Share

Bab 2 : Tanggung Jawab

"Kau nih kayaknya di suruh buang cairan kimia sisa Sya. Siapa suruh besok aja mikir nya,"ucap Airin mencibir ku. "Hust diam aja bisa ngga. Aku malah mikirnya di suruh bersihkan lab.

Karena kalian berdua kan baik hati dan tidak sombong, jadi ngga pikir dua kali,"ucapku tersenyum lebar. "Ckckck. Dah lah ayo pulang Rin,"ucap Hilda. "Asem mau kemana lagi kalian ini he,"ucapku kesal.

"Canda wak. Kita mau cari makan dulu, lapar kali habis praktikum. Nanti ku bungkuskan buat mu,"ucap Airin melambaikan tangan nya di udara. Menyisakan ku yang kayak orang gembel di depan lab.

"Remember love you. I love you,"ucapku mengetuk kotak lab sembari memikirkan betapa gabutnya diri ku. "Rafsya Anitya,"panggil Fatih membuat ku segera bangkit. "Iya Pak,"ucapku berdiri tegap.

"Ayo ikut saya,"ucap Fatih ku angguki. "Sudah shareloc Pak?,"tanya Lewis yang bertemu di pintu masuk. "Sudah saya kirim ke grup Pak,"ucap Fatih. "Oalah ya sudah nanti saya sama temen-temen barengan aja,"ucap Lewis. "Ayo Rafsya mau ngelamun disana?,"tanya Fatih.

"Hah? Iya pak,"ucapku manut begitu beliau meminta ku naik ke mobilnya. "Didepan saja,"ucap Fatih membuat ku mengurungkan niat membuka pintu tengah. "Baik Pak,"ucapku manut saja.

Lagian aku malah kayak kena sawan gini. Apalagi dengan detak jantung yang membuat ku ingin segera kabur saja. "Kamu berapa bersaudara Sya,"tanya Fatih mencairkan suasana.

"3 Pak,"ucapku singkat, padat dan jelas. Takutnya ngomong kebanyakan malah ketahuan gugupnya. Suasana kembali tenang apalagi Fatih menyalakan sholawat nabi yang membuat ku lebih kurang rasa gugup.

Hilda

Ehh kamu kemana Sya

Aku sudah tungguin tapi ngga ada

Maaf ges aku pulang ke rumah Momy sayang

Oalah okey

Setidaknya kalo ada musik kan ngga begitu krik krik. Tapi ketenangan ku berubah begitu mobil membawa ku ke kawasan perumahan yang sangat ku kenal. "Loh Pak kalo boleh tau kenapa ke sini ya?,"tanyaku bingung.

"Kan saya sudah bilang ada urusan dengan mu,"ucap Fatih ku angguki meskipun bertanya-tanya kenapa malah di jalan Antrasit ramenya masya Allah. Ngga banget Cuma kok pas di depan rumah ku.

"Ayo turun,"ucap Fatih ku angguki. Rumah ku mau ada yang nikah kah ini? Kenapa juga ada kayak bunga-bunga segala di gerbang mana rame nya ehh kok banyak dosen. Mau ngapain ini weh???

"Rafsya sini nduk masuk,"panggil Asmita dari dalam rumah. "Iya Bu,"ucapku masuk ke dalam ruang tamu. Ku lihat lagi wanita paruh baya dan suami nya tengah duduk juga bersama dengan Mahardika.

"Bu ada syukuran kah?,"tanyaku bingung kenapa banyak dosen di luar. "Syukuran? Kamu itu dulu ibu tanya. Kenapa ini?,"tanya Asmita memegang perban yang mencuat di pergelangan tangan kiri ku.

"Itu biasa Bu di lab. Namanya juga anak kimia tapi kan di dalam juga Bu. Rafsya kan berjilbab ya ngga kelihatan juga,"ucapku. "Memangnya kamu mau berjilbab terus sampai kapan Nak.

Kalo kamu sudah nikah, apa kamu juga masih tetap berjilbab di depan suami mu?,"tanya Asmita. "Ya itu itu. Nanti ada jalan nya sendiri Bu,"ucapku. "Nduk. Ngga semua itu bisa kamu gampang kan.

Sekarang kamu bilang begini, nanti gimana dengan mu Nduk. Bekas luka mu itu,"ucap Mahardika membuat ku ikut berkaca-kaca. "Namanya musibah Pak, Bu. Rafsya juga kalo bisa menghindari ya dihindari.

Sudah dituliskan di sananya Rafsya begini Bu. Ibu habis potong bawang ini makanya perih mata ku,"ucapku mengipasi mata dengan tangan ku. "Bu,"panggil Mahardika. "Sya ini ada Pak Himawan dengan Bu Aina mau ngomong sama kamu,"ucap Asmita.

"Aku? Kenapa gerang dengan ku?,"ucapku menyeka air mata yang turun. "Nak saya yang kemarin. Ingat kan,"ucap Aina ku angguki. "Karena penyebab luka yang bagi saya, ibu mu bahkan saya rasa semua wanita tau bagaimana sedihnya memiliki itu.

Saya dengan Ayah nya Fatih mau melamar kamu untuk putra kami Fatih,"ucap Aina membuat ku cengo. "Sek toh. Ini kek mana sih kok malah ngga paham aku,"ucapku malas berpikir cerdas karena aku tau dengan jelas maksud dan setiap detail ucapan Aina.

Ngga mungkin kek gini kan. Ya Allah please aku ngga perlu kata lain aku cuma mau kuliah baik-baik. Ngga akan deh aku tanya aneh-aneh yang malah membuatku menyesal. Gila apa weh sedangkan usia terpaut 15 tahun. Iss no no no.

"Rafsya,"ucap Mahardika. "Iya Pak. Tapi ya saya baik-baik saja dan ngga ada masalah apapun itu. Saya rasa tidak perlu apalagi saya sadar diri. Begitu banyak kekurangan dalam diri dan masih kekanak-kanakan.

Saya anak pertama dan masih mau membahagiakan kedua orang tua. Juga kedua saudara saya,"ucapku menjabarkan. "Rafsya. Saya paham kamu memang mandiri dan mau bekerja keras anaknya.

Hanya saja saya rasa dengan cara ini, kami mungkin bisa memperbaiki suatu hal mungkin saja terjadi di masa mendatang. Kedua orang tua mu sudah setuju tinggal kamu mau nya gimana.

Nak mungkin sekarang kamu berpikir mudah. Hanya saja nak realita nya akan jauh lebih berat. Kamu masih muda tapi nanti Nduk,"ucap Himawan. Ku tatap wajah Asmita dan Mahardika yang saling mengangguk meyakinkan.

Weh ini kayak kalimat palung Mariana B aja tau. Padahal ya aku dan semua orang ngga tau di depan kayak mana. Masa iya masa muda ku Cuma terhitung sampai angka 20 tahun aja. Ehh ngga juga 20 orang aku masih 19 tahun ini.

"Bu tapi masa iya bapak ibu sudah sekolahkan susah-susah jadi istri aja?,"ucapku memelas. "Ngga gitu Nduk. Ini ceritanya beda lagi. Manut ya,"ucap Asmita. "Bener kata ibu mu. Kamu manut ya,"ucap Aina.

"Ehh tapi kan instansi ku ngga bolehkan aku nikah selama pendidikan,"ucapku baru ingat. "Tapi kali ini rektorat juga setuju. Semalam akhirnya semua pihak setuju dengan catatan selama masa kuliah hanya akan diketahui para dosen.

Artinya kamu bisa bebas berteman seperti biasanya saat di kampus,"ucap Aina. "Ngga ada bedanya ya. Ya sudah,"ucapku pasrah akhirnya. Toh hanya para dosen yang tau. Its Okey Sya Its Okey. Bilang Its Okey padahal jujur aku juga deg-degan ngga karuan.

"Alhamdulilah,"ucap seisi meja ruang tamu menyambut rasa bahagia kecuali aku yang bingung dengan hidup ini. Gemuruh suara syukur juga terdengar dari luar sebelum akhirnya masuk lagi suara yang ingin membuatku salto ke Palung Mariana.

"Assalamualaikum,"ucap Fatih dengan baju koko lengkap dengan peci hitam tersemat di kepalanya.

"Waalaikumussalam,"

Fatih didudukkan dekat tapi ngga satu tempat dengan ku. "Fat Rafsya sudah terima lamaran nya tapi tetep aja kamu harus ngomong secara langsung ke Rafsya,"ucap Himawan. Ehh kenapa kok jadi kayak deg-degan juga salah tingkah sih. Apalagi dosen yang ada di luar masuk semua turut mengabadikan momen.

"Ngga usah pakai pegang tangan putri saya ya,"titah Mahardika tegas tanpa tedeng aling-aling. "Baik pak,"ucap Fatih mengangguk patuh. "Ananda Rafsya Anitya Sagara

"Itu mau lamaran atau panggil wisudawan,"cibir Mahardika. "Pak udah lah becanda mu ngga lucu,"ucap Asmita. "Tanpa mengurangi hormat, saya Fatih Abqary Hafla ingin meminta 

"Itu mau pidato atau mau lamaran,"kini beralih ke Himawan. "Rafsya Anitya Sagara, mau kah kamu menggandeng tangan ku di hadapan hukum, masyarakat dan agama,"ucap Fatih serius menghadapku membuatku seperti kena sengat.

Perlahan ku angguki tapi dalam hati masih deg-degan karena memahami maksud dari perkataan nya. Ku kira dia bakal ngomong will you marry me atau sejenisnya. Tanpa ku duga ternyata justru kata 'menggandeng tangan ku' sebagai pengganti kalimat melamar.

"Alhamdulilah,"

"Bu Rafsya nya langsung di rias aja ya,"ucap Asmita di angguki Aini. Serta merta membawa ku masuk sedangkan tangan ku kanan kiri masih menenteng kotak lab dan jas lab. Kimia banget juga aku ini wehh.

-&-

Seisi ruang tamu di isi dengan semua dosen yang datang juga beberapa tetangga dan rekan kerja Mahardika. Namanya juga dadakan gara-gara asam sulfat kurang asem itu. "Rafsya ayo ganti baju dulu,"ajak Aina.

"Loh jilbab nya ketinggalan. Sebentar ya Bu,"ucap Aina meninggalkan ku dengan Asmita. "Bu. Rafsya ngga papa tanpa harus kayak gini. Karena Rafsya yakin jodoh ngga akan memandang fisik,"ucapku.

"Ngga papa Nduk. Sudah, ayo siap-siap,"ucap Asmita menahan air matanya. "Nanti kalo jadi istri nya Nak Fatih, jadi kayak yang biasanya ibu ajari. Manut aja apa yang dibilang. Ibu yakin Nak Fatih orang yang baik dengan mau bertanggung jawab,"ucap Asmita sembari memasang aksen kebaya.

Kayak mana ngga nangis weh, aku aja nangis karena bisanya pulang dari lab langsung ditawari nikah kayak gini. "Ini jilbab nya. Nduk Fatih itu ya memang tipikal nya agak dingin. Cuma kalo sudah kenal ngga sedingin itu.

Kalo butuh apa-apa bilang aja langsung. Saya ibu mu juga kan,"ucap Aina ku angguki. Bener-bener mupeng otak ku dibuat nya. Kebaya bewarna putih berpadu indah dengan warna kulit ku. Terakhir sebuah selendang panjang menutup total seluruh wajahku.

Aina dan Asmita menggandeng ku untuk duduk bersama para wanita di meja sebelah kanan sedangkan yang lain di sebelah kiri. Dari balik selendang, aku bisa melihat wajah Mahardika yang sangat berat melepas ku.

Putrinya yang selalu saja nakal, akhirnya harus diserahkan karena hal tak terduga. "Silahkan bisa dimulai,"ucap penghulu yang kamvret nya kapan datang. Mana yang dekor kelewat pro tau-tau udah jadi aja kan ngga lucu.

"Saudara Fatih Abqary Hafla bin Himawan Naufal Hafla, saya nikah dan kawin kan engkau dengan putri pertama saya yang bernama Rafsya Anitya Sagara binti Mahardika Abiyasa Sagara dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai,"

"Saya terima nikah dan kawin nya Rafsya Anitya Sagara binti Mahardika Abiyasa Sagara dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai,"ucap Fatih menggema di udara. "Bagaimana para saksi?,"tanya Penghulu.

"Sah,"

"Alhamdulilah,"aku hanya termangu begitu tangisan bahagia dari kanan kiri menyerbu ku. Aku bingung mau kek mana coy. Kayak aneh nikah tanpa lamaran tau-tau sah aja gitu. Asmita dan Aina mendudukkan ku bersebelahan dengan Fatih, hanya saja selendang nya belum dilepas.

"Fatih, memang Rafsya sekarang sudah sah jadi istri mu. Tapi kamu perlu ingat, Rafsya itu masih muda. Tentang cara berpikirnya masih kekanakan, tegur tapi jangan sampai sakiti fisik nya.

Saya percaya kamu bisa menjaga putri saya. Tentang lebam di wajahmu itu bentuk kasih sayang setiap bapak pada putrinya. Untuk itu saya harap kamu tidak sekalipun berpikir mempermainkan kepercayaan yang sudah saya berikan,"ucap Mahardika cukup membuat ku tersentak. Ternyata penyebab bonyok di muka Fatih dari tangan Mahardika. Tapi ngga kaget sih karena tau tipikal keras Bapak ku.

"Fatih. Ayah Cuma berharap yang terbaik dan bisa menjaga Rafsya. Dia jauh lebih muda 15 tahun dari mu. Beri dia pengertian kalo salah dan ajari dengan pelan. Cukup itu dari kami,"ucap Himawan. Selepas itu barulah Fatih diperkenankan membuka selendang penutup kepala ku.

Bahkan saat Fatih mengangsurkan, beda kali tangan ku dengan tangan nya. Tangan ku yang masih comel, apalagi baby face dengan tinggi Cuma 150 cm. Ideal Cuma ngga sesuai dengan umur ku dan dengannya yang memang fisik seorang laki-laki dewasa apalagi Fatih kabarnya rajin olahraga.

Sensasi nya kayak salaman sama dosen bukan sama suami cuy. Ngga ada kayak ish deg-degan atau apa gitu. Malah kayak aneh asli. "Ayo Pak Fatih jangan malu-malu lah. Masa malu-malu sama mahasiswa sendiri,"celetuk Lewis mengundang celetuk yang lain.

"Mumpung udah ada gandengan nya. Jangan sungkan-sungkan lah,"ucap Samuel, rektorat instansi ku. Maklum coy yang datang Cuma rektorat baru sama dosen jurusan aja. Ku rasakan tangan nya menangkup kepala ku hingga ku rasakan sesuatu yang hangat di kening ku.

Momen sekali seumur hidupku berkesan sangat sederhana tapi uniknya fell nya dapat dari mimpi yang sempat datang. Jadi rasa deg-degan nya juga kena. Fatih mengambil tangan kanan ku untuk dipasangkan cincin.

Begitu dengan ku yang lebih ke tremor sampai aku malu sendiri. Pasti Fatih bisa merasakan hawa dingin dari tangan ku. "Yuk buat foto bareng dulu. Mumpung satu jurusan lagi pada ngumpul semua,"ucap Nadia.

Begitu tau para dosen ku akan berfoto, aku melipir ke samping. Bukan insecure, lapar juga aku dari tadi pulang dari lab kan kelaparan. "Rafsya ayo dek. Ngga usah malu-malu. Kalo di luar kan suami nya Pak Fatih,"ajak Liona, dosen killer aja bisa selembut ini kalo diluar.

"Err iya Bu. Saya mau ke belakang dulu,"ucapku namun tangan ku ditarik pelan Fatih. "Nah gitu dong Pak Fatih. Harus yakin di depan istri apalagi mahasiswa nya sendiri,"ucap Lewis membuat ku makin canggung.

Menunjukkan wajah bahagia apalagi fotografer nya juga he kurang akhlaq memang. "Mas pengantin sambil peluk pinggang mbak pengantin dari belakang,"ucap fotografer membuatku melotot. "Pak kayak nya mending duduk aja secara saya kan lebih minimalis,"ucapku ke fotografer.

"Itu untuk foto pasca wedding nya. Santai aja Sya,"ucap Asmita membuat ku menegak ludah kasar. Fatih mengambil alih dan duduk sedangkan aku berdiri di belakangnya. "Iya Mbak pengantin nya pegang pundak Mas pengantin nya terus ditatap sambil senyum.

Mas pengantin nya juga ya ditatap mbak pengantin nya,"ucap fotografer ingin ku jungkir balik rasanya. Aku hanya berani menutup mata ku karena rasanya itu jauh lebih baik daripada harus membuka mata dan bersitatap.

"Nduk jangan merem toh,"ucap Aini mau ngga mau membuatku bersitatap dengan wajah rupawan Fatih apalagi matanya yang tajam memandang ku lembut dengan senyuman. "Yuk ganti gaya,"ucap fotografer membuatku ingin beranjak.

Tapi konyolnya kaki ku malah belibet membuatku tak sengaja mencium pipi Fatih. Sontak membuat wajahnya memerah maksimum sama seperti wajahku. "Nah alami banget bagus lah pokoknya,"ucap fotografer usai mengambil gambar.

"Maaf Pak saya tadi kebelit sama karpet,"ucapku mengalihkan pandangan di angguki nya. Kita aja yang canggung selebihnya malah ada yang tertawa lepas, cengengesan, dan segala macem. Aku hanya bisa mengucap istighfar aja sudah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status