Share

bab 3

-

bab 3

-

Albi mengetuk-ngetukkan bolpoinnya ke atas meja makan sebuah restoran ternama di kota mentropolintan Jakarta. Sedari tadi ia sudah bosan berada di antara manusia-manusia gila yang ingin menjadikan anaknya sebagai syarat kerja sama alias penyatuan dan penguatan relasi dua perusahaan agar tetap berjalan lancar. Gila saja. Di antara 6 orang yang ada di ruangan private itu, hanya Albi dan kakak perempuannya, Alzhea, yang diam menyimakー diam-diam geram dan ingin pulang.

Sebenarnya Albi sudah pusing terlibat dalam hubungan tidak jelasnya dengan keluarga si gadis tunangannya itu, apalagi embel-embelnya pertunangan bisnis. Albi sangat muak karena mereka bahkan mendiskusikan sesuatu yang notabenenya tak pernah terpikirkan oleh Albi. Aslinya sih, ia juga tak mau kalau dijadikan alat bisnis seperti ini. Apalagi ini bersangkutan langsung dengan hati dan kehidupan dewasanya nanti.

Tak tahan, Albi menggeretakkan gigi. Hendak mengeluarkan protes namun lagi-lagi ditahan oleh Alzhea. Wanita berumur 22 tahun itu menggeleng lemah sembari menatap Albi penuh harap, mengisyaratkan agar Albi diam dan tidak membuat keributan di sini.

"Aku pokoknya mau nikah di Paris!" seru gadis yang merupakan tunangan dari Albi itu terdengar merajuk.

Kalau biasanya tindakan gadis seusianya terbilang imut dan menggemaskan, berbeda dengan pandangan Albi pada gadis itu sekarang. Mengerikan dan menajiskan. Sama sekali tidak ada unsur imutnya.

"Boros. Biaya bolak-balik pesawat dan tinggal di Paris itu mahal. Malah uangnya bisa buat sedekah ke anak panti sama tunawisma," celetuk Albi akhirnya sudah tak tahan, menukas dengan nada datar- sedikit bernasihat.

Sang ibu sedikit menyunggingkan senyum kecilnya, menyadari kalau putra bungsunya ini sudah dewasa dan sikap baik dan pikiran rasionalnya menurun dari sang ayah.

"Ngapain sih? Mending buat investasi sama jalan-jalan ke luar negeri!" Gadis itu tentu saja menolak mentah-mentah nasihat Albi.

Albi melirik sinis, "Elo katanya bunga sekolah? Ngamal aja beratnya kayak mikul beban orang satu dunia," cibirnya tajam.

Alzhea berdecak samar, kemudian menginjak pelan kaki adiknya untuk memperingatkan. "Jangan gitu, Al," bisiknya penuh arti.

"Ngomong yang keras, Kak. Lo di sini sebagai kakak gue. Lo punya hak buat berpendapat. Lo punya hak buat gak setuju. Dan lo punya hak buat nyelametin hidup adek lo sendiri dari pertunangan gak jelas ini."

Di luar dugaan, Albi menanggapi dengan tegas dan jelas. Alzhea sempat terlonjak kaget sebelum akhirnya mengusap dadanya sabar, maklum dengan pembawaan serius dari adik satu-satunya ini.

"Albi, yang sopan." Ibu juga memperingatkan dengan nada lembut.

"Kalo ibu mau aku bersikap sopan, maka ibu dulu yang harusnya sopan sama aku. Ibu kira sopan tiba-tiba jodohin aku sama Minerva yang notabenenya anak dari temennya ibu buat alasan supaya relasi pekerjaan kalian tetap lancar? Dengan ngorbanin masa depan anak ibu sendiri??" Albi meninggikan oktaf suaranya, sudah tak tahan. "Ibu mikir nggak kehidupan Albi selanjutnya bakal kayak gimana?!"

"Ya emang kenapa sih, Al? Ujung-ujungnya juga kamu nanti bakal nikah, kan?!" Minerva menyahut dengan sebal.

Albi mendesah keras, sengaja berbuat tidak sopan untuk menunjukkan kalau ia sudah muak berada di sini. "Bener. Tapi kalo nikahnya nanti, gue gak bakal mau nikah sama orang kayak elo," balasnya sinis. "Dikira tahan liat muka rese lo tiap menit? Gue mah ogah."

Dengan cepat tangan Albi memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Hendak beranjak pergi sebelum tangan kanannya kembali dicekal oleh Alzhea. Albi menghela napas menatap mata bening kakaknya yang memancarkan harapan agar Albi tidak pergi dari sini. Albi sengaja mengabaikannya, kemudian tatapannya berpindah ke Minerva, sengaja menatapnya tajam penuh dendam.

"Jangan lo kira kalo lo punya segalanya lantas hidup lo bakal selalu enak dan semua kemauan lo bakal lo dapet. Ada kalanya manusia lain bisa lebih egois dari lo dan berakhir dia yang bisa ngrebut semuanya dari lo. Termasuk mahkota kecantikan lo itu. Sadar, roda kehidupan itu selalu berputar. Bumi berputar bukan karena lo doang yang jadi ratunya. Banyak ratu lain yang bahkan lebih berbudi dari elo."

Amarah Minerva terpancing. Jelas pemuda yang berdiri di sampingnya itu tengah membandingkan Minerva dengan gadis cantik di luaran sana yang etika dan sifatnya lebih baik dari Minerva. Itu membuat Minerva amat emosi dan marah karena penghinaan Albi. Harga dirinya seolah jatuh dan hancur lebur karena dipermalukan di hadapan keluarganya dan keluarga Albi sendiri.

"Satu lagi." Albi berbalik sebelum menggapai kenop pintu keluar. "Rumus lo di TO Mandiri 2 kemaren kurang tanda minus. Makanya masih ada 5 nomor yang salah. Ternyata kalo soal ketelitian, Pena masih jauh di atas lo."

-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status