Share

Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya
Suami Dadakanku Ternyata Bos Kaya Raya
Author: Pinter Man

Pengkhianatan

“Bang ngapain disini?” tanyaku kepada Bang Roy, calon suamiku.

Kami akan menikah satu minggu lagi, semua sudah dipersiapkan, tetapi malam ini, saat aku mengantar beberapa tumpuk undangan agar sahabatku Ranti membantu menulis nama teman-teman yang akan kami undang, kudapati Bang Roy keluar dari kamar milik Ranti.

Rumahku dan Ranti tak jauh, hanya berjarak lima rumah, biasanya jika aku datang dan melihat pintu terbuka, aku akan langsung masuk mencari sahabat masa kecilku itu.

“Ini … anu .…” Bang Roy tampak kikuk, menggaruk kepalanya yang sudah pasti tak gatal.

Aku memperhatikan dirinya yang hanya memakai celana kolor dan dan kaos oblong. Dia bahkan berpakaian tak selayaknya seperti bertamu. Aku juga tahu, jika kedua orang tua Ranti sedang pergi. Bukankah tak pantas, seorang laki-laki berada di rumah seseorang yang memiliki anak gadis selarut ini? Terlebih, tak ada orang lain di rumah itu.

Belum sempat Bang Roy menjawab, dari dapur Ranti keluar hanya menggunakan handuk, mengibas rambutnya yang basah.

“Sayang, aku udah siap sekarang kamu man ….” ucapannya terhenti saat melihat aku berdiri menatapnya. “An … Nisa,” lirihnya dengan bibir bergetar, handuk di tangannya terjatuh.

“Kalian?” Aku memicingkan mata penuh selidik, menatap keduanya bergantian.

Degup jantungku berpacu lima kali lebih cepat membayangkan apa yang mereka lakukan, mataku memanas, sedetik kemudian air mata jatuh di pipi.

“Sayang, aku bisa jelasin.” Bang Roy mencoba meraih tanganku, tetapi segera aku tepis tangan kotornya. Tak akan kubiarkan tangan menjijikkan itu menyentuh kulitku.

“Nisa, kamu jangan salah paham, tadi … ini … Bang Roy mau nanyain hadiah buat kamu, makannya kami rencananya mau bungkus itu,” kilah Ranti, terlihat begitu gugup.

Semua orang jelas bisa melihat bahwa apa yang dikatakan Ranti adalah sebuah kebohongan. Memangnya, dia pikir aku sebodoh itu?

Sontak kakiku melangkah mundur, memutar badan cepat dan berlari meninggalkan kedua sejoli yang tega menghianatiku itu. Aku menangis di pinggir jalan, berlutut membekap mulut agar suara tangis tak terdengar oleh orang lain. Sedangkan Bang Roy, dia tak mengejar. Tak peduli aku menunggu lama, batang hidungnya pun tetap tak terlihat.

Berjalan gontai, akhirnya aku sampai di depan rumah. Ibu menatap penuh tanya, melihatku yang berantakkan dengan mata sembab, gegas ia menghampiri.

“Ada apa Nisa?” tanyanya penuh selidik.

Aku tak menjawab ucapan ibu, berlalu menuju kamar, lantas kurebahkan tubuh di kasur dan kembali menangis dengan wajah tertutup bantal.

Tega, tega sekali mereka berkhianat. Ranti adalah orang yang selalu menjadi tempat curhat saat aku dan Bang Roy ada masalah. Dia juga orang pertama yang terlihat begitu bahagia saat Bang Roy memberiku sebuah hadiah besar, lamaran.

Lamarannya merupakan lamaran ketujuh yang datang padaku. Aku tak ingin sampai gagal menikah lagi, sebab itu aku selalu menjaga hubungan dengan Bang Roy. Satu tahun kami menjalin hubungan asmara, sampai akhirnya ia melamarku dan kami akan segera menikah. Tapi apa ini? Pernikahanku kembali gagal, padahal hanya tinggal menghitung hari.

Aku menjerit tidak karuan, kulempar sembarang barang yang ada di kamar. Apa yang akan kukatakan kepada bapak dan ibu sementara mereka sudah sangat antusias menyiapkan pernikahan kami? Apa perlu aku diam saja dan mengubur laraku? Setidaknya sampai gelar perawan tua yang melekat pada diri ini bisa terhapus. Aku menggeleng, tidak akan kuberikan maaf untuk mereka.

“Nisa, kamu kenapa Nak, ada apa, kenapa nangis?” rentetan pertanyaan ibu keluarkan sambil terus mengetuk pintu kamarku.

Aku tak menghiraukannya, bagaimana jika bapak dan ibu tahu apa yang dilakukan Bang Roy?

Orang tuaku begitu bahagia saat ada yang meminang di umurku yang sudah terbilang tak lagi muda. Mereka sangat bersyukur. Sejak lamaran pertamaku gagal di usia 25 tahun, aku memang kesulitan menikah. Sejak saat itu, aku mulai tak memikirkan menikah, terbuai dengan pekerjaan, hingga tanpa sadar umurku sudah menginjak kepala tiga. Setelah itu, setiap kali ada lelaki yang melamarku, pasti keluarganya menolak dengan alasan aku sudah terlalu tua untuk mendapat keturunan.

Bapak dan ibu tinggal di desa, sementara aku merantau dan bekerja di kota. Posisiku yang cukup bagus di perusahaan membuatku enggan berhenti bekerja. Namun, ketika Bang Roy meminta untuk berhenti karena kami akan menikah, aku pun mengikuti kemauannya. Lagipula setelah kupikir, mungkin lebih baik mengurus rumah dan suami. Nyatanya, harapan itu musnah karena pengkhianatannya.

“Nisa, keluar dulu Nak,” kali ini kudengar bapak yang membujukku.

Kuhapus air mata, menatap sejenak diri di depan cermin, merapikan rambut yang berantakan, lalu keluar menemui kedua orang tuaku.

“Ada apa?” tanya ibu setelah pintu kubuka.

Aku tak berani menatap mereka, sudah pasti air mata akan langsung jatuh. Aku menunduk menatap jari jemari kaki yang kotor. Aku sampai lupa pergi dari rumah Ranti tanpa memakai sandalku lagi.

Ibu meraih tanganku, mengajak untuk duduk bersama. Bapak lebih dulu berada di ruang tamu.

“Kamu sebenarnya kenapa Nisa?” tanya bapak mulai tak sabar karena sejak tadi aku masih bungkam.

Kuangkat wajah memandang bapak dan ibu bergantian. Tanpa menunggu jeda, mataku mengembun, sedetik kemudian air mata telah lolos berselancar indah di pipi mulusku.

“Loh kenapa nangis?” Ibu panik, dan memelukku. Aku semakin terisak di pundaknya.

Diusapnya lembut punggungku, membiarkan sejenak aku menangis dalam dekapannya. Barulah ketika aku benar-benar tenang, ibu melepaskan pelukannya.

“Ada apa? Cerita sama ibu,” tuturnya penuh kelembutan.

Aku menggeleng lemah, biarkan saja Bang Roy yang akan menjelaskan kepada mereka, aku tak akan tega.

Tak ingin mengatakan yang sebenarnya, dan menyakiti hati mereka berdua, aku pun terpaksa menelan kesedihanku, dan berkata pelan. “Aku cuma sedih aja sebentar lagi mau menikah, Pak, Bu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status