"Nah, coba minum, aku yakin kau akan suka."
Diana, wanita yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Club itu memandang Sarah dengan pandangan ragu. Wanita itu sedang menyodorkan minuman yang tadi Diana dengar dengan sebutan Whisky. Berwarna kekuningan. Itu ... seperti pipis.
Diana menatap Sarah yang masih menunggu dirinya untuk mengambil minuman aneh itu, "Kamu ... yakin suruh aku minum ini?"
Sarah nampak tidak sabaran. Dia memindahkan minuman itu dengan segera ke tangan Diana. Kemudian mengambil minumannya sendiri.
"Itu bukan racun. Rasanya juga nikmat." terang Sarah. Kemudian dirinya membenturkan gelas miliknya dengan Diana. Hingga terdapat bunyi ting diantara keduanya.
Sarah dengan segera meneguk minuman yang berada di tangannya tanpa ragu. Hingga tak perlu waktu lama, gelas yang tadinya penuh kini tinggal separuhnya. Sudah habis dilahap oleh Sarah yang sekarang terlihat sedang menutupkan matanya menikmati rasa minuman yang mulai mengalir melalui tenggorokannya.
Diana memandang kembali minumannya. Kemudian melirik Sarah yang kali ini melanjutkan kembali minumannya yang tadi sisa separuhnya. Wajah wanita itu sekarang terlihat mulai memerah.
Sarah mempunyai toleransi alhokol yang lumayan tinggi. Jadi, hanya satu gelas belum benar-benar dapat membuatnya tepar. Segera saja, setelah Whisky di gelas pertamanya habis, ia segera meminta gelas berikutnya.
"Hai, cepatlah minum! Jangan takut, itu tidak beracun," desak Sarah saat melihat minuman milik Diana yang sama sekali tak tersentuh.
Diana mengangkat tangannya. Meletakkan minuman berwarna kuning aneh itu ke arah hidungnya. Namun tak seperti bayangannya yang mengira bahwa bau minuman itu akan menyegrak dan aneh, justru hanya ada harum lembut disana. Benar-benar berkebalikan dengan pikiran Diana.
Dari baunya si, tidak terlalu buruk.
Gelas kedua milik Sarah segera datang. Wanita itu dengan segera mengambil minumannya. Kemudian menatap Diana yang masih terlihat ragu-ragu untuk meminumnya.
"Ayo, minum bersama! Percayalah, rasanya tak buruk." bujuknya kembali.
Dengan itu, Diana mulai mendekatkan Whisky ke arah bibirnya. Dirinya menatap Sarah yang tanpa ragu menandaskan gelas keduanya. Membuat Diana akhirnya membuka mulutnya perlahan, membiarkan cairan itu memenuhi mulutnya.
Seketika, cairan kuning itu mulai masuk. Menyentuh lidah Diana. Dan Sarah yang melihat itu tersenyum senang.
Rasanya ... entahlan. Diana tak bisa menjelaskannya. Pada awal masuk, cairan ini benar-benar rasa alkohol. Namun kemudian, Itu manis, namun pahit juga. Diana kira awalnya rasanya akan sangat menyengat tenggorokannya, namun minuman ini tak separah itu. Rasanya tak buruk untuk lidah Diana.
"Habiskanlah ...." lontar Sarah ketika melihat Diana yang sudah mulai menikmati minumannya.
Tidak seperti sebelumnya yang tampak lama mengambil keputusan, kini Diana tanpa ragu-ragu memasukkan kembali minuman itu ke tenggorokannya. Menikmati rasa aneh namun menyenangkan yang mulai datang.
"Bagaimana? tidak buruk bukan?" bangga Sarah saat melihat Diana yang sudah menghabiskan setengah gelasnya.
Diana meletakkan gelas itu ke arah meja. Rasanya memang enak, namun baru habis setengah gelas, Diana merasa pusing.
"Tapi, aku sedikit pusing. Apa aku keracunan?" ujar Diana polos sembari memijit kepalanya.
Sarah tertawa lagi. Gelas ketiga kini datang untuknya. Tanpa ragu wanita itu mengambilnya. Kemudian memutar-mutarkan gelas di depan wajahnya. Memandang cairan kuning yang mulai bergoyang.
"Itu proses kesenangan. Minumlah lagi." kelakar Sarah. Kemudian mulai menikmati gelas ketiganya dengan perlahan sembari mengamati sekeliling. Melihat para wanita dan pria yang bercumbu tanpa mengenal tempat. Sarah menampilkan wajah risih melihat itu. Minimal booking kamar dong, dasar kismin.
Walau pusing, Diana kembali mengambil gelasnya yang masih tersisa setengah. Merasa mubazir untuk tak menghabiskannya. Segera, wanita itu meneguk habis Whisky di gelas pertamanya. Membuat pusing yang tadinya melanda semakin membuatnya tak fokus.
Sarah yang sudah lumayan mabuk tetapi masih sadar tersenyum melihat sahabatnya yang tampak sangat rendah toleransi terhadap alkohol. Kini wanita itu menelungkupkan kepalanya pada meja. Benar-benar tidak kuat menahan kepalanya. Diana mulai bercelotoh dengan random.
"B*jingan! Aku mencintaimu, Edwin! Namun mengapa kau ... kau mengkhianatiku ...." Diana mengumpat. Dia sepertinya sudah terlihat benar-benar mabuk hanya dengan 1 gelas Whisky. Karena jika tak mabuk, wanita itu tak akan pernah melontarkan kalimat kasar untuk suaminya.
"Aku ...." Diana mulai menangis di atas meja Club. Namun Sarah membiarkannya. Karena orang-orang disini pun kebanyakan sama dengannya. Menangisi hidup mereka yang berat. Dan akhirnya memilih melupakan masalah mereka di tempat haram ini.
"AKU CINTA KAMU, EDWIN!" Diana tiba-tiba saja berteriak. Namun suara musik yang sangat keras dan sibuknya pengunjung dengan urusan masing-masing membuat Diana tak mendapatkan sedikitpun tatapan. Wanita itu benar-benar bisa meluapkan semua keluh kesahnya tanpa ada cacian karena kebisingan yang dirinya buat.
Melihat Diana yang sudah benar-benar teler, Sarah kemudian berdiri dari duduknya. Wanita itu sempat oleng sebentar karena pengaruh alhokol. Kemudian dengan segenap tenaga, Sarah meletakkan tangan Diana ke atas bahunya. Membopongnya dan berusaha membawa keluar sebentar dari pusat Nelson Club.
Sarah bertujuan untuk meletakkan Diana sebentar di dalam kamar yang sudah di sediakan. Baru setelah Sarah puas bermabukan, wanita itu akan menghantarkan Diana pulang.
Dengan sisa kesadaran dan tenaga yang Sarah miliki. Sarah berjalan menuju sebuah lorong. Melewati lautan manusia yang saling berjoget ria. Bahkan mereka tanpa peduli menyenggol Sarah kesana kemari hingga membuatnya hampir saja tersungkur.
Setelah keluar dari lautan manusia gila, Sarah akhirnya tiba pada sebuah lorong dengan penuh kamar. Wanita itu segera meminta kunci pada penjaga. Menyerahkan kartu debitnya untuk membayar, dan segera membawa Diana yang tampak masih bergumam tak jelas di sampingnya.
"Edwin ... aku men-Hik! Mencintaimu," gumam Diana tak lupa dengan cegukannya.
"Edwin ... aku cantik. Aku jago masak. Aku juga selalu menuruti kemauanmu ... namun mengapa kau tetap menghianatiku?" imbuh Diana dengan tangis yang mulai semakin kencang.
Sarah yang sudah membuka pintu kamar miliknya merotasikan mata mendengar gumaman Diana tentang Edwin.
Dengan segera Sarah meletakkan Diana pada kasur yang telah tersedia. Wanita setengah mabuk itu menarik tangan Diana. Membuat kaki Diana yang tadinya belum berada di atas kasur kini sudah sepenuhnya berada di atas kasur.
Setelah semua tubuh Diana berada pada kasur, Sarah mengambil selimut yang berada di samping bantal. Wanita itu meletakkannya di atas tubuh Diana. Menutupi tubuh Diana yang berpakaian minim bahan. Hingga saat mabuk, dress wanita itu sampai naik-naik. Btw, itu pakaian pilihan Sarah.
"Aku akan kembali lagi nanti."
Setelah memastikan Diana sudah nyaman. Sarah dengan segera berjalan keluar. Wanita itu sempat sempoyongan. Menabrak Pintu. Kemudian mengutuk benda mati yang tidak bersalah itu.
Sarah mengunci pintu kamar tempat dimana Diana berada dalam pandangan yang tak fokus. Kemudian dengan segera wanita itu berjalan pergi. Tanpa memastikan, apakah pintu sudah benar-benar terkunci.
***
"Dasar manusia jahat!" umpat Diana yang ditujukan untuk Edwin. Wanita itu yang tadinya berbaring segera terduduk. Melemparkan selimutnya ke sembarang tempat. Dan dengan tergesa-gesa berusaha turun dari kasur. Namun naas, dirinya justru terjatuh karena tubuhnya yang memang sudah lemas akibat alhohol.
"Jahat ...," tangis Diana di lantai.
Diana kembali cegukan. Wanita itu melengkungkan bibirnya kebawah. Membuat ekspresi sedih.
"Kamu kira kamu doang yang bisa selingkuh?! Aku juga bisa!" raung Diana.
Wanita itu berdiri. Dengan sempoyongan menuju ke arah pintu. Membuka pintu dengan tenaga yang ia punya.
"Kenapa dunia terus berputar! Aku pusing!" pekik Dian saat jatuh kembali setelah membuka pintu.
Dengan bersusah payah Diana kembali berdiri. Wanita itu berpegangan dengan tembok. Kemudian mengedarkan pandangan pada lorong yang cukup sepi.
"Hik! ... aku mau cari pria yang lebih hot dari kamu, Edwin." lagi-lagi kalimat Diana diiringi dengan cegukan.
Diana tersenyum layaknya orang gila saat melihat seorang pria yang tampak bercumbu dengan wanitanya tak jauh dari posisi Diana sekarang. Dengan segera, masih berpegangan pada tembok, Diana menghampiri mereka tanpa rasa malu. Rasa malu serta akalnya sudah pergi bersama. Kini, Diana sepenuhnya terkendalikan dengan alkohol.
Setelah bersusah payah, Diana akhirnya bisa mendekati keduanya yang tidak menyadari kehadiran Diana. Masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dimana sang wanita yang terhimpit tembok tampak menciumi leher sang pria yang mengkungkungnya. Walau pria lawan mainnya hanya terdiam saja.
"Hei pria tampan ... mari bersamaku!"
Segera saja, suara Diana menghentikan kegiatan mereka. Sekarang, perhatian mereka beralih pada Diana yang tersenyum dan menatap dalam pandangan sayu.
"Aku ... aku bisa memuaskanmu. Ayo bersamaku! Akan aku buktikan pada Edwin, bahwa aku juga bisa berselingkuh!" ucap Diana ngawur. Lagi-lagi dirinya cegukan. Membuat wanita dan pria itu dengan segera tau bahwa wanita gila yang berada di hadapannya sedang terpengaruh alkohol.
"Ah, lama!"
Dan setelah kalimat merajuk itu, Diana dengan segera menarik pria asing yang berada di hadapannya, yang sedang menatapnya datar, untuk masuk dalam sebuah ciuman.
Diana segera menggerakkan mulutnya. Melumat habis bibir pria asing dihadapannya. Yang tak membalas satupun ciuman tak beraturan milik Diana. Membuat Diana sendiri yang beringgas melahap mulut itu.
"Ehngg ...," Diana mulai mendesah kala merasakan, pria yang tadinya diam saja mulai membalas ciumannya. Kini, tangan pria asing tadi berada pada pinggang dan tengkuk Diana. Memperdalam ciuman dengan Diana. Membuat Diana yang berada dalam pergumulan itu merasakan pusing saat merasa nafasnya mulai habis.
Hampir saja Diana akan benar-benar pingsan jika ciuman itu tidak segera dilepaskan oleh pria didepannya. Untung saja, ia nampak peka dengan keadaan Diana. Ciuman itu segera berakhir dengan terjalinnya air liur di antara mereka.
"Pergi!" perintah dingin dari pria yang saat ini memeluk Diana erat kepada wanita yang tadi sempat menggerayanginya.
Wanita yang berprofesi sebagai penghibur tempat ini menampilkan raut tak suka. Terlebih, pelanggan ini bukanlah orang biasa. Dia bisa mendapatkan uang yang besar.
"Aku tidak mau!" tolaknya. Tak ingin melepaskan tangkapan besar malam ini.
Wanita itu melirik Diana yang terlihat lemas dalam pelukan pria itu dengan tajam, "Pokoknya malam ini tuan hanya bersamaku!" tekadnya. Dia hendak mengambil Diana dari pelukan sang lelaki. Sebelum dengan kasar, ia terdorong keras. Hingga membentur tembok di sampingnya. Dengan segera, wanita itu meringis sakit.
"Pergi dengan segera sebelum aku berubah pikiran dan melenyapkanmu dari dunia ini."
Ancaman dari sang lelaki membuat wanita itu menelan ludahnya takut. Dengan segera dia berdiri. Kemudian menundukkan tubuhnya. Meminta maaf pada lelaki dihadapannya.
"Maat tuan, saya sudah berlebihan. Saya minta maaf." akunya dengan suara bergetar ketakutan.
"Go away!"
Mendengar perintah dingin itu. Sang wanita dengan segera menegakkan tubuhnya. Kemudian membalikkan badan, dan segera berlari menjauh. Meninggalkan Diana sepenuhnya dengan lelaki yang sebelumnya adalah pelanggannya.
Setelah kepergian wanita sewaannya. Lelaki itu kemudian merogoh saku di jasnya. Mengeluarkan kunci untuk kamar yang berada di depannya. Membuka pintu itu dan membawa Diana masuk. Sebelum kemudian kembali menguncinya agar kegiatan pribadinya tidak terganggu.
Diana yang sedang mabuk terus menerus mengumpati Edwin. Tidak mengetahui bahwa dirinya, sedang dalam bahaya.
Diana dilemparkan ke kasur begitu saja setelah Zerkin—pria asing yang Diana cium—mengunci pintu. Setelahnya, tanpa menunggu waktu lama, Zerkin mulai membuka satu persatu baju miliknya. Tuxedo mahal berwarna hitam yang memang sedari awal sudah berantakan ia tanggalkan dengan mudah. Diikuti dengan tangan kekar Zerkin yang menarik dasi miliknya hingga ikatan rapi itu terbuka. Dan terakhir, dengan tergesa-gesa Zerkin merobek kemeja putihnya sendiri. Terlalu tidak sabaran dengan begitu banyaknya kancing. Sampai pada celana terakhir miliknya. Zerkin tak pernah melepaskan pandangan sedetikpun dari Diana. Ia bagai seorang pemangsa. Setelahnya Zerkin naik ke atas kasur. Tangannya mengukung Diana yang tak tau, betapa dalam bahayanya dirinya.Pria itu memandang wajah Diana yang tampak sangat polos dan menggoda secara bersamaan. Membuat dirinya benar-benar ingin menghujami Diana dan membuat wanita yang berada di bawahnya menjadi miliknya.Tangan besar Zerkin menyentuh wajah Diana yang kemerahan
Tubuh itu masih terlelap dalam mimpi. Walau disediakan kasur yang empuk, si empu justru memilih tergeletak pada lantai marmer putih yang dingin. Bersama selimut berantakan yang tergulung di badannya.Waktu sudah menunjukan pukul 10 siang. Cahaya matahari mulai merembes dari gorden jendela. Yang akhirnya membuat tubuh di lantai itu bergerak tak nyaman saat merasakan silau pada wajahnya. Akhirnya, Wanita dengan pakaian minim bahan dan juga rambut yang berantakan membuka matanya. Wajahnya sangat sayu dan kucel. Bahkan iler sudah membentuk dari sudut bibirnya yang tertidur dengan mulut terbuka.Sarah menguap lebar dan merenggangkan tangannya ke atas. Matanya mulai terbuka perlahan. Dan otaknya dengan perlahan mengumpulkan nyawanya yang berceceran. Tangan Sarah bergerak ke sudut bibirnya. Kemudian mengelap air liurnya.Setelah selesai merenggangkan tubuhnya. Dan merasakan kesadaran yang mulai kembali. Sarah segera dilanda pusing. Efek tadi malam yang tidak bisa mengontrol dirinya saat memin
"Tidurlah denganku."Itu sebenarnya hanya kalimat acak yang Zerkin plih untuk menggoda wanita di depannya. Namun tak Zerkin sangka, respon wanita itu akan sebrutal sekarang. Maksud Zerkin adalah, Diana menamparnya. Sungguh keras hingga suara tamparan itu berdengung dalam kamar yang mereka huni. Wajah Zerkin pun sampai menoleh ke samping. Sial, ini perih."Kau pikir aku apa?!"Dan kemudian, belum cukup dengan tamparan itu. Diana membentak Zerkin dengan amarah yang menggebu-gebu. Wajah Diana memerah, menahan marah juga tangis."Dasar lelaki m*sum!" teriak Diana kembali.Kini dirinya dengan brutal memukul dada Zerkin. Sekuat tenaga disertai lontaran hinaan untuk Zerkin."He-hei tenang! aku hanya bercanda!"Namun Diana seperti tak mendengar kalimat itu. Dirinya tetap terus memukul dada Zerkin. Hingga Zerkin bergerak mundur untuk menghindari tangan Diana yang tanpa henti pada tubuhnya. Namun sayang, dirinya justru tersandung hingga terjatuh dan membuat Diana terduduk di atas tubuhnya."Dasa
"Gila, banyak banget cupangnya!"Setelah menjelaskan semua hal yang terjadi kepada Sarah, wanita itu bukannya merasa bersalah karena telah membiarkan sahabatnya hampir saja diperk*sa. Dia justru nampak berbinar dan antusias melihat semua bekas gigitan yang memerah pada leher Diana. "Diem, deh!" Diana memberenggut sebal.Sarah justru tertawa. Wanita itu kemudian menatap kembali ke arah Diana yang menatapnya sebal. Kemudian Sarah menaikkan satu alisnya, "Ganteng nggak?""Apanya?!" balas Diana menghindari jawaban."Dih, ya mukanya lah!"Diana diam. Tak berniat untuk menjawab. "Woi! Gimana? Ganteng nggak?!" tanya Sarah lagi.Diana berdecak sebal, "Dikit!" tak ingin mengakui ketampanan dari pria menyebalkan itu.Dan dengan segera ingatan Diana kembali di saat dirinya tanpa sengaja mengagumi paras pria itu. Bagaimana dirinya yang membeku sesaat. Bagaimana wajahnya saat berada di atas Diana. Dan bagaimana tubuh kekar itu mengungkungnya di antara pintu.Diana dengan segera menutupi wajahnya
Edwin mengeryitkan dahinya kala mendengar suara alarm yang menganggu tidurnya. Dengan refleks tangan itu mencari sumber suara. Meraba meja yang berada di samping ranjang dan mengambil ponsel miliknya.Segera ia mematikan alarm. Kemudian melihat jam yang berada di ponsel. Pukul 7 pagi.Tangan itu meletakkan kembali ponsel pada posisi semula. Kemudian dirinya menggosok matanya perlahan. Berusaha menghilangkan kantuk dan mengumpulkan nyawanya yang belum sepenuhnya terkumpul.Saat merasakan adanya sesuatu yang memeluk perutnya, mata Edwin berpaling pada samping ranjang. Dan dia menemukan seseorang yang selama dua tahun ini telah menghabiskan malam panjang bersamanya.Marley Anabelly.Wanita cantik berumur 27 tahun dengan status yang masih lajang. Sangat berbeda dengan Edwin yang sudah memiliki istri. Umur mereka hanya terpaut satu tahun saja.Marley adalah cinta pertama Edwin semasa SMA nya. Mereka telah berpacaran kurang lebih empat tahun. Hingga sampai semester dua perkuliahan Edwin, hu
Semilir angin musim panas tak dapat meredakan rasa dingin yang menimpa Diana. Gugup menyebar membuat jari Diana saling gemetar. Lamarannya diterima. Dan sekarang Diana sedang berdiri di depan perusahaan tempat di mana suaminya bekerja untuk melakukan proses Interview.Diana sebelumnya dengan percaya diri mengatakan akan diterima. Namun saat sudah berada disini, nyali Diana kemarin entah menguap kemana. Perusahaan ini sangat besar. Terdiri dari 40 lantai. Dan terlihat banyak orang yang berlalu lalang meggunakan pakaian formal yang tampak berkelas. Wajah mereka saja seperti manusia cerdas.Diana memang sebelumnya adalah lulusan Cumlaude pada Universitas nomor satu di Jakarta progam studi Akuntansi. Dirinya bekerja hanya satu tahun kemudian menikah dengan Edwin. Diana takut pengalamannya yang kurang akan membuatnya gagal."Ya Tuhan, permudahkanlah urusan hamba." Doa Diana sebelum dengan perlahan melangkah masuk ke dalam gerbang. ***"Terima kasih, Mrs. Diana. Saya akan mengirimkan hasil
"Kamu nginep lagi, 'kan?" Marley bertanya kepada Edwin saat keduanya dalam perjalanan pulang. "Enggak bisa. Aku udah tiga hari nggak pulang." balas Edwin sembari masih fokus pada jalan raya di depannya. Mendengar balasan yang tidak sesuai keinginan Marley, ia mendengus sebal. "Nginep satu hari lagi emang nggak bisa?" bujuknya lagi. Edwin menekan rem saat mereka sampai pada depan Apartemen milik Marley. Lelaki itu kemudian memandang Marley yang saat ini sedang dalam mode marahnya. "Besok lagi, ya." tenangnya sembari mengelus kepada Marley. "Makanya cepat cerai." Mendengar itu Edwin sejenak menghentikan belain pada rambut Marley. Marley yang merasakan adanya perubahan pada raut wajah Edwin ikut memincingkan matanya curiga. "Kenapa?" tanyanya menuntut. "Aku janji secepatnya." Bibir Marley mencibir singkat. Ia melepaskan seatbelt miliknya sembari menggerutu. "Secepatnya, secepatnya. Dari dua tahun lalu juga bilangnya gitu." Setelah itu, Marley keluar dari mobil Edwin dengan mem
Pagi harinya setelah menyiapkan sarapan untuk Edwin dan keperluan untuk berangkat kerja, Diana dengan segera memanggil Sarah untuk memberitahukan perihal berita bahagianya."Hah? Beneran?! Kamu di terima jadi staff akuntan di ASP?!"Suara Sarah menggelegar walau hanya melalui telefon. Membuat Diana harus menjauhkan ponsel miliknya dari kuping agar gendang telinganya tak rusak. Sembari membereskan sarapan yang telah Edwin makan, Diana menjawab, "Aku pun terkejut. Padahal aku hanya mempunyai pengalaman satu tahun saja," "Ini pasti atas kehendak Tuhan. Dia lelah menyaksikan kamu yang tidak melakukan apapun melihat suamimu berselingkuh." Diana tertawa kecil mendengar itu. "Jadi, kapan kamu mulai bekerja?" tanya Sarah. "Besok." "Oh, besok ...," "Hah, besok??!" Suara Sarah kembali melengking keras. Membuat Diana harus menjauhkan ponselnya kembali. "Cepat sekali??!" tanya Sarah tak percaya. Diana kembali mendekatkan ponsel itu pada telinganya, "Entahlah. Mereka sepertinya membutuhka