Share

Bab 2. Aku Tidak Ingin Menceraikanmu

Diana tidak bisa menghentikan kekhawatirannya pada kondisi aneh suaminya. Dirinya terus bergerak ke kanan dan ke kiri di depan pintu ruangan rumah sakit di mana Edwin sekarang sedang diperiksa oleh dokter. Ia bahkan tidak menyisakan sedikit waktu untuk memperbaiki penampilan serta rambutnya yang berantakan. Yang ada dipikirannya hanya kondisi Edwin.

"Berhentilah bergerak seperti setrika! Kau membuatku pusing melihatnya!" protes Marley sebal kepada Diana. Wanita itu terduduk di kursi besi rumah sakit dengan tampilan yang juga berantakan.

"Jika tidak suka, pergilah!" balas Diana tidak kalah sebal. Sebenarnya ia bukan tipe wanita yang galak ataupun tegas. Apalagi wanita bar-bar yang sampai menjambak orang lain. Diana adalah tipe wanita penurut dan pendiam. Namun terkadang emosi bisa membuat seseorang berperilaku di luar nalar.

"Kamu yang harusnya pergi! Ingat, kamu akan segera diceraikan oleh Mas Ed—"

Belum sempat ucapan pedas Marley terselesaikan. Pintu ruangan tempat di mana Edwin diperiksa terbuka. Menampilkan seorang Dokter yang cukup tua dengan setelah jas putihnya dan satu orang Perawat di belakangnya.

Sontak Diana menghampirinya. Begitupula dengan Marley yang berdiri dari duduknya.

"Bagaimana kondisi suami saya, Dok?" tanya Diana cemas.

"Hasil pemeriksaan fisik, laboratoriun, maupun CT Scan dari pasien menunjukan tidak ada tanda-tanda abnormalitas. Pasien secara keseluruhan dalam keadaan baik-baik saja."

Pernyataan sang Dokter membuat Diana dan Marley tidak percaya. Bagaimana bisa Edwin dinyatakan baik-baik saja jika beberapa menit yang lalu dirinya seperti orang sakaratul maut?

"Tapi Dok, beberapa menit yang lalu Mas Edwin benar-benar kesakitan pada bagian kepalanya." adu Marley dengan segera.

Sang Dokter terlihat mengangguk mendengar pernyataan dari Marley. Kemudian ia mengambil buku yang berada pada perawat di belakangnya. Mencatat beberapa hal.

"Kami akan melakukan pemeriksaan lanjutan keesokan harinya." terang sang Dokter. Kemudian mengembalikan catatan itu kembali kepada perawat.

Tiba-tiba pintu ruangan tempat di mana Edwin berada terbuka. Satu perawat wanita keluar dari sana dan memandang Diana serta Marley secara bergantian.

"Maaf, apakah di sini ada yang bernama Diana?" tanyanya.

Dengan segera Diana maju. Kemudian menjawab pertanyaan itu, "Saya!"

"Anda bisa masuk ke dalam. Pasien telah sadar."

Mendengar itu, rasa panik hilang berganti dengan rasa lega. Diana mengambil langkah cepat ke depan perawat itu. Menundukkan kepala sedikit dan mengucapkan terima kasih.

Saat baru akan membuka pintu. Suara protes Marley menghentikan Diana.

"Saya ingin masuk ke dalam juga, Suster!"

"Maaf, Ibu. Hanya pengunjung yang diinginkan pasien saja yang bisa masuk."

Yang diinginkan pasien ...

Kalimat itu membuat Diana mengigit bibirnya untuk menahan rasa bahagia yang hendak keluar. Dirinya segera menoleh ke arah Marley. Melemparkan senyum kecil yang tersirat mengejak sebelum kemudian membuka pintu dan segera masuk menemui suaminya.

***

Sesaat setelah menutup pintu dan benar-benar masuk pada ruangan di mana Edwin berada, mata Diana dengan segera menemukan suaminya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit dengan tenang. Tangan kanan suaminya yang tidak terpasang infus berada di atas matanya. Menutup mata hitam legam yang beberapa menit lalu menatap tajam dan dingin kepada Diana.

Kaki Diana perlahan berjalan mendekati Edwin. Dan saat sudah berada di samping suaminya ia membuka mulut, "Mas Edwin?" tanyanya lirih.

Tangan kanan Edwin yang berada di atas kedua matanya bergerak. Kemudian mata yang selalu Diana kagumi karena keindahannya itu terbuka.

"Diana ...."

Suara Edwin yang memanggil namanya terdengar sedikit bergetar. Dan mata itu, yang Diana tau jarang menampilkan kegelisahan atas apapun kini terlihat redup. Pupil matanya melebar seakan mencerminkan kecemasan dan ketakutan yang mendalam.

"Kamu kenapa, Mas?" tanya Diana dengan cemas. Siapa yang tidak khawatir jika dalam satu hari, suaminya tampak seperti orang sekarat, dan setelah bangun dari pingsan, dia terlihat tidak tenang.

Tangan kanan Edwin terulur dan berusaha mengenggam tangan Diana. Melihat itu, Diana tidak bergerak menjauh. Dan saat tangannya berada dalam genggaman Edwin, bukan rasa hangat yang Diana rasakan. Itu Dingin.

"Aku tarik ucapanku. Aku tidak akan menceraikanmu."

Mendengar hal yang sangat berkebalikan dengan apa yang Edwin katakan sebelumnya membuat Diana bergeming dengan gestur kaku.

"A-apa maksudmu, Mas?" tanya Diana memastikan. Walau ada sedikit rasa bahagia dalam hatinya, ia tidak ingin terlena. Diana tidak mau melupakan apa yang telah terjadi di taman. Di mana tatapan Edwin yang dingin dan tidak peduli pada dirinya.

Edwin menggigit pelan bibirnya, dan Diana melihat tangan yang mengenggam tangannya kembali gemetar walau hanya sedikit. Seperti Edwin sedang menahan sesuatu.

"Aku tidak akan menceraikanmu. Tidak akan. Tidak akan pernah." Tegas Edwin kembali. Genggaman pada tangan Diana mengerat. Membuat Diana sedikit merasakan nyeri.

"Mas, aku tidak tau apa yang terjadi padamu! Beberapa menit lalu kamu dengan kejam ingin menceraikanku. Dan sekarang, justru dengan tegas menolak. Apa yang kamu mau, Mas?!" jengah Diana. Dia berusaha menarik tangannya yang berada dalam genggaman Edwin. Namun sekeras apapun Diana mencoba, ia tidak bisa melepaskan itu.

"Mas, lepas!" berontak Diana. Terlebih saat merasakan rasa perih mulai menjalari pergelangan tangannya. Bahkan walau keadaan Edwin sedang sakit, tenaga pria itu tetap kuat.

"Sudah kubilang, aku tidak akan menceraikanmu, Diana!"

"Aku tidak peduli, Mas. Aku tetap akan mengajukan perce—Akh! Mas, sakit! Kumohon lepaskan!" Diana tidak mampu menyelesaikan kalimatnya saat merasakan alirah darah pada pergelangannya mulai perlahan berhenti dan mengakibatkan urat-urat kecil pada tangannya terasa seperti terbakar.

Namun seperti tuli. Edwin tetap tak melepaskan tangan Diana. Ia justru menarik tangan itu hingga tubuh Diana lebih mendekat. Tubuh Diana membungkuk sebagai respon atas rasa sakit yang tidak kunjung hilang.

"Kumohon, kita mulai dari awal lagi, ya?" mohon Edwin. Suaranya tak lagi semenuntut tadi. Namun tetap saja Diana merasakan pemaksaan pada kalimat itu.

Diana menatap wajah Edwin yang berada di bawahnya. Posisi mereka tampak seperti Diana mengungkung Edwin. Mereka sangat dekat. Dan saat seperti inilah Diana dengan jelas dalam melihat kekalutan pada mata suaminya.

Mata Diana berair karena rasa sakit, "Mas, tolong lepaskan terlebih dahulu tanganku. Sakit ...."

Dan seperti baru menyadari perbuatannya. Edwin dengan panik melepaskan tangan Diana. Segera saja, Diana menjauhkan diri dari Edwin dan mengelus tangan kirinya yang terdapat bekas melingkar. Rasa nyeri dari otot-ototnya yang terkilir membuat Diana kembali meringis.

"Ma-maaf. A-aku tidak sadar jika ...." Suara Edwin menampakkan rasa bersalah.

Diana mengalihkan pandangan ke arah Edwin. Mata milik Edwin yang tadi penuh kekalutan berganti dengan rasa bersalah.

"Tapi Diana ... Kumohon ... aku tidak bisa menceraikanmu." permohonan itu lagi.

Diana menunduk. Bimbang akan pilihannya. Jujur, dalam lubuk hati Diana ia masih sangat mencintainya. Bahkan saat melihat permohonan dari Edwin, hati Diana merasa hangat dan amarah karena perselingkuhan seketika terlupakan. Hati Diana berbicara untuk memberikan kesempatan kedua pada Edwin. Toh, Edwin baru satu kali berselingkuh darinya. Itu mungkin saja hanya khilaf semata.

"Mas, aku ...." Diana mengangkat pandangannya. Dan saat itulah Diana menemukan mata Edwin yang memerah dan perlahan air mata jatuh dari irisnya.

Edwin menangis.

Seumur hidup, Diana tidak pernah melihat Edwin menangis.

"Kita mulai dari awal, ya? Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku mohon Diana. Aku ...."

Tangan Edwin terulur. Dan seperti bergerak karena sihir, Diana melangkah mendekat. Hingga Edwin dapat meraih tubuhnya.

"Aku sangat mencintaimu." dan kecupan pada dahi Diana datang setelah kalimat itu.

Mungkin ... mungkin Diana bisa memberikan kesempatan lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status