Violet tak pernah menyangka kalau pengkhianatan akan menimpa hidupnya. Anggapan tentang Evan yang setia selalu mengaung di dalam kepalanya. Kepercayaannya kepada lelaki itu begitu besar. Seandainya Violet tak melihatnya sendiri, maka dia mungkin tidak akan percaya jika kekasihnya berkencan dengan perempuan lain di belakangnya.
Violet kini semakin terlihat tak tersentuh. Pengkhianatan itu seolah menutup hatinya sepenuhnya. Tapi tentu, pengkhianatan itu tak akan membuatnya memberikan penilaian buruk kepada semua lelaki. Dia tahu, masih ada lelaki baik di luar sana.
“Besok, Hara ingin bertemu dengan Ibu.” Vier menyampaikan itu setelah acara pernikahan berakhir.
Hara adalah kekasih Vier. Perempuan yang sudah rela ‘meminjamkan’ Vier untuk menikah dengan Violet. Violet tak tahu bagaimana Vier mengatasi amukan dari Hara saat meminta izin untuk menikahi dirinya. Tapi, dia beranggapan, Hara mungkin perempuan yang sangat baik sehingga membiarkan kekasihnya membantunya.
Violet lantas menjawab dengan anggukan. Tentu saja mereka harus bertemu. Pasti akan ada banyak hal yang perlu mereka rundingkan. Tentang membagi waktu Vier misalnya? Entahlah, Violet pun tidak memiliki bayangan seperti apa pertemuan itu nanti akan terjadi. Intinya, Violet berhutang banyak dengan perempuan itu. Entah apa yang akan dikatakan kepada kekasih Vier nanti, tapi dia akan besikap baik.
Malam ini menjadi malam panjang untuk Violet maupun Vier. Mereka yang berada di dalam satu kamar yang sama. Tapi mereka memilih memisahkan diri. Violet berada di ranjang, sedangkan Vier berada di sofa. Keduanya sama-sama tidak bisa tidur meskipun matanya terpejam rapat.
Ingatan Violet memutar pada kejadian kemarin malam ketika dia berada di rumah Evan. Setelah orang tuanya mengatakan tentang pembatalan pernikahan tersebut, orang tua Evan bersikeras tetap ingin pernikahan itu tetap dilakukan. Padahal mereka tahu Evan berselingkuh.
“Selama ini saya berusaha menjadi kekasih yang baik. Sesibuk apa pun saya, saya akan tetap meluangkan waktu untuk Evan. Situasi ini membuat kekecewaan saya sudah tak terobati,” kata Violet menjawab ucapan ibu Evan. Mana bisa orang tua Evan menjadi tidak punya malu dengan tetap meminta Evan menikah dengan Violet. Sedangkan yang dilakukan oleh Evan adalah sesuatu yang tidak termaafkan.
Lalu penolakan Violet tersebut dijawab oleh Evan, “Violet, aku sedang khilaf. Itu adalah pertama kalinya aku melakukan sesuatu yang menjijikkan. Aku mengakui aku salah, tapi jangan membatalkan pernikahan kita.” Evan memohon. Raut wajah lelaki itu benar-benar tertekan.
“Tante, Om. Saya pribadi meminta maaf sudah mengambil keputusan seperti ini. Tapi saya tidak bisa terikat dengan seseorang yang sudah mengkhianati saya. Tentang para undangan dari pihak Om dan Tante, silakan diberikan informasi tentang kegagalan ini.” Alih-alih menanggapi ucapan Evan yang meminta maaf kepadanya, Violet sama sekali tak peduli dengan lelaki itu. Dia hanya perlu menganggap Evan tak ada di sana.
“Dengan melakukan ini, kamu juga akan malu, Violet.” Evan tak peduli diabaikan.
“Pernikahan saya akan tetap berjalan. Saya tetap akan menikah dengan orang lain. Silakan kalau Om dan Tante bersedia datang.” Sontak saja hal itu membuat Evan dan kedua orang tuanya terkejut. Omong kosong macam apa ini?
“Jadi kamu memutuskan hubungan denganku dan menikah dengan orang lain?” Evan meninggikan suaranya tidak terima. “Kamu gila?”
“Lucu sekali.” Violet bertepuk tangan dua kali sebelum memberikan tatapan mematikan miliknya. Mengamati lelaki itu dengan serius sebelum kembali bersuara. “Bukankah kamu yang berniat memutuskan hubungan denganku lebih dulu? Jangan berteriak kesakitan ketika kamulah pihak yang menyakiti.” Orang tua Evan tidak banyak bicara merasa kalah telak mungkin.
“Saya mengembalikan biaya yang sudah terpakai.” Violet meletakkan selembar cek yang sudah tertulis nominal uang yang pernah diberikan Evan kepadanya untuk biaya pernikahan mereka. “Terima kasih, Tante, Om, yang sudah menerima saya dengan baik selama ini. Terima kasih juga sudah memberikan cinta kepadaku.” Kalimat terakhir itu Violet menatap Evan tanpa ekspresi yang berarti. Basa-basi juga diberikan oleh orang tua Violet sebelum mereka pergi dari rumah Evan.
Bayangan itu memang terasa mengaduk emosi Violet. Tapi ini adalah bagian dari kehidupan yang harus dijalani. Kini yang harus dilakukan adalah menata hidupnya untuk masa depannya. Terlebih lagi, selama enam bulan ke depan, dia harus hidup bersama dengan kekasih orang lain.
***
Siang itu, Violet pergi bersama dengan Vier ke sebuah kafe tempat mereka akan bertemu dengan perempuan bernama Hara. Tidak ada raut gugup di wajah Violet. Seperti biasa, dia selalu mengedepankan ketenangannya dibandingkan apa pun. Sesampainya di sana, sepasang suami istri itu kini mendekat pada sebuah meja di mana seorang gadis berbaju abu-abu dengan rambut tergerai sampai bahu, duduk di salah kursi. Secangkir cappuccino sudah tersaji di sana dan sedikit terkejut saat Vier dan Violet berada di depannya.
Secara otomatis, Vier duduk tepat di samping Hara dan membiarkan Violet duduk di kursi berseberangan dengannya. Violet tak merasa tersinggung sedikitpun dengan yang dilakukan oleh Vier kepadanya. Dia sangat menyadari posisinya tidak spesial bagi Vier meskipun status mereka menunjukkan semuanya.
“Hara. Ini Ibu Violet. Ibu, ini Hara.” Vier mencoba mengenalkan keduanya. Panggilan Vier bahkan tidak berubah. Terlihat sekali raut wajah Hara yang menunjukkan ketidaksukaannya kepada sosok Violet. Meskipun kedua perempuan itu berjabat tangan, tapi aura kaku tiba-tiba memerangkap mereka.
“Ada hal yang perlu saya katakan kepada Ibu dan saya berharap Ibu bisa melakukannya.” Hara mulai berbicara. Violet bisa melihat dengan jelas mata bengkak perempuan itu. Entah sudah berapa lama gadis itu menangis dan itu karena dirinya. Tiba-tiba saja perasaan Violet terasa tak nyaman. Apa bedanya dirinya dengan perempuan yang dibawa oleh Evan ke hotel, selingkuhan mantan kekasihnya yang sangat Violet kenal. Tidak ada bedanya. Mereka sama-sama jahat karena merebut kekasih orang lain.
Violet menarik nafasnya panjang berusaha tidak disadari oleh Hara maupun Vier. “Pertama.” Suara Hara kembali terdengar dan seketika membuyarkan bayangan Violet yang sedang berputar di dalam kepalanya. “Jangan pernah berpikir untuk merebut perhatian Vier apalagi berpikir mendapatkan cinta darinya.” Violet mendengarkan dengan seksama.
“Kedua, setelah enam bulan, jangan mencari alasan apa pun untuk melanjutkan pernikahan konyol kalian. Ketiga, selama pernikahan kalian berjalan, jangan pernah menghalangi saya untuk bertemu dengannya. Anda sudah mengambil seseorang yang tidak seharusnya, untuk menyelamatkan Anda dan keluarga Anda dari rasa malu. Maka, berbuat baiklah dengan tidak bertindak melewati batas.”
“Hara!”
“Biarkan saja, Bang.” Vier yang akan menghalau ucapan Hara seketika terhenti ketika Violet menyambar ucapannya dengan cepat. Kedua perempuan itu beradu pandang dengan sama sengitnya. Violet awalnya akan berbicara secara baik-baik. Tapi sayangnya Hara sudah melampaui batasnya.
“Bagaimana kalau pada akhirnya kami menjadi saling jatuh cinta?”
***
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa