Devan mematung. Lidahnya mendadak keluh, pria itu menatap lurus kakek Darma--Devan terlihat shyok. Dia sama sekali tidak menyangkah sang kakek akan memintanya sampai melakukan hal itu. Dan, akibat shyok itu mampu membuat Devan melupakan lelah di tubuh yang begitu menggorogoti."Apakah, aku tidak salah dengar?" tanya Devan dengan nada suaranya yang datar, pria itu memicingkan kedua mata menatap kakeknya itu dengan tatapan tidak suka. "Ya. Sebab pernikahan kalian sudah terlanjur tersebar, dan orang mengetahui kalau sampai saat ini kau masih berstatus suami dari wanita itu. Jadi, walaupun kalian berdua sudah berpisah namun tetap saja kau masih suami-darinya. Jadi, kakek ingin kau segera menceraikannya!" Kakek Darma bersuara dengan tegas, sorot mata nya begitu tajam menatap Devan.Ada lengkungan kecil di kedua sudut bibir Devan, setelah mendengarkan apa yang baru saja terucap dari mulut kakek Darma. Pria itu nampak semakin marah, Devan bersuara setelah beberapa detik kemudian."Aku sudah
"Kamu pikir aku juga sudi memakai perhiasan hasil rancanganmu, aku juga tidak sudi. Kalau bukan karena Devan yang memintanya, aku juga tidak sudi memakai hasil rancanganmu yang kampungan itu!" Santi bersuara dengan nada tinggi. Wanita itu benar-benar terbakar oleh emosinya, pada Sarah. Sarah membungkam-wanita itu diam seribu bahasa. Bukan perkataan dari Santi yang membuatnya sakit, namun Devan yang nampak tak memperdulikan dan lebih berpihak pada Santi. Devan tak menganggap dirinya sama sekali, hatinya benar-benar perih. Sarah merasa tak punya muka lagi--dia benar-benar malu saat ini. Dari pada semakin malu nantinya--Sarah memilih untuk pergi. Sepertinya kedatangannya kali ini sangat tidak tepat. Mengambil tas miliknya yang tersimpan di atas meja, dan menggantung ke pundaknya. Sarah segera beranjak dari duduknya, dan bersuara--sebisa mungkin wanita itu menahan gemuruh hebat di dalam dada. "Sebaiknya aku pergi, dan senang bertemu denganmu-hari ini, Dev!" pamit Sarah dengan suaranya y
Awan telah berubah gelap. Pesona semakin memanjakan mata dengan bulan yang bersinar dan bintang-bintang kecil yang memancarkan kemilaunya. Berdiri di bibir balkon--netra gelapnya menerawang jauh--hingfga menembus kegelapan malam. Angin bertiup dengan kencang. Kedua sisi cardigan dia satukan, guna menghalau udara dingin yang mampu menembus. Sarah begitu menikmati kesendiriannya. Gunda yang melanda, membuatnya melupakan malam yang semakin merangkak naik. "Apa yang kamu pikirkan?" Suara bariton yang mendengung di indera pendengaranya, memaksa sosok Sarah untuk berbalik. Sekilas menatap Papa Akio, dan kembali melemparkan pandangannya pada langit malam. Sepertinya kedatangan Papa Akio sama sekali tak berpengaruh untuk pengusaha, dan perancang perhiasan itu. "Aku tidak memikirkan apa-apa," dusta Sarah, nada suaranya begitu datar--namun air muka wanita itu nampak jelas mendung. Sarah tak mampu dengan baik menyembunyikan kesedihannya. "Apa ini, karena Devan? Papa dengar dia sudah menikah
Malam hari Devan saat ini tengah memasukkan pakaiannya di dalam koper--sebab besok pagi dia dan rombongannya sudah akan bertolak ke Korea. Senyum terus menghiasi wajah tampan Devan, membayangkan dirinya yang akan menghabiskan waktu beberapa hari dinegara yang terkenal dengan operasi bedah plastiknya itu, dengan sang istri-Rania. Anggap saja sekalian bulan madu, itulah yang ada di dalam pikiran pria bertubuh jangkung itu. "Kira-kira Deni sudah mengirimkan baju-baju itu-belum, yaa?" gumam Devan bertanya pada dirinya sendiri, sejenak pria itu menghentikan kegiatannya saat pikirannya tertuju pada bulan madu. Sebab tadi Devan meminta pada Deni agar mengantar dua buah lingeria pada istrinya itu. Terdengar suara pintu terbuka--Devan memutuskan untuk meninggalkan kegiatannya, dan melangkah ke luar dari walk in closet. Tepat sekali, Deni datang ke kamarnya--disaat dia sedang membutuhkan pria itu. Akan berbicara--namun Devan terpaksa harus mengurungkan niatnya setelah mendapati Deni yang mas
Hembusan angin malam bertiup dengan kencang---dahan pohon-pohon besar yang tumbuh disekitarnya tertiup terbawa oleh arah mata angin. Dia melangkah dengan pelan. Udara dingin yang menusuk hingga ke tulang sum-sum, tak mengurungkan niat Mama Ani--menyusuri rumput kecil membawa tubuhnya menuju taman. Kedua tangan Mama Ani merapatkan dua sisi cardigan, kala angin kembali berhembus kencang--membuat tubuh itu sedikit menggigil. Mendaratkan tubuhnya pada sebuah kursi panjang, manik hitam legamnya menerawang jauh menikmati keindahan rembulan--yang bersinar begitu terang, dengan bintang-bintang kecil yang berada disekitarnya. Larut dalam suasana, membawa ingatan wanita paruh baya itu pada sosok kecil yang dia tinggalkan pada beberapa tahun lalu. "Kamu--pasti sekarang sudah dewasa-Nak. Dan, maafkan mama yang sudah meninggalkanmu. Mama yakin, Pa Hendra pasti memperlakukanmu dengan baik," lirihnya, sudah ada genangan air mata pada kedua sudut mata itu, punggung tangan Mama Ani mengusapnya.
Tak berkedip sama sekali kedua mata Rania--setelah berada di dalam kamar hotel. Bak--berada di surganya dunia, Rania begitu terpukau menatap megahnya kamar hotelnya dan Devan, yang cukup luas dengan berbagai fasilitas di dalamnya. "Apa, aku sedang berada ditempat lain?" gumam Rania tanpa sadar, sepasang pupil matanya tak berkedip sama sekali. Bahkan, dirinya sampai mengabaikan keberadaan porter yang membawa barang-barang milikmya dan Devan. "Mau, sampai kapan kau terus berada di sana?!" Suara bariton yang khas memecahkan lamunan panjang Rania, wanita berkulit putih itu segera memalingkan pandangannya pada asal suara--dan mendapati Devan yang sudah berbaring santai sembari kedua tangan pria itu dia tautkan ke belakang sebagai tumpuan kepala. Seulas senyum terbit di wajah Devan, pria itu menatap Rania dengan penuh arti--sembari memainkan ekornya-melemparkan pada sisinya yang masih kosong. Devan, seperti memberikan sebuah kode pada istrinya itu. "Aku lelah, Dev--," ujar Rania dengan
Suara jeritan membuat Sarah tersentak. Wanita itu langsung bangkit dari tidurnya, napas Sarah memburuh--keringat pun bercucuran membasahi dahinya. Sejenak, Sarah nampak seperti seseorang yang baru saja melakukan olah raga. Kembali mengingat pada masa lalunya yang kelam, seketika Sarah dipeluk oleh perasaan takut, "Tidak! Bagaimana pun, Devan tidak boleh mengetahui kalau aku pernah mengandung, dan menggugurkan anak dari pria lain!" gumam Sarah, wajahnya menegang--ketakutan begitu nyata di wajah Desicner perhiasan itu. Seperti baru saja terjadi--Sarah begitu hanyut dalam apa yang menjadi beban pikirannya-hingga suara ketukkan pintu kamar yang menyapa tiba-tiba cukup membuat wanita itu tertegun. Dengan segera Sarah membawa pandangannya pada pintu kamar, sisa-sisa ketakutan itu masih ada. "Siapa----?" tanya Sarah dengan setengah teriakkan, wanita itu merasa dirinya dejafu. "Ini aku-Santi!" Suara ketus yang menyambut pertanyaan itu, dan suara dari Santi berhasil membawa Sarah kembali
"Aku rasa semuanya tadi sudah jelas. Jadi, kalau ada yang perlu dibicarakan, lagi aku rasa besok saja. Aku harus kembali ke kamarku!" ujar Devan dengan datar, pria itu kembali melanjutkan langkah kakinya. Namun, alunan langkah itu berhenti seketika---saat Sarah memeluknya. Dan, apa yang Sarah lakukan cukup membuat Devan terkejut.Devan memberontakkan tubuhnya--agar Sarah dapat melepaskan tautan kedua tangan yang melingkar di pinggang. Namun, bukannya melepaskan--Sarah justru kian mengeratkan pelukan itu, "Lepaskan Sarah!" Devan kembali memberontak, sembari menghardik mantan kekasihnya itu. Namun, bukannya melepaskan--Sarah justru makin menambah eratnya pelukan itu. Dan, beberapa detik setelahnya Sarah terisak. Dan, itu mendadak membuat Devan meremang--kemarahan pun tak terlihat lagi. "Jangan pergi dariku, Dev---hiks---hiks, kau tahu aku begitu hancur saat mengetahui kalau kau telah menikah. Aku masih begitu mencintai, mu, Dev---masih sangat mencintaimu," lirih Sarah dalam isak tang