Ketika melihat pada kalender, aku kaget karena sudah tidak update 3 hari berturut-turut T.T Padahal aku merasa sudah update pada tanggal 12. Ternyata eh ternyata, belum aku pencet publish T.T
Jika kalian pikir dengan semua ancaman Edwin, Marley akan menyerah, kalian semua salah. Setelah dicekik, hampir tertabrak mobil, dan semua kata penuh nada amarah yang telah Edwin lontarkan, Marley masih tetap berani. Jika bertanya apa alasannya, Marley akan dengan keras mengucapkan bahwa dia mencintai Edwin. Dia tidak rela jika Edwin tiba-tiba lepas darinya tanpa alasan yang jelas. Dan Marley tetap yakin bahwa ... bahwa Edwin akan kembali kepadanya. Pasti. "Minumnya, Nona?" Suara seseorang membuyarkan lamunan Marley. Marley segera mengalihkan pandangan yang tadinya terfokus pada Edwin ke seseorang yang berpakaian seperti pelayan. Memegang nampan berisi berbagai alkohol yang ia bawa berkeliling dan ditawarkan pada semua tamu. Marley mengambil satu gelas tanpa mengatakan apapun. Kemudian kembali memandang Edwin sembari meminum minuman itu. Malam ini adalah malam kedua mereka di Bali. Dan saat ini, Marley serta Edwin sedang menghadiri pesta perayaan atas suksesnya pembangunan resort
"Bersabarlah. Tidak lama lagi aku akan menceraikan Diana dan menikahimu." Sulit bagi Diana untuk menerima apa yang telah ia lihat dan dengar detik ini juga. Pandangan Diana mengabur karena air mata yang dengan keras Diana tolak untuk ia keluarkan. Dadanya terasa sesak. Seperti seseorang telah meremas seluruh organ tubuhnya. Diana ingin menangis dan menjerit dengan keras. Namun alih-alih melakukan hal yang tak berguna seperti itu, Diana lebih memilih untuk berjalan lebih dekat ke arah seseorang yang membuatnya merasakan perasaan menyesakkan seperti ini. Dengan segera Diana berdiri beberapa langkah dari kedua manusia yang sekarang sedang duduk bersama di sebuah taman. Dengan tangan si pria yang menggantung apik pada bahu si wanita. Dan si wanita menyenderkan tubuh dengan nyaman pada dada kokoh si pria."M-mas Edwin?"Suara Diana bergetar. Dan tenggorokannya seperti ada benjolan hingga membuat Diana susah untuk mengatakan satu kalimat saja. Dengan segera, dua pasang sejoli itu menole
Diana tidak bisa menghentikan kekhawatirannya pada kondisi aneh suaminya. Dirinya terus bergerak ke kanan dan ke kiri di depan pintu ruangan rumah sakit di mana Edwin sekarang sedang diperiksa oleh dokter. Ia bahkan tidak menyisakan sedikit waktu untuk memperbaiki penampilan serta rambutnya yang berantakan. Yang ada dipikirannya hanya kondisi Edwin. "Berhentilah bergerak seperti setrika! Kau membuatku pusing melihatnya!" protes Marley sebal kepada Diana. Wanita itu terduduk di kursi besi rumah sakit dengan tampilan yang juga berantakan. "Jika tidak suka, pergilah!" balas Diana tidak kalah sebal. Sebenarnya ia bukan tipe wanita yang galak ataupun tegas. Apalagi wanita bar-bar yang sampai menjambak orang lain. Diana adalah tipe wanita penurut dan pendiam. Namun terkadang emosi bisa membuat seseorang berperilaku di luar nalar. "Kamu yang harusnya pergi! Ingat, kamu akan segera diceraikan oleh Mas Ed—" Belum sempat ucapan pedas Marley terselesaikan. Pintu ruangan tempat di mana Edwin d
"Kamu nggak makan dulu, Mas? Aku udah masak makanan kesukaan kamu." jelas Diana sembari memandang suaminya yang sedang sibuk merapaikan jas hitamnya di depan kaca yang berada di ruang tengah. "Aku buru-buru." balasnya tanpa sedikitpun menoleh ke arah Diana. Mendengar itu, Diana memaksakan senyum, "Um ... Baiklah." Setelah selesai dengan pakaiannya. Edwin mengambil tas kerjanya. Lagi, tanpa menoleh ke arah Diana dirinya berjalan menuju pintu. Barulah saat tinggal satu langkah lagi Edwin keluar dari Apartemen, dirinya menoleh ke belakang. Ke arah di mana Diana menunduk dengan sedih di meja makan bersama beberapa hidangan makanan yang tak tersentuh. "Aku akan lembur. Jadi tidak perlu menungguku." jelasnya singkat. Kemudian melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Tak memperdulikan Diana yang semakin menahan rasa kesedihan. Dua bulan lalu, di mana hari perselingkuhan Edwin terungkap, Diana dengan yakin ingin meminta cerai. Namun saat Edwin mengatakan bahwa ia mencintainya dan akan me
*Dua Tahun kemudian* "Diana Immanuel yang sangat bucin, main yuk!" Sarah, teman Diana sedari kuliah itu tanpa sopan santun menggedor pintu apartemen Diana. Membuat Diana yang sedang memasak di dapur dengan tergesa menuju pintu. Takut akan tetangga yang mengomel karena gedoran bar-bar dari Sarah. Dengan segera Diana membuka pintu. Hingga tangan Sarah yang akan menggedor kembali terhenti di udara. Seketika cengiran tak berdosa dari Sarah terlihat kala Diana dengan celemek di dadanya menatap tajam dirinya. "Sarah, sudah aku bilang jangan membuat keributan. Aku bisa diusir tetangga!" omel Diana kepadanya. "Dan lagi, margaku sekarang Edison, bukan Immanuel!" Sang pelaku mengabaikan protesan Diana dan justru dengan santainya masuk ke apartemen Diana. Mendudukkan diri pada sofa dan kemudian menaikkan satu kaki miliknya pada yang lain. Dilanjut dengan bersedekap dada. Sarah memandang Diana dari atas sampai bawah. Kemudian menggelengkan kepalanya. "Masak mulu kamu. Padahal di makan juga
"Nah, coba minum, aku yakin kau akan suka." Diana, wanita yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Club itu memandang Sarah dengan pandangan ragu. Wanita itu sedang menyodorkan minuman yang tadi Diana dengar dengan sebutan Whisky. Berwarna kekuningan. Itu ... seperti pipis. Diana menatap Sarah yang masih menunggu dirinya untuk mengambil minuman aneh itu, "Kamu ... yakin suruh aku minum ini?" Sarah nampak tidak sabaran. Dia memindahkan minuman itu dengan segera ke tangan Diana. Kemudian mengambil minumannya sendiri. "Itu bukan racun. Rasanya juga nikmat." terang Sarah. Kemudian dirinya membenturkan gelas miliknya dengan Diana. Hingga terdapat bunyi ting diantara keduanya. Sarah dengan segera meneguk minuman yang berada di tangannya tanpa ragu. Hingga tak perlu waktu lama, gelas yang tadinya penuh kini tinggal separuhnya. Sudah habis dilahap oleh Sarah yang sekarang terlihat sedang menutupkan matanya menikmati rasa minuman yang mulai mengalir melalui tenggorokannya. Diana meman
Diana dilemparkan ke kasur begitu saja setelah Zerkin—pria asing yang Diana cium—mengunci pintu. Setelahnya, tanpa menunggu waktu lama, Zerkin mulai membuka satu persatu baju miliknya. Tuxedo mahal berwarna hitam yang memang sedari awal sudah berantakan ia tanggalkan dengan mudah. Diikuti dengan tangan kekar Zerkin yang menarik dasi miliknya hingga ikatan rapi itu terbuka. Dan terakhir, dengan tergesa-gesa Zerkin merobek kemeja putihnya sendiri. Terlalu tidak sabaran dengan begitu banyaknya kancing. Sampai pada celana terakhir miliknya. Zerkin tak pernah melepaskan pandangan sedetikpun dari Diana. Ia bagai seorang pemangsa. Setelahnya Zerkin naik ke atas kasur. Tangannya mengukung Diana yang tak tau, betapa dalam bahayanya dirinya.Pria itu memandang wajah Diana yang tampak sangat polos dan menggoda secara bersamaan. Membuat dirinya benar-benar ingin menghujami Diana dan membuat wanita yang berada di bawahnya menjadi miliknya.Tangan besar Zerkin menyentuh wajah Diana yang kemerahan
Tubuh itu masih terlelap dalam mimpi. Walau disediakan kasur yang empuk, si empu justru memilih tergeletak pada lantai marmer putih yang dingin. Bersama selimut berantakan yang tergulung di badannya.Waktu sudah menunjukan pukul 10 siang. Cahaya matahari mulai merembes dari gorden jendela. Yang akhirnya membuat tubuh di lantai itu bergerak tak nyaman saat merasakan silau pada wajahnya. Akhirnya, Wanita dengan pakaian minim bahan dan juga rambut yang berantakan membuka matanya. Wajahnya sangat sayu dan kucel. Bahkan iler sudah membentuk dari sudut bibirnya yang tertidur dengan mulut terbuka.Sarah menguap lebar dan merenggangkan tangannya ke atas. Matanya mulai terbuka perlahan. Dan otaknya dengan perlahan mengumpulkan nyawanya yang berceceran. Tangan Sarah bergerak ke sudut bibirnya. Kemudian mengelap air liurnya.Setelah selesai merenggangkan tubuhnya. Dan merasakan kesadaran yang mulai kembali. Sarah segera dilanda pusing. Efek tadi malam yang tidak bisa mengontrol dirinya saat memin