"Serena …," geram Rafael sembari menatap layar komputernya. Dia sudah di ruangannya dan dia masih kepikiran dengan Serama tadi.
Perempuan itu sepertinya memang tidak merasakan apa-apa padanya. Serena terlalu santai dan bahkan seperti mendukung Rafael dengan Jenner.Tok tok tok"Silahkan."Ceklek'Rafael menoleh ke arah pintu, langsung berdecak kesal karena bukan Serena yang datang. Shit! Dia sangat berharap jika Serena yang akan menemuinya di sini. Sialnya bukan Serena yang datang melainkan Jenner."Rafael, aku ingin membicarakan sesuatu padamu." Perempuan itu langsung menarik kursi ke sebelah Rafael, kemudian dia duduk di sana sembari memeluk lengan Rafael. "Kamu sudah memberikan akses untukku agar bisa setiap hari datang ke kantormu. Selama orang tuamu tidak datang ke sini, kau bilang aku boleh kan ke sini?""Jadi?" Rafael menaikkan sebelah alis."Itu kurang, Rafael. Aku ingin-- jika bisa dua puluh empat jam bersamamu." Dengan manja, Jenner menduselkan pipinya ke lengan Rafael. "Aku sebenarnya ingin sekali ke rumahmu. Tapi …- tapi Paman tidak suka denganku. Mereka menganggap jika aku adalah pelakor. Apa menurutmu aku begitu, El?""Menurutku kau Bitch sialan." Dengan santai dan tanpa beban Rafael menjawab,dia meraih handphone dan sedang berusaha menghubungi seseorang. Maxim!Meskipun baginya Maxim adalah rival untuk mendapatkan Serena, namun untuk melindungi dan memastikan Serena baik-baik saja, Rafael sangat percaya pada Maxim."El!" Jenner berucap kesal, mendongak dan menatap sedih pada Rafael. Sayangnya pria itu sama sekali tak menoleh padanya-- Rafael hanya sibuk pada handphonenya. "El, mulutmu jahat sekali. Apa kau tidak memikirkan perasaanku yah ketika kau mengatakan itu?" lirihnya dengan parau.Rafael menoleh ke arah Jenner, menghela nafas kemudian memeluk kepala Jenner. "Kau tahu aku begini, kenapa kau masih di sini?!" serak Rafael, mencium ubun-ubun kepala Jenner sembari mengusap lembut surai perempuan itu."Aku akan bertahan, El. Karena aku tahu kau mencintaiku. Kau sudah jatuh cinta padaku sebab itu kau ragu untuk meninggalkanku, El. Seandainya kau hanya mencintai Serena, aku tidak akan mungkin hadir di sini.""Jangan bahas dia." Rafael bergumam pelan, masih memeluk kepala Jenner dengan sesekali menciumnya."Satu yang kusadari, El. Meskipun kau memang mencintai Serena, tetapi itu tak akan cukup! Sebab tak ada balasan dari perasaanmu padanya. Hampa dan kosong, itu yang kau terima darinya, El. Dan aku ada untuk mengisi kekosongan itu, El. Orang dewasa bukan hanya membutuhkan cinta, kita butuh kesenangan, gairah, party dan kebebasan. Serena? Dia tidak bisa memberikan itu padamu, El. Dia tidak mengerti hobimu sebagai seorang pria. Dia tidak bisa menemanimu bermain futsal, seperti yang aku lakukan. Dia tidak tahan dengan asap rokok, lalu bagaimana bisa dia akan membiarkanmu merokok? Dia tidak paham konsol game dan tentunya dia tak akan mau menghabiskan waktu denganmu untuk bermain konsol game. Dia wanita jaim yang selalu menjaga dan mendahulukan penampilan, El. Dia wanita yang suka berlama-lama di mall, suka perhiasan dan alat make up. Dia suka perawatan dan takut panas. Di mana semua itu sangat tak cocok denganmu, Sayang. Untungnya aku bukan tipe perempuan seperti itu, El. Aku bisa berpanas-panasan denganmu untuk bermain futsal, berjemur di pantai, bermain konsol aku juga paham. Aku tidak melarangmu minum dan merokok, hidupmu milikmu."Rafael hanya diam saja, tidak menanggapi dan juga tidak membenarkan atau menyalakan perkataan Jenner."El, bagaimana jika kau pindah rumah saja? Dengan begitu kau bisa bebas dari orang tuamu dan kita bisa bersenang-senang lagi," usul Jenner tiba-tiba sembari mengangkat kepala, tersenyum lebar untuk meyakinkan Rafael. "Kita juga bisa tinggal bersama jika kau punya rumah sendiri, tanpa pengawasan orang tuamu. Kau bisa mengekspresikan diri dan hidupmu.""Cik." Rafael berdecak pelan. "Benar juga. Dengan begitu aku bisa bebas melakukan apapun pada Serena. Cih, itu ide yang bagus." Rafael terkekeh pelan, membayangkan jika dia hanya tinggal berdua dengan Serena.Itu pasti akan menyenangkan!"I--iya." Jenner tersenyum kecut, memalingkan wajah sekilas karena merasa tertohok dengan perkataan Rafael. Kenapa lagi-lagi Serena?!Rafael pernah dimarahi oleh Daddynya karena ingin pindah rumah. Namun kali ini dia akan membawa Ayah mertuanya dalam masalah ini karena dia yakin Thomas akan berpihak padanya. "Kau boleh pindah tetapi jangan bawa Serena dari rumah!" geram Gabriel sembari menatap Rafael dengan marah. Dia batal ke Paris hanya karena masalah ini. Gabriel sangat takut Rafael membawa kabur Serena. Sebenarnya itu fine-fine saja, toh Serena adalah istri dari putranya ini. Namun, Gabriel takut jika Rafael tak bisa menjaga Serena dengan baik. Rafael lebih bastard darinya dan Gabriel mengkhawatirkan itu. "Daddy, ayolah. Aku dan Serena hanya ingin hidup mandiri, tanpa pengawasan kalian." Rafael berucap lelah. "Rasanya aku hanya menikahi nama Serena saja. Untuk sepenuhnya menjadi suaminya aku tidak bisa. Itu karena kalian!" desis Rafael setengah marah dan frustasi."Kau ini brengsek!" Gabriel berucap sarkas. "See? Bahkan Daddy tidak percaya padaku. Jadi kenapa Daddy dan Papa mengotot menjodohkan ku dengan Ser
"Serena …." Seperti biasa, Rafael akan menyebut nama Serena dengan nada serak dan penuh penghayatan, sembari menyeringai tampan dan dengan berjalan cool ke arah istrinya.Cup'Tiba di depan Serena, Rafael langsung menangkup pipi Serena dan langsung mencium bibir perempuan tersebut dengan enteng dan tanpa merasa berdosa sama sekali. Melihat itu beberapa staff-nya yang berlalu lalang di sana untuk pulang, memekik tertahan serta heboh sendiri. Maxim lebih membuang muka dan mendengkus. Cih, mentang-mentang Rafael dan Serena sudah menikah, pria ini seenak jidat sok romantis."Rafael!" Serena menggeram rendah dan marah, menatap tajam dan memperingati pada Rafael yang seenak jidat menciumnya. "Humm? Kau ingin pulang secepatnya, Darling? Oke." Rafael meraih pergelangan Serena dan langsung menyeret paksa perempuan itu untuk masuk dalam mobil. "Rafael, kamu ini apaan sih?" geram Serena lagi-lagi ketika Rafael memaksanya masuk dalam mobil. Bug'Setelah berhasil memasukkan Serena dalam mobil
"El, kamu jangan macam-macam denganku. Aku bisa mengadukanmu pada Mommy Sati dan Daddy Gabriel. Aku … aku bisa berteriak!" ancam Serena yang sudah sangat panik, meringsut ke dinding dengan perasaan was-was dan tubuh yang sudah membeku serta panas dingin. Bukan hanya dekat, tapi suami bastard-nya ini menghimpit tubuh kecilnya dengan dinding. Sialan! Serena jadi sulit bernafas. "Cih." Rafael berdecis gelik, berakhir terkekeh juga karena merasa lucu dengan air muka serta ancaman Serena. "Kau ingin mengadu apa, Darling? Mengadu jika kau mandi bersamaku?""Si--sinting!" Serena mendelik, semakin meringsut ke dinding -- merasa terancam dengan tubuh besar Rafael yang menghapitnya. "Sekarang kita buka pakaianmu, Darling. Kau akan aku mandikan." Rafael mengulurkan tangannya, menyungkurkan tangan Serena juga yang menyilang di depan dada perempuan itu. Setelah itu dengan sedikit memaksa, Rafael membuka kancing blus yang istrinya pakai. "Rafael, aku bisa mandi sendiri. Keluar dari sini!" cicit
"Suami nggak ada akhlak." Serena mengusap bawah hidungnya yang keluar darah, mimisan karena sebuah insiden yang sampai sekarang masih tak bisa Serena lupakan dari pikirannya. "Kampreto memang!" tambahnya, meraih tissue dan kembali me-lap hidungnya. Dia baru selesai memakai pakaian dan itu semua karena ulah Rafael yang sungguh luar biasa bastard plus tidak ada akhlak. Bisa-bisanya Rafael membuka handuknya di depan Serena, di mana posisinya saat itu Serena sedang berjongkok dan tepat ke …-"Darling, kau melihat handphone ku?" Serena sontak menoleh ke arah Rafael, wajah Serena ditekuk dan air mukanya begitu muram. Setelah pria itu tadi membuat Serena hampir tak bernyawa, Rafael dengan santai memakai pakaiannya. Gilanya dia juga memaksa untuk memakaikan baju Serena. Membantu sih, tetapi Serena bukan anak kecil yang memakai baju saja harus dibantu oleh Rafael. Dan -- itu sangat risih! Tubuhnya dipandangi oleh Rafael si raja mesum. Setelah itu, Rafael meninggalkannya di sini. Lalu balik
Sesuai pembahasan makan malam mereka semalam, Serena dan Rafael jadi pindah. Rumah baru mereka tentunya tak jauh dari mansion orang tua Rafael dan Serena."Kalian semua ku tugaskan untuk menjaga Serena." Gabriel berucap tegas, wajahnya datar namun tatapan matanya seperti elang siap mencabik maksa. "Tuan kalian adalah Serena, bukan Rafael. Jadi kalian hanya boleh patuh pada Serena dan bukan Rafael. Paham?!" ucapnya berubah dingin di akhir kalimat. "Paham, Tuan." Bodyguard bodyguard tersebut menganggukkan kepala, patuh dan tak berani membantah sang Tuan. Setelan mengatakan itu, Gabriel beranjak dari sana dan bergabung dengan yang lainnya. Untuk mengantar Serena ke rumah barunya, Sati dan Gabriel juga yang lainnya ikut serta. Sahabat Serena juga hadir, supaya Serena nyaman di rumah ini dan merasakan kesan yang baik di rumah ini. "Sepertinya kamu kesayangan Daddy-nya Bos, Rena. Uuu … lihatlah, kamu dikasih banyak bodyguard. Menjaga kamu," bisik Nanda -- salah satu sahabat Serena yang
"Itu sudah lama, Beib!" Nanda berujar panik ketika Serena berjalan ke arahnya dengan tangan yang sudah terkepal kuat. Dia semakin takut, sontak menutup mulutnya dengan tangan -- terlihat semakin panik dan menegang kaku saat merasakan adanya tatapan mematikan yang mengarah padanya. Deg deg deg "Ekhmm." Rafael berdehem dengan cukup kuat, menyita perhatian semua orang-- di mana semua orang langsung menoleh ke arahnya.Gluk' Nanda meneguk saliva dengan kasar sedangkan Serena terlihat mengerutkan kening ketika melihat Rafael berdiri dan berjalan ke arahnya. Setelah di meja teman-temannya, Rafael duduk di kursi kosong bekas Serena. Kemudian dengan santai dia menarik pergelangan tangan Serena, membuat perempuan itu jatuh ke atas pangkuannya -- dengan posisi duduk dan air muka kaku dan malu. "Nanda, kau memanggil Serena apa?" tanya Rafael dengan nada datar, memeluk pinggang Serena agar perempuan itu tidak kabur. Nanda menggelengkan kepala dengan panik, tersenyum kaku dengan air muka puca
Namun tiba-tiba …--"Abaaaaaaaang!!"Rafael langsung melepas pangutannya dengan Serena. Dia berdecak kesal dengan tampang muram dan masam. Cik, padahal baru saja dia mendapatkan kesenangannya! "Kita lanjut nanti." Rafael berucap datar, buru-buru keluar dari kamar karena mendengar suara adiknya yang berteriak dari lantai bawah. Sialan! Siapa yang berani membuat adiknya sampai menjerit begini?! Serena tersenyum senang. "Yes yes yes …." Serena berucap kesenangan, sembari meloncat pelan karena merasa bahagia karena Rafael batal memesumi-nya. Bahkan karena senang batal, Serena berjoget-joget. "Rezeki anak sholeh," ucapnya dengan senyum-senyum manis dan bahagia -- tak sadar jika Rafael masih di pintu dan menatap kelakuannya dengan wajah datar serta tatapan dingin. "Kau senang karena apa?" tanya Rafael datar dengan tiba-tiba, walau sebenarnya dia tahu apa penyebab Serena terlihat senang begini. "Aaa …." Serena tergelonjak kaget, menoleh cepat ke arah Rafael dengan tangan diletakkan di
Ceklek'Rafael membuka pintu kamar dan membawa masuk Serena secara paksa ke dalam kamar mereka. "Isss." Serena langsung mendelik ketika Rafael melepas bekapan di mulutnya. Dia juga reflek menjauhi Rafael dan bahkan berniat kabur dari kamar, sayangnya Rafael lebih dulu menarik pergelangannya dan menyeret Serena ke ranjang. "Rafael, kamu ini apaan sih?!" sensi Serena dengan berusaha melepaskan cekalan tangan Rafael. Bug'Rafael langsung menghempas tubuh Serena ke atas ranjang, membuat perempuan itu meringis dan juga menatap penuh kebencian ke arahnya. "Tidak ada tidur-tidur di kamar lain." Rafael berucap datar. "Kau hanya boleh tidur di sini dan denganku," tambahnya sembari melayangkan tatapan tajam dan membunuh ke arah Serena. "Jika aku tidak mau bagaimana?!" Serena mengambil posisi duduk, sedikit merapikan rambutnya lalu menatap Rafael kesal bercampur menantang. "Aku akan mengikatmu," desis Rafael, semakin menatap tajam ke arah Serena. Suaranya yang dingin dan berhembus pelan sa