"Bapak dan ibu jangan risau. Ada kami yang siap membantu kapanpun. Kita doakan semoga Abel bisa melewati ujian ini dengan baik. Benar kata Senja, semoga dia benar-benar bisa berubah meski nanti hidup dalam keterbatasan. Kami juga berharap para tetangga tak lagi menghakiminya banyak hal setelah kejadian ini." Langit menimpali. Anwar dan Susan kembali saling tatap lalu Langit membantu ibu mertuanya itu duduk di samping suaminya. Senja menggeser ke kanan letak duduknya, mempersilakan ibu tirinya itu duduk di antara dia dan bapaknya. "Lihatlah, Bu. Betapa tulusnya mereka sama kita dan Abel. Mereka nggak seburuk yang kalian berdua bayangkan. Jangan terus menyudutkan Senja apalagi Langit. Sudah terlalu banyak kebaikan dan pengorbanan mereka, masa ibu nggak sadar juga." Anwar membahas masalah lain, membuat Senja dan Langit saling tatap. "Jangan bahas itu dulu, Pak. Kita fokus ke Abel dulu saja." Senja menimpali pelan, tapi sepertinya ini kesempatan bagi Anwar untuk kembali menyadarkan ist
"Gimana keadaan anak kami, Dokter?" Susan dan Anwar buru-buru menghampiri dokter yang memeriksa Abel. Cemas, takut dan sedih campur aduk di hati kedua orang itu. Tak hanya mereka, Senja yang biasanya selalu berdebat dengan adiknya pun kini hanya menunduk lesu melihat adiknya berjuang di ruang ICU. "Pasien Abel mengalami patah tulang cukup parah di bagian kaki dan syaraf tulang belakangnya, Pak. Kemungkinan besar pasien mengalami kelumpuhan," ujar dokter lirih, seperti ikut merasakan bagaimana kecemasan keluarga pasiennya. "Innalilahi wainnailaihi rojiun. Anak saya lumpuh dokter?" Susan begitu shock mendengar kabar itu. Tubuhnya lemas seketika. Seolah dilolosi tulang-tulangnya, Susan luruh di lantai begitu saja. Langit buru-buru menyangga tubuh mertuanya itu, tapi Susan tetap ingin duduk di lantai. Dia tergugu dalam tangis dan kecewa atas kabar yang didengarnya. Senja yang sebelumnya duduk di kursi tunggu, kini ikut menenangkan ibu tirinya yang tampak begitu bersedih. Sementara An
"Mas, itu beneran ibu kan?" Senja menatap suaminya beberapa saat. Langit mengangguk pelan lalu mengusap lengan istrinya untuk menenangkan."Banyak banget yang lihat. Mana divideoin pula. Nanti pasti dikasih caption aneh-aneh," lirih Senja menghela napas panjang sembari mengedarkan pandangan. "Sayang, jangan terlalu dipikirkan. Kamu tahu sendiri kan kalau setiap perbuatan pasti akan mendapatkan balasan. Begitu pula dengan Abel. Kalaupun dia mendapatkan perlakuan tak mengenakkan dari orang-orang ya itu karena ulahnya sendiri. Sudahlah, ayo turun. Kasihan bapak sendirian. Ibu sudah mengantar Abel naik ambulans," ujar Langit setelah menghentikan mobil kesayangannya. "Jangan buru-buru, Sayang. Ingat di perut." Senja mengangguk lalu menghentikan larinya. Dia baru ingat kalau saat ini sedang hamil muda dan tak boleh gerak-gerak terlalu ekstrim, apalagi lari-larian segala. "Bapak ... bapak nggak kenapa-kenapa kan?" lirih Senja sembari memeluk bapaknya. Anwar masih mengusap kedua pipinya ya
"Abel, Pak," ujar Pak RT lagi sembari memperlihatkan layar handphonenya. Anwar membulatkan mata lebar melihat foto itu. Dia memicingkan kedua matanya untuk memperjelas penglihatan. "Beneran mobil Abel itu, Pak. Innalilahi wainnailaihi rojiun." Susan shock lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Dia benar-benar kaget melihat bumper depan mobil anak kesayangannya itu penyok. "Innalilahi wainnailaihi rojiun. Astaghfirullah, Abel." Senja berdebar-debar melihat mobil adiknya itu. "Sekarang keadaan Abel gimana, Pak?" Anwar menyahut gugup. Meski tadi dia begitu emosi, tapi melihat anaknya kecelakaan rasa marahnya pun hilang berganti cemas dan takut. Seburuk apapun sikap seorang anak, kedua orang tua biasanya tak terlalu mendendam sebab walau bagaimanapun mereka tetap buah cinta bapak dan ibunya. Begitupula Abel bagi Anwar, Abel tetap buah hati yang begitu disayanginya. "Abel masih di sana, Pak. Tadi ada beberapa orang yang membantu Abel keluar dari mobil. Soalnya-- "Soalnya kenap
"Sayang, Bayu bilang tadi kamu didorong oleh seorang perempuan? Apa benar begitu?" tanya Langit via handphone setelah dua jam kepergiannya dari rumah sang mertua. "Iya, Mas. Kok Mas Bayu tahu?" Senja cukup kaget dengan pertanyaan suaminya itu. "Memangnya kamu pikir aku pergi gitu saja, Sayang? Aku tetap kirim orang untuk jaga kamu. Bayu mengawasi rumah bapak saat kamu ada di sana. Tadinya dia mau membalas, tapi setelah tahu kamu nggak kenapa-kenapa dia urungkan." "Oh begitu, Mas. Ternyata kamu benar-benar mengawasiku setiap waktu ya?" "Kenapa, Sayang? Nggak suka? Atau aku terlalu over protektif?" tanya Langit yang khawatir istrinya merasa tak bisa bergerak bebas karena tangan kanannya selalu menjaga tiap waktu. "Bukannya nggak suka, Mas. Aku suka kok, cuma kalau ke mall atau ke mini market, mereka jangan terlalu dekat sama aku, Mas. Nggak enak kalau dilihat orang." "Hmmm ... aku tahu ini. Saat sama Awan kan? Mereka sengaja begitu karena ada Awan di sana. Kalau nggak ada rival ju
"Kamu mau belain dia? Mau playing victim atau gimana??" sentak perempuan itu lagi sembari mendorong kasar Senja sampai tersungkur ke lantai. Senja sudah berusaha menggeleng pertanda tak ingin membela adiknya, tapi perempuan itu terlanjur emosi sampai tak bisa mengontrol sikap."Kamu kenapa, Ja?" Suara Susan yang agak panik membuat Anwar kembali memakai kruknya lalu mendekati istri dan anaknya di teras. "Senja!" Anwar setengah berteriak melihat anaknya tersungkur ke lantai. "Kalian keterlaluan sekali! Sudah kubilang kalau anak ini nggak tahu apa-apa soal adiknya. Kalian masih saja mengusik dia!" sentak Anwar sembari menunjuk dua perempuan itu dengan kruknya. "Anak bapak yang kurang ajar! Sudah tahu adiknya pelakor, masih saja dibela!" "Siapa yang bela, Bu? Saya cuma minta ibu dan mbaknya masuk dulu. Abel ada di dalam. Silakan kalian selesaikan sendiri. Saya juga nggak ikut campur!" sentak Senja tak terima. Dia berusaha berdiri, dibantu oleh Susan yang entah mengapa tiba-tiba ber