Hari yang telah di tunggu Diana akhirnya tiba. Wanita itu sekarang sedang berdiri di depan cermin dan menatap penampilanmnya. Memastikan bahwa pakaiannya layak untuk hari pertama bekerja. Ia memakai pakaian yang hampir sama dengan pakaian yang ia kenakan saat interview. Yaitu kemeja berwarna putih dengan rok sepan serta blazer. Namun kali ini bukan blazer warna hitam, Diana memilih warna abu-abu. Rambut Diana sendiri ia ikat rendah daripada tergerai. Menampilkan kesan rapi dan juga elegan.Diana menatap Edwin yang saat ini sedang memakai sepatunya. "Mas, aku berangkat bareng kamu, ya?" tanya Diana. "Berangkat sendiri aja pake taksi. Aku nggak mau hari pertama kamu kerja jadi bahan gosip." tolak Edwin tanpa menatap ke arah Diana. Diana memaksakan senyum, "B-baiklah kalau begitu." Edwin berdiri dan segera mengambil tas kerjanya. Seperti biasa tanpa menoleh ke arah Diana, ia segera pergi meninggalkannya. Tanpa sepatah katapun."Hati-hati." lirih Diana pelan. *** Setelah sampai pada
Lelaki yang bersama Diana mulai melangkah masuk. Namun baru satu langkah dirinya memijakkan kaki pada ruangan mewah milik Zerkin, Zerkin sudah memberikan perintah yang membuat kaki lelaki itu mundur kembali. "Pergilah." Pengusiran. Dengan senyum kaku karena malu, lelaki itu dengan segera berbalik. Meninggalkan Diana yang masih berdiri di depan pintu. Belum melangkah 1 cm pun untuk masuk. Ia membeku. Menatap lelaki misterius yang dulu pernah bangun satu ranjang dan memberikannya tuxedo."Ka-kau?!" Akhirnya setelah terdiam sesaat, mulut Diana terbuka. Kalimat yang ia lontarkan benar-benar di penuhi keterkejutan. Dengan perlahan Zerkin berdiri. Senyum samar terlihat dari raut wajahnya saat dengan pasti, langkah Zerkin mendekati Diana. "Mengapa kau di—Akh!" Kalimat Diana terpotong dengan teriakan saat Zerkin menarik masuk dirinya dan dengan segera menutup pintu. Menimbulkan bunyi bedebum hingga sekretaris Zerkin yang berada di ruangan sebelah terlonjak kaget.Dengan segera Diana te
Marley meremas lembaran yang baru saja keluar dari mesin printer sesaat setelah membaca pesan dari Edwin. Amarah yang sedari kemarin masih bersarang di hatinya kian membara. Umpatan tak dapat Marley tahan. "Wanita j*alang!" sebalnya yang ditunjukan untuk Diana. >> Diana diterima. Pagi tadi ia sudah mulai bekerja. Kita kurangi dulu interaksi kita di kantor. Menyebalkan! Marley kemudian membuang kertas yang sudah berbentuk gumpalan itu. Ia dengan segera mengetikkan jawaban dengan semua tanpa capslock kepada Edwin. Menyiratkan bahwa ia benar-benar marah. >> TERSERAH! "Kenapa Ley?" pertanyaan itu muncul dari meja samping Marley. "Lagi sebel. Istri Mas Edwin keterima kerja di sini," jawab Marley tanpa menoleh ke arah Abely. Dirinya sibuk dengan komputer di depannya. Kembali mencetak dokumen yang sama seperti yang ia remas tadi. Abely melirik sekilas ke arah Marley. Tak ingin terlalu menunjukan keingintahuannya. "Terus gimana?" Marley sudah tidak ingin menjawab lagi. Dirinya hanya
>> Mas, pulang bareng, ya? >> Mas? Sudah satu jam berlalu sejak pesan itu terkirim. Namun sampai sekarang tak kunjung ada jawaban. Diana menghela nafas lelah. Kemudian ia mulai merapikan barang-barang miliknya. Mungkin dia bisa naik taksi atau ojek online saja. "Diana, Selamat tinggal, ya. Semoga kita bisa bertemu lagi."Ucapan perpisahan itu berasal dari Aria. Mulai besok berarti Diana sudah harus sendirian di sini. Diana kemudian memandang wanita yang kini memakai jaket untuk menghangatkan tubuhnya. Ia menundukkan tubuhnya sedikit. "Terima kasih atas bimbinganmu, Aria. Semoga persalinanmu berjalan lancar," ucap Diana. Aria tersenyum ke arahnya. "Semoga kamu betah di sini. Walau Kalyani orangnya ceroboh, kekanak-kanakan, dan sedikit menyebalkan, dia bisa menjadi teman terbaikmu di sini. Dia orang yang tidak akan menusuk orang lain di belakang." "Wah, Kak Aria memujiku!" Kalyani datang ke meja keduanya. Walau suaranya tampak senang, mata gadis itu sudah berarir. Aria adalah ora
Bertahun-tahun hubungan berjalan, Edwin tidak pernah melakukan hal kasar kepadanya. Dirinya tak pernah menampar maupun memukul Diana. KDRT tak pernah dilakukan. Dan hal paling kasar yang pernah Edwin lakukan kepadanya adalah mendorongnya saat Diana menjambak Marley. Selain itu, Edwin tak pernah main tangan.Namun saat ini. Seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Edwin, suaminya sendiri, meletakkan tangan itu pada leher Diana. Diana tidak sempat bereaksi apapun dengan hal yang tak pernah dia duga. Dalam sekejab, tubuh Edwin condong ke arahnya. Bahkan Seatbelt yang belum terlepas di tubuh Edwin tak bisa menahan lelaki itu. Tangan Edwin segera berada di leher Diana. Menekannya keras hingga Diana membuka mulutnya dan berusaha mencari udara. Tubuh Diana berusaha terlepas dari cekikan Edwin. Namun tidak ada jalan keluar. Tubuh Diana terperangkap dalam kehadiran yang menakutkan itu. Diana semakin kesulitan bernafas. Tubuhnya menggeliat berusaha melepaskan diri dengan segala usaha. Tan
Emosinya meledak. Semua terasa rumit dan menjengkelkan. Dirinya pusing setengah mati terhadap apapun yang dirinya alami. Tekanan dari sosok aneh dalam dirinya yang selalu bersuara hingga hampir membuatnya gila. Marley yang sejak pagi tidak bisa dirinya temui dan hubungi. Dan Diana, Istrinya sendiri yang awalnya selalu menuruti semua perintahnya tiba-tiba mulai memberontak. Membuat ruang gerak Edwin semakin sulit. "Aku ingin semua orang tahu bahwa kamu sudah menikah, Mas." Bantahan dari Diana saat Edwin meminta dirinya menyembunyikan status pernikahan mereka membuat emosi Edwin yang sudah berada di ujung tanduk semakin meningkat. Dirinya memegang setir kuat-kuat. Matanya tetap fokus pada jalanan namun pikiran Edwin kosong kesana-kemari. Ia bahkan tak dapat mendengar ucapan Diana setelah itu. Namun kemudian, satu kalimat terakhir yang diucapkan Diana mampu terdengar jelas di telinga Edwin. Membuat amarahnya tidak dapat lagi dirinya tahan. "Kamu sendiri bukan yang bilang bahwa kita aka
Keesokan paginya, kembali Diana berangkat ke kantor sendirian. Akibat kejadian mengerikan saat pulang kemarin, Diana sama sekali tak berani berbicara dengan Edwin. Dan suaminya sendiri pun nampak ketakutan saat melihatnya. Seperti Diana adalah hantu. Padahal disini Diana yang menjadi korban. "Aku tidak menyangka mas Edwin melakukan hal seperti itu," bisik Diana sedih ketika dirinya sedang berada di dalam lift yang melaju ke lantai 31. Diana menghela nafas lelah. Berusaha menghilangkan rasa kecewa yang berada di hatinya. Tidak pernah terpikirkan, Edwin yang semasa pacaran tidak pernah sekalipun membentaknya kini bahkan hampir saja membunuhnya. "Kak Diana, Selamat pagi!" Saat lift terbuka, Diana segera menemukan Kalyani dengan senyum lebar miliknya yang berjalan ke arahnya. "Selamat pagi, Kalya." balasnya disertai senyum tipis. Mereka berdua berjalan bersama menuju divisi mereka. Kalyani bercerita dengan semangat. Dan Diana mendengarkan dengan telaten serta sesekali membalas ucapa
Daripada fokus pada pekerjaan yang telah menumpuk di mejanya, Zerkin justru fokus pada ponsel. Jimm, orang kepercayaannya itu telah melakukan apapun yang Zerkin perintah. Kini Zerkin dapat melihat Diana melalui Cctv yang telah tersambung melalui ponselnya itu. Wanita itu datang dengan tas kerjanya beserta paper bag. Kemudian tanpa perlu waktu lama mulai fokus pada pekerjaan miliknya. Tidak seperti Zerkin yang justru terus mengamati Diana. Setelah setengah jam berlalu, Zerkin melihat Diana yang menoleh ke sana kemari. Kemudian tiba-tiba wanita itu menatap intens pada Cctv yang Jimm pasang. Yang otomatis Zerkin seperti ditatap oleh Diana. Zerkin terkekeh melihat Diana yang tampaknya curiga dengan Cctv itu. "Dia cukup pintar," bisik Zerkin Diana menatap beberapa saat. Sebelum kemudian mengambil paper bag yang di atas meja. Mulai pergi hingga menghilang dari pandangan Zerkin karena Cctv miliknya hanya mampu mengawasi Diana di dalam devisinya saja. "Mau kemana dia?" tanya Zerkin pada d