Ayu menghela napas panjang. Ayu beristighfar. Rasanya berat dan sulit untuk memohon ampun kepada Allah. Lidah Ayu mendadak kelu. Kemarahan telah menguasai hatinya. Lagipula, wanita mana yang tidak akan marah saat kenyataannya suami dan adiknya begitu tega melukainya, merusak kepercayaan yang selama ini Ayu berikan.
"Ayu, apakah sudah nggak ada lagi tempat di hatimu untuk aku? Ayu, ingat ada Rey yang masih membutuhkan kita." Ucap Anton dengan wajah memelasnya. Ayu tersenyum kecut. Air matanya kembali menetes. Ayu masih sangat mencintai suaminya itu, tapi di lain sisi, Anton sudah menyakiti hatinya, bahkan sangat sakit. Tapi Ayu juga tidak mau jika Vika terabaikan. Masalah ini sangat berat bagi Ayu. Keputusan apapun yang Ayu ambil pasti akan membuatnya terluka dan sakit. Dalam masalah ini, Ayu adalah istri yang menginginkan sosok suami tetap ada, di lain sisi, Ayu adalah seorang kakak yang tidak mau adiknya terluka. Ayu menghapus air matanya, di tatapnya lekat-lekat Anton. Ayu kembali meyakinkan hatinya, keputusan Ayu sudah tidak bisa di tawar lagi, bagi Ayu sudah tidak ada jalan lain selain cara itu. "Kita akan tetap bercerai, Mas. Kita bercerai secara baik-baik." Ucap Ayu. "Ayu pikirkan cara lain, selain perceraian. Pasti ada cara lain." Ucap Anton memotong ucapan Ayu. "Jangan menyela ucapanku, Mas. Biarkan aku bicara!" Ayu mencoba tetap tenang dan mencoba menahan agar air matanya tidak kembali menetes. "Kita akan tetap bercerai. Rey tidak akan kehilangan ayahnya karena kita akan tetap tinggal bersama. Bedanya kamu sudah bukan suamiku lagi, dan kamu akan menikahi Vika dan menjadi suaminya. Itu artinya kamu akan menjadi... adik iparku." Ayu sangat berat mengucapkan dua kata terakhirnya. Hati Ayu terasa hancur, tapi walau begitu tidak ada pilihan lain bagi Ayu selain cara itu. "Ayu, kenapa harus berakhir seperti ini?" Lirih Anton. "Jangan bertanya padaku, Mas. Sudah terlambat untuk mengubah takdir. Sekarang kita hanya perluh menjalani apa yang ada di depan mata." Ayu bangkit dari tempat duduk, ia berjalan menuju ke kamar dan meninggalkan Anton bersama dengan Bi Sari. Ayu memilih mengunci diri di kamar hingga sore menjelang. Ayu ingin sendiri, ia masih mencoba berdamai dengan takdir. Takdir yang mengharuskan dirinya dan Anton berpisah. *** "Bagaimana saudara-saudara? Sah?" Tanya penghulu. "Sah.." ucap beberapa orang dengan bersamaan. Bagai di sambar petir di siang hari, hati Ayu terasa sakit dan hancur berkeping-keping. Sesak, saat Ayu melihat dua insan manusia yang kini telah sah menjadi sepasang suami istri. Terlebih lagi suami yang dulunya sangat ia cintai kini telah berubah status menjadi adik iparnya sendiri. Ayu menunduk, ia tidak sanggup membendung air matanya. Ayu meremas-remas tangannya sendiri. Telapak tangannya kini sudah dingin dan berkeringat. Bi Sari segera memegangi tangan Ayu, seakan mengerti dengan perasaan Ayu saat ini. "Kuatkan hatimu, Yu. Allah pasti tau kamu akan kuat menghadapi semua ini." Ayu hanya mengangguk mendengar kalimat penguat yang Bi Sari ucapkan. *** Acara akad nikah dan syukuran atas pernikahan Anton dan Vika sudah selesai. Bahkan tamu-tamu sudah beranjak pulang, dan hanya menyisahkan beberapa orang saja. "Yu, kalau kamu merasa nggak nyaman berada disini, kamu bisa tinggal di rumah Bibi. Lily nggak akan keberatan jika kamu akan tidur sekamar dengannya." "Iya Kak Ayu, Lily nggak keberatan kok." Sahut Lily. Ayu menghela napas dalam-dalam. "Aku masih bingung, Bi." "Bibi mengerti. Bibi hanya ingin kamu tahu, pintu rumah Bibi akan selalu terbuka untuk kamu." "Makasih, Bi. Ayu nggak tau gimana nasib Ayu kalau nggak ada Bibi. Bibi udah Ayu anggap seperti Ibu Ayu." Ayu memeluk Bi Sari dengan erat dan Ayu sangat nyaman berada di pelukan wanita itu. "Bibi juga sudah menganggap kamu seperti anak sendiri. Karena itu tetaplah tinggal di rumah Bibi, kalau kamu mau." "Bunda... Ayah dimana? Kok Bunda nangis terus dari tadi?" Tiba-tiba Rey menghampiri Ayu dan langsung melontarkan pertanyaan kepada Ayu. "Ayah masih di depan sama Tante Vika." Jawab Ayu. "Kok tadi Ayah kayak orang nikah yah Bun, sama Tante Vika?" Deg! 'Tuhan tolong berikan aku kekuatan.' Batin Ayu. Ayu memeluk tubuh putranya itu dengan erat. "Bunda nangis lagi? Rey nggak nakal kan, Bun?" Rey dengan polosnya menghapus air mata Ayu. Rey kira ia sudah bersikap nakal sehingga membuat ibunya menangis. "Nggak sayang... kamu nggak nakal, Rey anak baik." Ucap Ayu pada putranya. Bi Sari dan Lily terharu melihat Ayu dan Rey. Ayu sendiri bingung harus menjelaskan seperti apa kepada Rey. Ayu menatap Bi Sari seolah meminta saran. "Cepat atau lambat, kamu memang harus memberi penjelasan pada Rey, Nak." Ucap Bi Sari sembari membelai wajah Rey dengan lembut. Ayu menatap Rey dengan nanar. Ayu tak tega bila suatu saat ia akan mengatakan bahwa Vika sudah menjadi ibu tirinya. "Bi..." panggil Ayu lirih. "Rey, nenek mau tanya sama Rey. Rey sayang nggak sama Bunda?" "Sayang dong, Nek. Rey sayang banget sama Bunda." "Kalau begitu, Rey jagain Bunda yah. Nurut sama Bunda." Rey menatap Ayu, lalu kembali menatap Bi Sari. "Iya Nek. Rey dan Ayah akan menjaga Bunda." Mata Ayu kembali berkaca-kaca mendengar ucapan Rey. Lily mengusap-usap punggung Ayu untuk menenangkan. "Iya sayang... tapi, sekarang Ayah nggak cuma jagain Bunda. Ayah juga harus jagain Tante Vika. Karena itu, Rey nggak boleh bantah perkataan Bunda, biar nanti Bunda nggak sedih." Ucap Bi Sari pelan-pelan. "Kenapa Ayah harus jagain Tante Vika?" Rey tampak bingung. Ayu dan Bi Sari saling bertatapan lalu kembali beralih menatap Rey. "Rey, kalau nanti Rey punya adik bayi, Rey suka nggak?" Tanya Bi Sari sedikit ragu. "Adik bayi? Emangnya dalam perut Bunda ada adik bayi?" Rey menatap perut Ayu. Ada nada tak suka yang Ayu tangkap melalui ucapan Rey saat mendengar kata 'adik.' "Kapan dia akan lahir, Bun?" Tanya Rey. Bi Sari menatap Rey dengan tatapan nanar, lalu ia menunduk menyamakan dirinya dengan tubuh Rey. "Rey..." panggil Bi Sari. "Rey akan memiliki adik, tapi adik bayinya tidak berada di dalam perut Bunda." Ucap Bi Sari dengan hati-hati. "Terus, adik bayinya ada dimana, Nek?" Tanya Rey semakin penasaran. Bi Sari menatap Ayu. Ayu mengangguk memberi persetujuan jika Bi Sari akan memberi tahu Rey sekarang. "Rey bakalan punya adik, tapi..." ucapan Bi Sari terjeda beberapa detik. "Sekarang adik bayinya ada di dalam perut Tante Vika. Karena itu Ayah harus jagain Tante Vika juga." Lanjut Bi Sari. Rey terdiam, ia bingung dengan perkataan Bi Sari tadi. "Kok di dalam perut Tante Vika, sih? Kalau adik Rey, kan ada di dalam perut Bunda, kalau belum lahir."Sikap Anton menjadi berubah semenjak ia mengetahui Ayu berkenalan dengan Adam. Anton menjadi sangat perhatian kepada Rey. Sudah beberapa hari ini dia memaksa untuk mengantar Rey ke sekolah.Rey tentunya senang dengan perhatian ayannya. Dibalik semua itu, Ayu harus menghadapi kecemburuan Vika yang sudah kelewatan. Bahkan adiknya itu mengucapkan kata-kata yang semakin pedas untuknya."Kamu jangan gunakan Rey buat cari perhatian Mas Anton dong, Kak. Kamu nggak kasihan sama Inara? Inara masih kecil dan butuh perhatian lebih dari ayahnya!"Vika datang pagi-pagi sembari menggendong bayinya yang sedang menangis, untuk melabrak Ayu dirumah Bi Sari, tepat setelah Anton berangkat mengantar Rey ke sekolah."Kamu kalau bicara jangan sembarangan ya, Vik. Bukan aku yang minta suami kamu buat antar-jemput Rey. Dia sendiri yang maksa buat melakukan itu!""Kamu nggak usah ngelak, Kak! Akui aja kalau memang kamu masih mengharapkan Mas Anton, tapi nggak kayak gini caranya, Kak Ayu!" Suara Vika semakin k
Rey langsung berlari menghampiri Anton, "Ayah... Lihat, Rey dapat mainan baru. Bagus kan?" Anton menggendong Rey lalu mencium pipi putranya. Sedetik kemudian, ia menatap Bi Sari dan Ayu. Ayu bisa melihat dari raut wajah mantan suaminya itu, ada terbesit tanda tanya. "Iya, bagus sekali pesawatnya. Apa Bunda yang belikan?" tanya Anton. "Bukan Ayah, ini hadiah dari Om." Rwy begitu jujur. "Om? Om siapa?" Anton menurunkan Rey dari gendongannya. Matanya tertuju pada Ayu seolah ingin diberi penjelasan. "Ooh, Adam. Itu yang barusan pergi dari sini. Nanti Om Adam juga mau ngajak Rey sama Bunda jalan-jalan," ucap Rey pada sang ayah. Anton semakin penasaran setelah mendengar cerita Rey. Ia lalu mendekati Bi Sari yang masih duduk sedari tadi. "Siapa Adam?" Anton meminta penjelasan. Ayu lebih memilih diam. Ia tidak ingin mengatakan apapun pada mantan suaminya itu. "Dia putranya Pak Ramzi," jawab Bi Sari. "Pak Ramzi yang di kampung sebelah?" "Iya
Tidak bisa di pungkiri Ayu terkejut dengan perkataan Adam. Laki-laki itu seolah sudah mengenal Ayu dengan baik. Tentang pernyataannya yang akan menerima Rey sebagai anaknya. Semua itu menimbulkan banyak tanya dalam benak Ayu. Apakah Bi Sari yang sudah memberi tahu Adam banyak hal tentangnya? Tapi Ayu rasa tidak mungkin Bi Sari seperti itu. "Bunda, Rey lapar," rengek Rey. Ayu tersadar dari lamunannya. Bi Sari dan Adam juga menatapnya, dan hal itu membuat Ayu jadi salah tingkah. "I–iya sayang. Kita makan, ya?" ucap Ayu pada Rey. "Mari, Mas. Sambil makan dulu, Mas." Ayu mempersilahkan untuk mengambil makan siang yang sudah dihidangkan. "Nggak perluh sungkan, Nak. Ambil dan nikmati, tapi adanya ya seperti ini," ucap Bi Sari sambil mengambil makanan. "Makanannya sangat banyak, Bi. Sampai bingung mau pilih yang mana." Adam pun mulai mengambil makanannya, hal itu tak luput dari pandangan Ayu. Ayu tersenyum tipis saat ia melihat Adam yang terlihat lahap
Ayu memikirkan dengan matang-matang mengenai tawaran Bi Sari untuk berkenalan dengan Adam, anak dari Pak Ramzi. Setelah tiga hari Ayu mempertimbangkan semua itu, akhirnya ia mau menerima tawaran itu. "Kamu sudah siap, Yu?" tanya Bi Sari. "Iya, Bi. Ini aku tinggal pake kerudung saja," jawab Ayu. Ayu memang tidak akan bertemu dengan Adam sendirian. Bi Sari dan Rey tentu saja akan ikut. Sedangkan Adam akan datang sendirian, karena ayahnya Pak Ramzi ada urusan mendadak keluar kota. *** Awalnya Pak Ramzi menawarkan bertemu di rumah Bi Sari, tapi Adam bilang kalau dia ingin bertemu di rumah makan milik Ayu saja. Selain memiliki toko, Ayu juga memiliki rumah makan, yang jarang ia kunjungi. Walaupun begitu, Ayu sudah mempunyai orang kepercayaannya yang bisa mengurus rumah makan miliknya, jika ia tidak bisa datang untuk berkunjung. Ayu dan Bi Sari berangkat saat siang, karena mereka akan menunggu Rey pulang sekolah dulu, baru bisa pergi ke rumah makan. "
"Memangnya Bibi mau aku kenalan dengan siapa?" tanya Ayu penasaran. Sebenarnya Ayu masih tidak ingin untuk mengenal orang baru, tapi karena ia melihat kesungguhan di wajah Bi Sari, ia jadi tidak enak kalau menolak. "Kamu kenal dengan Pak Ramzi yang tinggal di kampung sebelah itu kan, Nak?" Ayu mengerutkan dahi, ia tahu orang yang dimaksud oleh Bi Sari. Pak Ramzi adalah seorang duda yang terkenal baik dan dermawan. Tapi, apa iya Bi Sari akan menjodohkan Ayu dengannya? Usia Pak Ramzi saja sama dengan usia ayah Ayu jika saja ayahnya masih hidup. "Kamu kenapa, Yu?" tanya Bi Sari yang melihat Ayu nampak kebingungan. "I–iya, aku tahu Pak Ramzi yang dari kampung sebelah. Dia yang juragan lele itu, kan?" tanya Ayu memastikan. "Iya, dia maksud Bibi." "Jadi Bibi mau menjodohkanku dengan Pak Ramzi?" sahut Ayu dengan cepat. Ia langsung panik. Mengapa Bi Sari ingin mengenalkan dirinya dengan orang yang lebih pantas menjadi ayahnya? Bi Sari tertawa mendengar
"Kamu harusnya bisa bersikap tegas pada istrimu, ketika apa yang dia lakukan salah. Aku nggak akan meminta kamu memberi yang lebih, cukup luangkan waktumu untuk Rey. Temani dia dan berikan kasih sayangmu. Kamu harus adil, Mas. Anak kamu bukan cuma Inara. Rey juga anakmu. Kamu juga tahu sendiri kan, bagaimana Rey sangat sayang dan mengidolakan kamu sebagai ayahnya," omel Ayu. Anton menghela napasnya dalam-dalam, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku bingung, Yu. Vika selalu menakutiku dengan banyak hal. Aku juga takut, kalau aku nggak menuruti keinginannya, dia akan kembali mencampakan Inara. Aku nggak tega dengan bayi kecilku," ucap Anton. "Jadi kamu nggak tega sama Inara, tapi kamu tega sama Rey? Iya?" Sungguh ucapan Anton benar-benar membuat Ayu semakin kecewa. "Bukan begitu, Ayu. Tolong kamu mengerti dengan kondisiku," ucap Anton dengan memelas. "Kalau aku berusaha mengerti kondisimu, apa kamu bisa mengerti keinginan Rey? Dia juga ingin di antar ke s