Story W* Istriku bag 10.
**POV NayaNetraku membulat sempurna ketika melihat Ummi ada disini. Dari mana dia tahu kalau kami di sini. Ummi maju dan menatap sengit Vika di sana. Wajah wanita itu ditekuk melihat kedatangan Ummi.
"Ummi, kok ada disini?" tanya Syahnur menggaruk kepalanya merasa bingung apalagi dilihatnya wajah Ummi yang mendengkus ke arah Vika.
"Ummi harus turun tangan agar menyelamatkan rumah tangga Mas mu. Demi kita semua, agar tidak terjadi kerumitan. Ummi tahu dari Asih kalau kalian tidak pergi seminar melainkan di sini mencoba ber-nego dengan perebut Syahdan!" seru Ummi dengan sengit, Vika mencoba tenang menghadapi situasi ini. Sejurus kemudian tatapannya menjadi sendu.
"Ummi, apa salah saya. Mengapa Ummi tidak merestui saya bersama Mas Syahdan. Toh, saya dahulu mengenalnya dibanding wanita ini." katanya menunjukku. "Padahal saya mencintai anak Ummi." Ummi tersenyum getir ke arah Vika.
"Bukankah sudah kukatakan kamu membawa pengaruh buruk buat Syahdan. Anakku itu anak baik setelah berkenalan sama kamu dia jadi gak menentu. Dia gak punya tanggung jawab. Suka hura-hura. Kamu dan teman-teman kamu membawa pengaruh buruk untuknya sekarang kamu hadir lagi dan menjadi racun untuk hubungan pernikahannya!"
Ummi menjeda berusaha menetralkan aliran darahnya.
"Aku gak mau ambil resiko, sekarang aku secara langsung tidak merestui hubungan kamu dan Syahdan. Carilah laki-laki lain, Vika." kata Ummi ketus pada wanita itu.
Aku tersenyum mengejek kearahnya. Dia melihatku dan dadanya bergemuruh marah.
"S*al, ini semua gara-gara kamu!" makinya padaku.
Dia dengan cepat hendak menyerang ku. Namun Syahnur dan Ummi tidak tinggal diam. Mereka juga terkejut dengan kelakuan Vika yang b*r-bar.
"Heh, apaan sih kamu." Kata Ummi berusaha melindungi ku.
Syahnur sudah memegang kedua tangannya. Dia terpojok bersama Syahnur di sana. Syahnur masih memegang dia dengan kuat.
"Astagfirullah." ucapnya saat posisi mereka tidak menguntungkan.
Syahnur beristigfar karena memegang wanita sembarangan. Aku mencibir, tidak tahu apakah kelakuan abang dan adik ini sama. Semoga saja Syahnur tidak m*nafik, lain di depan dan lain di belakang.
Aku menghela napasku dengan gusar melihat kelakuan wanita yang mengaku dicintai suamiku. Apakah wanita seperti ini yang dipilihnya? Ku dekati dia saat semua sudah tenang. Beberapa pengunjung juga melihat kearah kami.
Syahnur beberapa kali meminta agar tidak mengambil video keluarganya. Jus yang dipesannya itu ku siram ke wajahnya. Ummi meletakkan tangan ke mulutnya tak sangka aku seberani ini. Pakaian Vika sudah kotor karena ulahku dan wajahnya basah disertai hijab modern yang dipakainya.
"Ini lebih baik untukmu, seharusnya aku melempar k*toran ke wajahmu. Kau tahu, kamu sudah bermain-main dengan orang yang salah. Tidak semudah itu mengaturku. P*lakor s*al." balasku dengan suara bergetar. Rasanya hatiku lebih ringan setelah melakukan ini. Hanya Mas Syahdan yang belum merasakan sakit hati ini. Sakit yang dia torehkan.
"Naya."
Ummi mendekat berkata lembut padaku. Aku tak tahu bagaimana aku menanggapi Ummi. Di satu sisi dia sudah membelaku namun disisi lain aku tak tahu apakah itu tulus atau hanya citra untuk sebuah nama baik. Setidaknya dia saat ini ada di posisiku. Aku menghormatinya.
"Awas kalian, terutama kamu, Naya. Aku pastikan ini belum berakhir dan tidak semudah itu membuang ku." balasnya padaku, dengan cepat dia beranjak pergi menatap sengit kami di sana.
Setelah insiden itu berakhir datanglah manager kafe itu. Kami menyerahkan urusan itu pada Syahnur dan dia yang akan menyelesaikan secara kekeluargaan.
**
Kami semua berkumpul di rumah Ummi. Setelah kejadian itu. Ummi mengumpulkan anak-anaknya. Namun Ana tidak bisa datang karena ada kegiatan tambahan di yayasan. Di sana sudah ada aku, Syahnur, Ummi dan kami tinggal menunggu Mas Syahdan. Sedangkan Abi dijaga oleh beberapa saudara dan asisten pribadi.
Entah apa tujuan Ummi melakukan rapat terbatas diantara kami ini. Namun mungkin dia ingin agar masalahku dan Mas Syahdan selesai. Beberapa saat menunggu akhirnya pria yang masih bergelar suami itu datang.
Dahinya mengernyit karena melihat wajah-wajah serius kami, terutama wajah Ummi yang sudah ditekuk dan dia terlihat marah.
"Ada apa ini kok berkumpul semua dan diam seperti itu?"
Mas Syahdan masih bersikap biasa.
"Duduk Syahdan!" perintah Ummi, dia duduk di sebelahku.
Ku tatap tajam dirinya dan ku geser tubuhku agar tak dekat dengannya. Aku muak sekali padanya apalagi tahu seperti apa kelakuan gadis yang katanya dia cintai sebelum menikah denganku.
"Bagaimana seminar kamu?" tanya Ummi dengan wajah datar.
"Berjalan lancar. Nay, kenapa kamu tak datang, sayang?" dia berkata lembut seolah antara aku dan dia tidak terjadi apa-apa.
"Syahdan, apa kamu masih berhubungan dengan Vika?" kali ini Ummi menyela cepat.
Netra Mas Syahdan teralih ke Ummi.
"Maksud Ummi apa?" tanya nya sambil menggaruk kepalanya dan dia terlihat gugup.
"Ummi tanya, kamu masih berhubungan dengan Vika mantan pacar kamu saat kuliah dulu?"
Ummi mengulang perkataannya, melihat wajah serius Ummi, Mas Syahdan merasa mati gaya. Dia menggelengkan kepala cepat.
"Tidak, Mi. Mengapa kalian semua tampak serius?" tanyanya penasaran.
Aku merasa lelah. Namun menyerah akan membuat Vika bahagia karena bisa semudah membalik telapak tangan menggantikan posisiku. Dia akan leluasa mengejekku dan merasa sebagai pemenang. Ini tak boleh terjadi begitu cepat.
"Bukankah sudah Ummi suruh kamu putusin pacar kamu itu, mengapa dia masih meminta Naya datang untuk bertemu dan menyampaikan kalau dia lebih pantas untuk kamu dibanding Naya!"
Mas Syahdan menelan salivanya memandangku dengan raut gusar.
"Maksudnya bagaimana, Nay? Kalian bertengkar?" tanya Mas Syahdan melihatku bingung.
"Lebih dari itu. Mas, mengapa kamu gak pernah berubah. Apakah wanita b*r-bar itu yang kamu cintai. Aku capek sama kamu, aku selalu kasi kamu kesempatan tetapi mengapa kamu melakukan itu lagi dan lagi. Serta terus menerus?" ucapku dengan sinis padanya.
"Nay, maafkan Mas. Mas khilaf dan kami tidak pernah melakukan apa-apa. Kami hanya teman saja." kata Mas Syahdan membela diri.
"Tidak mungkin seorang teman mencium teman lainnya dan kamu menikmatinya. Walaupun dia pacar kamu dimasa lalu. Sekarang seharusnya kamu hargai aku." kataku teringat chat beserta photo yang dikirim Vika.
"Mas, kamu keterlaluan. Vika ngehalu terlalu jauh untuk memiliki kamu. Sekarang kamu susah sendiri dan terbakar sendiri."
Syahnur menimpali. Mas Syahdan gak terima mendengar ucapan adiknya.
"Diam kamu, kamu masih bocah dan gak perlu ikut campur!"
"Syahdan sekarang kamu yang diam. Syahnur sudah membantu di sana. Kalau tidak ada dia mungkin Vika sudah menyakiti Naya. Syahdan Ummi minta sama kamu, jagalah sikap kamu sebagai pemimpin, beberapa hari lagi kamu akan menempati jabatan karena kondisi Abi semakin parah." ucap Ummi, Mas Syahdan diam tetapi dari wajahnya aku tahu dia tak terima.
"Baik, Ummi." katanya mengalah.
"Naya, beberapa hari lagi kamu juga akan sibuk dengan beberapa kegiatan yayasan dan bedah buku oleh siswa disini. Ummi minta kita semua fokus. Semua demi kebaikan bersama dan kemaslahatan Ummat." ucap Ummi padaku, aku mendengkus kesal.
"Kita lupakan saja dulu berbagai masalah. Dan Syahdan Ummi minta kamu fokus dan tinggalkan perbuatan kamu yang gak penting. Ngerti kamu, tinggalkan Vika karena Ummi gak mau masa depan kamu hancur karena wanita itu." perintah Ummi.
Aku merasa jengah sekali. Aku gak bisa melupakan begitu saja. Aku bukan robot yang bisa seenaknya diatur.
"Ummi, aku tidak suka diatur-atur seperti ini. Aku masih mau menerima Mas Syahdan bukan berarti semua nampak baik. Maaf!" ujarku berlalu, kesal dengan semuanya.
Pertama Ummi yang membelaku namun dia abai pada perasaanku dan mementingkan martabat keluarganya. Kedua Mas Syahdan yang tidak ada rasa tanggung jawab serta egois, mempermainkan pernikahan. Dan terakhir Vika, kepalaku sakit dibuatnya. Aku ingin membalas dia. Dia menganggap aku remeh seperti ini.
**
"Naya,"
Mas Syahdan mendatangiku ke kamar kami. Aku sudah pulang ke rumah sendiri dan tak ikut dalam pembicaraan dengan mereka sekeluarga. Aku diam dan dia menjeda.
"Ummi minta maaf sama kamu. Dan aku juga."
"Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah kita berpisah?" tanyaku padanya.
"Hubungan kita ini sulit, Nay. Tidak sepenuhnya Vika salah karena aku mencintainya." ucap suamiku, perkataannya mengiris hatiku namun bila dia kulepaskan sekarang maka Vika akan merasa menang.
"Jadi aku kamu anggap apa, sampah. Pemuas nafsu." ujarku dengan tatapan tajam.
"Tatapi kamu tahu kalau kita menikah tanpa dasar cinta." lanjut Mas Syahdan dan ucapannya sudah melampaui batas untukku.
"Baikalah kalau itu pendapatmu. Mari kita buat saja perjanjian nikah kita." kataku.
Mas Syahdan menatapku bingung.
"Maksudmu?"
Bersambung.
Story Wa Istriku bag 50.**PoV Syahdan."Nay, kita diundang di acara pernikahan boy dan Vika. Kita datang ya?" Ucapku pada Naya, dia hanya tersenyum samar."Aku malas, Mas.""Kenapa? Aku tak bisa datang sendiri dan aku mau datang bersama kamu," ucapku dengan lembut ke istriku seperti sebuah permohonan."Nanti dia melihatku tak senang. Dia itu masih menginginkanmu!""Tidak mungkin. Lihatlah bocah suaminya itu. Sangat mencintai Vika dan orang tuanya juga memaksa menikahkan mereka.""Kenapa kita harus datang kesana!" ucapnya ketus. Aku hanya tersenyum melihat wajah cemberutnya."Kita kan diundang, Nay. Jadi sebaiknya lita datang. Kita tunjukkan juga sama Vika kalau kita itu pasangan yang harmonis,""Ya sudah baiklah. Aku ikut!" ujarnya mengalah."Terima kasih, sayang." ucapku. Naya mengulas senyum. Lama kami saling menatap. Tiba-tiba aura saling menginginkan berubah. Ku dekatkan wajahku ke Naya dan dia sepertinya
Story Wa Istriku bag 49.**"Ana diterima, Mi." kudengar suara Ana yang bahagia. Bahagia kenapa?"Ustaz Fikri menerima Ana!" Lanjutnya."Assalamualaikum," aku bersuara. Suamiku melirikku dengan senyuman."Abi, Nenek ...." Ahmad berlari ke arah Mas Syahdan yang berbaring sementara kedua asisten dan Baby sitter menunggu di luar."Sini, sayang!" kata Mas Syahdan menyuruhku duduk dekat dengannya. Aku duduk di dekatnya."Maaf ikutan nimbrung. Siapa yang menerima Ana," kataku penasaran."Ustaz Fikri, Kak Naya. Alhamdulillah dia bersedia menjadi suami Ana," lanjut adik iparku dengan wajah sumringah berseri. Aku tersenyum sembari memberi ucapan selamat."Alhamdulillah, Ana. Selamat semoga acara lancar dan disegerakan pernikahannya," ucapku, walau aku tahu Ana baru saja lulus, mungkin tak ada niat melanjutkan pendidikannya."Terima kasih, Kak Naya.""Hmm .... Ana sudah mantap, K
Story Wa Istriku bag 48.**POV Author.Naya keluar dari ruang privat Syahdan. Membiarkan sang suami beristirahat agar kondisi nya lekas pulih. Rasa bahagia terasa nyata, apalagi Naya memegang pipinya yang memerah akibat ucapan cinta barusan yang dikatakannya. Memalukan, padahal sudah suami istri namun bila mengucapkan kata itu rasanya agak aneh juga."Naya!" suara itu membuat Naya berpaling melihat siapa yang memanggilnya."Mama, Ummi dan Ana!" seru Naya melihat kedatangan orang tuanya. Mama langsung menghambur memeluk Naya, bergantian Ummi dan Ana."Maafkan kami karena sudah membuat Mama, Ummi dan Ana jadi repot menyusul kesini," ucap Naya, pasti mereka lelah belum lagi akan mengalami jetleg."Tak apa, Nay. Bagaimana kabar Syahdan. Ummi mau berjumpa!" seru Ummi."Mas Syahdan sedang istirahat supaya kondisinya cepat pulih. Operasi di perut berjalan lancar. Kita sama-sama berdoa semoga Mas Syahdan lekas pulih, Mi." ucap Naya pada
Story Wa Istriku bag 47.**PoV Naya."Papa!" seruku saat melihat Papa berjalan dengan langkah cepat menghampiriku."Bagaimana Syahdan, Nay?" tanya Papa dengan raut wajah cemas. Aku memeluknya dengan netra yang basah."Sedang di tangani dokter, Pa!" Papa mengelus lenganku memberikan aku kekuatan dengan sentuhannya."Sabar, dear. Kamu banyakin doanya. Semoga Syahdan lekas sembuh,""Dimana Ahmad, Pa?" tanyaku ke Papa sambil mengurai pelukan kami,"Dia di rumah dan aman walau tadi mengamuk minta ikut. Tetapi sebaiknya dia di rumah saja dulu bersama asisten dan perawatnya," ucap Papa."Terima kasih, Pa." Papa mengangguk kan kepalanya, aku mendesah sambil mengelap kasar mataku. Dari tadi yang kulakukan hanya menangis.Cukup lama kami menunggu. Hingga akhirnya dokter keluar. Secara cepat kami mendatangi dokter itu."Wie ist der Zustand meines Kindes, Doktor?"(Bagaimana kondisi anak saya, Dokter?) Papa berbica
Story Wa Istriku bag 46.**PoV Naya.Mama menghubungi melalui panggilan video, aku tersenyum sekaligus memandang Papa."Mau kah Papa berbicara pada Mama?" tanyaku padanya,"Papa malu, karena meninggalkan mamamu, dia pasti marah sama Papa," lirih Papa menarik napas panjang."Mama gak marah lagi karena Mama merasa ini sudah takdir, Mama menunggu, Pa!" ujarku dengan lembut. Dia akhirnya mengangguk. Ku tekan tombol terhubung."Assalamualaikum," ucap Mama di seberang panggilan."Waalaikum salam,""Naya, sudah ketemu sama Papa, nak?""Alhamdulillah, Ma. Sudah,""Bagaimana kabar Papa, nak?""Mama bicara sendiri ya," kataku, kulihat wajah mamaku pias. Aku tahu, dia sampai detik ini masih mencintai Papa, walau dia bilang tidak cinta lagi namun, Mama gak bisa membohongi aku. Alasan Mama tak mau menikah lagi juga cukup klise, Mama takut dikhianati dan sakit hati lagi sehingga Mama memilih sendiri sampai detik in
Story Wa Istriku bag 45.**PoV Naya."Guten tag." Mas Syahdan memanggil. Kami menunggu di luar rumah sederhana namun berdesain klasik itu. Udara dingin menusuk tulang ku, masih musim gugur namun dinginnya eropa sudah terasa, mungkin akan lebih dingin lagi bila masuk winter. Suamiku membetulkan jaket yang kupakai. Mas Syahdan sekarang berubah jadi suami perhatian dan terkadang genit. Tetapi aku menyukainya. Sudah lama sekali aku ingin dia perhatian padaku.Kami menunggu diluar beberapa saat kemudian keluar pria paruh baya dengan jaket dan topi. Dia menatap kami dengan kerutan di dahinya. Tubuhku bergetar melihat wajah papaku, sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Terakhir kali aku melihatnya saat usiaku tujuh belas tahun. Mama berpisah dengannya saat aku masih remaja. Bahkan, dia tak datang ke pesta pernikahanku. Alasannya dia sakit dan mendoakan yang terbaik buatku.Aku adalah anak yang tumbuh tanpa Papa saat aku beranjak dewasa. Kasih sayan