"Bersabarlah. Tidak lama lagi aku akan menceraikan Diana dan menikahimu."
Sulit bagi Diana untuk menerima apa yang telah ia lihat dan dengar detik ini juga. Pandangan Diana mengabur karena air mata yang dengan keras Diana tolak untuk ia keluarkan. Dadanya terasa sesak. Seperti seseorang telah meremas seluruh organ tubuhnya.
Diana ingin menangis dan menjerit dengan keras. Namun alih-alih melakukan hal yang tak berguna seperti itu, Diana lebih memilih untuk berjalan lebih dekat ke arah seseorang yang membuatnya merasakan perasaan menyesakkan seperti ini.Dengan segera Diana berdiri beberapa langkah dari kedua manusia yang sekarang sedang duduk bersama di sebuah taman. Dengan tangan si pria yang menggantung apik pada bahu si wanita. Dan si wanita menyenderkan tubuh dengan nyaman pada dada kokoh si pria."M-mas Edwin?"Suara Diana bergetar. Dan tenggorokannya seperti ada benjolan hingga membuat Diana susah untuk mengatakan satu kalimat saja.Dengan segera, dua pasang sejoli itu menoleh ke arah belakang. Dan air mata tak dapat lagi Diana tahan kala wajah si lelaki benar-benar ia kenal.Edwin Edison, suaminya.Tidak ada wajah panik di antara keduanya. Baik suaminya dan wanita asing itu dengan santai berdiri dari duduknya. Memandang Diana yang sudah banjir air mata.
"Apa maksudmu, Mas? Jelaskan padaku apa maksud ini semua?!" Diana memekik keras."Bukankah semua sudah jelas?" Edwin membalas dengan datarEdwin sendiri tidak menyangka akan secepat ini perselingkuhan mereka tertangkap oleh Diana. Namun apa boleh buat, ia tak menyesalinya sama sekali. Justru dengan begini, dirinya tidak perlu repot-repot lagi. Diana dengan sendirinya akan pergi."Oh! Kamu pasti Diana ya? Senang bertemu denganmu! Perkenalkan, aku Marley Anabelly. Cinta pertama Mas Edwin." Suara nyaring dengan nada senang milik perempuan yang saat ini memeluk erat pinggang suaminya membuat Diana geram.Dengan segera, Diana berlari ke arah perempuan bernama Marley itu. Amarah membara dalam dirinya. Hingga tak ada lagi yang bisa ia pikirkan selain ingin menghancurkan wanita yang telah merusak rumah tangganya. Maka dari itu, Diana menerjang ke depan. Kemudian dengan tenaga yang entah dari mana, ia mendorong Edwin menjauh hingga pria itu tersingkir. Dan dengan segera meraih kepala Marley. Menjambak rambutnya dengan keras dan berapi-api."Akhhh! Lepas!"Teriakan yang memekikkan telinga datang dari Marley. Namun itu tidak menghentikan Diana untuk terus menjambak rambut Marley. Bahkan jeritan kesakitan dan semua perlawanan yang Marley berikan membuat Diana lebih gigih untuk merontokkan semua rambut wanita j*lang ini."Diana! Kamu gila?! Lepaskan Marley!" teriak Edwin keras. Dirinya dengan segera mendekati kedua wanita itu. Dan sekuat tenaga mencoba melepaskan tangan Diana yang mencengkram dengan keras rambut kekasihnya. Namun seperti orang kesurupan, bahkan tenaga Edwin tak membuat Diana dengan segera bisa menjauh."Mati! Mati! Mati kamu!" raung Diana diikuti dengan tangisannya.Bruk!Akhirnya setelah susah payah, Edwin dapat menghentikan kegilaan Diana. Dirinya mendorong istrinya sendiri dengan kasar hingga terjatuh keras di tanah. Kemudian Edwin dengan panik memeluk Marley yang merintih sembari memegangi kepalanya yang serasa ingin lepas."Kamu gila, hah?!" bentak Edwin.Diana memandang tangannya yang mengenggam segumpal rambut milik Marley. Kemudian ia mengalihkan pandangan pada suaminya yang dengan protektif memeluk wanita itu.Mata Edwin menyorot dingin. Diana bisa merasakan besarnya amarah suaminya terhadap dirinya. Namun apa Diana salah? Apakah salah seorang istri ingin menggunduli rambut selingkuhan suaminya?"Kamu jahat, Mas."Amarah Diana perlahan surut. Berganti dengan rasa kekecewaan yang mendalam.Diana menunduk menatap rumput hijau di bawahnya. Yang kemudian rumput itu basah karena air matanya sendiri."Wanita gila! Kau hampir membunuhku, sialan!" pekik Marley keras.Diana tidak mendengarkan cercaan wanita itu. Dirinya hanya terus menatap ke bawah. Tak mampu menaikkan pandangan dan menatap bagaimana suaminya melindungi wanita lain."Hei, wanita gila! Kau bisu, hah?!"Dengan sebal Marley melangkah ke depan. Kemudian menjambak rambut Diana hingga kepala Diana menghadap ke atas. Memandang Marley yang saat ini menggertakan giginya dengan marah."Akan kubalas perbuatan—""Mas, ceraikan aku."Belum sempat Marley selesai bicara, Diana sudah menyela dengan suara yang cukup lirih. Menandakan besarnya luka yang ia terima. Wanita itu juga tidak melawan ketika jambakan di kepalanya terasa diperkuat. Hingga Diana merasakan bahwa helaian rambutnya rontok. Namun biarlah, karena sakit itu tidak sebanding dengan sakit hati yang sekarang ia rasa."Aku ingin kita pisah," tambah Diana seraya memandang Edwin yang berada di belakang Marley.Tidak ada lagi tatapan lembut pada suaminya. Tidak ada juga senyum hangat yang setiap hari selalu ia berikan. Sekarang Edwin tampak bukan suaminya. Ia seperti orang lain yang sungguh membenci Diana. Hanya ada sorot dingin dan datar pada wajah itu."Dih, tanpa kamu minta pun, Mas Edwin akan menceraikanmu!"Racun menetes dari suara Marley. Ia dengan kasar menyentak rambut Diana hingga beberapa helai terputus. Kemudian wanita itu menepuk kedua tangannya di depan Diana untuk membersihkan dirinya dari rambut Diana. Seakan rambut Diana adalah sebuah najis."Diana Immanuel." Nama panjang Diana dengan marga keluarganya terdengar dari mulut Edwin. Lelaki yang tadinya berada di belakang Marley mulai perlahan mendekat hingga sejajar dengan wanita itu. Berdiri di hadapan Diana yang bersimbah dengan rambut berantakan dan bekas air mata di pipinya."Mulai hari ini ...."Diana tidak tahan menatap mata dingin suaminya. Namun ia tidak ingin mengalihkan pandangan. Diana ingin memastikan. Apakah benar sudah tidak ada cinta lagi pada mata hitam legam itu?"Kamu bukan lagi is—"Diana siap mendengar itu. Jika benar tidak ada lagi cinta pada hati Edwin. Diana akan pergi. Namun anehnya, kalimat itu tak lagi dilanjutkan. Dan mata hitam dingin yang Diana tatap berganti dengan mata terbelalak.Tidak hanya Diana yang panik. Marley juga panik kala merasakan Edwin mencengkram bahunya. Lelaki itu seperti mencari pegangan karena tidak dapat berdiri. Edwin yang sejak tadi berdiri tegap dan sehat tiba-tiba tampak seperti orang berpenyakitan."Mas Edwin! Kamu kenapa, Mas!?"Pertanyaan Marley datang tanpa jawaban dari Edwin. Lelaki itu tampak mengerutkan keningnya. Wajahnya menyiratkan kesakitan yang sangat pasti. Bahkan kini Edwin tak lagi berdiri. Dia berlutut menggunakan kedua sikunya yang gemetar dan kedua tangan yang memegang rambutnya dengan keras.Diana ikut menghampiri. Dirinya terduduk di depan Edwin dengan tangan wanita itu yang berusaha melepaskan tangan Edwin dari rambutnya sendiri. Jika Edwin terus menarik rambut miliknya sekeras itu, Diana yakin rambut Edwin akan rontok."Mas Edwin! Kamu kenapa?!"Diana sudah tidak memperdulikan lagi masalah perselingkuhan itu. Dia panik setengah mati melihat Edwin yang tampak seperti kesurupan.Mulut Edwin terbuka. Dan Diana dengan segera memasang kuping untuk melihat apa yang akan ia katakan. Namun Edwin tidak mengatakan apa-apa. Lelaki itu seperti menerima kesakitan yang luar biasa hingga mengucap satu kata saja tak bisa."Mas! Mas, bertahanlah!"Diana kembali menangis melihat suaminya yang seperti diambang ajalnya. Dirinya dengan segera memeluk Edwin dengan erat. Merasakan degup jantung Edwin yang berdebar dengan sangat keras hingga Diana dapat merasakannya. Tubuh Edwin juga bergetar dan terasa dingin.'Apa yang sebenarnya terjadi pada suaminya?'"Tolong! Tolong jangan sepert ini, Mas! Aku takut!"Dan tidak lama setelah kalimat itu, tubuh Edwin terdiam. Pingsan dalam pelukan istrinya.Diana tidak bisa menghentikan kekhawatirannya pada kondisi aneh suaminya. Dirinya terus bergerak ke kanan dan ke kiri di depan pintu ruangan rumah sakit di mana Edwin sekarang sedang diperiksa oleh dokter. Ia bahkan tidak menyisakan sedikit waktu untuk memperbaiki penampilan serta rambutnya yang berantakan. Yang ada dipikirannya hanya kondisi Edwin. "Berhentilah bergerak seperti setrika! Kau membuatku pusing melihatnya!" protes Marley sebal kepada Diana. Wanita itu terduduk di kursi besi rumah sakit dengan tampilan yang juga berantakan. "Jika tidak suka, pergilah!" balas Diana tidak kalah sebal. Sebenarnya ia bukan tipe wanita yang galak ataupun tegas. Apalagi wanita bar-bar yang sampai menjambak orang lain. Diana adalah tipe wanita penurut dan pendiam. Namun terkadang emosi bisa membuat seseorang berperilaku di luar nalar. "Kamu yang harusnya pergi! Ingat, kamu akan segera diceraikan oleh Mas Ed—" Belum sempat ucapan pedas Marley terselesaikan. Pintu ruangan tempat di mana Edwin d
"Kamu nggak makan dulu, Mas? Aku udah masak makanan kesukaan kamu." jelas Diana sembari memandang suaminya yang sedang sibuk merapaikan jas hitamnya di depan kaca yang berada di ruang tengah. "Aku buru-buru." balasnya tanpa sedikitpun menoleh ke arah Diana. Mendengar itu, Diana memaksakan senyum, "Um ... Baiklah." Setelah selesai dengan pakaiannya. Edwin mengambil tas kerjanya. Lagi, tanpa menoleh ke arah Diana dirinya berjalan menuju pintu. Barulah saat tinggal satu langkah lagi Edwin keluar dari Apartemen, dirinya menoleh ke belakang. Ke arah di mana Diana menunduk dengan sedih di meja makan bersama beberapa hidangan makanan yang tak tersentuh. "Aku akan lembur. Jadi tidak perlu menungguku." jelasnya singkat. Kemudian melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Tak memperdulikan Diana yang semakin menahan rasa kesedihan. Dua bulan lalu, di mana hari perselingkuhan Edwin terungkap, Diana dengan yakin ingin meminta cerai. Namun saat Edwin mengatakan bahwa ia mencintainya dan akan me
*Dua Tahun kemudian* "Diana Immanuel yang sangat bucin, main yuk!" Sarah, teman Diana sedari kuliah itu tanpa sopan santun menggedor pintu apartemen Diana. Membuat Diana yang sedang memasak di dapur dengan tergesa menuju pintu. Takut akan tetangga yang mengomel karena gedoran bar-bar dari Sarah. Dengan segera Diana membuka pintu. Hingga tangan Sarah yang akan menggedor kembali terhenti di udara. Seketika cengiran tak berdosa dari Sarah terlihat kala Diana dengan celemek di dadanya menatap tajam dirinya. "Sarah, sudah aku bilang jangan membuat keributan. Aku bisa diusir tetangga!" omel Diana kepadanya. "Dan lagi, margaku sekarang Edison, bukan Immanuel!" Sang pelaku mengabaikan protesan Diana dan justru dengan santainya masuk ke apartemen Diana. Mendudukkan diri pada sofa dan kemudian menaikkan satu kaki miliknya pada yang lain. Dilanjut dengan bersedekap dada. Sarah memandang Diana dari atas sampai bawah. Kemudian menggelengkan kepalanya. "Masak mulu kamu. Padahal di makan juga
"Nah, coba minum, aku yakin kau akan suka." Diana, wanita yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Club itu memandang Sarah dengan pandangan ragu. Wanita itu sedang menyodorkan minuman yang tadi Diana dengar dengan sebutan Whisky. Berwarna kekuningan. Itu ... seperti pipis. Diana menatap Sarah yang masih menunggu dirinya untuk mengambil minuman aneh itu, "Kamu ... yakin suruh aku minum ini?" Sarah nampak tidak sabaran. Dia memindahkan minuman itu dengan segera ke tangan Diana. Kemudian mengambil minumannya sendiri. "Itu bukan racun. Rasanya juga nikmat." terang Sarah. Kemudian dirinya membenturkan gelas miliknya dengan Diana. Hingga terdapat bunyi ting diantara keduanya. Sarah dengan segera meneguk minuman yang berada di tangannya tanpa ragu. Hingga tak perlu waktu lama, gelas yang tadinya penuh kini tinggal separuhnya. Sudah habis dilahap oleh Sarah yang sekarang terlihat sedang menutupkan matanya menikmati rasa minuman yang mulai mengalir melalui tenggorokannya. Diana meman
Diana dilemparkan ke kasur begitu saja setelah Zerkin—pria asing yang Diana cium—mengunci pintu. Setelahnya, tanpa menunggu waktu lama, Zerkin mulai membuka satu persatu baju miliknya. Tuxedo mahal berwarna hitam yang memang sedari awal sudah berantakan ia tanggalkan dengan mudah. Diikuti dengan tangan kekar Zerkin yang menarik dasi miliknya hingga ikatan rapi itu terbuka. Dan terakhir, dengan tergesa-gesa Zerkin merobek kemeja putihnya sendiri. Terlalu tidak sabaran dengan begitu banyaknya kancing. Sampai pada celana terakhir miliknya. Zerkin tak pernah melepaskan pandangan sedetikpun dari Diana. Ia bagai seorang pemangsa. Setelahnya Zerkin naik ke atas kasur. Tangannya mengukung Diana yang tak tau, betapa dalam bahayanya dirinya.Pria itu memandang wajah Diana yang tampak sangat polos dan menggoda secara bersamaan. Membuat dirinya benar-benar ingin menghujami Diana dan membuat wanita yang berada di bawahnya menjadi miliknya.Tangan besar Zerkin menyentuh wajah Diana yang kemerahan
Tubuh itu masih terlelap dalam mimpi. Walau disediakan kasur yang empuk, si empu justru memilih tergeletak pada lantai marmer putih yang dingin. Bersama selimut berantakan yang tergulung di badannya.Waktu sudah menunjukan pukul 10 siang. Cahaya matahari mulai merembes dari gorden jendela. Yang akhirnya membuat tubuh di lantai itu bergerak tak nyaman saat merasakan silau pada wajahnya. Akhirnya, Wanita dengan pakaian minim bahan dan juga rambut yang berantakan membuka matanya. Wajahnya sangat sayu dan kucel. Bahkan iler sudah membentuk dari sudut bibirnya yang tertidur dengan mulut terbuka.Sarah menguap lebar dan merenggangkan tangannya ke atas. Matanya mulai terbuka perlahan. Dan otaknya dengan perlahan mengumpulkan nyawanya yang berceceran. Tangan Sarah bergerak ke sudut bibirnya. Kemudian mengelap air liurnya.Setelah selesai merenggangkan tubuhnya. Dan merasakan kesadaran yang mulai kembali. Sarah segera dilanda pusing. Efek tadi malam yang tidak bisa mengontrol dirinya saat memin
"Tidurlah denganku."Itu sebenarnya hanya kalimat acak yang Zerkin plih untuk menggoda wanita di depannya. Namun tak Zerkin sangka, respon wanita itu akan sebrutal sekarang. Maksud Zerkin adalah, Diana menamparnya. Sungguh keras hingga suara tamparan itu berdengung dalam kamar yang mereka huni. Wajah Zerkin pun sampai menoleh ke samping. Sial, ini perih."Kau pikir aku apa?!"Dan kemudian, belum cukup dengan tamparan itu. Diana membentak Zerkin dengan amarah yang menggebu-gebu. Wajah Diana memerah, menahan marah juga tangis."Dasar lelaki m*sum!" teriak Diana kembali.Kini dirinya dengan brutal memukul dada Zerkin. Sekuat tenaga disertai lontaran hinaan untuk Zerkin."He-hei tenang! aku hanya bercanda!"Namun Diana seperti tak mendengar kalimat itu. Dirinya tetap terus memukul dada Zerkin. Hingga Zerkin bergerak mundur untuk menghindari tangan Diana yang tanpa henti pada tubuhnya. Namun sayang, dirinya justru tersandung hingga terjatuh dan membuat Diana terduduk di atas tubuhnya."Dasa
"Gila, banyak banget cupangnya!"Setelah menjelaskan semua hal yang terjadi kepada Sarah, wanita itu bukannya merasa bersalah karena telah membiarkan sahabatnya hampir saja diperk*sa. Dia justru nampak berbinar dan antusias melihat semua bekas gigitan yang memerah pada leher Diana. "Diem, deh!" Diana memberenggut sebal.Sarah justru tertawa. Wanita itu kemudian menatap kembali ke arah Diana yang menatapnya sebal. Kemudian Sarah menaikkan satu alisnya, "Ganteng nggak?""Apanya?!" balas Diana menghindari jawaban."Dih, ya mukanya lah!"Diana diam. Tak berniat untuk menjawab. "Woi! Gimana? Ganteng nggak?!" tanya Sarah lagi.Diana berdecak sebal, "Dikit!" tak ingin mengakui ketampanan dari pria menyebalkan itu.Dan dengan segera ingatan Diana kembali di saat dirinya tanpa sengaja mengagumi paras pria itu. Bagaimana dirinya yang membeku sesaat. Bagaimana wajahnya saat berada di atas Diana. Dan bagaimana tubuh kekar itu mengungkungnya di antara pintu.Diana dengan segera menutupi wajahnya