Malam itu juga, Rizal meminta Vier untuk datang ke rumahnya. Tidak ada lagi waktu untuk menunda. Semuanya harus diselesaikan segera. Mengambil keputusan seperti ini memang tidak mudah, tapi mereka harus tetap melakukannya. Ini demi nama baik keluarga, begitulah yang dikatakan oleh Violet.
Menunggu hampir dua jam ketika Vier pada akhirnya datang. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, sudah cukup malam untuk membahas masalah pekerjaan jika itu yang dipikirkan oleh Vier. Tapi, Vier tetap harus datang karena itu panggilan dari bosnya.
“Menikahlah dengan Violet.” Lima menit setelah duduk di sofa ruang keluarga Rizal, Vier segera mendapatkan tembakan kalimat yang membuatnya sulit percaya dengan pendengarannya. Ini bukan tentang kalimat tersebut yang susah untuk dipahami. Tapi ini tentang situasi yang tak bisa diprediksi. Siang tadi, Vier masih menjadi lelaki dengan status sekretaris, asisten pribadi, atau apa pun itu sebutannya untuk seorang Rizal Bimantara. Lalu sekarang, secara tiba-tiba, bosnya memintanya untuk menikah dengan putri satu-satunya. Apakah semesta sedang mempermainkannya?
Vier tak bisa segera menjawab. Kebingungan merayap di dalam hatinya. Yang Vier yakini adalah pasti ada alasan di balik keputusan yang dibuat oleh Rizal Bimantara. Pasalnya, dia tahu bagaimana hubungan Violet dengan kekasihnya.
“Situasinya sangat mendesak, Vier. Saya tidak tahu siapa yang bisa membantu kami menghadapi semua ini. Evan tidak bisa dipercaya, tapi pernikahan harus tetap berjalan karena undangan sudah disebar dan akan dilakukan tiga hari lagi.” Rizal tidak mengatakan secara spesifik apa yang dilakukan oleh Evan karena itu adalah urusan keluarga mereka. “Kecuali meminta pertolongan kepadamu,” lanjut ayah Violet lagi.
“Saya sudah punya kekasih, Pak. Saya akan menyakitinya kalau sampai saya menikah dengan orang lain.” Vier tak ingin terjebak. Hubungannya dengan perempuan itu sudah sangat lama sekali. Mungkin sepuluh atau sebelas tahun. Vier tidak begitu menghitungnya.
“Hanya enam bulan.” Kini Violet yang bersuara. “Setelah itu, kita akan bercerai dan kamu bisa menikahinya.” Raut wajah Vier terlihat tak suka mendengar ucapan Violet yang terdengar meremehkan. “Saya tidak akan menuntut apa pun ke kamu. Ini hanya sebuah formalitas,” tegas Violet dengan suara yang cukup dingin.
Vier merasa, Violet lebih tidak bersahabat dibandingkan hari-hari sebelumnya. Kali ini tidak ada senyum sedikit pun yang tercetak di bibirnya.
“Maafkan saya, Pak, Bu. Untuk kali ini, saya tidak bisa membantu.” Vier menjawab dengan tegas. Urusan pekerjaan, dia bisa menjalankan dengan benar, tapi jika sudah menyangkut masalah seperti ini, Vier tak bisa melakukannya.
“Biarkan saya yang berbicara dengannya.” Violet mendesak. “Saya yang akan memberikan pengertian kepadanya.”
“Saya sungguh tidak bisa, Bu,” putus Vier.
“Jadi kamu memilih kehilangan semuanya?” Violet sedikit mengancam. Selama ini, apa pun yang diinginkan selalu didapatkan. Kali ini pun sama. Vier harus menerima permintaannya bagaimanapun caranya.
“Apa maksud, Ibu? Ibu mengancam saya?” Tatapan Vier beradu dengan tatapan Violet. Tidak ada keraguan yang ditunjukkan oleh Violet. Perempuan itu seolah ingin menghancurkan Vier sampai menjadi debu jika lelaki itu tetap menolak.
“Pikirkan saja dulu. Saya membutuhkan jawaban ‘iya’ esok hari. Tapi kalau tidak, bersiaplah untuk sesuatu yang buruk.” Violet berdiri dari sofa yang diduduki untuk pergi dari ruangan keluarga. “Aku ke kamar dulu,” lanjutnya dengan suara yang sangat dingin dan tidak bersahabat. Meninggalkan orang-orang yang sedang kebingungan karena masalah yang timbul secara tiba-tiba dan memporak-porandakkan semuanya.
Kepergian Violet membuat Rizal memijat pelipisnya dengan pelan. Kepalanya tiba-tiba saja berdenyut sakit. Violet benar-benar tak bisa dilarang. Padahal, Rizal bahkan tidak masalah jika pernikahan putrinya batal. Orang di luar sana mungkin hanya akan menggunjingnya sebentar kemudian akan melupakannya setelahnya. Sayangnya, Violet memiliki pemikirannya sendiri. Dia tak ingin harga dirinya digores oleh sebuah kegagalan menyedihkan seperti itu.
Selepas subuh, ketukan di kamar Violet terdengar. Saat pintu kamar itu dibuka, ayah dan ibunya muncul. Mengatakan kepada Violet jika Vier pada akhirnya akan membantunya. Kelegaan tak bisa dihindari. Ini adalah jawaban yang diinginkan. Lalu, saat dia sudah berada di kantor, pembicaraan dengan Vier dilakukan.
“Terima kasih sebelumnya,” ucap Violet. “Abang sudah bersedia menikah dengan saya.” Vier tidak menjawab. Terlihat jelas di mata lelaki itu jika dia sangat keberatan dengan permintaan bosnya tersebut. Tapi apalah daya, Rizal Bimantara terus mendesaknya sampai akhir.
“Saya berharap, saya tidak akan terlibat masalah dengan kekasih Ibu di masa mendatang. Saya kali ini benar-benar membantu dengan mengorbankan hati banyak orang.” Vier akhirnya bersuara. “Hubungan kita akan berakhir setelah enam bulan. Kita akan membuat perjanjian hitam di atas putih.” Seolah tidak ingin rugi dalam hal apa pun, Vier mengatakan itu dengan tegas.
“Tentu saja. Masalah saya adalah masalah saya. Saya tidak akan melibatkan Abang dalam hal itu.”
“Tapi meskipun tidak secara langsung, masalah ini tetap akan menyeret saya,” peringat Vier.
“Saya yang akan melindungi Abang. Tak perlu khawatir tentang itu.” Violet tak kalah tegasnya. Memberikan keyakinan penuh kepada Vier jika dia hanya perlu menikahinya. Selebihnya, akan menjadi urusan Violet. Maka perjanjian hitam di atas putih disepakati dan Vier tidak bisa mundur lagi.
Masalah pengganti calon suami telah selesai dan sekarang tinggal mengurus Evan dan keluarganya.
Saat malam tiba, Violet dan kedua orang tuanya datang ke rumah keluarga Evan untuk membatalkan pernikahan. Setelah kejadian siang itu, Evan bahkan sama sekali tak memiliki itikad baik dengan datang menemui Violet untuk meminta maaf. Bagi Violet, itu lebih baik karena dia akan lebih mudah menyingkirkan Evan dari hidupnya.
Ketika Violet bersama kedua orang tuanya datang ke rumah Evan, Evan terlihat sangat terkejut. Raut wajahnya sangat ketakutan meskipun berusaha disembunyikan. Senyum yang biasanya selalu Violet berikan kepada lelaki itu hilang entah ke mana. Perempuan itu seperti bongkahan es yang dingin dan tak tersentuh.
“Kami datang ke rumah Bapak dan Ibu untuk membatalkan pernikahan anak-anak kita.” Rizal berucap langsung tanpa basa-basi.
Raut terkejut muncul di wajah Evan dan kedua orang tuanya. “Pak Rizal, ada apa ini? kenapa tiba-tiba membatalkan pernikahan? Mereka akan menikah sebentar lagi.” Ayah Evan yang menanggapi lebih dulu. Tampak tak terima dengan keputusan sepihak yang dilakukan oleh besannya.
“Violet memergoki Evan bersama dengan seorang perempuan di kamar hotel.” Rizal dengan gamblang menjawab. “Saya rasa, itu adalah alasan yang cukup untuk membatalkan perrnikahan mereka.”
Evan meneguk ludahnya dengan susah payah ketika Rizal sendiri yang mengungkap semuanya di depan orang tuanya. Violet sejak tadi belum berbicara sepatah kata pun. Gadis itu seolah menunggu di waktu yang pas untuk mengeluarkan ultimatumnya. Dan itu cukup membuat Evan pucat pasi tak karuan.
***
Violet tak pernah menyangka kalau pengkhianatan akan menimpa hidupnya. Anggapan tentang Evan yang setia selalu mengaung di dalam kepalanya. Kepercayaannya kepada lelaki itu begitu besar. Seandainya Violet tak melihatnya sendiri, maka dia mungkin tidak akan percaya jika kekasihnya berkencan dengan perempuan lain di belakangnya. Violet kini semakin terlihat tak tersentuh. Pengkhianatan itu seolah menutup hatinya sepenuhnya. Tapi tentu, pengkhianatan itu tak akan membuatnya memberikan penilaian buruk kepada semua lelaki. Dia tahu, masih ada lelaki baik di luar sana. “Besok, Hara ingin bertemu dengan Ibu.” Vier menyampaikan itu setelah acara pernikahan berakhir. Hara adalah kekasih Vier. Perempuan yang sudah rela ‘meminjamkan’ Vier untuk menikah dengan Violet. Violet tak tahu bagaimana Vier mengatasi amukan dari Hara saat meminta izin untuk menikahi dirinya. Tapi, dia beranggapan, Hara mungkin perempuan yang sangat baik sehingga membiarkan kekasihnya membantunya. Violet lantas menjaw
Setelah ucapan Violet tersebut terlontar, bukan hanya Hara yang terkejut, tapi Vier pun sama. Bagaimana bisa, perempuan yang sudah mengambil kekasih orang lain masih berbicara begitu sombong. Ya, karena dia adalah Violet. Perempuan yang tidak bersedia kalah dari siapa pun. “Saya bersedia datang menemui Anda adalah untuk mengatakan dua poin penting. Meminta maaf dan berterima kasih. Saya bukan orang tak tahu diri yang akan bertindak seenaknya ketika ada orang berbaik hati membantu saya. Tapi tampaknya saya harus menarik kembali niat saya untuk melakukannya. Bukan saya yang melewati batas tapi Anda yang sudah mengatakan sesuatu yang tidak saya sukai,” jawab Violet dengan nada santai. Vier paham betul jika Violet adalah perempuan yang tidak bisa disinggung dalam bentuk apa pun. Lelaki itu juga sudah mengatakan kepada kekasihnya bagaimana tabiat Violet agar Hara tidak mengatakan sesuatu yang bisa menyentil amarah Violet. Sayangnya, mungkin karena hati perempuan itu sedang tersakiti, mak
“Saya rasa, hubungan kami tidak akan sampai di tahap itu, Pak,” jawab Vier mendengar ucapan bosnya yang sekarang menyandang status sebagai ayah mertuanya. “Setelah kontrak kami selesai, maka kami akan tetap berpisah,” tegas Vier lagi. Seandainya dia masih single, mungkin saja dia bisa mempertimbangkan untuk tetap bersama dengan Violet. Namun sayang, dia harus mampu menjaga hati seseorang agar tidak tersakiti terlalu dalam. Rizal mengangguk menyadari sikap Vier. Lelaki itu memang sudah bersama dengan kekasihnya dalam waktu yang cukup lama. Rizal mungkin juga berpikir jika cinta Vier kepada kekasihnya cukup besar. Dan seharusnya dia memang tak mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal seperti itu. Tapi, berharap boleh, kan?“Saya minta maaf. Anggap saja saya tidak pernah mengatakan itu,” kata Rizal mengalah. Dia tak boleh terlihat berharap dengan asistennya itu. Vier pun hanya bisa mengangguk sebelum pergi meninggalkan ruangan bosnya untuk kembali ke meja kerjanya. Meskipun Vier sudah m
Pagi ini, Violet menyiapkan sarapan untuknya dan Vier. Untuk pertama kalinya setelah menikah, dia memasak untuk suaminya. Setelah ini, dia harus mencari asisten rumah tangga. Violet tak mungkin memiliki waktu sebanyak itu untuk melakukan pekerjaan rumah. “Violet masak?” tanya Vier dengan sedikit kekaguman. Vier sudah terlihat rapi dengan pakaian kantornya. Kemeja berwarna navy dengan celana bahan. Tidak ada dasi yang menggantung di kerahnya, atau jas yang memeluk tubuhnya. Ya, Vier hanya seorang asisten pribadi. Bukan bos. Terkadang Vier merasa kecil di depan Violet yang adalah seorang bos. Dia bahkan terkadang bingung bagaimana dia harus memperlakukan istri 6 bulannya tersebut. Sedangkan Violet seolah tak memiliki beban apa pun berhadapan dengannya. “Iya. Ayo, kita sarapan.” Violet meletakkan dua mangkuk bubur di atas meja makan sebelum ikut duduk di kursi makan. “Hanya ada sisa bahan makanan di dalam kulkas. Jadi hanya ada ini untuk sarapan.” Vier mengangguk. “Bukan masalah.” K
Semesta seolah sedang melempari Violet dengan masalah pagi ini. Baru juga dia berhadapan dengan Hara, sekarang si brengsek Evan justru datang ke kantornya entah sedang melakukan apa. Violet terdiam untuk beberapa saat tanpa menjawab ucapan Raya. Kepalanya tiba-tiba pusing.“Berapa meeting hari ini?” Alih-alih bertanya tentang kedatangan Evan, dia justru melemparkan pertanyaan lain.“Ada dua meeting, Bu. Kita akan bertemu dengan perwakilan JH Grup untuk membicarakan masalah pembangunan apartemen. Di jam 11.00 pagi. Lalu, dilanjutkan bertemu dengan perusahaan iklan ERO jam 13.00 siang.” Itu artinya, dia masih memiliki banyak waktu luang untuk menemui Evan. Menemui Evan? Hanya dalam bayangan saja. Violet tak akan pernah melakukannya. Perempuan itu bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya ingin dilakukan Evan di saat seperti ini?“Usir saja dia. Saya banyak pekerjaan.” Akhirnya penolakan itu dia gaungkan. Mengurusi Evan akan membuat harinya semakin suram. “Dan pastikan dia tak
Vier baru saja akan pergi ke kamar ketika ketukan pintu rumahnya terdengar. Ada sedikit kernyitan di dahinya sebelum membuka pintu. Ini sudah malam dan dia tak biasa mendapatkan tamu saat larut seperti ini. “Hara?” Vier terkejut saat Haralah yang datang ke rumahnya. Perempuan itu tak seperti biasanya. Wajahnya memerah dan tatapannya tak fokus. “Vier.” Hara melemparkan tubuhnya ke pelukan suami Violet tersebut dan melingkarkan tangannya di punggung Vier dengan erat. Bau alkohol menyengat tanpa ampun memenuhi penciuman Vier setelahnya. “Apa yang kamu lakukan, Hara!”Dengan sedikit kasar, Vier menjauhkan Hara dari tubuhnya. Menatap perempuan itu dengan tajam dan kemarahan tercetak di matanya. Dia tak tahu sejak kapan Hara menjadi perempuan yang bisa mengkonsumsi alkohol. “Aku akan tidur di sini. Di mana istrimu? Aku akan menyingkirkannya!”Meskipun pikiran Hara sedang tidak waras, dia seolah masih menantang keberadaan Violet. Mendorong Vier agar terlepas dari lelaki itu, Hara masuk k
Kini di ruangan meeting hanya tersisa empat orang. Violet dengan sekretarisnya, Rizal dengan Vier. Lalu Rizal meminta agar Raya pergi lebih dulu karena dia perlu berbicara dengan anak dan menantunya. “Violet, ini daerah yang lumayan jauh. Kita bisa meminta karyawan untuk pergi ke sana. Tidak harus kamu.” Rizal mencoba bernegosiasi. “Saya akan tetap berangkat, Pak. Saya akan mengajak Raya untuk perjalanan kali ini,” jawab Violet tak mau kalah. “Kalau memang kamu ngotot, maka biarkan Vier yang menemanimu.”“Tidak.” Secepat ayahnya memberikan usul, secepat itu pula dia menjawab. Vier bahkan terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Violet.Apa Violet sedang menghindarinya? Begitulah mungkin yang sedang dipikirkan oleh Vier saat ini. Tidak ada penjelasan lainnya selain kata ‘tidak’ yang diberikan. Violet berdiri dari duduknya. Pamit kepada ayahnya untuk kembali ke ruangannya tanpa melirik sedikitpun ke arah Vier. Rizal menangkap sesuatu yang aneh pada interaksi Violet dan Vier. Mesk
Hara tahu pesannya sudah dibaca oleh Violet saat centang dua berwarna biru muncul di halaman obrolan. Tidak sia-sia dia mencuri nomor Violet dari ponsel Vier. Kalau Violet berpikir dia akan diam saja, maka itu hanya kebodohan yang dipelihara oleh perempuan itu. Yang diinginkan oleh Hara adalah dia mendapatkan balasan dari Violet. Sayangnya, perempuan itu tidak menjawabnya sama sekali. Tidak masalah. Hara bahkan punya ribuan cara untuk mengusik ketenangan Violet. Satu tak berhasil, maka ada cara lainnya yang sudah dipikirkan olehnya. Senyum jahat tercetak di bibirnya. Kalau dia tak bisa mengganggu Violet, maka itu bukan Hara. “Sudah malam, Hara. Pulanglah.” Senyum yang tadinya merekah itu kini tertutup mendengar suara Vier. Hara jelas tak suka dengan ‘ide’ Vier yang mengusirnya dari rumahnya. Ini masih sangat sore baginya. Baru pukul 07.00 malam. Dan lagi, biasanya Vier yang akan mengantarnya. Sekarang lelaki itu justru mengusirnya tanpa perasaan. Apa-apaan ini. Hara tak terima. “