Hingga pagi kutunggu, ternyata Bang Roy maupun Ranti tak berniat datang untuk mengatakan sepatah katapun.
Tak ingin mengulur waktu lagi, aku memutuskan untuk mengatakan apa yang terjadi kepada bapak dan ibu. Pernikahan ini tak boleh dilanjutkan. Namun, baru saja kaki melangkah, kudengar suara Bik Sri menangis di luar. Ah, mungkin dia sudah tahu kelakuan bejat anak perempuannya itu.Kupercepat langkah menuju ruang tamu, dan menemukan Bik Sri dan Ranti telah bersimpuh dibawah kaki ibu. Sementara ibu, beliau membuang wajah tak ingin menatapnya.“Maaf Mbak, tolong batalin pernikahan Nisa sama Roy, soalnya anakku dan Roy semalam khilaf Mbak,” pinta Bik Sri memohon dengan uraian air mata di pipinya.Ibu mencebik menatap Ranti yang berlutut, menunduk tak berani mengangkat wajah.“Rupanya anakmu itu murahan ya, Sri. Segitunya gak bisa dapetin apa yang Nisa punya sampai rela jadi wanita murahan,” caci ibu.Bik Sri hanya bisa meratap dengan tangis, sepertinya ia tak punya muka untuk melawan ibu, terlebih ibu sudah menganggap Ranti seperti anaknya sendiri. Kami sering bertukar pakaian, bahkan ketika kami kecil, kalau ibu beli pakaian untukku, ibu juga tak pernah lupa membelikan satu untuk Ranti, karena saat itu orang tuanya tidak mampu.Tak hanya itu, saat perekonomian keluarga Bik Sri sedang berada di bawah, bapaklah yang membantu suami Bik Sri mencari pekerjaan, sehingga mampu mengangkat derajat keluarganya. Jika mengingat itu semua, aku ingin sekali mencaci Ranti. Namun, aku tak ingin mengotori mulutku untuk mereka.“Kalian itu kacang lupa kulit, dan kamu Ranti, kamu lupa siapa yang ngasih kamu makan, siapa yang kasih kamu baju bagus, sampai hati kamu menghianati Nisa.” Ibu menunjuk Ranti, tatapannya penuh kebencian, bisa kulihat ia ingin menerkam habis Ranti.Tak terima dengan cacian ibu Ranti akhirnya berani menjawab. “Aku dan Bang Roy saling cinta Bude, bukan salah kami.”Bik Sri memukul lengan Ranti, memintanya tetap diam, tetapi sepertinya Ranti tak ingin mendengarkan wanita yang telah melahirkannya itu.“Terus salah siapa? Apa aku perlu nyalahin orang tuamu yang gak bisa didik kamu?” Ibu melotot menatap Ranti.Tak mau kalah, Ranti berdiri dengan tangan melipat di dada.“Ya salahin aja anak Bude itu, dia enggak bisa jaga pasangannya, jelas aku lebih cantik dari Mbak Nisa makanya pacarnya itu lebih seneng sama aku! Dan bilangin juga sama anak Bude, jangan gila kerja!” cetusnya penuh percaya diri.Ibu menarik nafas tak percaya, ditepuk berulang dadanya. Bik Sri mencoba melerai Ranti yang sudah kehilangan akal. Sementara suami Bik Sri dan bapak yang baru datang melihat kekacuan ini mencoba melerai perdebatan ibu dan Ranti. Aku yang sangat geram melihat sikap Ranti berjalan menghampiri gadis itu, kulayangkan tamparan cukup keras dipipinya hingga ia jatuh tersungkur.“Pulang!” seruku sembari menunjuk pintu keluar.Alih-alih menuruti permintaanku, Ranti justru tertawa keras. “Nah, ini dia perawan tuanya,” cibirnya.Kembali kulayangkan tamparan hingga pipinya memerah.Bik Sri, suaminya, dan bapak mencoba menghentikanku, tetapi kebencian terhadap gadis itu seolah mengalahkan rasionalitas yang kupunya.Tak menunggu lama, kuambil payung di sudut ruangan bersiap memukul Ranti, tetapi belum sempat gagang payung itu mengenai tubuhnya, Bang Roy tiba-tiba datang melindungi Ranti.Aku tertawa miris melihatnya. “Kalian pikir kalian Romeo dan Juliet!?” seruku.Semakin keras kupukul berulang tubuh Bang Roy, hingga bapak meraih tubuhku untuk menjauh dari mereka.“Berhenti, Nduk,” ucap bapak mencoba menyadarkanku.Kakiku terasa lemas, tubuhku luruh begitu saja. Masih kupandang dua sejoli yang saling bertatap-tatapan tepat di depanku. Gigiku menggertak menahan emosi. Tak ada air mata, hanya kebencian yang memenuhi dada.“Bawa mereka pergi!” sentakku kepada paman dan Bik Sri.“Nduk, maafin Ranti ya,” Bik Sri mencoba menyentuh kakiku.“Nisa, ini bukan salah Ranti, ini salahku,” Bang Roy mendekat.Kembali kuambil payung yang masih ada di sebelah, bersiap hendak memukulnya, tetapi lagi-lagi bapak menghentikan.“Pergi!” jeritku.Kali ini Bang Roy tunggang langgang berlari meninggalkan rumah dan Ranti menyusulnya berlari tergopoh, tinggalah Bik Sri dan suaminya masih bersimpuh di hadapanku memohon ampun dengan derai air mata yang terus mengalir tanpa jeda.“Aku gak ada niat buat maafin mereka, gara-gara mereka, aku gak tahu lagi sampai kapan aku harus menunggu lamaran ke delapan, Bik!”Aroma kayu putih memenuhi penciumanku. Tepukan di pipi mulai kurasa.“Mbak, Mbak Nisa gak papa? Ya ampun, Mbak.” Bik Hanum terlihat begitu khawatir berusaha menyadarkanku sepenuhnya.Kulihat sekeliling, foto-foto itu sudah tak berserakan mungkin mereka sudah membereskannya.“Pelan-pelan Mbak.” Bik Hanum membantuku terbangun. “Tri ambilkan minum,” perintahnya kepada Bik Lastri yang duduk di sampingnya memijat kakiku.“Ini Mbak minum dulu.” Menyodorkan segelas air kepadaku. Gegas kuteguk air dalam gelas hingga tandas.“Antar aku ke tempat Mas Danu, Bik,” pintaku. Otakku mulai memutar semua gambar-gambar kejadian yang baru saja terjadi, untaian kata-kata dari Deswa kembali terngiang. Aku harus menyaksikan sendiri.“Tapi Mbak, maaf apa enggak sebaiknya nunggu Den Rangga dulu?”Bik Hanum menunduk, sepertinya menyembunyikan sesuatu. Apa orang-orang bawaan Mas Danu semua tahu akulah yang dia sembunyikan?Aku menatap tajam Bik Hanum yang masih menunduk.“Iya Mbak, sebaiknya nunggu Den Rangga
“kabarnya sih kalau enggak dibalikin secepatnya dia mau dipenjara,” sambung Bik Dewi.“Kasihan ya, bik. Anaknya masih kecil-kecil,” ucapku tulus.“Halah, ngapain kamu kasihan sama dia, dulu juga dia enggak kasihan sama kamu. Itu namanya karma Nis,” cetus Bik Dewi kembali mengingatkanku kelakuannya yang membuat keluargaku malu dan menjadi bahan gibah sekampung.Tak ingin terlalu lama menggosip dengan Bik Dewi, gegas kucari alasan untuk segera pergi.“He, iya udahlah bik, namanya juga hidup. Aku pergi dulu ya, bik. Mau jalan-jalan biar sehat.”“Iya, bener tuh. Lagi hamil harus banyak gerak jangan ndekem aja di rumah,” tuturnya. Aku tersenyum dan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah yang tertunda. Mendung sore di penghujung bulan, rintik hujan tiba-tiba datang. Gegas kuputar badan, mempercepat langkah kembali ke rumah. “Duh, mbak kok ujan-ujanan sih, nanti kalau mbak sakit kami yang dimarah Den Rangga,” Bik Ratih berlari tergopoh setelah melihatku di depan pagar, membawakan payung
….Aku duduk di teras rumah, menyesap secangkir susu ibu hamil dilengkapi dengan buah buahan. Kuusap perut yang telah membuncit. Sudah empat bulan Mas Danu tidak pulang, kerinduan kami hanya bisa tersalurkan melalui panggilan video call. Rumah yang kini telah berdiri megah terasa begitu sepi meski ada dua orang pembantu dan beberapa satpam yang diminta Mas danu untuk menjaga. Padahal aku tak perlu mendapatkan penjagaan yang begitu ketat tetapi suamiku itu memaksa. Bahkan di setiap sudut rumah terpasang CCTV, entah apa yang dia khawatirkan padahal disini tak mungkin ada orang yang akan berniat jahat.Ponsel disampingku bergetar, kulihat layar dan segera menggeser tombol hijau. Memperlihatkan wajah Mas Danu. Aku tersenyum menyambutnya.“Udah sarapan Sayang?” tanyanya.Aku mengangguk. “Mas dikantor? Udah sarapan?”Ingin sekali aku menjadi istri sepenuhnya seperti dulu, menyiapkan makanan untuknya, menyiapkan pakaiannya. Namun, aku harus bersabar, setelah mengatakan alasannya tak ingin me
“150 juta, apa kamu punya uang sebanyak itu untuk membayar rumah Mbah?” tanya Tante Diana, menatap Mas Danu merendahkan, tatapan sinis jelas sekali ia tak suka suamiku bertanya.Mas Danu tersenyum, menunduk sesaat. Lantas mengangkat wajah menatap Tante Diana. “Cuma segitu?”Tante Diana melotot bersiap menjawab ucapan Mas Danu, tetapi Om Herman lebih dulu maju.“Kamu enggak usah sok belagu, daripada banyak tanya lebih baik cepet kasih uangnya. Lagipula ini juga gara-gara mertuamu itu.”Aku memegang lengan Mas Danu, lalu menggeleng lemah, memintanya untuk tidak menuruti kemauan saudara-saudara bapak.Pakde Tarno tertawa keras. “Udah pasti dia itu enggak punya duit, mobil itu mungkin punya bos atau majikannya, bangun rumah juga pasti hasil ngutang. Orang miskin mana mampu dapat orang kaya. Apalagi Nisa dulu sering gagal nikah sampai delapan kali, orang kaya mana yang mau menikah sama dia, juga pasti mikir-mikir,” caci Pakde tarno.Bapak keluar dengan wajah merah padam, menggertakan gigi
“Bagaimana pekerjaanmu Nu?” tanya bapak, kami sednag berbincang sambil menonton televisi.“Lancar Pak. Besok aku berangkat ke kota, mungkin kali ini sedikit lama karena memang pekerjaan lebih banyak,” jawab Mas Danu.Ah, rasanya berat sekali melepas kepergiannya, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.“Berapa hari Mas disana?” Aku menyahut.Mas Danu mengedikkan bahu. “Kalau pekerjaan udah selesai nanti secepatnya aku pulang Dek.”Aku mengangguk lemah. Sebenarnya aku ingin tahu lebih detail apa pekerjaan suamiku di kota, tetapi setiap kutanyakan ia selalu menjawab sekenanya. Buruh, sopir, dan yang lainnya, entah mana pekerjaan tetapnya, dan lebih membingungkan bagaimana seorang buruh bisa memberiku banyak barang mahal. Aku pernah mencecar Mas Danu dari mana uang untuk membeli semuanya, dia menjawab itu uang halal, aku tak perlu khawatir. Jika sudah waktunya ia akan mengajakku ke kota. Aku sendiri tak tahu kapan waktu yang tak pasti itu.Suara deru mesin mobil membuatku beranjak, melihat
“Mas, keluarga mas di kota gimana? Maksudku apa mereka enggak ….”“Yang penting aku cinta kamu,” sela Mas Danu sebelum aku selessi bicara.Aku menatap kesal, ia masih terus asyik mencuci ubi yang baru saja kita ambil dari kebun belakang. Karena terlalu sibuk mengurus bapak, kebun kecil peninggalan ibu itu telah lama tak terurus. Bunga-bunga kesayangan ibu banyak yang telah mati, rencana aku akan merawatnya kembali nanti setelah bapak sudah betul-betul sehat.“Bukan gitu Mas, maksudku nanti mereka apa enggak keberatan kalau tahu mantunya ini orang desa.” Kupertegas kata tanpa basa-basi.“Yang penting aku cinta kamu,” jawabnya, mengulang jawaban yang sebelumnya.“Mas, aku serius,” rajukku. Baginya mungkin bukan masalah, tetapi bagi seorang perempuan respon keluarga besar akan sangat mempengaruhi kehidupan setelah menikah, walaupun terpenting adalah sikap dan kebijakan suami.“Aku juga serius Dek.” Mas Danu menghentikan aktivitasnya, lalu menatapku dengan senyuman.Aku menghela nafas. “