Share

Bab 4. Alasan Bertahan

*Dua Tahun kemudian*

"Diana Immanuel yang sangat bucin, main yuk!"

Sarah, teman Diana sedari kuliah itu tanpa sopan santun menggedor pintu apartemen Diana. Membuat Diana yang sedang memasak di dapur dengan tergesa menuju pintu. Takut akan tetangga yang mengomel karena gedoran bar-bar dari Sarah.

Dengan segera Diana membuka pintu. Hingga tangan Sarah yang akan menggedor kembali terhenti di udara. Seketika cengiran tak berdosa dari Sarah terlihat kala Diana dengan celemek di dadanya menatap tajam dirinya.

"Sarah, sudah aku bilang jangan membuat keributan. Aku bisa diusir tetangga!" omel Diana kepadanya. "Dan lagi, margaku sekarang Edison, bukan Immanuel!"

Sang pelaku mengabaikan protesan Diana dan justru dengan santainya masuk ke apartemen Diana. Mendudukkan diri pada sofa dan kemudian menaikkan satu kaki miliknya pada yang lain. Dilanjut dengan bersedekap dada.

Sarah memandang Diana dari atas sampai bawah. Kemudian menggelengkan kepalanya.

"Masak mulu kamu. Padahal di makan juga enggak." kelakar Sarah. Membuat Diana mengerutkan bibirnya sebal. Sudah tau apa maksud sindiran Sarah.

Diana ikut mendudukkan diri di depan Sarah.

"Mau ngapain kesini?" tanya Diana mengabaikan sindiran sahabatnya itu.

Namun sepertinya Sarah belum menyerah. Dia kembali menanyakan sesuatu yang selalu ia tanyakan setahun terakhir ini kepada sahabatnya.

"Belum berniat cerai kamu?"

Bukan maksud Sarah jahat. Namun ia sebagai sahabat Diana selama 8 tahun tidak tega melihat Diana yang selalu terabaikan oleh Edwin. Terlebih wanita manis itu memperoleh pengkhianatan. Sarah sangat geram. Ingin sekali ia mencincang Edwin dan membebaskan sahabatnya dari pria yang sialnya tampan itu.

"Masih jawaban yang sama." balas Diana enteng. Sarah heran bagaimana wanita itu bisa bertahan dengan pernikahan hampa ini.

"Diana! sudah 2 tahun, lo!" gemas Sarah.

Diana berpikir sejenak. Kemudian ia kembali menatap Sarah sembari menampilkan senyum tulus.

"Aku tahu ...." katanya lirih.

Jika seseorang bertanya apakah Diana tidak lelah dengan ini semua, Diana akan menjawab dengan berteriak bahwa ia lelah. Namun bagaimana, hati dan pikirannya masih mengingat pelukan dan ucapan aneh 2 tahun lalu. Itu adalah sesuatu yang membuat Diana kuat selama 2 tahun. Walau sebenarnya, tidak jarang Diana menangis sendirian di kamar mandi.

"Kamu masih percaya sama perkataan suamimu dua tahun lalu?" tanya Sarah. Ia sendiri juga mengetahui alasan Diana masih bertahan.

'Tunggu aku walau itu memakan waktu bertahun-tahun.'

Bisa-bisanya hanya karena perkataan seperti itu, Diana rela diduakan oleh suaminya sendiri hingga dua tahun. Sarah yakin itu hanya akal-akalan dari Edwin.

"Perkataan dua tahun lalu benar-benar berbeda dari sebelumnya, Sarah. Percayalah padaku." jelas Diana. Matanya menatap Sarah dengan keyakinan yang kukuh.

"Perkataan itu saat malam hari, bukan? Itu pasti kesurupan! Edwin kesurupan jin di kantornya dan berbicara ngelantur. Jadi mari lupakan kata-kata sialan itu, dan ke pengadilan agama!" ajak Sarah. Dia bahkan sudah berdiri dan berjalan ke arah Diana.

Tangan Sarah sudah memegang tangan kiri Diana. Hendak benar-benar menyeretnya. Namun wanita itu tetap keukeuh untuk berdiam diri.

"Sarah, jangan ngelantur, ish! Udah, lepasin aku." pinta Diana.

Ingin rasanya Sarah membenturkan kepala Diana agar otak wanita itu sehat.

Sarah menyerah untuk menyeret Diana. Ia akhirnya melepaskan tangan Diana walau dengan ogah-ogahan. Wanita itu kemudian melirik pada dapur Diana.

"Lagi masak apa kamu? Aku numpang makan di sini ya." pinta Sarah sembari masih fokus pada dapur Diana. Ia sengaja ke apartemen Diana untuk menemani wanita itu agar tidak kesepian. Karena Sarah tau si bangs*at Edwin jarang pulang.

"Aku masak rendang." balas Diana. Ia berdiri dari sofa dan hendak menghampiri Sarah. Namun saat merasakan ponsel pada sakunya bergetar, ia mengurungkannya. Kembali duduk dan mengambil ponselnya.

My Husband is calling ....

Senyum Diana terbit. Tanpa perlu waktu lama ia mengangkat panggilan itu.

"Halo, Mas? Ada apa?"

Suara ceria Diana membuat Sarah yang tadinya membelakangi Diana dan fokus pada dapur dengan segera berbalik. Kini memandang Diana yang tersenyum sangat lebar padahal hanya menerima panggilan dari Edwin.

Benar-benar. Cinta bisa membuat orang lain gila.

"Yaa ... baiklah. Aku tidak akan datang ke perusahaanmu lagi dan mengirim makanan. Maaf, Mas."

Baru beberapa menit Diana tersenyum, wanita itu kembali harus menelan kekecewaan. Diana kira Edwin akan berterima kasih kepadanya karena telah mengirim makan siang. Namun apa yang terjadi. Edwin justru memarahinya.

"Tidak pulang lagi?"

Sarah bisa melihat sudut mata Diana mulai muncul cairan bening.

"Baiklah. Semangat bekerja, Mas."

Panggilan singkat itu berakhir. Diana dengan segera menyimpan ponselnya pada saku dan menghapus air matanya agar tidak terjatuh. Ia tidak ingin menangis di depan Sarah.

Diana memandang Sarah yang terdiam, "Mau menginap?" tawarnya pada Sarah. Diana juga berusaha memberikan senyum paling baik-baik saja. Namun bagaimana Sarah bisa berusaha tak tau. Kesedihan Diana sungguh jelas.

Sarah melangkah mendekat. Kemudian merangkul Diana dengan erat dan dengan semangat berujar kepada Diana.

"Kita akan ke Club malam ini! Dan kamu harus mau! Masa seumur hidup nggak pernah ke Club si?!"

Suara Sarah terdengar keras sekali di telinga Diana. Namun itu tidak menjadi masalah untuk Diana. Yang menjadi masalah adalah Sarah yang mengajaknya ke Club. Diana dengan keras menolak itu!

"Enggak! Nggak ma-"

"Bodo amat. Ayo kamu mandi dan pakai baju terbaikmu!"

Sarah mengabaikan pemberontakan Diana. Dia dengan semangat 45 menyeret Diana ke kamar mandi dan tanpa malu-malu mengeledah seluruh pakaian Diana. Diana benar-benar tidak ada hak untuk menolak.

***

Setelah 30 menit berkendara, akhirnya mobil sedan putih itu berhenti. Berdampingan dengan mobil mahal lainnya. Tepat berada di parkiran Club paling terkenal di ibukota Jakarta.

Sarah sangat bersemangat. Dia ingin segera menenggak bergelas-gelas alkohol. Menghabiskan malam panjang bersama cairan itu. Karena jujur, pekerjaannya setiap hari semakin memiliki bobot yang membuat kepalanya ingin meledak. Atasannya seperti mempunyai dendam tersembunyi dengan Sarah hingga melimpahkan pekerjaan yang bukan bagian dari job miliknya.

"Ayo, mari kita-bersenang-senang!"

Berbeda dengan Sarah yang bersemangat. Diana justru nampak ingin menghilang. Tangannya juga masih terus berusaha menurunkan dressnya.

"Kamu yakin? kita pulang aja ya," bujuk Diana

Yang tentu, Sarah segera menggelengkan kepalanya.

"Nope!"

Dengan segera, malam yang tadinya nampak hening, berubah menjadi malam yang bising. Alunan musik terdengar sangat kencang. Diriingi oleh suara lagu disko yang menggema dan lampu yang ikut berkelap-kelip. Menampilkan kerumunan manusia yang berjoget ria meliuk-liukkan tubuhnya. Bahkan, banyak yang bercumbu di pojok ruangan tanpa memperdulikan sekitar.

Bau alkohol sangat menyengat ketika masuk. Hingga tanpa sadar, Diana segera menutup hidungnya. Merasakan rasa tak nyaman. Melihat itu, Sarah hanya dapat tertawa.

"Mari kita pesan minum dulu," ajak Sarah sembari segera menarik Diana yang sibuk menutup hidungnya. Mereka segera sampai pada meja panjang yang tampak setengah lingkaran. Di dalamnya terdapat lima orang bartender pria yang terlihat sibuk membuat minuman penghilang stress.

Segera Sarah duduk di salah satu kursi. Bersamaan dengan Diana yang duduk disampingnya. Terlihat linglung dan memperhatikan sekitar dengan ngeri.

"Dua Whisky, Tuan, " ujar Sarah. Yang dibalas anggukan salah satu bertender.

"A-aku nggak mau minum alhohol!" ujar Diana panik kepada Sarah.

Sarah menaikkan alisnya, "Terus mau minum apa?"

"Em ... kopi?"

Yang dibalas Sarah dengan tawa yang sangat kencang. Hingga beberapa orang yang duduk disampingnya menoleh. Membuat Diana semakin menciutkan dirinya sendiri.

"Ini bukan cafe!" jelas Sarah, "Udah tenang, Whisky enak kok. Aku bakal jaga kamu kalau kamu teler." jelasnya.

Diana tak yakin dengan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status