Share

Hinaan

“Mas,” kupanggil Mas Danu yang masih asyik mencangkul di tengah sawah. Berulang kupanggil sepertinya lelaki itu tak mendengar.

Hati-hati berjalan di pinggiran sawah menghampiri Mas Danu, kutepuk perlahan pundaknya, terkejut melihatku hampir saja membuatnya terjungkal.

“Loh Mbak, ngapain panas-panas kesini,” ujarnya.

“Mbak-mbak, aku ini bukan mbakmu,” sungutku kesal.

Menggaruk kepala yang jelas terlihat tak gatal itu, meringis memperlihatkan baris giginya yang rapi. Mas Danu salah tingkah, gegas keluar dari sawah dan mengikutiku yang berjalan lebih dulu menuju saung tempat biasanya dia beristirahat.

“Jujur sama aku Mas, kamu dapat uang darimana buat lunasin hutang Ibuk? Itu enggak sedikit, terus Bik Ratna juga bilang katanya kamu kasih uang lebih. Jangan bilang kamu ngutang Mas,” cecarku tanpa menunggu ia duduk lebih dulu.

“Ngutang apa sih Dek, itu uang hasil kerja aku,” jawabnya meyakinkan.

Aku menyipitkan mata, kerja? Aku tahu apa pekerjaanya, mana mungkin tiga bulan dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu.

“Bohong kamu Mas.”

“Ya udah kalau enggak percaya.” Alih-alih menjelaskan, Mas Danu justru duduk mengibas topinya memandang hamparan sawah yang terbentang bak lapangan hijau, padi bergoyang karena tiupan angin yang lumayan kencang.

“Aku serius Mas, kalau kamu minjam uang dari orang lain, udah ayok kita bayar aja, jangan ngutang-ngutang. Aku enggak papa, aku bisa bayar utang Ibuk, lagian itu bukan tanggung jawabmu.” Kugoyang pelan lengannya, berharap lelaki yang baru meminangku sehari lalu mau mendengar apa yang aku katakan.

“Udah kamu enggak usah khawatir, jangan pikirin uang itu, yang pasti aku enggak ngutang.” Mas Danu tersenyum menatapku, kali pertama tatapan mata kami berpadu lama. Ada getaran dalam dadaku. Gegas aku memalingkan wajah.

Aku mendengus kesal, percuma kucecar habis, sepertinya Mas Danu memang enggan mengatakan apapun kepadaku. Alhasil aku pulang tanpa berhasil mendengar penjelasannya.

….

Hari berlalu, pesta pernikahanku dan Mas Danu hari ini akan diselenggarakan. Aku menatap gaun pengantin yang kukenakan, masih ada sedikit sayatan luka ketika mengingat seharusnya beberapa waktu lalu aku menggunakan gaun ini dan bersanding dengan Bang Roy.

Perlahan aku keluar dibantu asisten make up pengantin, tatapn sinis dari Ranti terlihat jelas, tak ingin memperlihatkan wajah sedih kupasang senyum manis saat menatapnya. Aku harus bisa membuktikan, dibanding Bang Roy pasti pilihan bapak jauh lebih baik, meski aku sendiri tak yakin.

“Halah percuma juga pesta mewah-mewah mending tuh duit buat bekal nanti aja. Kan, suaminya sebatang kara,” cibir Ranti yang kudengar begitu jelas saat lewat tepat di depannya.

Pastilah ia sengaja mengencangkan suara agar aku mendengar dengan jelas cibirannya.

Disamping ibu mertuanya menatapku dari atas hingga bawah, tatapan tak suka jelas terlihat. Seharusnya aku yang memiliki dendam kepada mereka, tetapi anehnya justru mereka yang membenciku, bukankah sesuatu hal yang terbalik? Mereka yang bersalah mereka pula yang seolah telah disakiti.

“Udahlah disini mana ada yang bisa nandingin Roy, apalagi suami si Nisa, secuil kuku Roy pun jelas tak ada,” ucap Bu Sari.

Tak menghiraukan ucapannya, aku berlalu masih terus mengukir senyum di depan mereka. Gambaran kebahagiaan di wajahku tak boleh pudar, kali ini mereka harus tetap melihat wajah bersinar penuh kebahagiaan.

Duduk bersanding dengan Mas Danu, menatap tamu yang silih berganti menyalami kami. Kali ini aku tak mengundang teman-temanku saat bekerja, tak ada kesempatan, pernikahan dengan Mas Danu yang tak terencana membuatku malas untuk mengundang teman-temanku.

“Mbak pasti sedih kan, nikahnya sama aku,” ucap Mas Danu tiba-tiba.

“Jangan panggil aku mbak, udah aku bilang kan, aku ini bukan mbakmu, aku ini istrimu,” sungutku kesal.

Brulang kukatakan untuk memanggilku selayaknya seorang istri, tetapi tetap saja dia ngeyel. Entah karena sudah terbiasa atau terlalu canggung, terkadang memanggilku ‘dek’, terkadang memanggilku ‘mbak’ seperti adikku saja.

“Eh iya maaf, Dek.” Mas Danu meringis kembali memperlihatkan baris giginya.

“Bagiku kebahagiaan Bapak dan Ibuk lebih penting dari apapun,” jawabku.

Sekarang yang terlintas dalam benakku hanya kebahagiaan bapak dan kesehatan ibu, perihal hatiku kuserahkan kepada pemiliknya, yang maha membolak balikkan hati. Jika Tuhan berkenan, pastilah akan tumbuh cinta dalam hubungan kami. Meski begitu, aku berharap pernikahan satu seumur hidup, walau tak tahu bagaimana endingnya nanti.

“Kalau Dek Nisa kemarin menolak udah pasti aku enggak berani selancang ini.” Mas Danu mengalihkan pandangan yang semula menatapku, tatapan lurus kedepan, senyumnya menciut.

Aku tahu ia menyetujui permintaan bapak untuk meminangku karena balas budi kepada bapak yang telah menyelamatkannya dan memberikan tempat tinggal.

“Udahlah Mas, kamu enggak perlu begitu, aku sendiri tahu alasanmu menerima permintaan Bapak.” Kuberikan senyuman tulus untuknya.

Kecanggungan diantara kami perlahan memudar, aku pun harus berlapang dada menerima Mas Danu sekarang yang telah menjadi suamiku, bagaimanapun aku harus memerankan peran seorang istri dengan tulus.

….

Selesai pesta yang ibu menyuruhku ke rumah Bik Santi, rencana ingin menjual sembako hasi hajatan yang lumayan banyak. Mas Danu mengantar dengan sepeda bututnya, meski bapak menyuruh untuk menggunakan motor, tetapi ia lebih memilih menggunakan sepeda. Sore hari sedikit mendung, Mas Danu mengayuh sepedanya sedikit lebih cepat takut jika hujan segera turun.

Kueratkan pegangan di bajunya saat jalanan menurun. “Pelan-pelan aja Mas,” lirihku.

“Takut hujan Dek, nanti kamu kehujanan, harusnya tadi bisa aku aja yang pergi, kamu enggak perlu ikut.”

Memang tadi Mas Danu menawarkan dirinya sendiri yang pergi, tetapi aku tak ingin ia menjadi bahan olok-olok ibu-ibu berbelanja di kios Bik Santi. Bagaimanapun mana tega aku melihat suamiku menjadi bahan candaan.

Benar saja sampai di kios Bik Santi ramai ibu-ibu sedang berbelanja, gegas aku turun dan menghampiri Mang Udin karena Bik Santi sedang melayani pembeli.

“Mang disuruh Ibuk nanyain, sembakonya jadi apa enggak?” tanyaku.

Mang Udin menghentikan aktivitasnya melihat-lihat beras yang baru saja di turunkan dari mobil.

“Banyak, Nis?”

“Alhamdulillah Mang.”

“Widih, dapet banyak nih.”

Aku memutar badan melihat sumber suara, Ranti baru saja turun dari mobil bersama Bang Roy.

“Pesta si Anisa rame, ya kalau dapat banyak udah pasti.” Bik Santi menghampiri. Menyerahkan sekantong besar kresek kepada Ranti. “Ini tadi pesenan mertuamu, berasnya udah ada, rencana mau diambil kapan?” sambung Bik Santi.

“Sore ini habis jalan-jalan nanti sekalian mampir Bik, ini mau anter tempah mbah dulu. Soalnya udah jadi kebiasaan kalau mau puasa nganter sembako,” Bang roy menjawab sombong.

Tak ingin terlalu lama berada diantara mereka. “Ya udah Mang, kapan mau diambil nanti biar disiapin. Aku pulang dulu.” Aku berpamitan.

“Sore nanti biar diambil Tono.”

Setelah mendengar jawaban Mang Udin, aku pergi.

Baru sampai di tempat Mas Danu menunggu, Bang Roy menghampiri kami bersama Ranti.

“Oh, ini suamimu Nis,” ucap Bang Roy, melihat Mas Danu dari atas hingga bawah, tatapannya menghina, senyum mengejek ia sunggingkan.

“Kenapa emang, masalah,” jawabku ketus.

“Bener kata istriku, enggak ada sebanding sama aku.” Bang Roy terkekeh, diikuti Ranti.

Aku pun ikut tertawa. “Emang enggak sebanding dengan kalian yang murahan,” cibirku. Kulihat wajah masam mereka, aku tersenyum puas. “Yuk Mas, enggak ada gunanya ngladeni mereka, enggak dapat duit,” sambungku mengajak Mas Danu lekas pergi.

Mas Danu menurut memutar sepedanya dan bergegas pergi setelah aku naik.

“Maaf ya, Dek,” ucapnya memecah keheningan diantara kami setelah beberapa saat.

“Kenapa minta maaf?” Tak ingin terlalu menanggapi ucapan Mas Danu, aku masih kesal dengan Bang Roy dan Ranti, memikirkan car membalas mereka.

“Kamu pasti malu punya suami kaya aku, miskin dan sebatang kara. Kalau kamu mau, kamu bisa milih orang lain,” ujarnya yang membuatku seketika memandang bahunya. Bahu dengan baju lusuh itu terus bergoyang mengikuti gerak kaki yang mengayuh sepeda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status