus lebih hati-hati. Musuh Ayah ada di mana-mana.” Raveen memeriksa seluruh tubuh Emily, barang kali ada yang terlewat oleh pengawasan dokter. Emily terkekeh kemudian mengacak surai putranya.

“Ayahmu menjadi kelewat proterktif sekarang. Asal kau tahu jika anak buah ayahmu sudah mengepung rumah sakit. Padahal Bunda baik-baik saja.”

Raveen mengangguk singkat. Itu bagus. Justru dirinya sangat menyetujui dan mendukung sikap Rael, ayahnya untuk lebih protektif terhadap bundanya.

“Aku juga akan melakukan hal yang sama jika aku menjadi ayah. Menjaga seseorang yang dicintai memang menjadi sebuah kewajiban. Apa pun akan dikorbankan,” balas Raveen.

Emily tertegun dengan ucapan Raveen. Ada yang berbeda dengan sikapnya.

“Kau ini, memangnya sudah mempunyai seseorang yang ingin kau jaga?” goda Emily. Raveen terdiam. Tentu saja, sekarang—selain Emily—ada satu lagi wanita yang ingin dan harus dia lindungi.

“Ah ... Bunda, Aku harus segera pergi. Ada urusan yang harus aku kerjakan.” Raveen teringat harus membeli pakaian untuk Lavina. Dia juga harus membeli beberapa makanan untuk dirinya dan perempuan itu.

“Kenapa buru-buru? Tetaplah di sini sampai ayahmu datang, hm?”

Maka apa yang bundanya ucapkan tidak bisa Raveen tolak. Dengan sangat terpaksa Raveen menunggu Emily sampai ayahnya datang.

***

Raveen bergegas masuk ke dalam rumah di tengah hutan itu sembari membawa beberapa kantung belanjaan. Dia khawatir karena telah meninggalkan Lavina cukup lama—lebih lama daripada yang dia kira.

Sementara itu, gadis yang dia tinggalkan pagi tadi, masih berada di tempat tidur. Sedikit kesal karena Raveen meninggalkannya sangat lama. Padahal sebelumnya laki-laki itu berjanji untuk datang lebih cepat.

“Lavina,” tegur Raveen. Lavina sontak bangun. Dia memutar tubuhnya ke arah suara Raveen. Dia cemberut.

“Lama sekali,” rengek Lavina sedih. Dibanding merengek, dia lebih terlihat sedang melontarkan protes.

“Maafkan aku, aku harus membeli beberapa barang dan makanan untukmu,” sahut Raveen kemudian mengeluarkan satu dress dari kantung belanjaannya.

Raveen mendekati Lavina, meraih tangannya dan memintanya untuk turun dari ranjang. Lavina menurut. Dia membiarkan Raveen menuntunnya. Raveen meraih tangan lain Lavina yang masih mempertahankan selimut untuk menutupi tubuhnya.

“Lepaskan saja, aku sudah membelikan pakaian untukmu,” pinta Raveen.

Sebenarnya bukan itu yang ingin dia katakan. Hendak meralat tapi Lavina lebih dulu membiarkan kain itu terjatuh menuruni tubuhnya. Sekali lagi Raveen menelan ludah. Tubuh Lavina benar-benar mengundang birahinya. Tapi Raveen menepiskan hasrat liarnya. Saat ini bukan saatnya mengajari hal yang tidak-tidak pada perempuan yang masih lugu ini—meskipun mungkin Lavina pernah merasakan kenikmatan itu saat diperkosa—sial! Raveen menjadi kesal saat mengingat apa yang telah laki-laki bejat itu lakukan pada miliknya.

Dengan cepat dan hati-hati, Raveen memakaikan dress itu pada Lavina. Dia tak bisa membiarkan pikiran liarnya mendominasi. Belum saatnya Raveen menyentuh Lavina lebih jauh.

“Cantik,” puji Raveen setelah melihat Lavina yang berbalut dress itu.

“Nah, sekarang ayo kita keluar. Sesuai janji, aku akan mengenalkanmu pada hutan, malam dan siang,” ucap Raveen membuat Lavina mengukir senyumnya.

Raveen meraih tangan Lavina, menuntunnya dengan lembut keluar dari rumah itu. Hari memang sudah siang, tapi terik matahari tidak sampai menyengat kulit karena kanopi hutan yang melindungi mereka.

Sampai di luar rumah, Lavina memejamkan matanya. Dia menghirup kuat-kuat aroma yang asing tapi menyegarkan. Aroma khas hutan.

“Raveen, ini aroma apa?” Lavina bertana.

“Inilah aroma hutan,” jawab Raveen. Laki-laki itu mencoba memejamkan mata kemudian ikut menghirup udara segar itu. “Aroma pinus,” lanjutnya.

Sekali lagi Lavina menghirup aroma yang baru dia kenal. Rasanya memang menyegarkan. Aroma yang sama dengan Raveen. Senyum Lavina semakin mengembang.

Meskipun tidak banyak, Raveen mencoba mengajarkan Lavina untuk mengenal dunia. Membiarkannya menyentuh daun, pohon, rumput, pasir, tanah dan batu. Meski terlihat sederhana, bahagia Lavina membuncah hanya karena mengenal benda mati itu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lavina kembali merasakan menjadi seorang manusia.

“Lavina,” tegur Raveen.

“Hm?” dirinya masih asik meraba-raba benda tipis, kecil, yang di permukannya halus, tapi di sisinya sedikit kasar.

“Coba kau cium aroma daun itu.”

Lavina menurut. Dia mendekatkan daun yang dia pegang pada indra penciumannya. Memejamkan mata dan memroses aroma yang baru baginya.

“Meskipun samar, tapi baunya sangat segar. Lebih segar dari aroma pinus.” Lavina selesai menganalisa. Lantas, Raveen menyobek sedikit daun itu.

“Sekarang coba kau cium lagi!”

Lavina kembali mencium daun itu. Matanya melebar.

“Wah! Benar-benar harum. Harumnya kuat dan sangat segar.” pekiknya. Terlihat begitu sangat senang. Senyumnya mengembang lebih lebar. Matanya terlihat semakin berbinar. Raveen terkekeh.

“Itu daun citrus” ajarnya.

Lavina mengangguk mendengarkan. Aroma citrus akan menjadi salah satu favoritnya sekarang. Aroma yang sama seperti laki-laki yang menjadi pemiliknya ini.

Selanjutnya Raveen meminta Lavina istrirahat. Dia harus kembali mengisi perutnya dengan makanan. Mereka berdua menyantap hidangan. Lavina tampak antusias dengan makanan yang baru ia kunyah. Lidahnya mengenali nasi, tapi dia tidak mengenali makanan lain yang terasa gurih, lembut dan manis di mulutnya.

“Ini makanan apa?” Lavina benar-benar banyak bertanya. Raveen tidak keberatan jika gadis ini terus bertanya. Sebelum menjawab pertanyaan dari perempuan yang sudah sangat dia cintai, jemarinya terjulur untuk membersihkan noda makanan di sudut bibirnya.

“Itu daging. Kau menyukainya?” Raveen menjawab dan balas bertanya. Lavina mengangguk kemudian melahap makanan itu lagi. Sangat suka. Rasa baru yang sangat lezat.

Lavina menghirup aroma lain yang juga terasa segar. Berbeda dengan aroma pinus dan sitrus. Tapi Ini masih mirip seperti aroma Raveen.

“Raveen ini bau apa?” Lavina masih tidak puas untuk bertanya. Raveen mengernyit dan menjauhkan cangkir teh mint dari bibirnya.

“Apa?”

“Segar, tapi berbeda dengan pinus dan citrus,” ucap Lavina. Raveen menatap tehnya sejenak.

“Ini aroma mint,” kemudian Raveen mendekatkan tehnya pada Lavina. “Aromanya datang dari teh yang aku minum,” susul Raveen.

Lavina mengangguk. Dia senang dengan pelajaran baru yang dia dapat. Raveen benar-benar seorang malaikat yang Tuhan kirimkan padanya. Maka Lavina beranjak dari kursinya. Dia berdiri, mencoba berjalan mendekat pada Raveen. Laki-laki itu langsung sigap dan ikut berdiri.

“Ingin ke mana?” Raveen menangkap Lavina. Lavina yang tangannya sudah diraih oleh Raveen, langsung menghamburkan diri ke tubuhnya. Raveen sedikit terkejut.

“Terima kasih,” lirih Lavina. “Terima kasih mengenalkanku pada dunia,” lanjutnya.

Raveen melepas pelukan Lavina kemudian mengangkat dagu Lavina. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengecup bibirnya. Miliknya ini begitu menggemaskan.

“Terlalu awal untuk mengucapkan kata itu, masih banyak yang harus kau pelajari,” timpal Raveen.

Lavina tersenyum. Dia kembali menempelkan kepalanya ke dada Raveen. Ia memejamkan mata ketika aroma menyenangkan kembali menyapa. Penciumannya semakin mengenali aroma ini. Rasanya, aroma Raveen menguar hingga kelingkungannya.

Lavina nyaman di posisi itu. Ia menghirupnya dalam-dalam.

“Pinus, citrus, dan mint,” ucap Lavina setelah menghirup aroma yang menguar dari Raveen.

“Hm?”

“Aku suka ... aku suka aroma pemilikku.” Lavina membuka matanya dan mendongak. Menatap lurus pada kegelapan pandangannya dengan lebih berani karena dia tahu apa yang tengah ia tatap adalah penjamin hidup Lavina.

Raveen tertegun. Laki-laki itu menatap Lavina lamat-lamat. Dia sedikit memiringkan kepalanya, memastikan keanehan yang dia rasakan. Maka potensial aksi jantungnya memberikan jawaban tegas bahwa dia memang benar-benar sudah jatuh terlampau dalam pada Lavina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status