Share

BAB 4 PERTEMUAN

Drap drap drap.

Suara langkah kaki yang terburu-buru dan bergegas masuk ke salah satu bangsal. Berlari-lari kecil sembari mencari-cari seseorang namun tak kunjung ketemu. Tak mau menyerahkan, dokter itu tetap mengitari semua pasien yang ada di bangsal itu. Satu persatu pasien di bangsal itu dilihatnya dengan teliti. Hingga tersisa satu pasien yang belum dilihatnya yaitu pasien yang berada dipojok paling akhir dengan tirai tertutup.

Hanya satu meter jarak antara dokter itu dengan pasien terakhir. Dokter itu terdiam sejenak untuk menghela nafas sambil menepuk-nepuk pelan dadanya. Tak lupa menyeka keringat di wajahnya.

Sraaak.

Tirai digeser perlahan dan separu tubuh pasien terlihat berbaring lengkap dengan selimutnya. Dokter itu berniat menggeser tirai itu lagi karena masih penasaran dengan wajah pasien. Namun, niatnya terhenti karena mendengar seseorang memanggilnya.

"Dokter, pasien yang kemarin ngamuk lagi!" Teriak perawat dari pintu bangsal.

"Dimana pasiennya?" Tanya dokter itu dan bergegas lari keluar.

"Di bangsal sebelah dok." Jawab perawat.

"Panggil perawat lainnya dan segera susul ke sini secepatnya!" Titah dokter itu.

"Baik, dok." Jawab perawat sigap.

Selama satu jam, dokter dan perawat menangani pasien yang mengamuk itu. Dan berhasil ditenangkan.

"Hah." Dokter itu menghela nafas di tempat duduk koridor.

"Gak terasa udah sore aja." Gumam dokter kelelahan sembari melihat jam tangannya.

"Lagi ngapain bro?" Tanya dokter Arya yang tiba-tiba muncul disebelahnya.

"Lagi bernafas." Canda dokter itu.

"Terus, ngapain juga kamu disini?" Lanjut dokter itu.

"Lagi bernafas." Tiru dokter Arya.

"Hah." Dokter itu lagi-lagi menghela nafas.

"Dari tadi kamu menghela nafas terus, ada masalah ya?" Tanya dokter Arya penasaran.

"..." Dokter itu hanya diam.

"Btw, aku punya berita bagus nih. Aku punya pasien yang super duper caaaantik. Bisa nih buatmu, tertarik gak?" Tanya dokter Arya mencairkan suasana.

"Gak tertarik." Jawab dokter itu dingin.

"Loh, kenapa? Kan bisa PDKT dulu. Gak langsung nikah, bro." Cerewet dokter Arya.

"Terus?" Respon dokter itu tidak tertarik.

"Sudah saatnya melepas kejombloanmu itu, bro. Biar cewek-cewek di rumah sakit ini tau kalau kamu itu sudah bertindak." Tambah dokter Arya makin cerewet.

"Belum saatnya." Jawab singkat dokter itu.

"Kamu tau kan, berapa banyak cewek-cewek di sini yang berusaha mengejar-ngejarmu? Itu karna kamu bro. Dokter primadona yang gantengnya kebangetan dan satu-satunya dokter di rumah sakit ini yang punya klub penggemar plus masih single. Paket lengkap, bro." Jelas dokter Arya cerewet bin lebai.

"Ya ya ya." Jawab dokter itu yang terlihat malas menanggapi.

"Kalau aku jadi kamu, sudah aku manfaatin gelar primadona itu, heh." Gumam dokter Arya iri.

"..." Dokter itu tak menanggapinya.

"Oh iya? Siapa ya nama pasien yang cantik itu? Duh, kenapa bisa lupa kepala ini?" Gumam dokter Arya lebai sembari menepuk jidatnya.

" Oh, tau tau. Namanya Arisa...., A-ni...." Gumam dokter Arya sambil mengingat-ingat nama pasiennya.

"Apa? Siapa namanya?" Tanya dokter itu kaget.

"Aku cuma ingat nama depannya itu, Arisa. Tapi gak ingat nama lengkapnya." Jawab dokter Arya.

"Arisa Anita Zahra?" Tanya dokter itu.

"Yup, betul sekali. Cantik banget orangnya, bro. Oh iya, aku mau ngasih tau kamu kalau dia itu pasien yang harus kamu pantau. Karena asumsi sementara dia sepertinya mengalami gangguan kesehatan men..." Jelas dokter Arya.

"Oke." Potong dokter itu, dan langsung bergegas pergi.

"Woi, mau kemana? Aku belum selesai ngomong." Teriak dokter Arya kesal.

Drap drap drap.

"Sepertinya benar, pemilik nama Arisa adalah orang yang aku kenal." Gumam dokter itu sambil berlari di koridor.

Drap drap tap.

Kini, dokter itu sudah berada di depan bangsal yang tertulis nama Arisa. Dokter itu berniat mengecek kembali pasien yang belum sempat dilihatnya.

Tap tap tap

Dokter itu tepat berada di depan tirai pasien terakhir di pojokan. Hanya satu langkah lagi untuk memastikannya.

Sret sraaaak.

Tirai dibuka dan dokter itu terdiam sejenak. Ternyata, pasiennya tidak ada di kasurnya. Hanya selimut yang tertata rapi di atasnya.

"Apa dia sudah pergi?" Gumamnya penasaran.

"Permisi bu, apa ibu tau kemana pasien yang di sini?" Tanya dokter itu kepada pasien di sebelahnya.

"Barusan dia pergi keluar, tapi tidak tau kemana." Jawab pasien itu.

"Terima kasih, bu." Ucap dokter itu dan bergegas pergi.

Drap drap drap.

"Apa dia sudah keluar rumah sakit?" Gumam dokter itu yang masih berlarian.

"Izinkan aku bertemu dengannya walau hanya sebentar." Pinta dokter itu dalam hatinya.

Dokter itu masih berlarian mengitari koridor rumah sakit. Tak tau kemana, dokter itu berlarian tanpa arah yang jelas. Timur, barat, atas, bawah, hampir semua penjuru rumah sakit dikelilinginya. Namun tak berbuah hasil.

"Aku ingin bertemu dengannya. Izinkan aku melihatnya walau sekilas." Pinta dokter itu pasrah.

Dokter itu duduk termenung di kursi taman. Melepas penat dan lelah sembari menghirup udara segar di bawah pohon rindang.

Tiba-tiba matanya tertuju pada siluet seseorang yang lewat di depannya. Dilihatnya dengan seksama punggung orang yang lewat itu. Tatapan matanya mengisyaratkan bahwa dia telah menemukan orang yang dicarinya.

Grep.

"Arisa." Panggil dokter itu sembari memegang siku orang itu.

"Eh? Saya bukan Arisa, dok." Jawab orang itu heran.

"Maaf, saya salah orang." Ucap dokter itu dan pergi.

"Sepertinya aku tidak diizinkan bertemu dengannya." Gumam dokter itu pasrah.

***

Ckiit.

Tak.

Umi dan Abi yang baru tiba di parkiran basemen rumah sakit bergegas keluar mobil.

"Abi, kok bagasinya gak dibuka?" Tanya Umi.

"Oh iya lupa, sebentar Abi buka." Jawab Abi.

"Cepetan ya!" Titah Umi.

"Iya iya, sabar Umi. Toh, sudah." Ucap Abi.

"Nah, gitu dong Abi." Ucap Umi senang sembari memeriksa barang dibagasi.

"Ini dibawa semuanya? Gak kebanyakan?" Tanya Abi.

"Iya. Ini keperluan dan perlengkapan buat Arisa di rumah sakit." Jelas Umi.

"Serius Umi? Barang sebanyak itu kayak mau pindahan rumah, bukan untuk nginap di rumah sakit." Canda Abi.

"Ih, Abi kayak gak tau aja. Barang-barang keperluan perempuan itu memang banyak." Jawab Umi serius.

"Pantesan lemari baju di kamar kita jebol, perempuan ini penyebabnya to." Ucap Abi sembari mencubit hidung Umi.

"Itu mah lemarinya yang mau diganti." Jawab Umi gak bersalah.

"Hmmm, emang iya?" Tanya Abi usil.

"Udah ah Abi, ini kapan dibawanya? Ayo cepetan dibawa!" Ucap Umi mengalihkan topik.

"Siap, Umi." Jawab Abi sigap.

***

Rindang, hijau, dan lebatnya dedaunan yang tumbuh disetiap tangkai pohon memberikan rasa sejuk dan nyaman bagi siapa saja yang duduk di bawahnya. Namun, tidak dengan dokter itu. Sepoi-sepoi angin yang berhembus kencang seakan-akan ingin mencoba menghibur dokter itu, tapi tidak berhasil. Yang ada hanya helaan nafas berkali-kali.

"Aku,... rindu." Gumam dokter itu seraya melamun.

"Haaah..." Dokter itu menghela nafas lagi.

Tap tap tap.

Suara langkah dua orang yang tiba-tiba lewat di hadapan dokter itu membuyarkan lamunannya. Dua orang itu nampak membawa banyak barang dan familiar dimata dokter itu.

"Sepertinya kesempatan itu akan terkabul dalam beberapa hari ke depan." Gumam dokter dan bergegas menghampiri dua orang itu.

"Assalamualaikum Umi, Abi." Sapa dokter itu.

"Wa'alaikumussalam, anda siapa ya?" Tanya Abi tak kenal.

"Wa'alaikumussalam,.....ZAIN!" Jawab Umi kaget.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status