Share

Bab 1 : Queen Of Disaster

Pranggg

"ALLAHUAKBAR,"ucap seorang gadis yang tengah berurai air mata menahan pedih dan sakitnya di saat setengah tubuh bagian atasnya terguyur larutan pekat asam sulfat.

"Rafsya. Ehh ayo bawa turun cepat weh,"ucap Hilda panik sendiri. "Panas Hil,"ucap Rafsya menutup erat matanya berusaha mencari pegangan. "Panggil Pak Lewis ehh,"ucap yang lain terdengar bersahutan makin menambah panik ku.

Terasa tubuhku melayang di udara sesaat hingga guyuran dingin membasahi kulit ku mencoba meredakan rasa panas dan pedih yang menjalar. Ku erat genggaman pada lengan yang tadi mengangkat ku ke bawah guyuran dingin air.

"Siapkan mobil segera,"ucap Pak Lewis terdengar begitu keras. "Pak jas lab nya lepas aja daripada semakin memperparah,"ucap Lewis mulai mengambang di udara. "Permisi ya Dek,"ucap suara asing tapi terasa familiar.

Jas lab yang setengah ku pakai di lepas tapi setelah itu bahkan aku kehilangan keseimbangan dan jatuh. Bersamaan dengan tangisan ku mereda begitu kesadaran ku mulai hilang begitu rasa sakit yang begitu menyayat di atas permukaan kulit.

---

Detak jam yang terus berputar berpadu dengan rasa ingin menusuk hidung dari oksigen. Otak ku mencerna kembali yang baru saja terjadi dengan perasaan sendu. Siapa yang ngga kenal nama asam sulfat dan pengaruhnya ke Novel Baswedan kala itu.

Kali ini asam sulfat mengguyur setengah bagian atas kiri tubuhku. Meskipun terlindung jas lab, dengan larutan pekat sebanyak 100 ml tentu bisa menembus ke kulit. Apalagi aku tadi dalam kondisi akan memakai jas lab setelah mencari es batu dan belum ku kancingkan. Btw ngomongin masalah baju ini baju ku juga ngga kayak yang tadi ku pakai. Lebih ke baju rumah sakit sih ini mah. 

"Sudah sadar?,"ucap Bu Nadia, dosen wali ku menatap lembut. "Terimakasih Bu,"ucapku membalas senyum nya yang merekah. "Selamat siang nona Rafsya. Setelah melakukan penanganan asam sulfat yang mengenai kulit Anda tidak begitu merusak kulit.

Hanya saja bekas luka bakar bekas guyuran dengan berat hati saya harus mengatakan itu permanen. Mohon ketabahan hati untuk itu,"ucap dokter yang baru masuk dengan kabar yang membuat ku ingin kembali tidur lagi saja.

Aku sudah tau kalo luka nya pasti akan begini ending nya. Hanya saja aku tak bisa menduga hal ini yang harus menimpa ku sendiri. "Dok apa tidak ada jalan lain untuk menyembuhkan luka nya,"tanya Nadia.

"Anda sendiri dari dunia kimia. Tentu dengan jelas mengenal nya dengan baik bukan,"ucap dokter tadi implisit. "Ngga papa Bu. Namanya juga musibah siapa yang tau,"ucapku mengurai air mata bersamaan dengan dokter yang pergi berlalu.

Nadia mengusap kepala ku menenangkan dalam situasi pelik yang tengah ku hadapi. Sontak membuat ku terngiang dengan kedua orang tua ku di rumah. Apa komentar mereka begitu tau anak gadis nya terluka parah begini?

"Saya yang akan bertanggung jawab,"ucap suara bariton yang terdengar asing tapi tidak dengan alam bawah sadar ku. Aku pernah mendengar suara nya di alam mimpi tapi sampai sekarang aku ngga pernah sekalipun bertemu dengan nya.

"Saya tau Anda yang memang bersalah di sini Pak. Biaya pengobatan tidak bisa dibandingkan dengan tekanan mental anak didik saya Pak,"ucap Nadia beringsut. "Bu Nadia tetap tenang Bu,"ucap beberapa dosen jurusan maupun rektorat yang ikut datang.

Perkara asam sulfat kenapa selalu bawa bencana gini sih. Nadia ini kalo ngajar mau ngga pun tetap aja tegas apalagi kalo marah. Hauh perang dunia gara-gara asam sulfat lagi kan ini.

"Sebentar. Rafsya baru sadar mending kita ngobrol nya diluar. Jadi ngga semakin menekan pikiran nya,"ucap Lewis menengahi perkara disetujui semua orang. saat ini aku bahkan jauh lebih suka menunduk daripada menatap orang yang menumpahkan air keras padaku.

Memang aku penasaran tapi kehidupan di masa mendatang jauh membuat ku berpikir kerasnya. Ku singkap lengan kiri baju rumah sakit, dimana di bawahnya perban menutup erat luka yang terbenam di sana. Bodo amat lah dengan luka nya, lagian selama aku pakai lengan panjang berhijab ngga akan terungkap juga.

"Kalo ceroboh itu nah ngga bisa dikurangi, padahal bukan anak-anak lagi,"ucap seseorang tengah mengomel membuat ku menatap ke arah pintu. Wanita paruh baya dengan hijab besar dan kacamata tebal membingkai wajahnya yang tampak kesal membuat ku malah ingin kabur saja.

'Aku kayak mau dimakan hidup-hidup ini,'ucapku dalam hati menggenggam erat selimut. "Nak. Siapa namanya,"tanya nya mendekati ku dengan wajah yang lemah lembut. Tapi tau lah kenapa pikiran ku malah di isi semua kehidupan yang pshyco.

"Maaf Bu saya ngga tau apa-apa,"ucapku takut-takut. "Bukan gitu. Saya Cuma mau tanya namanya siapa Nak,"ucapnya mengusap tangan kanan ku lembut. "Saya Rafsya,"ucapku deg-degan setengah mati.

"Jangan takut Nduk. Ibu Cuma mau ngobrol biasa aja. Rumahnya dimana sayang,"tanya nya lembut. "Jalan Antrasit no 7,"ucapku pelan. "Sekarang nge kost berarti,"tanyanya ku angguki. "Oalah gitu toh. Sudah makan?,"tanyanya ku gelengkan.

"Ibu tadi bawa sayur dari rumah. Ayo coba di cicipi dulu,"ucapnya menyodorkan sayur sop yang masih hangat. "Nak nanti kalo mau pulang, bilang ya. Biar ibu antar,"ucapnya. "Ngga perlu repot-repot Bu. Saya pulang sama temen aja,"ucapku menolak halus ajakan nya.

Lagian aku ngga tau dia ini sapa dan untuk apa masuk ke sini weh. "Ngga papa. Ibu sekalian mau kenal lebih jauh. Boleh kan,"tanya nya makin membuat ku takut sendiri. "Bo boleh Bu,"ucapku mengangguk dan melanjutkan makan.

-&-

"Terimakasih Pak Bu,"ucapku begitu sampai di depan kost ku. "Iya sama-sama Nak,"ucap mereka lembut sebelum berlalu. Di depan kost tampak wajah Hilda dan Airin yang menatap ku cemas.

"Sya yang sabar ya,"ucap Hilda merangkul ku membawa masuk. "Ehh apaan. Ngga papa kali. Lagian Cuma luka di dalam ngga kelihatan selagi aku berjilbab. Yang penting tuh muka ku yang comel ini nah,"ucapku terkekeh membuat Airin tak tahan untuk mencubit ku.

"Auh sakit coy. Kamu cubit di pinggang kiri nah luka ku di kiri,"ucapku. "Ya maaf. Bisanya juga kamu malah kambuh begitu gila nya,"ucap Airin sebal. "Btw aku tadi udah masak Sya. Cuma ya you know lah ngga sesuai dengan kesukaan mu,"ucap Hilda. "Heeh.

Maacih. Tapi aku tadi sudah makan dikasih sop nya ibu-ibu yang ngantar aku. Its okey aku harus makan banyak biar tambah bahagia. 2 hari di rumah sakit bikin aku kurus mendadak aja ehh,"ucapku.

"Sembarang kau Sya. Siapa ibu-ibu tadi tuh,"tanya Airin. "Kau tanya aku. Aku aja ngga tau. Tadi masih belibet di rumah sakit nah biar aku ngga ikut-ikut tertekan makanya di bawa pulang sama ibu tadi tuh,"ucapku di angguki mereka.

"Lagian kek mana juga itu asam sulfat bisa stalkerin kamu Sya,"tanya Airin. "Mana ku tau. Waktu habis ambil es batu tau-tau panas aja gitu. Dah lah tuh aku ngga liat apa-apa lagi gara-gara sudah kabur sama air mata,"ucapku.

"Nah itu ntar coba ku tanya sama yang lain. Ehh besok kamu pakai jas lab apa Sya,"ucap Hilda. "Haih perkara besok kenapa harus bingung sekarang sih. Aku aja belum ada belajar buat besok nah kamu sudah mikir ke sana aja,"ucapku.

"Ya ngga gitu Cuma ya you know lah. Kalo ngga ada jas lab kek mana kamu mau masuk?,"ucap Airin. "Iya juga ya. Ahh tau lah bodo amat. Aku mau pergi tidur aja jauh lebih baik,"ucapku membaca modul sambil berbaring di ranjang.

"Besok loh yang bimbing bapak dosen ganteng tau,"ucap Hilda membuat ku menaikkan sebelah alisku. "Biar ganteng kalo ngga bisa jawab paling kamu dikasih senyum manis ke arah pintu,"ucapku mencibir.

"Loh kau ngga pernah liat bapaknya kah coy,"tanya Airin. "Ngga dan ngga kepo. Ganteng kalo laporan nya ngga ribet dan pretest nya gampang,"ucapku fokus dengan yang ku baca.

"Teman mu Rin,"ucap Hilda. "Biar Hil. Nanti tau muka bapaknya langsung fall in love itu,"ucap Airin. "Gila mu. Ehh btw aku pernah bilang ngga sih mimpi buruk entah baik. Kena air keras baru ketemu sama cogan cuy,"ucapku.

"Hah kenapa lagi. Kau ketemu dengan nya kah? Sosok ganteng yang selalu membuat seorang Rafsya Anitya Sagara bahkan katanya deg-degan tiap liat namanya itu kah,"tanya Hilda membuat ku ingat sesuatu.

"Ehh siapa dosbing besok,"tanyaku cepat. "Katanya bodo amat. Tanya juga dosen nya siapa,"ucap Hilda. "Ehh seriusan,"ucapku. "Pak Fatih Abqary Hafla,"ucap Airin membuat ku mengingat ulang mimpi yang pernah ku alami beberapa bulan lalu.

Yang membuat ku seperti anak SMA jatuh cinta, deg-degan setiap namanya terbesit sampai mikir kayaknya aku disukai jin sampai akhirnya tobat dadakan. "Nah loh curiga aku jangan bilang kamu mimpiin Pak Fatih ya,"ucap Airin.

"Ketemu aja ngga pernah bisanya disebut mimpi,"ucapku. "Kan kamu sendiri yang bilang Cuma tau nama ngga pernah tatap muka. Apakah ini pertanda?,"ucap Airin mengedipkan matanya ke arah Hilda.

"Dah dah sana sudah. Ngga usah gila semua please,"ucapku. "Dih sok misterius, sampai kita dapat selesai kau Sya,"ucap Hilda keluar kamar bersama Airin membuat ku tergelak. "Cari dah sana kalo dapat,"ucapku santai tapi dalam hati berdegup kencang menanti hari esok.

-&-

"Persamaan reaksi nya wajib hafal kah,"

"Ngga tau. Aku belajar itu prosedur aja cuy,"

Pembahasan seputar materi yang diujikan berkeliaran di kanan kiri tapi fokus ku malah ke arah sosok misteri yang nyasar ke dalam mimpi ku saja. "Uyy diam-diam aja nih,"ucap Kieran, teman satu tim ku menyapa.

"Biarin Kie kayaknya lagi fall in love itu,"ucap Airin. "Ngga sembarangan cuy,"ucapku. "Wkwkwk bisanya. Ngomong-ngomong gimana luka mu?,"tanya Kieran. "Ya gitu sudah mulai kering Cuma ya you know lah asam sulfat itu kek mana,"ucapku.

"Sabar ya Sya,"ucap Kieran. "Santuy selagi aku masih menggila berarti aku baik-baik aja. Dah yok naik,"ucapku. "Heh ibu. Jas lab mu mana,"ucap Hilda. "Ehh iya cuy. Mana bisa aku praktikum kalo ngga punya jas lab.

Kek mana ini cuy,"ucapku bingung sendiri. "Katanya masih besok teross,"ucap Airin mengulangi ucapan ku semalam. "Ngga gitu juga. Trus kek mana kalo sudah begini,"ucapku panik sendiri sembari berjalan kesana kemari.

"Mending lapor sama Pak Fatih aja gin,"ucap Rafael. "Iya kali ya. Temeni nah ngga tau aku yang mana orang nya,"ucapku beranjak. "Haeh bisanya nah Sya. Btw Pak Fatih ngga ada bilang apa-apa ke kamu,"tanya Rafael mengantar ku.

"Ngapain juga bapaknya ngomong ke aku. Nah aku ngga pernah ada urusan dengan beliau,"ucapku. "Pak Fatih,"panggil Rafael begitu sampai di depan lab. "Rafael? Ada apa ya,"tanya Fatih membalik tubuhnya sontak makin membuat jantung ku menggila.

Innalilahi wa innailaihi rajiun

Ini kan cowok yang pernah singgah dalam mimpi ku sampai bikin gila. Ngga mungkin kan wajahnya bisa sama persis padahal ini baru pertama ketemu. 'Ngga mungkin Sya ngga mungkin,'ucapku menahan gelisah.

'Ingat Sya siapa tau Pak Fatih udah married ehh tapi Hilda sama Airin bilang masih lajang. Aih kenapa kepala ku makin buyar gini???,'ucapku menjerit dalam hati. Ingin rasanya kabur saja kemana yang jelas ngga disini.

Tau ngga momen kamu ketemu dengan orang yang kamu rindukan. Misalnya nih kamu sudah bertahun-tahun ngga ketemu dengan orang yang sangat dekat dengan mu. Nah gitu sudah sedangkan aku aja baru first time ketemu dengan beliau.

"Sya buruan,"bisik Rafael menyenggol lengan ku. "Pak saya ingin mengonfirmasi sepertinya tidak bisa mengikuti praktikum,"ucapku bertahan dengan posisi menunduk. Masalahnya aku nunduk gini deg-degan nya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Kenapa?,"tanya Fatih membuat ku mau ngga mau harus dengan cepat menyelesaikan biar makin cepat juga aku pergi. "Pak kemarin lusa jas lab saya kena asam sulfat. Nah setelah itu saya kurang tau dimana sekarang,"ucapku.

"Rafsya Anitya Sagara. Oiya saya lupa mengembalikan kemarin. Sebentar,"ucap Fatih berlalu kembali ke ruangan nya. "Hah maksudnya? Ga kayak mana pula maksud bapak nya,"tanyaku. "Loh kamu ngga tau kah?

Kemarin yang ngga sengaja tumpahkan asam sulfat di kamu itu bapak nya Sya. Bapaknya juga yang bawa kamu turun sampai ke rumah sakit. Karena waktu itu kami juga panik soalnya itu pecahan erlenmeyer nya jatuh ke bawah.

Otomatis bikin riweh, belum lagi asam sulfat yang jatuh. Semua dosen kemarin juga ikut panik soalnya kecelakaan lab kali ini agak beda dengan biasanya,"ucap Rafael cukup untuk membungkam ku. Gile kisah ku kok kayak halu nya wp amat sih. Masa iya mimpi bisa jadi kenyataan kayak gini.

"Rafsya ini jas lab kamu. Maafkan atas kecerobohan saya dan nanti setelah praktikum jangan pulang dulu,"ucap Fatih mengangsurkan jas lab. "Baik Pak,"ucapku mengangguk paham. Sementara kami diperbolehkan masuk terlebih dulu, ku usahakan pikiran ku tentang Fatih jauh ke udara.

"Pak Fatih agaknya kayak habis kena pukul ya Sya,"ucap Rafael. "Iya sih soalnya biru gitu pipi nya. Dah lah bodo amat yang penting jas lab ku comeback,"ucapku. "Iya lah tu. Kamu yakin bisa praktikum dengan tangan kiri masih diperban gitu?,"tanya Rafael.

"Yang diperban dari lengan sampai pergelangan. Bukan tangan ya mana ngaruh kecuali kamu mau ambil job kelompok kami,"ucapku. "Heleh bilang aja kamu masih pengen istirahat,"ucap Rafael. "Skip bercada aja aku bos,"ucapku memasukkan kedua tangan ku ke saku. 

Sementara yang lain berlalu ke bawah menyisakan ku di sendirian di dalam lab. "Rafsya Anitya Sagara gimana kondisi tangan nya,"tanya Fatih mendekati ku membuatku menjaga jarak. Terlebih aku lebih takut degup jantung ku yang kencang terdengar.

"Masih sama Pak,"ucapku tersenyum sembari menunduk ke bawah. "Kalo kamu merasa belum bisa sepenuhnya praktikum jangan memaksakan diri,"ucap Fatih ku angguki. Bisa ngga agak jauh Pak dah melting aku ini wehh.

Apalagi waktu tangan ku yang luka di angkat ke udara gara-gara ada sedikit bagian perban nya berantakan. Sumpah yang ku takutkan bukan rasa perihnya tapi takut ketahuan blushing sama Pak Fatih. Ya Allah semoga ngga ketahuan please.

"Itu sudah,"

Bunyi keramaian mengejutkan kami hingga tanpa sengaja Fatih menjatuhkan tangan kiri ku. "Aduh duh,"ucapku mengaduh. "Maaf maaf refleks. Saya permisi dulu,"ucap Fatih menjauh membuatku menghela nafas lega.

"Ihh ngapain hayo sama Pak Fatih sampai pipi mu ngga nahan,"ledek Airin. "Sembarangan. Perban ku rada terbuka tadi jadi dibenerin. Perih cuy makanya mau nangis aku,"ucapku berbohong di akhir kalimat. Karena ngga mungkin aku cerita fall in love sama Pak Fatih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status