Diana dilemparkan ke kasur begitu saja setelah Zerkin—pria asing yang Diana cium—mengunci pintu. Setelahnya, tanpa menunggu waktu lama, Zerkin mulai membuka satu persatu baju miliknya. Tuxedo mahal berwarna hitam yang memang sedari awal sudah berantakan ia tanggalkan dengan mudah. Diikuti dengan tangan kekar Zerkin yang menarik dasi miliknya hingga ikatan rapi itu terbuka. Dan terakhir, dengan tergesa-gesa Zerkin merobek kemeja putihnya sendiri. Terlalu tidak sabaran dengan begitu banyaknya kancing.
Sampai pada celana terakhir miliknya. Zerkin tak pernah melepaskan pandangan sedetikpun dari Diana. Ia bagai seorang pemangsa.Setelahnya Zerkin naik ke atas kasur. Tangannya mengukung Diana yang tak tau, betapa dalam bahayanya dirinya.Pria itu memandang wajah Diana yang tampak sangat polos dan menggoda secara bersamaan. Membuat dirinya benar-benar ingin menghujami Diana dan membuat wanita yang berada di bawahnya menjadi miliknya.Tangan besar Zerkin menyentuh wajah Diana yang kemerahan akibat mabuk. Wanita itu nampak nyaman dengan sentuhan Zerkin di wajahnya. Membuat tangan Diana refleks memegang tangan yang berada di wajahnya."Hangat ...." lirih Diana. Membuat Zerkin yang berada di atasnya nampak tersenyum kecil."Benarkah begitu?"Diana tak menjawab. Dirinya hanya terus terpejam dan menikmati sentuhan hangat dari tangan milik Zerkin. Tangan Diana kemudian membawa tangan pria itu yang tadinya berada di wajahnya menjadi di pelukannya. Membuat Zerkin yang berada di atasnya melihat dalam intens, tangannya yang sekarang berada di dada Diana."A-aku ... Hik!" Diana kembali cegukan diantara ocehannya."Aku sedih ... suamiku, selingkuh dariku." Mata sayu Diana memandang pria di atasnya sendu. Bibir wanita itu melengkung ke bawah"Menurutmu ... apakah aku kurang cantik?" tanya Diana racau.Zerkin yang berada di atasnya tertawa kecil. Melihat wajah Diana yang cemberut begitu lucu di matanya."Dimataku, kamu wanita paling indah," balas Zerkin. Tangan satunya pria itu mulai nakal. Masuk dalam Dress Diana yang pendek. Merabanya dalam gerakan s*nsual.Zerkin memberikan smirk saat melihat Diana yang nampak menikmati sentuhannya. Wanita itu terpejam, "Jadi cantik, siapa namamu, hm? Tidak baik bercinta tanpa mendesahkan nama masing-masing."Diana mengeratkan pegangan pada tangan pria itu dikala merasakan sensasi menyenangkan dari sentuhannya ,"A-aku ... engh ... St-stop ...."Zerkin tak memperdulikan rengekan Diana. Dirinya justru semakin gencar menggodanya."Siapa namamu?" tanyanya sekali lagi.Butuh beberapa saat untuk mendapatkan jawaban dari Diana. Namun saat mendengar satu nama yang muncul dari bibir mungil di hadapannya. Pria itu menaikkan kurva bibirnya keatas. Membentuk seringai puas."Diana ... ah! namaku Diana."Kepala Zerkin mendekat. Menempelkan bibirnya pada Diana. Menciumnya lembut. Yang kemudian ciuman itu semakin intens. Melakukan perang lidah masing-masing.Diana yang sejatinya bukan pencium handal kesusahan dalam mengimbanginya. Membuat entah mengapa, semakin menaikkan gairah milik Zerkin. Sejujurnya, dirinya paling membenci saat partner bercintanya tak lihai sama sekali. Namun sepertinya ia akan membuat pengecualian untuk wanita yang beberapa menit lalu ia temui.Diana memukul dada Zerkin saat dirasa pasokan oksigennya mulai menipis. Membuat akhirnya ciuman panas itu terputus. Meninggalkan jalinan air liur diantara keduanya.Dengan lembut, sang pria mengusap bibir wanita di depannya. Kemudian bibir tipisnya membuka. Mengucap namanya sendiri, "Zerkin. Ingat itu Diana."Zerkin kemudian merobek dress minim bahan milik Diana. Membuat wanita yang berada di bawahnya sempat tersentak. Sebelum kemudian kembali bergumam tak jelas. Alarm bahaya wanita itu mati karena pengaruh alkohol.Kini Dress minim yang dipakai Diana sudah tak berbentuk lagi. Berubah menjadi potongan kain tak berguna. Meninggalkan Diana yang hanya memakai Bra dan celana d*lamnya saja.Zerkin kembali mencium Diana. Kali ini tak lagi di bibirnya. Namun leher wanita itu. Memberikan tanda kepemilikan pada wanitanya.Hisapan di leher Diana tadinya lembut berubah seiring waktu. Kini menjadi gigitan yang tergesa-gesa. Seperti tak ada waktu esok untuk mencumbu Diana.Diana tak nyaman. Wanita itu mulai menggerakkan tangan miliknya untuk mengusir Zerkin dari lehernya. Namun tangan kanan pria itu dengan cepat menangkap penganggu kegiatannya. Memegang kedua tangan mungil Diana dengan hanya satu tangannya. Menahannya di atas kepala Diana. Dan tangan kiri Zerkin, mulai menyusup pada bawah tubuh Diana. Mencoba melepaskan bra milik Diana."Engg ... Stop ... Aku ... aku tak kuat." pinta Diana saat merasakan adanya sesuatu yang ingin keluar dari tubuhnya.Jelas, Zerkin tak akan menghentikan kegiatannya. Dirinya semakin gencar menggoda tubuh Diana. Alunan suara Diana benar-benar membuatnya lebih bergairah."Ahh! Zer-zerkin ...."Mendengar namanya disebut. Zerkin menghentikan kegiatannya. Terkejut betapa indahnya nama dirinya saat keluar dari bibir Diana. Pria itu dengan segera memandang Diana yang tampak terengah-engah."Aku ... benar-benar akan menjadikan dirimu milikku." bisik Zerkin pelan. Matanya berkilat memandang pada satu titik fokus, Diana.Pria itu akan melanjutkan kembali kegiatannya. Hendak melepas helai terakhir pada tubuh Diana. Namun, wanita di bawahnya tiba-tiba saja bergerak ke pinggir kasur. Seketika, terdengar suara muntahan."Huek...! Huek ...!"Wanita itu muntah.Setelah benar-benar mengeluarkan isi perutnya. Diana pingsan. Meninggalkan Zerkin sendirian dengan kebanggaannya yang masih berdiri.Dia bahkan belum sempat ... ah sudahlah.Dengan hembusan nafas pelan. Zerkin turun dari kasurnya. Pria itu menatap wajah Diana yang tertidur. Kemudian mengelus rambut wanita itu. Terakhir mengambil selimut dan menutupi sepenuhnya tubuh telanjang milik Diana.Sepertinya, Zerkin harus bersama air dingin malam ini.Melihat bekas muntahan Diana. Zerkin berniat untuk memanggil petugas kebersihan. Namun nanti, setelah dirinya selesai dengan urusan menidurkan Zerkin junior kembali.Betapa menyebalkannya. Padahal dia sedang tinggi-tingginya.***Sarah berjalan terhuyung-huyung menuju kamar tempat terakhir kali ia meninggalkan Diana. Dirinya berjalan dengan memegang tembok di sampingnya agar tak terjatuh sebab sakit kepala serta pusing yang menderitanya.Saat sampai pada kamar nomor 10. Sarah mengerutkan kening bingung. Mata miliknya yang setengah terpejam akibat mabuk berusaha memfokuskan pandangan pada nomor pintu. Takut dirinya salah lihat. Namun itu memang nomor 10.Tapi ... mengapa pintunya terbuka? Bukankah tadi terakhir kali Sarah menguncinya?Dengan bersusah payah Sarah memasuki kamar tersebut. Kemudian menutup pintu pelan. Dirinya menatap kasur yang berantakan serta selimut yang tergeletak di lantai. Tanda bahwa sebelumnya kamar ini ada penghuninya,"Diana? Lo di-hik! Di mana?" Sarah cegukan di antara ucapannya.Dirinya memandang sekeliling. Kemudian mata Sarah menangkap kamar mandi yang berada di pojok ruangan.'Mungkin Diana ada disana.' pikirnya.Sarah melangkah maju dengan masih terhuyung. Dirinya hendak berjalan ke kamar mandi. Memastikan apakah ada Diana. Namun sebelum dapat melangkah lebih jauh, selimut yang berada di lantai terpijak oleh kakinya. Membuat licin sehingga tubuh yang memang sudah lemas itu terjatuh.Buk!Namun bukannya segera bangkit dan lanjut mencari sahabatnya. Sarah justru memeluk selimut itu. Menyamankan diri kemudian segera terlelap akibat kelelahan. Melupakan sahabatnya yang sedang ia cari.Dirinya pasti akan panik di pagi harinya.Jika kalian pikir dengan semua ancaman Edwin, Marley akan menyerah, kalian semua salah. Setelah dicekik, hampir tertabrak mobil, dan semua kata penuh nada amarah yang telah Edwin lontarkan, Marley masih tetap berani. Jika bertanya apa alasannya, Marley akan dengan keras mengucapkan bahwa dia mencintai Edwin. Dia tidak rela jika Edwin tiba-tiba lepas darinya tanpa alasan yang jelas. Dan Marley tetap yakin bahwa ... bahwa Edwin akan kembali kepadanya. Pasti. "Minumnya, Nona?" Suara seseorang membuyarkan lamunan Marley. Marley segera mengalihkan pandangan yang tadinya terfokus pada Edwin ke seseorang yang berpakaian seperti pelayan. Memegang nampan berisi berbagai alkohol yang ia bawa berkeliling dan ditawarkan pada semua tamu. Marley mengambil satu gelas tanpa mengatakan apapun. Kemudian kembali memandang Edwin sembari meminum minuman itu. Malam ini adalah malam kedua mereka di Bali. Dan saat ini, Marley serta Edwin sedang menghadiri pesta perayaan atas suksesnya pembangunan resort
Sekarang sudah waktunya pulang bekerja. Dan Kalyani benar-benar merasa takjub, kagum, dan tidak percaya dengan apa yang dirinya alami. Karena, semua orang divisi keuangan benar-benar diam membisu! Dari awal Kalyani kembali dari restoran itu, hingga pulang bekerja, mereka benar-benar diam tidak berbicara. Dan sekarang pun, saat membereskan meja dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang, situasi masih sama. Merasa terlalu pusing memikirkan hal aneh itu, Kalyani segera membereskan barang-barang miliknya. Sesudah selesai, dirinya segera berjalan ke arah meja Diaa. "Kak Diana ngerasa aneh nggak si?" tanya Kalyani ketika sampai di samping Diana. Menunggu wanita itu membereskan barang-barangnya. Diana menghentikan kegiatannya dan memandang Kalyani bingung. "Aneh kenapa?" "Aku merasa, bukankah divisi kita terlalu sepi, 'Kak? Mereka benar-benar diam dan tidak menggosip seperti biasanya." Kalyani menerangkan pada Diana yang tampak tidak peka dengan keadaan sekitar. Mendengar itu, Dian
Kalyani merasa makanan yang baru saja masuk di perutnya adalah makanan paling enak. Bumbunya begitu terasa pas dan daging itu begitu lembut ketika menyentuh lidah Kalyani. Kalyani akan menambahkan restoran tersebut sebagai restoran favoritnya. Kalyani dan Diana sekarang sedang berjalan kembali ke divisi mereka. Dan seperti hari-hari biasa, karena kalyani berjalan bersama Diana, maka dari itu gosip tidak pernah lepas saat mereka melewati pegawai lain. Namun kali ini Kalyani bisa merasakan tatapa mereka yang menyimpan rasa tidak suka pada Diana. Bahkan mereka dengan terang-terangan melirik sinis Diana. Kalyani dengan segera menggandeng tangan Diana. Membuat Diana menoleh ke arahnya. Dan Kalyani memberikan senyum lebar. Seakan mengisyaratkan, "Aku ada di sini, Kak. Kakak tenang saja." Akhirnya setelah perjalanan horor penuh mata sinis, mereka sampai juga di divisi keuangan. Namun berbeda dengan divisi lain, divisi mereka justru sangat ... sunyi. Diana sepertinya tidak menyadarinya.
Kalyani dan Diana akhirnya sampai pada restoran yang Kalyani katakan menjual kelinci bakar dengan rasa sedap. Segera setelah mereka memesan, mereka memilih tempat duduk di pinggir jendela. Hingga dapat melihat pemandangan padatnya ibu kota dengan orang yang berlalu-lalang. "Maafkan aku karena melibatkanmu, Kalyani." Diana merasa bersalah ketika wanita itu selalu terseret dalam masalahnya. Namun Kalyani sepertinya tidak masalah. Dia justru tersenyum lebar ke arah Diana. "Tidak masalah, Kak. Aku senang bisa membantumu. Karena kau tahu, aku tidak memiliki teman selain Kak Aria." Walau Kalyani mengatakan itu, tetap saja Diana merasa tidak enak. Andai Zerkin sudah tidak mengejarnya lagi. Andai Diana bisa hidup tenang selama ia bekerja. Diana hanya menginginkan itu. Sekarang, Edwin sudah berubah. Rasanya Diana sangat senang. Namun ketika masalah satu selesai, masalah lain justru datang. Suara dering ponsel milik Diana terdengar. Menandakan adanya pesan masuk. Segera Diana mengambil ben
"Terima kasih atas kerjasamanya, Mr. Edwin dan Mrs. Marley. Saya pamit undur diri." Klien yang baru saja Edwan dan Marley temui, Mr. Adipta memberikan ulasan senyum pada keduanya. "Terima kasih juga, Mr. Adipta." Edwan membalas kembali senyum untuk menghormati Mr Adipta. Marley yang berada di sampingnya juga memberikan hal yang sama. Mengulas senyum sopan walau di dalam hatinya masih mengingat momen di mana ia hampir saja terlindas oleh mobil. Mr. Adipta memandang mereka berdua. Kemudian memberikan pertanyaan yang membuat Marley menyunggingkan senyum lebar. "Apakah kalian sepasang kekasih?" tanyanya. Namun segera, Edwan bersuara dengan suara yang tidak suka. "Saya sudah memiliki Istri, Sir. Dan dia bukan orang yang berada di sebelah saya." Mr. Adipta segera merasa tidak enak ketika melihat senyum lawan bicaranya sudah hilang. Segera dirinya meminta maaf. "Ah, maafkan aku, Mr. Edwin." Edwan berusaha memaksakan senyum. Teringat bahwa orang di depannya adalah klien penting. "Tidak m
Maya dan ketiga teman divisinya segera berlari terbirit-birit dari ruangan horor itu. Terlebih setelah di bentak oleh Zerkin, orang yang notabenya jarang menaikkan volume. CEO mereka itu lebih banyak berkata datar. Saat keluar, segera mereka berempat menjadi pusat perhatian. Karena entah sejak kapan, devisi di depan ruangan Oliver manjadi sangat banyak orang. Maya dapat melihat Rebecca yang melakukan copy data di printer pojok. Padahal ruangan dia ada printer tersendiri. Kemudian ada 2 orang OB. Yang satu menyapu hingga lantai sangat mengkilap. Satunya menggosok jendela yang tidak kotor. Banyak juga karyawan yang membereskan dokumen padahal dokumen itu sudah sangat rapi hingga warnanya pun di samakan. Astaga, tidak bisakah mereka lebih pintar berakting? Maya segera melihat kumpulan wanita yang berpura-pura mendiskusikan pekerjaan melambai kepadanya. Menyuruhnya mendekat. Karena tahu mereka pasti penasaran. Maya yang selalu senang menggosip dengan segera mendekati mereka. Diikuti deng