Share

Berhenti Berjuang?

“Kak, bagaimana? Apa biaya sekolahku sudah ada?” tanya seorang perempuan yang menyambut kepulangan Rama.

Rama tersenyum dan mengangguk di depan adiknya. Meski ia belum memegang uang itu, tetapi ia tidak ingin membuat adiknya bersedih.

“Kamu tenang saja, Hana. Kakak akan usahakan,” ujar Rama.

“Kak, jika uangnya tidak ada, tidak masalah. Lusa adalah hari terakhir bayaran, jika memang uangnya belum ada maka aku sudah siap untuk berhenti sekolah. Aku tidak ingin merepotkan Kakak terus,” ucap Hana.

“Kakak tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Kakak janji untuk membayarkan biaya itu besok. Kamu adalah tanggung jawab Kakak, kamu seperti ini karena Kakak. Jadi, apa pun yang menyangkut kehidupanmu, maka itu urusan Kakak,” jelas Rama.

“Kak, kehidupan kita berubah sejak ....”

Rama meletakkan jari telunjuknya di depan mulut Hana agar adiknya itu tidak melanjutkan ucapannya.

“Sudah, kamu masuk kamar dan istirahatlah! Kakak juga sudah mengantuk dan ingin segera tidur setelah menyelesaikan tugas-tugas Kakak,” ucap Rama.

Hana hanya mengangguk, setelahnya Rama pun pergi lebih dulu memasuki kamarnya.

Di sana ia duduk di atas kasur, ia memikirkan tawaran yang Mawar berikan tadi. Ia belum sepenuhnya setuju dengan tawaran tersebut, ia masih bimbang dengan dirinya sendiri.

“Biar bagaimanapun aku membutuhkan uang itu, aku tidak mungkin mendapatkan uang sebanyak itu dengan cara lain. Hanya dengan bekerja sama dengan Bu Mawar aku bisa mendapatkan uangnya. Tapi, bagaimana aku bisa menahan diriku?”

“Aku tetaplah seorang lelaki dan aku memiliki nafsu. Aku harus tinggal bersama dengannya, bahkan tidur bersama dengannya. Namun, aku dilarang melakukan apa pun, jika aku tidak bisa menahan diriku maka dia bisa saja menuntutku. Pernikahan itu hanya pura-pura, tidak akan ada cinta di dalamnya.”

Rama mengacak-acak rambutnya. Ia merasa tidak sanggup untuk melakukan syarat yang Mawar berikan.

Melihat dirinya selama ini yang bertindak selayaknya laki-laki pada umumnya, ia tidak yakin ia bisa menahan dirinya.

“Selain karena nafsuku yang mungkin sulit untuk aku kendalikan, aku juga tidak mungkin menikah dengan perempuan yang usianya lebih tua dariku. Aku masih kuliah, akan sangat memalukan jika teman-temanku tau aku menikah dengan seorang janda,” gumam Rama.

Tok ... tok ... tok....

Suara ketukan pintu membuat Rama menoleh, saat itu adiknya membuka pintu dan membawakan minuman untuknya.

“Aku buatkan kopi untuk menemani Kakak mengerjakan tugas,” ujar Hana seraya meletakkan kopi tersebut di sebuah meja.

Rama mengangguk dan tersenyum pada adiknya yang penuh perhatian itu.

“Kak, aku tidak sengaja mendengar ucapan Kakak tadi, apa Kakak mau menikah?” tanya Hana.

Rama yang mendengar hal itu tersentak, ia tidak menyangka adiknya mendengar ucapannya tadi.

“Apa kamu akan terima jika Kakak menikah dengan perempuan yang sudah memiliki anak sebelumnya?” tanya Rama.

“Aku terima apa pun keputusan Kakak. Namun, aku sangat berharap agar Kakak tidak mengabaikan anak itu, meski bukan anak kandung Kakak. Kakak tau rasanya dicampakkan, maka jangan membuat orang lain merasakan hal itu juga, ya,” ujar Hana. “Tapi, kalau boleh aku tau, kenapa Kakak tiba-tiba ingin menikah cepat? Dengan seorang janda pula?”

Rama terdiam, tidak mungkin ia memberitahukan yang sesungguhnya pada adiknya jika itu ia lakukan untuk mendapatkan uang.

“Kakak menyukai anaknya dan Kakak ingin membantunya agar bisa mendapatkan keluarga yang utuh. Kakak ingin membantu keluarga kecil itu,” jawab Rama.

“Semua keputusan ada di tangan Kakak. Selama ini aku mengikuti ucapan Kakak dan aku percaya pada apa pun yang Kakak putuskan. Aku tau kalau Kakak selalu mengusahakan yang terbaik untuk kehidupan orang-orang yang Kakak sayangi,” ujar Hana.

“Terima kasih atas masukanmu, sekarang kamu tidur sana!” suruh Rama.

Hana mengangguk, lalu ia keluar dari kamar kakaknya itu. Meski dalam hatinya masih banyak pertanyaan, tetapi ia mengerti jika saat ini kakaknya tidak mau terlalu banyak cerita kepadanya.

Sementara Rama masih dalam posisinya yang duduk dengan raut wajah bingung.

“Selama ini aku sudah mengorbankan segalanya untuk Hana, akan sangat disayangkan jika aku berhenti pada perjuangan itu sekarang. Aku harus terus berjuang, demi kehidupan Hana yang sudah aku janjikan untuk jadi lebih baik.”

***

“Yang mana kontrakannya?” tanya Mawar pada Sarah yang menyetir mobilnya kala itu.

“Nomor 37, selang satu kontrakan dengan kontrakan tempat aku tinggal,” jawab Sarah.

“Apa dia sudah lama tinggal di sana? Dengan siapa saja dia tinggal?” tanya Mawar.

“Dia baru pindah kira-kira 3 bulan lalu, dia tinggal bersama dengan adiknya, hanya berdua saja,” jawab Sarah.

“Apa selain dia berkuliah dia juga sering bekerja sambilan, menjadi seorang MC atau semacamnya?” tanya Mawar.

“Setau aku dia selama ini dia berkuliah, sambilan di kafe sebagai pelayan, atau menjadi kurir saja. Aku tidak pernah melihat dia memakai pakaian formal seperti MC dan semacamnya,” jawab Sarah.

“Laki-laki yang datang ke kamarku pada hari kelahiran Dio memakai pakaian formal, seperti seorang pengusaha muda. Penampilannya sangat rapi, jujur sangat berbeda dengan Rama saat ini. Tapi, aku yakin kalau itu adalah Rama,” ucap Mawar.

“Rama saja sudah mengatakan jika dia tidak pernah bertemu dengan kamu . Kenapa kamu masih kekeh bahwa laki-laki itu adalah Rama? Kamu berharap kalau Rama adalah orang yang perhatian pada Dio?” tanya Sarah dengan tatapan bingung.

“Bukan begitu, tapi aku merasa bahwa ingatanku tidak mungkin salah! Dia adalah laki-laki itu!” tegas Mawar.

“Terserah kamu , sekarang aku mau pulang!” Sarah beranjak membuka pintu mobil tersebut.

“Kamu nginap saja di rumahku, temani aku. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kamu, tolong bantu aku.” Mawar menunjukkan wajah memohonnya.

Sarah menarik napas panjang, lalu ia kembali merapatkan pintu mobil yang sudah ia buka sebelumnya.

“Kalau kamu nggak ngebiarin aku pulang, kenapa kamu mau ke sini?” tanya Sarah.

“Aku penasaran dengan Rama. Sebenarnya aku ingin membujuk dia untuk menerima tawaran itu, tapi melihat keadaan kehidupannya yang seperti ini, aku jadi yakin kalau dia akan menerima tawaran itu,” sahut Mawar.

“Jujur aku takut kalau kalian tinggal sekamar, dia bisa saja melakukan sesuatu yang tidak-tidak kepada kamu, kan? Apa kamu nggak takut?” tanya Sarah.

“Di kamarku ada sebuah kamar kecil yang menjadi ruang santaiku . Aku akan ubah tempat itu jadi kamar untuk Rama. Aku juga tidak ingin sekamar dengan laki-laki muda seperti dia. Aku tau kalau dia masih penuh dengan nafsu. Maka, aku tidak akan membiarkan dia melimpahkan nafsu itu ke aku. Cukup dulu aku menjadi pemuas si pengkhianat itu, sekarang tidak akan lagi! Kesalahan itu tidak akan terulang!” tegas Mawar.

“Bagaimana jika hal yang tidak-tidak terjadi kepada kalian?” Sarah menunjukkan tatapan khawatir pada Mawar yang kini terdiam dengan wajah bingung. “Kamu perempuan, kamu bisa saja jatuh cinta dan terkecoh dengan dirinya. Kamu siap jika hal itu terjadi?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status