Share

BAB 4 Pengen Nikah

Maya menatap pemandangan di luar dengan wajah cemberut. Sementara di sampingnya Zayyan mengemudikan mobilnya mengabaikan Maya. Ketika hari hampir petang Zayyan langsung menyuruhnya pulang. Meski Maya sudah menolak dan memberi alasan bahwa ia sudah besar, pria itu tetap kekeh dengan keputusannya. Bahkan saat Maya meminta bantuan pada Ian, laki-laki itu hanya mengendikkan bahu menolaknya. Dia malah asik menghabiskan camilan yang telah dipesan oleh Zayyan lagi. Dita yang belum mengenal dekat hanya bisa diam tak membantah jadi Maya tak mendapatkan dukungan dalam memprotes Zayyan. Baru saja mereka selesai mengantarkan Dita yang mana Zayyan mengikuti mobilnya dari belakang. Kemudian Maya berpindah ke mobil Zayyan untuk mengantarnya ke rumah.

Tiba-tiba mobil berhenti. Mereka berhenti di minimart dan Maya melirik ke arah Zayyan yang turun dari mobil. Pria itu tak mengatakan apapun yang membuat Maya semakin sebal. Setelah sekian tahun tidak bertemu mengapa laki-laki yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu jadi menyebalkan seperti ini. Padahal dulu ia ingat Zayyan selalu menjadi tempatnya berlindung dari kejahilan Ian, meskipun untuk beberapa hal pria itu sangat tegas dengan prinsipnya dan sampai sekarang rupanya tetap seperti itu. Sifatnya yang ini membuat Maya jadi kesal, tapi ia benci pada dirinya yang tidak bisa membantah Zayyan.

Tak lama kemudian Zayyan kembali membawa kantong kresek putih berlogo minimart tersebut. Kantong tersebut langsung ia taruh di atas paha Maya yang membuat gadis itu memekik kaget. Ada sensasi dingin menembus kulitnya. Ketika ia buka Maya menemukan dua buah cup es krim rasa bluberi yang membuat ia langsung memasang senyum lebar.

“Mas Yan beliin aku es krim?” tanya Maya dengan nada harap. Hal ini dikarenakan Maya suka es krim rasa bluberi dan Zayyan tahu tentang hal itu.

“Kata siapa? Mas lagi nyetir jadi minta kamu suapin Mas,” jawab Zayyan yang langsung membuat mood Maya turun seketika. Wajahnya menekuk seperti sebelumnya bahkan lebih dalam karena saking kesalnya mendengar jawaban Zayyan.

Mata Zayyan melirik melihat wajah Maya yang terlihat kesal. Bibirnya mengerucut dengan lucu membuat Zayyan menahan senyumnya. Meski Maya tampak marah, gadis itu tetap membuka cup es krim tersebut dan menyendokkannya untuk disuapkannya kepada Zayyan. Tentu Zayyan dengan senang hati membuka mulutnya untuk melahap es krim tersebut yang menimbulkan perasaan kecut di hati Maya.

“Habiskan!” ucap Zayyan setelah menerima suapan sesendok es krim. Perkataan Zayyan sontak mengubah ekspresi Maya menjadi cerah seketika. Tangannya langsung menyendok es krim tersebut dengan semangat dan memakannya dengan wajah gembira.

Zayyan yang meliriknya dari kursi pengemudi terkekeh memandangi hal tersebut. Ia mengulurkan salah satu tangannya mengacak rambut Maya dengan gemas. Sebenarnya dia memang sengaja mampir membeli es krim untuk Maya. Zayyan tahu kalau tadi Maya sedang kesal karena ia paksa pulang. Jadi ia membeli es krim dengan rasa kesukaannya untuk menyogoknya. Ketika ia bertanya apakah Zayyan membeli untuk dirinya tentu saja dia tidak akan mengaku seperti itu. Ia memilih untuk menjahilinya karena rasanya melihat wajah cemberut Maya sangat lucu baginya. Adik kecilnya ini memang menggemaskan sejak dulu.

“Dari mana kamu kenal cowok tadi?” tanya Zayyan tepat setelah Maya menghabiskan satu cup es krim. Kini gadis itu sedang membuka cup yang kedua.

“Dating app,” jawabnya. Kemudian Maya menceritakan semua pengalamannya bertemu semua teman kencannya kepada Zayyan dengan lancar.

Zayyan mendengarkannya dengan tetap fokus menyetir. Mendengar cerita Maya membuatnya menghela napas dalam hati. Beruntung teman kencan sebelumnya benar-benar tidak memiliki pasangan seperti yang terakhir ini. Dan beruntungnya lagi ia berada di sana secara tak sengaja sehingga bisa membantu Maya keluar dari masalah.

Saat itu dirinya sedang menunggu kedatangan Ian. Zayyan berada di sini untuk mengecek perkembangan anak perusahaan milik ayahnya dan kebetulan besok adalah hari kepulangannya, maka ia memutuskan bertemu dengan Ian. Tapi, siapa sangka saat itu ia melihat sosok gadis yang tampak tak asing baginya. Melihat wajahnya sebuah bayang anak perempuan muncul dalam pikirannya. Namun, Zayyan menepis pikiran tersebut. Meski kota ini adalah tempat tinggalnya Zayyan berpikir bahwa itu cukup mustahil untuk dapat bertemu Maya yang telah dewasa. Ternyata apa yang ia kira benar, gadis yang duduk tak jauh darinya adalah Maya. Gadis kecil yang dulu selalu manja dan berlindung pada dirinya dari kejahilan Ian kini telah menjelma menjadi gadis yang cantik. Tapi, satu hal yang tak pernah hilang dari Maya. Gadis itu memiliki tawa yang manis.

“Lagian ngapain kamu ikut-ikut cari pacar kayak temen-temen kamu itu? Fokus kuliah kamu dulu, bentar lagi studi kamu selesai kan? Nggak usah pacaran dulu!”

“Ihh, apaan sih Mas Yan! Mas mah enak pasti udah punya pacar bisa bilang kayak gitu! Aku kan pengen ngerasain punya pacar,” keluh Maya yang hanya ditanggapi gelengan oleh Zayyan.

“Kata siapa Mas ada pacar, lagian kamu itu masih muda Maya. Fokus naikin value kamu, nggak usah buru-buru buat cari pasangan. Kalau value kamu bagus pasti bakal ada banyak laki-laki yang datang.”

“Hah! Mas nggak punya pacar! Ihh, jomblo dong! Kalau gitu Mas bisa kapan nikahnya? Nggak kasian nanti kalau punya anak udah tua? Nanti kalau kayak aku kan kasian sendirian, jadi anak tunggal. Mamah sama Papah nikah waktu udah lewat umur tiga puluh, trus cuma punya satu anak. Makanya aku pengen nikah muda biar punya banyak anak, biar nggak sendirian jadi ada temen.”

Zayyan sedikit tersentil saat Maya membawa umurnya. Dia mengulurkan tangannya dan menarik pipinya dengan gemas. “Kamu tu dibilangin malah ngeledek ya! Mas nggak setua itu!”

Maya mengaduh sakit merasakan pipinya dicubit oleh Zayyan, namun ia juga tertawa karena pria itu tampak tersinggung oleh ledekannya tadi. “Bukan ngeledek, tapi cuma mau ngingetin aja. Beneran deh mending Mas cepet-cepet nikah, biar bisa punya banyak anak.”

Zayyan menghela napas, bisa-bisanya dia masih direcoki masalah umur dan pernikahan oleh gadis yang baru menginjak umur dua puluh. Sudah cukup ia ditodong terus oleh Mamahnya kini saat berjauhan dari rumah pun bertemu Maya yang membuatnya pusing.

“Kayak kamu udah siap nikah aja,” sahut Zayyan.

“Udah dong! Aku pinter masak, ngurus rumah pun juga bisa, terus pinter jadi aku percaya diri buat ngajarin anak aku nantinya. Dan yang paling penting aku cantik dan sayang anak!” Maya terkekeh geli mendengar dia memuji dirinya sendiri. “Oh…, atau aku nikah sama Mas aja? Kan Mas jomblo dan udah tua, terus aku pengen nikah muda. Nah, pas kan! Kita sama-sama butuh lhohh!”

Zayyan tertawa. “Oke, kalau gitu besok Mas bakal bilang sama Om dan Tante buat lamar kamu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status