Share

Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya
Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya
Author: Pinter Man

Pengkhianatan

Author: Pinter Man
last update Last Updated: 2024-03-05 22:00:42

“Bang ngapain disini?” tanyaku kepada Bang Roy, calon suamiku.

Kami akan menikah satu minggu lagi, semua sudah dipersiapkan, tetapi malam ini, saat aku mengantar beberapa tumpuk undangan agar sahabatku Ranti membantu menulis nama teman-teman yang akan kami undang, kudapati Bang Roy keluar dari kamar milik Ranti.

Rumahku dan Ranti tak jauh, hanya berjarak lima rumah, biasanya jika aku datang dan melihat pintu terbuka, aku akan langsung masuk mencari sahabat masa kecilku itu.

“Ini … anu .…” Bang Roy tampak kikuk, menggaruk kepalanya yang sudah pasti tak gatal.

Aku memperhatikan dirinya yang hanya memakai celana kolor dan dan kaos oblong. Dia bahkan berpakaian tak selayaknya seperti bertamu. Aku juga tahu, jika kedua orang tua Ranti sedang pergi. Bukankah tak pantas, seorang laki-laki berada di rumah seseorang yang memiliki anak gadis selarut ini? Terlebih, tak ada orang lain di rumah itu.

Belum sempat Bang Roy menjawab, dari dapur Ranti keluar hanya menggunakan handuk, mengibas rambutnya yang basah.

“Sayang, aku udah siap sekarang kamu man ….” ucapannya terhenti saat melihat aku berdiri menatapnya. “An … Nisa,” lirihnya dengan bibir bergetar, handuk di tangannya terjatuh.

“Kalian?” Aku memicingkan mata penuh selidik, menatap keduanya bergantian.

Degup jantungku berpacu lima kali lebih cepat membayangkan apa yang mereka lakukan, mataku memanas, sedetik kemudian air mata jatuh di pipi.

“Sayang, aku bisa jelasin.” Bang Roy mencoba meraih tanganku, tetapi segera aku tepis tangan kotornya. Tak akan kubiarkan tangan menjijikkan itu menyentuh kulitku.

“Nisa, kamu jangan salah paham, tadi … ini … Bang Roy mau nanyain hadiah buat kamu, makannya kami rencananya mau bungkus itu,” kilah Ranti, terlihat begitu gugup.

Semua orang jelas bisa melihat bahwa apa yang dikatakan Ranti adalah sebuah kebohongan. Memangnya, dia pikir aku sebodoh itu?

Sontak kakiku melangkah mundur, memutar badan cepat dan berlari meninggalkan kedua sejoli yang tega menghianatiku itu. Aku menangis di pinggir jalan, berlutut membekap mulut agar suara tangis tak terdengar oleh orang lain. Sedangkan Bang Roy, dia tak mengejar. Tak peduli aku menunggu lama, batang hidungnya pun tetap tak terlihat.

Berjalan gontai, akhirnya aku sampai di depan rumah. Ibu menatap penuh tanya, melihatku yang berantakkan dengan mata sembab, gegas ia menghampiri.

“Ada apa Nisa?” tanyanya penuh selidik.

Aku tak menjawab ucapan ibu, berlalu menuju kamar, lantas kurebahkan tubuh di kasur dan kembali menangis dengan wajah tertutup bantal.

Tega, tega sekali mereka berkhianat. Ranti adalah orang yang selalu menjadi tempat curhat saat aku dan Bang Roy ada masalah. Dia juga orang pertama yang terlihat begitu bahagia saat Bang Roy memberiku sebuah hadiah besar, lamaran.

Lamarannya merupakan lamaran ketujuh yang datang padaku. Aku tak ingin sampai gagal menikah lagi, sebab itu aku selalu menjaga hubungan dengan Bang Roy. Satu tahun kami menjalin hubungan asmara, sampai akhirnya ia melamarku dan kami akan segera menikah. Tapi apa ini? Pernikahanku kembali gagal, padahal hanya tinggal menghitung hari.

Aku menjerit tidak karuan, kulempar sembarang barang yang ada di kamar. Apa yang akan kukatakan kepada bapak dan ibu sementara mereka sudah sangat antusias menyiapkan pernikahan kami? Apa perlu aku diam saja dan mengubur laraku? Setidaknya sampai gelar perawan tua yang melekat pada diri ini bisa terhapus. Aku menggeleng, tidak akan kuberikan maaf untuk mereka.

“Nisa, kamu kenapa Nak, ada apa, kenapa nangis?” rentetan pertanyaan ibu keluarkan sambil terus mengetuk pintu kamarku.

Aku tak menghiraukannya, bagaimana jika bapak dan ibu tahu apa yang dilakukan Bang Roy?

Orang tuaku begitu bahagia saat ada yang meminang di umurku yang sudah terbilang tak lagi muda. Mereka sangat bersyukur. Sejak lamaran pertamaku gagal di usia 25 tahun, aku memang kesulitan menikah. Sejak saat itu, aku mulai tak memikirkan menikah, terbuai dengan pekerjaan, hingga tanpa sadar umurku sudah menginjak kepala tiga. Setelah itu, setiap kali ada lelaki yang melamarku, pasti keluarganya menolak dengan alasan aku sudah terlalu tua untuk mendapat keturunan.

Bapak dan ibu tinggal di desa, sementara aku merantau dan bekerja di kota. Posisiku yang cukup bagus di perusahaan membuatku enggan berhenti bekerja. Namun, ketika Bang Roy meminta untuk berhenti karena kami akan menikah, aku pun mengikuti kemauannya. Lagipula setelah kupikir, mungkin lebih baik mengurus rumah dan suami. Nyatanya, harapan itu musnah karena pengkhianatannya.

“Nisa, keluar dulu Nak,” kali ini kudengar bapak yang membujukku.

Kuhapus air mata, menatap sejenak diri di depan cermin, merapikan rambut yang berantakan, lalu keluar menemui kedua orang tuaku.

“Ada apa?” tanya ibu setelah pintu kubuka.

Aku tak berani menatap mereka, sudah pasti air mata akan langsung jatuh. Aku menunduk menatap jari jemari kaki yang kotor. Aku sampai lupa pergi dari rumah Ranti tanpa memakai sandalku lagi.

Ibu meraih tanganku, mengajak untuk duduk bersama. Bapak lebih dulu berada di ruang tamu.

“Kamu sebenarnya kenapa Nisa?” tanya bapak mulai tak sabar karena sejak tadi aku masih bungkam.

Kuangkat wajah memandang bapak dan ibu bergantian. Tanpa menunggu jeda, mataku mengembun, sedetik kemudian air mata telah lolos berselancar indah di pipi mulusku.

“Loh kenapa nangis?” Ibu panik, dan memelukku. Aku semakin terisak di pundaknya.

Diusapnya lembut punggungku, membiarkan sejenak aku menangis dalam dekapannya. Barulah ketika aku benar-benar tenang, ibu melepaskan pelukannya.

“Ada apa? Cerita sama ibu,” tuturnya penuh kelembutan.

Aku menggeleng lemah, biarkan saja Bang Roy yang akan menjelaskan kepada mereka, aku tak akan tega.

Tak ingin mengatakan yang sebenarnya, dan menyakiti hati mereka berdua, aku pun terpaksa menelan kesedihanku, dan berkata pelan. “Aku cuma sedih aja sebentar lagi mau menikah, Pak, Bu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   kenyataannya

    Aroma kayu putih memenuhi penciumanku. Tepukan di pipi mulai kurasa.“Mbak, Mbak Nisa gak papa? Ya ampun, Mbak.” Bik Hanum terlihat begitu khawatir berusaha menyadarkanku sepenuhnya.Kulihat sekeliling, foto-foto itu sudah tak berserakan mungkin mereka sudah membereskannya.“Pelan-pelan Mbak.” Bik Hanum membantuku terbangun. “Tri ambilkan minum,” perintahnya kepada Bik Lastri yang duduk di sampingnya memijat kakiku.“Ini Mbak minum dulu.” Menyodorkan segelas air kepadaku. Gegas kuteguk air dalam gelas hingga tandas.“Antar aku ke tempat Mas Danu, Bik,” pintaku. Otakku mulai memutar semua gambar-gambar kejadian yang baru saja terjadi, untaian kata-kata dari Deswa kembali terngiang. Aku harus menyaksikan sendiri.“Tapi Mbak, maaf apa enggak sebaiknya nunggu Den Rangga dulu?”Bik Hanum menunduk, sepertinya menyembunyikan sesuatu. Apa orang-orang bawaan Mas Danu semua tahu akulah yang dia sembunyikan?Aku menatap tajam Bik Hanum yang masih menunduk.“Iya Mbak, sebaiknya nunggu Den Rangga

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Undangan Biru

    “kabarnya sih kalau enggak dibalikin secepatnya dia mau dipenjara,” sambung Bik Dewi.“Kasihan ya, bik. Anaknya masih kecil-kecil,” ucapku tulus.“Halah, ngapain kamu kasihan sama dia, dulu juga dia enggak kasihan sama kamu. Itu namanya karma Nis,” cetus Bik Dewi kembali mengingatkanku kelakuannya yang membuat keluargaku malu dan menjadi bahan gibah sekampung.Tak ingin terlalu lama menggosip dengan Bik Dewi, gegas kucari alasan untuk segera pergi.“He, iya udahlah bik, namanya juga hidup. Aku pergi dulu ya, bik. Mau jalan-jalan biar sehat.”“Iya, bener tuh. Lagi hamil harus banyak gerak jangan ndekem aja di rumah,” tuturnya. Aku tersenyum dan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah yang tertunda. Mendung sore di penghujung bulan, rintik hujan tiba-tiba datang. Gegas kuputar badan, mempercepat langkah kembali ke rumah. “Duh, mbak kok ujan-ujanan sih, nanti kalau mbak sakit kami yang dimarah Den Rangga,” Bik Ratih berlari tergopoh setelah melihatku di depan pagar, membawakan payung

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Loh. Pinjam Uang?

    ….Aku duduk di teras rumah, menyesap secangkir susu ibu hamil dilengkapi dengan buah buahan. Kuusap perut yang telah membuncit. Sudah empat bulan Mas Danu tidak pulang, kerinduan kami hanya bisa tersalurkan melalui panggilan video call. Rumah yang kini telah berdiri megah terasa begitu sepi meski ada dua orang pembantu dan beberapa satpam yang diminta Mas danu untuk menjaga. Padahal aku tak perlu mendapatkan penjagaan yang begitu ketat tetapi suamiku itu memaksa. Bahkan di setiap sudut rumah terpasang CCTV, entah apa yang dia khawatirkan padahal disini tak mungkin ada orang yang akan berniat jahat.Ponsel disampingku bergetar, kulihat layar dan segera menggeser tombol hijau. Memperlihatkan wajah Mas Danu. Aku tersenyum menyambutnya.“Udah sarapan Sayang?” tanyanya.Aku mengangguk. “Mas dikantor? Udah sarapan?”Ingin sekali aku menjadi istri sepenuhnya seperti dulu, menyiapkan makanan untuknya, menyiapkan pakaiannya. Namun, aku harus bersabar, setelah mengatakan alasannya tak ingin me

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Suamiku Banyak Duit

    “150 juta, apa kamu punya uang sebanyak itu untuk membayar rumah Mbah?” tanya Tante Diana, menatap Mas Danu merendahkan, tatapan sinis jelas sekali ia tak suka suamiku bertanya.Mas Danu tersenyum, menunduk sesaat. Lantas mengangkat wajah menatap Tante Diana. “Cuma segitu?”Tante Diana melotot bersiap menjawab ucapan Mas Danu, tetapi Om Herman lebih dulu maju.“Kamu enggak usah sok belagu, daripada banyak tanya lebih baik cepet kasih uangnya. Lagipula ini juga gara-gara mertuamu itu.”Aku memegang lengan Mas Danu, lalu menggeleng lemah, memintanya untuk tidak menuruti kemauan saudara-saudara bapak.Pakde Tarno tertawa keras. “Udah pasti dia itu enggak punya duit, mobil itu mungkin punya bos atau majikannya, bangun rumah juga pasti hasil ngutang. Orang miskin mana mampu dapat orang kaya. Apalagi Nisa dulu sering gagal nikah sampai delapan kali, orang kaya mana yang mau menikah sama dia, juga pasti mikir-mikir,” caci Pakde tarno.Bapak keluar dengan wajah merah padam, menggertakan gigi

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Tamu Tak Diundang

    “Bagaimana pekerjaanmu Nu?” tanya bapak, kami sednag berbincang sambil menonton televisi.“Lancar Pak. Besok aku berangkat ke kota, mungkin kali ini sedikit lama karena memang pekerjaan lebih banyak,” jawab Mas Danu.Ah, rasanya berat sekali melepas kepergiannya, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.“Berapa hari Mas disana?” Aku menyahut.Mas Danu mengedikkan bahu. “Kalau pekerjaan udah selesai nanti secepatnya aku pulang Dek.”Aku mengangguk lemah. Sebenarnya aku ingin tahu lebih detail apa pekerjaan suamiku di kota, tetapi setiap kutanyakan ia selalu menjawab sekenanya. Buruh, sopir, dan yang lainnya, entah mana pekerjaan tetapnya, dan lebih membingungkan bagaimana seorang buruh bisa memberiku banyak barang mahal. Aku pernah mencecar Mas Danu dari mana uang untuk membeli semuanya, dia menjawab itu uang halal, aku tak perlu khawatir. Jika sudah waktunya ia akan mengajakku ke kota. Aku sendiri tak tahu kapan waktu yang tak pasti itu.Suara deru mesin mobil membuatku beranjak, melihat

  • Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya   Pilihan Bapak Terbaik

    “Mas, keluarga mas di kota gimana? Maksudku apa mereka enggak ….”“Yang penting aku cinta kamu,” sela Mas Danu sebelum aku selessi bicara.Aku menatap kesal, ia masih terus asyik mencuci ubi yang baru saja kita ambil dari kebun belakang. Karena terlalu sibuk mengurus bapak, kebun kecil peninggalan ibu itu telah lama tak terurus. Bunga-bunga kesayangan ibu banyak yang telah mati, rencana aku akan merawatnya kembali nanti setelah bapak sudah betul-betul sehat.“Bukan gitu Mas, maksudku nanti mereka apa enggak keberatan kalau tahu mantunya ini orang desa.” Kupertegas kata tanpa basa-basi.“Yang penting aku cinta kamu,” jawabnya, mengulang jawaban yang sebelumnya.“Mas, aku serius,” rajukku. Baginya mungkin bukan masalah, tetapi bagi seorang perempuan respon keluarga besar akan sangat mempengaruhi kehidupan setelah menikah, walaupun terpenting adalah sikap dan kebijakan suami.“Aku juga serius Dek.” Mas Danu menghentikan aktivitasnya, lalu menatapku dengan senyuman.Aku menghela nafas. “

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status