"Enak, ya, belanja terus! Utang dipikir juga, dong!" sindir Yuli ketika ada kurir mengantarkan paket ke rumah Romlah.
"Makasih, Pak," ucap Romlah kepada si kurir sembari menerima paket."Belanja online bisa tapi bayar utang gak bisa. Aneh!" oceh Yuli sambil menjemur baju yang telah dicuci tadi pagi."Iya, Mbak, nanti kubayar," jawab Romlah. Padahal dalam hatinya juga tak tahu kapan ia akan membayar utang kepada kakak iparnya itu."Halah, dari beberapa tahun yang lalu juga ngomong kayak gitu, tapi mana? Sampe sekarang juga gak dibayar!" ketus Yuli.Romlah memilih meninggalkan Yuli--kakak iparnya-dengan segala ocehannya. Sindiran itu bukan kali pertama yang ia terima. Namun, Romlah lebih memilih untuk tak meladeninya.Rumah mereka bersebelahan, jadi wajar saja jika Yuli akan mengetahui siapa saja yang bertamu ke rumah Romlah. Termasuk kurir yang akan mengantar paket.Romlah membuka paket yang dilapisi plastik berwarna hijau itu. Diambilnya gunting yang biasa ia simpan di laci bawah. Dengan sekali gunting, terbuka sudah pembungkusnya.Sebuah gamis berwarna coklat kombinasi hitam terpampang di hadapannya. Ia meraih gamis itu, lalu berdiri dan memakainya. Wanita ber-anak dua itu tersenyum puas sambil sesekali putar ke kiri lalu putar ke kanan."Orang-orang di Posyandu bakalan iri melihatku pakai gamis baru. Apalagi, belum ada yang punya model seperti ini. Pasti banyak yang pengen" ucap Romlah bangga.***Pagi-pagi sekali Romlah sudah menyelesaikan pekerjaan dapur. Angga--anak pertama Romlah--sudah berangkat ke sekolah tadi pagi. Setelah memandikan Riska, Romlah pun segera mandi dan bersiap-siap."Rom, posyandu nggak?" Terdengar suara Dewi dari luar rumah. Pintu memang sengaja tidak ditutup, karena biasanya Dewi akan menjemputnya."Iya, sini Dew, aku masih siap-siap!" teriak Romlah yang masih menyapukan bedak ke wajahnya."Cie, baju baru lagi, nih. Dapet dari mana Rom? Beli apa nyuri?" ledek Dewi disertai dengan cengiran khasnya."Beli, lah, enak aja," sahut Romlah sambil menoyor kepala Dewi.Dewi mengambil kaleng berisi kerupuk yang tergeletak di meja. Ia membukanya, dan memberikan satu kepada anaknya."Tapi bukan beli dari hasil pinjam online, kan? Atau hasil ngepet gitu misalnya?" goda Dewi.Romlah hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Dewi yang kadang bisa membuatnya darah tinggi. Namun, walaupun begitu, Romlah merasa sangat beruntung mempunyai sahabat seperti Dewi.Mereka menuju ke posyandu dengan berjalan kaki. Tangan kanan Romlah menggendong Riska tak lupa dompet kecil diselipkan diantara jarinya. Sedangkan tangan kirinya memegang payung.Ketika hendak melewati rumah Yuli, Romlah mendengar gerombolan Para ibu sedang asyik menggosip. Namun, ketika mereka melihatnya, suasana menjadi sunyi. Tak ada satu orang pun yang berbicara. Romlah yakin sekali jika mereka sedang membicarakan dirinya."Dewi, mau posyandu, ya?" Suara Yuli terdengar di antara gerombolan ibu-ibu itu."Iya, Mbak," jawab Dewi singkat."Tolong bilangin yang di sebelahnya, dong, Dew, utangnya dibayar! Gak malu apa punya utang tahun-tahunan?!" sindir Yuli. Terlihat muka Romlah merah padam."Rom, cicillah dikit-dikit utangmu! anakmu udah gede, kapan lunasnya kalau kamu gak mulai nyicil!" Salah seorang Ibu ikut memojokkan Romlah.Merasa dipermalukan di depan orang banyak Romlah tak terima."Kalau aku punya uang, gak perlu ditagih juga kubayar Mbak. Lagian itu utang adikmu! Tagihlah sama adikmu sana!" Romlah mulai terpancing emosi.Dewi yang berada di sebelahnya berusaha menarik tangan Romlah untuk menjauh dari Yuli. Namun agaknya, kekuatan Romlah lebih besar."Agus minjem uang, kan, buat nikahin kamu! Terus sekarang kamu juga udah jadi istrinya Agus, jadi wajar aja aku nagih ke kamu!" Yuli tak mau kalah, ia berdiri dari tempat duduknya dan berkacak pinggang."Salahin adikmu, dong, Mbak! Udah tau nggak punya duit, masih aja ngebet ngadain hajatan gede-gedean!" bantah Romlah. Nada bicaranya pun sudah mulai meninggi. Dadanya terlihat naik-turun dan memburu.Dengan sekuat tenaga Dewi menarik lengan Romlah, dan kali ini berhasil membawa Romlah menjauh dari Yuli."Sabar Rom. Kenapa kamu jadi kepancing sama Nenek sihir itu, sih?" ucap Dewi mengelus pundak Romlah."Kesel aku, Dew. Tiap hari nyindir terus. Orang kayak gitu emang perlu dilawan, Dew, biar nggak ngelunjak," Romlah mengatur napasnya yang hampir putus."Ya udah, tenangin dirimu dulu. Kita mau posyandu loh! Untung aja Riska dan Fitri gak bangun. Kalau sampai kebangun, kupastikan mereka sawan lihat kamu teriak-teriak kayak tadi. Kamu tahu, kan, biaya buat rukiyah itu mahal," celoteh Dewi menghibur Romlah.Benar saja Romlah seketika tersenyum mendengar ocehan Dewi. Setelah Romlah tenang, mereka melanjutkan kembali perjalanan menuju posyandu.***Hari ini hari Sabtu. Seperti biasa, Romlah telah menerima transferan dari Agus-suami Romlah-yang bekerja di kota sebagai mekanik sebuah bengkel.Selesai mengambil uang di ATM terdekat dari rumah, ia mampir ke pasar untuk membeli buah dan jajanan. Lalu jajanan itu dibagi menjadi dua. Satu untuknya, satu lagi untuk Dewi sebagai ucapan terima kasih karena telah meminjamkan sepeda motor kepadanya.Sedang menikmati jajanan di depan televisi bersama Riska, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Begitu pintu dibuka, sosok Siti--mertua Romlah--muncul."Lagi ngapain kamu, Rom?" tanya Siti nyelonong masuk ke dalam rumah."Lagi nonton TV, Bu," jawab Romlah, ia berjalan mengikuti mertuanya."Wah, enak, ya, suami kerja capek-capek, giliran dapet duit, istrinya malah jajan terus," tuduh Siti.Romlah hanya diam tak menyangkal omongan mertuanya. Karena menurutnya, disangkal atau diiyakan hasilnya akan sama. Sama-sama disalahkan."Kamu kapan mau bayar utang ke Yuli? Hutangmu udah lama banget, loh. Mau nunggu kamu punya cucu?!" hardik Siti."Iya, Bu. Nanti kalau sudah ada uang, pasti kubayar hutangku," jawab Romlah pelan. Bagaimana pun juga, ia masih menaruh hormat kepada wanita yang telah melahirkan suaminya itu."Iya-iya terus dari dulu! Tapi nggak dibayar juga! Oiya, lain kali kalau belanja jajanan, bagilah keponakanmu! Jangan pelit jadi orang, ntar sempit kuburanmu!" tuduh Siti. Siti mengambil beberapa jajanan yang akan diberikan kepada Doni-anak Yuli.Setelah dirasa cukup mengambil jajanan Romlah, Siti keluar meninggalkan wanita yang telah dinikahi anaknya hampir sepuluh tahun yang lalu itu.Romlah hanya bisa mengelus dada. Matanya tertuju kepada jajanan yang tergeletak di meja dan hanya tinggal beberapa saja. Padahal Angga juga belum mencicipi jajanan itu sama sekali. Ditahan emosinya karena Ia tak ingin kembali membuat keributan seperti kemarin.Tak lama setelah mertuanya keluar, terdengar suara sepeda motor berhenti di depan rumahnya. Ia baru teringat beberapa hari lalu telah membeli satu pasang sandal untuknya dan satu pasang lagi untung Angga."Paket!”Dugaan Romlah tak salah. Suara kurir berteriak tepat di depan pintu rumah Romlah."Baru saja Ibu protes tentang jajananku, malah paket belanjaan onlineku datang. Pasti bakalan kena omel lagi," gumam Romlah.Melihat Riska sedang asyik bersama jajanannya, Romlah pun berjalan keluar untuk mengambil paket yang dikirimkan Kurir.Benar saja. Begitu Romlah keluar, mertua dan kakak iparnya telah berdiri di depan rumah mereka dengan tatapan sinis. Rumah Romlah memang diapit oleh rumah mertua dan rumah kakak iparnya.Setelah urusan dengan kurir selesai. Segera Romlah masuk rumah dan menutup pintu.Hari ini Angga libur sekolah. Romlah ingin masak makanan kesukaan Angga, yaitu sop ayam. Agar masakannya cepat matang, Romlah meminta Angga untuk menjaga dan mengawasi adiknya.Selesai memasak, mereka makan bersama. Angga makan dengan lahapnya, dan Romlah masih sibuk menyuapi Riska.Pekerjaan rumah dan segala printilannya telah selesai dikerjakan. Romlah merasa suntuk di rumah. Digendongnya Riska dan beranjak ke rumah Dewi.Begitu sampai di depan rumah Dewi, terlihat sebuah sepeda motor terparkir, yang berarti Dewi sedang menerima tamu. "Rom, sini!" teriak Dewi ketika melihat Romlah hendak memutar badannya untuk pulang ke rumah.Romlah tersenyum. Wanita berdaster hijau itu berjalan menuju teras rumah Dewi. "Ada tamu Dew?" tanya Romlah sambil menurunkan Riska dari gendongannya. "Iya, teman ayahnya Fitri," jelas Dewi."Motornya bagus Dew, orang kaya pasti." Perhatian Romlah sedari tadi memang tertuju ke sepeda motor berwarna merah bermerk N-Max itu."Baguslah, keluaran terbaru. Dan k
Semenjak Angga sembuh dari sakitnya kemarin, ia menjadi anak yang pemilih untuk urusan makanan. Romlah harus lebih kreatif dalam memasak menu untuk Angga. Itu pun kadang hanya beberapa suap yang dimakan. Lihat lah! badannya kini menjadi lebih kurus.Juga Riska, ia pun sering rewel saat akan tidur. Di hari biasanya, Riska akan tidur selesai menyusu, tetapi beberapa hari ini berbeda. Entah apa yang diinginkan Riska. Ibunya pun sampai bingung melihat kelakuan mereka.Romlah mulai lelah dengan keadaan ini. Ia terlihat stres membujuk Angga agar mau makan. Beberapa menu makanan ia sebutkan agar Angga dapat memilih sendiri makanan yang diinginkan. Mulai dari sop ayam, soto ayam, sate, dan yang lainnya, tetapi usahanya nihil. Angga tetap saja menggelengkan kepala dan membuat Romlah emosi.Karena merasa lelah, akhirnya Romlah memutuskan membeli saja masakan yang dijual di warung depan gang. Ia membeli beberapa potong ayam bumbu kecap dan beberapa lauk lainnya.Sedang sibuk membujuk Angga agar
"Romlah, kamu hamil lagi!" teriak Siti yang berada tepat di depan Romlah. Karena terlalu buru-buru, ia lupa mengunci pintu rumahnya.Romlah kaget hingga benda yang dipegang terjatuh. Siti mengambil alat tes kehamilan itu dan memastikan yang dilihatnya tidak salah."Astaga, Rom!" Siti kaget begitu melihat hasil dari tes kehamilan itu.Siti terduduk di kursi yang terbuat dari kayu. Romlah merasa bersalah, dan ikut duduk di hadapan mertuanya. Terdengar suara tangisan Riska dari dalam kamar. Segera Romlah menggendong anak perempuan itu. Romlah mendekati mertuanya dan kembali duduk di hadapannya.Terlihat raut sedih di wajah Siti, sesekali ia memijat pelan keningnya. Beberapa kali Siti menarik napas lalu membuangnya. Badannya pun terlihat tak bertenaga.Romlah yang tak enak hati, semakin merasa bersalah melihat sikap mertuanya. "Riska masih kecil, Rom," ucap mertuanya. Pandangannya terlihat kosong. "Iya, Bu." Romlah menatap anak yang digendong lalu menundukkan kepalanya.Saat ini, rumah
Yuli masih kesal dengan kehamilan Romlah yang baru saja ia ketahui. Sebenarnya, bukan karena usia Riska yang menjadi penyebab utama kekesalannya, ada hal lain yang mengganggu pikirannya."Jangan sampai hutangku nggak jadi dibayar gara-gara dia hamil!" gerutu Yuli.Yuli selalu merasa emosi tiap memikirkan utang yang tak kunjung dibayar oleh Romlah. Berkali-kali ia tagih, tetapi berkali-kali pula ia mendapatkan kekecewaan.Ketika dijanjikan Romlah akan membayar utangnya empat bulan lagi, hatinya cukup gembira. Setidaknya, ada setitik harapan uangnya akan kembali. Diambil telepon genggam yang sedari tadi tergeletak di meja. Ditekan nomor yang telah diberi nama Agus itu. Tak berselang lama, panggilan akhirnya tersambung.[Halo, Mbak.][Halo, Gus. Lagi istirahat?][Belum, Mbak. Ada apa?][Udah tahu belum, kalo Romlah hamil lagi?][Hamil? Masa, sih, Mbak?][Aku lihat sendiri Romlah pegang testpack dan hasilnya positif. Lagian, Romlah udah ngakuin, kok, kalau dia emang beneran lagi hamil. E
Dering telepon membuyarkan lamunan Romlah. Senyum merekah di bibirnya ketika melihat nama suaminya yang memanggil. Sedari tadi memang ia menunggu telepon dari Agus. Tak sabar rasanya, segera diusap tombol berwarna hijau itu."Halo, Mas," ucap Romlah sengaja bermanja dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Banyak hal yang ingin diceritakannya kepada suaminya."Aku nggak nyangka kamu tega sama aku, Rom!" kata Agus pelan. Tersirat kesedihan terdengar dari suaranya."Kenapa, Mas? Ada apa?" Romlah bingung karena tak mengerti yang diucapkan oleh suaminya."Dengan siapa kamu melakukannya?!" Nada bicara Agus mulai meninggi."Apa, sih, Mas? Kamu ngomongin apa?" desak Romlah."Kamu selingkuh, ‘kan, di belakangku! Siapa ayah dari bayi yang kau kandung? Katakan, Romlah!" bentak lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu."Aku nggak selingkuh, Mas." Romlah lemas mendengar perkataan suaminya. Seperti ada sesuatu yang menusuk di dada Romlah. Bulir bening pun menetes dari matanya. "Jangan bohong!
Hari terus berlalu, tetapi tidak dengan kebencian Romlah terhadap kakak iparnya. Setelah rumah tangganya dibuat porak poranda, bahkan namanya kini telah menjadi buah bibir oleh warga sekitar. Romlah kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Selain untuk menghindar dari Yuli, Romlah juga enggan untuk bertemu ibu-ibu yang selalu menggosip. Hatinya masih terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan para ibu tentang kehamilannya. Berita yang tersebar saat ini adalah kehamilannya dengan pria lain ketika ditinggalkan Agus untuk bekerja.Begitu kejam fitnah yang dibuat oleh kakak iparnya itu. Seperti tak ada puasnya membuat Romlah menderita. Romlah sedang menemani Riska yang tengah tidur di dalam kamar ketika mertuanya memanggil namanya."Rom, Romlah. Ibu mau bicara," ucap mertua Romlah yang langsung duduk di kursi kayu."Iya, Bu." Romlah bergegas keluar. Sebenernya ia sangat malas untuk menemui mertuanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya.Romlah duduk di hadapan wanita berusia lima pul
Mempunyai keluarga yang saling mendukung, sejatinya adalah impian setiap orang. Begitu pun dengan Romlah. Namun apa daya, kini dia justru merasa sendiri menghadapi kerasnya dunia.Jika hanya mertua dan kakak iparnya yang membencinya, mungkin ia masih bisa terima. Namun, ketika suaminya sudah tak mempercayainya, apakah mungkin biduk rumah tangganya masih dapat terus berjalan? Bertahan terlalu sakit, tetapi untuk menyerah bukanlah pilihan yang mudah.Demi anak-anaknya dia terus bertahan untuk memperjuangkan keutuhan keluarganya. Walaupun tak terhitung entah berapa banyak tetes air mata yang ia tumpahkan.Ini adalah hari kelima setelah pertengkarannya dengan Yuli. Itu artinya ini hari kelima juga pertengkarannya dengan Agus. Sejak saat itu, Agus tak lagi menghubunginya. Jangankan untuk meminta maaf, untuk menanyakan kabar anak-anaknya pun tidak.Begitu pula dengan Romlah, dia juga tak mau menghubungi suaminya. Rasa sakit hati membuatnya enggan untuk memberi kabar kepada suaminya.Hari in
Teriknya siang ini menambah suhu di kota Jakarta semakin panas. Namun, hal itu tak mengurangi semangat Agus dalam bekerja. Sebagai seorang montir, ia dituntut untuk selalu fokus dalam pekerjaannya. Bapak dari dua orang anak itu tak mau posisinya digantikan oleh orang lain karena pekerjaannya tidak bagus.Sebenarnya, Agus saat ini tengah merasakan keresahan dalam hatinya. Bagaimana tidak? Istri yang amat dicintainya kini tengah hamil padahal Agus telah dua bulan lebih berada di kota Jakarta. Hatinya panas ketika diberitahu oleh kakaknya. Mengapa Romlah begitu tega menduakan cintanya?Segalanya telah Agus berikan kepada Istrinya, hingga seluruh uang gajinya pun dia berikan seluruhnya kepada Romlah setelah dikurangi uang bensin. Sedangkan untuk urusan makan, dia telah mendapatkan jatah dari bengkel tempatnya bekerja.Beberapa hari tak menelpon keluarga kecilnya di kampung, membuat kerinduannya menggunung. Namun, rasa sakit hati yang terlalu dalam kepada istrinya, membuat Agus harus menah