“Bang ngapain disini?” tanyaku kepada Bang Roy, calon suamiku.
Kami akan menikah satu minggu lagi, semua sudah dipersiapkan, tetapi malam ini, saat aku mengantar beberapa tumpuk undangan agar sahabatku Ranti membantu menulis nama teman-teman yang akan kami undang, kudapati Bang Roy keluar dari kamar milik Ranti.Rumahku dan Ranti tak jauh, hanya berjarak lima rumah, biasanya jika aku datang dan melihat pintu terbuka, aku akan langsung masuk mencari sahabat masa kecilku itu.“Ini … anu .…” Bang Roy tampak kikuk, menggaruk kepalanya yang sudah pasti tak gatal.Aku memperhatikan dirinya yang hanya memakai celana kolor dan dan kaos oblong. Dia bahkan berpakaian tak selayaknya seperti bertamu. Aku juga tahu, jika kedua orang tua Ranti sedang pergi. Bukankah tak pantas, seorang laki-laki berada di rumah seseorang yang memiliki anak gadis selarut ini? Terlebih, tak ada orang lain di rumah itu.Belum sempat Bang Roy menjawab, dari dapur Ranti keluar hanya menggunakan handuk, mengibas rambutnya yang basah.“Sayang, aku udah siap sekarang kamu man ….” ucapannya terhenti saat melihat aku berdiri menatapnya. “An … Nisa,” lirihnya dengan bibir bergetar, handuk di tangannya terjatuh.“Kalian?” Aku memicingkan mata penuh selidik, menatap keduanya bergantian.Degup jantungku berpacu lima kali lebih cepat membayangkan apa yang mereka lakukan, mataku memanas, sedetik kemudian air mata jatuh di pipi.“Sayang, aku bisa jelasin.” Bang Roy mencoba meraih tanganku, tetapi segera aku tepis tangan kotornya. Tak akan kubiarkan tangan menjijikkan itu menyentuh kulitku.“Nisa, kamu jangan salah paham, tadi … ini … Bang Roy mau nanyain hadiah buat kamu, makannya kami rencananya mau bungkus itu,” kilah Ranti, terlihat begitu gugup.Semua orang jelas bisa melihat bahwa apa yang dikatakan Ranti adalah sebuah kebohongan. Memangnya, dia pikir aku sebodoh itu?Sontak kakiku melangkah mundur, memutar badan cepat dan berlari meninggalkan kedua sejoli yang tega menghianatiku itu. Aku menangis di pinggir jalan, berlutut membekap mulut agar suara tangis tak terdengar oleh orang lain. Sedangkan Bang Roy, dia tak mengejar. Tak peduli aku menunggu lama, batang hidungnya pun tetap tak terlihat.Berjalan gontai, akhirnya aku sampai di depan rumah. Ibu menatap penuh tanya, melihatku yang berantakkan dengan mata sembab, gegas ia menghampiri.“Ada apa Nisa?” tanyanya penuh selidik.Aku tak menjawab ucapan ibu, berlalu menuju kamar, lantas kurebahkan tubuh di kasur dan kembali menangis dengan wajah tertutup bantal.Tega, tega sekali mereka berkhianat. Ranti adalah orang yang selalu menjadi tempat curhat saat aku dan Bang Roy ada masalah. Dia juga orang pertama yang terlihat begitu bahagia saat Bang Roy memberiku sebuah hadiah besar, lamaran.Lamarannya merupakan lamaran ketujuh yang datang padaku. Aku tak ingin sampai gagal menikah lagi, sebab itu aku selalu menjaga hubungan dengan Bang Roy. Satu tahun kami menjalin hubungan asmara, sampai akhirnya ia melamarku dan kami akan segera menikah. Tapi apa ini? Pernikahanku kembali gagal, padahal hanya tinggal menghitung hari.Aku menjerit tidak karuan, kulempar sembarang barang yang ada di kamar. Apa yang akan kukatakan kepada bapak dan ibu sementara mereka sudah sangat antusias menyiapkan pernikahan kami? Apa perlu aku diam saja dan mengubur laraku? Setidaknya sampai gelar perawan tua yang melekat pada diri ini bisa terhapus. Aku menggeleng, tidak akan kuberikan maaf untuk mereka.“Nisa, kamu kenapa Nak, ada apa, kenapa nangis?” rentetan pertanyaan ibu keluarkan sambil terus mengetuk pintu kamarku.Aku tak menghiraukannya, bagaimana jika bapak dan ibu tahu apa yang dilakukan Bang Roy?Orang tuaku begitu bahagia saat ada yang meminang di umurku yang sudah terbilang tak lagi muda. Mereka sangat bersyukur. Sejak lamaran pertamaku gagal di usia 25 tahun, aku memang kesulitan menikah. Sejak saat itu, aku mulai tak memikirkan menikah, terbuai dengan pekerjaan, hingga tanpa sadar umurku sudah menginjak kepala tiga. Setelah itu, setiap kali ada lelaki yang melamarku, pasti keluarganya menolak dengan alasan aku sudah terlalu tua untuk mendapat keturunan.Bapak dan ibu tinggal di desa, sementara aku merantau dan bekerja di kota. Posisiku yang cukup bagus di perusahaan membuatku enggan berhenti bekerja. Namun, ketika Bang Roy meminta untuk berhenti karena kami akan menikah, aku pun mengikuti kemauannya. Lagipula setelah kupikir, mungkin lebih baik mengurus rumah dan suami. Nyatanya, harapan itu musnah karena pengkhianatannya.“Nisa, keluar dulu Nak,” kali ini kudengar bapak yang membujukku.Kuhapus air mata, menatap sejenak diri di depan cermin, merapikan rambut yang berantakan, lalu keluar menemui kedua orang tuaku.“Ada apa?” tanya ibu setelah pintu kubuka.Aku tak berani menatap mereka, sudah pasti air mata akan langsung jatuh. Aku menunduk menatap jari jemari kaki yang kotor. Aku sampai lupa pergi dari rumah Ranti tanpa memakai sandalku lagi.Ibu meraih tanganku, mengajak untuk duduk bersama. Bapak lebih dulu berada di ruang tamu.“Kamu sebenarnya kenapa Nisa?” tanya bapak mulai tak sabar karena sejak tadi aku masih bungkam.Kuangkat wajah memandang bapak dan ibu bergantian. Tanpa menunggu jeda, mataku mengembun, sedetik kemudian air mata telah lolos berselancar indah di pipi mulusku.“Loh kenapa nangis?” Ibu panik, dan memelukku. Aku semakin terisak di pundaknya.Diusapnya lembut punggungku, membiarkan sejenak aku menangis dalam dekapannya. Barulah ketika aku benar-benar tenang, ibu melepaskan pelukannya.“Ada apa? Cerita sama ibu,” tuturnya penuh kelembutan.Aku menggeleng lemah, biarkan saja Bang Roy yang akan menjelaskan kepada mereka, aku tak akan tega.Tak ingin mengatakan yang sebenarnya, dan menyakiti hati mereka berdua, aku pun terpaksa menelan kesedihanku, dan berkata pelan. “Aku cuma sedih aja sebentar lagi mau menikah, Pak, Bu.”Hingga pagi kutunggu, ternyata Bang Roy maupun Ranti tak berniat datang untuk mengatakan sepatah katapun. Tak ingin mengulur waktu lagi, aku memutuskan untuk mengatakan apa yang terjadi kepada bapak dan ibu. Pernikahan ini tak boleh dilanjutkan. Namun, baru saja kaki melangkah, kudengar suara Bik Sri menangis di luar. Ah, mungkin dia sudah tahu kelakuan bejat anak perempuannya itu.Kupercepat langkah menuju ruang tamu, dan menemukan Bik Sri dan Ranti telah bersimpuh dibawah kaki ibu. Sementara ibu, beliau membuang wajah tak ingin menatapnya.“Maaf Mbak, tolong batalin pernikahan Nisa sama Roy, soalnya anakku dan Roy semalam khilaf Mbak,” pinta Bik Sri memohon dengan uraian air mata di pipinya.Ibu mencebik menatap Ranti yang berlutut, menunduk tak berani mengangkat wajah.“Rupanya anakmu itu murahan ya, Sri. Segitunya gak bisa dapetin apa yang Nisa punya sampai rela jadi wanita murahan,” caci ibu.Bik Sri hanya bisa meratap dengan tangis, sepertinya ia tak punya muka untuk melawan ibu
Kegagalan pernikahan beberapa bulan lalu kini membuatku benar-benar tak percaya dengan laki-laki manapun. Katanya, cinta adalah perjuangan, tetapi nyatanya dari sekian banyaknya laki-laki yang mengatakan ingin bersamaku, mereka pada akhirnya tak ingin memperjuangkan diriku hingga akhir.“Mau kemana, Nduk?” tanya Bik Sri. Kebetulan kami berpapasan di jalan, aku hendak mengantar teh dingin untuk ayah yang sedang matun di sawah. Sejak perkelahian kami malam itu, jika kami bertemu, Bik Sri pasti akan menghindar. Daripada menyapaku, dia lebih memilih memutar badan, terlebih setelah pernikahan Bang Roy dan Ranti, tiga bulan kemudian Ranti melahirkan, menambah sayatan luka di dadaku, sudah kupastikan mereka tak hanya melakukannya sekali. Entah sejak kapan mereka menikungku diam-diam. Namun, siang ini Bik Sri terlihat ingin sekali menyapaku.Aku mengangkat sedikit capil yang bertengger di kepala. “Ngantar teh untuk Bapak,” jawabku sekenanya. “Bibik mau nganter ini, kebetulan tadi buat banyak
Danu menatapku, begitu juga aku, sejenak kami saling pandang. Namun, secepatnya aku mengalihkan pandangan dari pemuda itu.“Bapak ini ngomong apa,” ucapku sedikit kesal. “Bapak ini gimana, ya jelas anak Bapak yang cantik itu ndak mau sama aku.” Danu terkekeh, tapi bisa kulihat ia salah tingkah.“Bapak serius lho.” Bapak menatapku dan Danu bergantian, memang tak ada raut bercanda di wajahnya. “Bapak sama ibuk kan udah tua, nanti siapa yang jaga Nisa? Dia itu sendirian, enggak punya saudara. Bapak pengen lihat dia menikah,” ujar bapak serius.Wajahnya yang terlihat sudah keriput termakan usia tak sedikitpun memperlihatkan raut wajah bercanda. “Ibuk juga sakit-sakitan mikirin anak gadisnya,” sambung bapak, tangannya menggenggam lembut jari jemariku yang memilin ujung baju. Aku tak bisa berkata-kata, menolak pun tak mungkin. Aku hanya bisa pasrah, mungkin pilihan bapak ini yang terbaik untukku.“Tapi kan, aku enggak punya apa-apa dan siapa-siapa Pak, aku ini sebatang kara,” lirih Danu,
“Mana mungkin nyaingin Roy, mereka nikah juga pasti karen Nisa sakit hati enggak jadi nikah sama Roy, makannya desak mau nikah sama siapa aja yang datang,” cela Buk Sari, mama Bang Roy. Suara gemerincing gelang yang hampir memenuhi kedua tangan itu tak kalah berisik dari mulutnya. Setiap berbicara ia pasti mengguncang tangannya agar gelang-gelang itu terus berdenting. Entah apa maksudnya, mungkin agar terlihat lawan bicaranya, padahal tanpa melakukan itu semua orang juga tahu keluarganya terpandang di desa kami.Aku berusaha tak menggubris ucapannya, asyik memilah sayur di gerobak Mang Jaka, penjual sayur yang selalu setia berkeliling di depan rumah setiap pagi. “Eh, Neng Nisa, denger-denger udah nikah yak, kok enggak ngundang sih?” goda Mang Jaka, aku hanya tersenyum ramah menanggapinya.“Gimana mau ngundang sih Mang, dia aja enggak ngadain pesta. Malu lah, takut kali nanti nikahnya gagal lagi, atau mungkin calonnya enggak punya duit makannya cuma akad aja. Aku denger juga maharnya
“Siapa mereka?” tanyaku setelah kami berhasil bersembunyi di kebun pisang.Alih-alih menjawab, Danu membekap mulutku agar aku tak mengeluarkan suara, rupanya dua orang itu masih berada di sekitar persembunyian kami.Mas Danu melihat sekeliling setelah beberapa saat. Pikiranku mulai tak tenang, melayang entah kemana. Apa dia musuhnya, apa dia pencuri? Apalagi... setelah Mas Danu membelikanku banyak hal di pasar tadi, jangan-jangan uangnya bukan punya dia!? Ah, jiwa penasaranku sudah memberontak tak karuan meminta jawaban, ingin aku pertanyakan banyak hal kepadanya.“Udah aman,” ujarnya sambil menarik perlahan tanganku agar mengikutinya.“Siapa mereka, Mas? Kenapa kita lari?” tanyaku, dadaku masih berdegup kencang, nafas tersengal tak beraturan.“Bukan siapa-siapa, kamu enggak usah khawatir,” jawab Mas Danu enteng, ia terus berjalan pelan menggandeng tanganku sembari melihat kanan dan kiri.Memintaku untuk tidak khawatir, tetapi jelas ia sendiri merasa khawatir jika ditemukan oleh merek
“Mas,” kupanggil Mas Danu yang masih asyik mencangkul di tengah sawah. Berulang kupanggil sepertinya lelaki itu tak mendengar. Hati-hati berjalan di pinggiran sawah menghampiri Mas Danu, kutepuk perlahan pundaknya, terkejut melihatku hampir saja membuatnya terjungkal.“Loh Mbak, ngapain panas-panas kesini,” ujarnya.“Mbak-mbak, aku ini bukan mbakmu,” sungutku kesal. Menggaruk kepala yang jelas terlihat tak gatal itu, meringis memperlihatkan baris giginya yang rapi. Mas Danu salah tingkah, gegas keluar dari sawah dan mengikutiku yang berjalan lebih dulu menuju saung tempat biasanya dia beristirahat.“Jujur sama aku Mas, kamu dapat uang darimana buat lunasin hutang Ibuk? Itu enggak sedikit, terus Bik Ratna juga bilang katanya kamu kasih uang lebih. Jangan bilang kamu ngutang Mas,” cecarku tanpa menunggu ia duduk lebih dulu.“Ngutang apa sih Dek, itu uang hasil kerja aku,” jawabnya meyakinkan.Aku menyipitkan mata, kerja? Aku tahu apa pekerjaanya, mana mungkin tiga bulan dia bisa mendap
Aku terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Mas Danu. Lelaki di depanku itu memang tak pernah kutahu asal usulnya, tak pernah kutanya bagaimana kisah hidupnya. Entah dia benar-benar kehilangan ingatan atau enggan memberitahukan kehidupannya lantaran ada suatu masalah, serta bapak tak pernah mendapatkan kepastian medis kalau Mas Danu benar-benar kehilangan ingatan. Namun, mendengar ucapannya sedikit ada yang mengiris hatiku. Dia mau menikahiku yang sudah terbilang tak lagi muda, jika dibanding dirinya yang tampan dan pasti umurnya lebih muda dariku harusnya dia yang malu. Terlebih, jika dilihat bukan seperti dari kalangan orang desa. Kulit lelaki yang lebih halus dariku, aku tahu betul dia bukanlah lelaki yang pernah bekerja keras.“Ngapain aku malu, bukannya bapak yang milih kamu, udah pasti bagi bapak kamu terbaik buat aku,” jawabku.Hening, tak ada lagi pembicaraan diantara kami, aku bergelut dengan pikiranku sendiri sementara Mas Danu entah sedang fokus menyetir sepedanya at
Mas Danu menautkan alisnya. “Beneran enggak papa?” tanyanya memastikan.Aku mengangguk lemah, lekas menuju ranjang dan merebahkan tubuh, menarik selimut hingga menutup seluruh tubuhku, menyisakan wajah. Kutarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkan secara perlahan.“Dek,” panggilnya.Tak ingin memutar badan, aku berdehem menjawab ucapanya.“Hem, ada apa?”“Soal tadi, kamu jangan ambil hati ya, aku enggak mungkin jujur sama Bapak,”Mas Danu duduk di bawah ranjang.Karena kamarku yang tidak terlalu luas membuatnya tidur tepat di samping ranjangku dengan alas kasur lantai.Aku mengangguk lemah. “Lagi pula itu hak kamu Mas, aku udah jadi istrimu,” lirihku. Aku tak mungkin egois, bagaimanapun dia sudah suamiku, sepantasnya meminta haknya dan aku tidak boleh menolak.“Aiu enggak mungkin ngelakuin itu kalau kamu enggak rela, nanti aku dituduh kasus pemerkosaan,” candanya diikuti tawa.Aku terdiam. Jaman sekarang mana ada lelaki yang tahan, pikirku. Dulu, saat hari pernikahanku dengan Bang Roy