Bab 37.A SM(POV Amira)Ibu bilang Satria masih menunggu di teras, katanya ia takkan pergi sebelum aku keluar menemuinya, padahal aku ingin sendiri menata hati ini mengapa lelaki itu tak mengerti? dipikir tak sakit hati melihat calon suami begitu dekat dengan wanita lain.Apa semua lelaki memang sama-sama menyebalkan seperti Mas Heri? "Emang kenapa kok ga mau nemuin Satria? ada masalah apa?" tanya ibu mendekati.Aku diam saja tak tertarik berbagi kisah cinta ini padanya."Temuin aja sebentar abis itu masuk lagi, ayo sana." Ibu mengambil Hanan dari pangkuanku.Dengan terpaksa meraih jilbab ala kadarnya lalu melangkah ke luar, lelaki itu langsung berdiri dan menghampiri."Amira, maafin aku semua ini ga seperti yang kamu lihat, dia ke rumahku cuma caper, dan masalah unggahannya di Instagram itu cuma ngada-ngada, please jangan ngambek dong," ujarnya, bicara tanpa jeda."Aku ga ngambek kok, cuma tahu diri aja emang ga pantes buat kamu," jawabku sambil duduk di kursi, tampang judes sengaja
Kulihat dari kaca jendela seorang perempuan yang umurnya tak jauh beda dengan ibu keluar dari mobil tersebut, lalu setelahnya terlihat Satria keluar dari pintu depan, mereka berjalan bersisian membukakan pagar yang sedikit terbuka.Jangan-jangan itu Mama Rosa? seketika aku panik bingung harus apa, masa iya menemuinya mengenakan daster saja."Kamu kenapa? itu ada yang ketuk pintu kok ga dibuka?" tanya ibu membuatku kaget saja.Tanpa menjawabnya segera aku cuci muka lalu masuk kamar memilih baju yang paling sempurna, senada dengan hijabnya yang menambah kesan sopan dan elegan.Dari pandangan pertama manusia akan menilai dari segi penampilan, semakin sopan ia berpakaian pastilah semakin baik penilaiannya."Amira, Satria ke sini bawa mamanya, kenapa kamu ga bilang Ibu 'kan bisa siapin makanan," ujarnya sambil menghampiriku dekat meja rias."Aku juga ga tahu dia mau ke sini, dadakan kayanya, mereka udah masuk?" tanyaku sambil merapikan jilbab.Untuk wajah sengaja tak meriasnya karena dalam
(POV Heri)"Ibu ini bukan pembantu kalian, aku ini orang tua kalian!" sungut ibu marah-marah.Aku berdecak kesal pasalnya setiap hari selalu saja ada keributan, padahal sekarang aku dan Ardan sudah bekerja ya walaupun hanya jadi montir serabutan."Yang namanya numpang itu harus tahu diri dong," sahut Tante Eva dengan gemulaiWanita itu memang pandai menyulut api, semua pertengkaran yang terjadi antara ibu dan Tania pasti berawal dari kata-kata pedasnya, andai saja kami masih punya rumah, sudah kutinggalkan neraka ini."Dasar ga pernah makan bangku sekolah! Begitu kelakuannya sama orang tua, gini-gini juga aku mertuamu, Tania!" sergah ibu penuh emosi."Hallaaah sudahlah, kalau ga mau masak ya sudah tidur aja sana, biar kita berdua order makanan, iya ga, Tante? kalau masih mau makan ya masak kalau ga mau puasa aja jangan minta makanan sama kita," jawab Tania dengan pongah.Jujur, sebagai suami dan anak harga diri ini terasa diinjak-injak, hanya karena tak bisa memberinya uang banyak ia
(POV HERI)"Jadi pembantu di rumah orang, Alhamdulillah dia mau bayar harian ga dibulankan, kalau ga gini kita ga bisa bayar hutang!" Dadaku makin sesak mendengar ucapan ibu, teringat dulu ia selalu memperlakukan Amira seperti pembantu padahal ia seorang menantu, kini semua kesusahan dan kesedihan itu berbalik pada diri kami masing-masing."Maafkan aku, Bu. Tapi gimana lagi Ibu sabar aja dulu semoga ke depannya aku dapat kerjaan yang mendingan, dulu aku pernah bilang 'kan jangan banyak berhutang, sekarang Ibu rasakan sendiri akibatnya.""Ibu sudah bilang ceraikan Tania dan kembalilah dengan Amira, Ibu yakin lama-lama dia akan luluh kalau kamu tulus, lihatlah sekarang dia sudah kaya," ucap ibu seenaknya.Aku memandang ibu dengan kecewa karena bisa mengatur hidupku seenaknya, dipikir mudah mengejar Amira yang sudah terluka, dipikir ia wanita bo*oh yang mudah terbuai dengan kata cinta."Dahulu waktu jadi istrimu dia ga kurang ajar seperti Tania, malah kalau Ibu minta uang dia suka ngas
(POV Heri)"Bu, Tania mau adopsi anak, aku tuh pusing, Hanan sama Nasya aja ditelantarkan, bisa-bisa aku gila karena larut dalam penyesalan kalau beneran adopsi anak," ujarku, mencoba berbagi duka dengan ibu.Kebetulan Tania sedang tak ada di rumah, ia bilang ingin berbelanja dengan Tantenya, entah ia punya uang dari mana, karena nafkah yang kukasih hanya cukup untuk makan saja."Jangan diturutin! Kamu harus tegas sama Tania, kalau mau anak ya hamil sendiri ngapain harus ngurusin anak orang, mending kalau anak itu diambil dari keluarga baik-baik, lah kalau anak hasil perzinahan atau anak dari orang tua yang penyakitan misal HIV, 'kan ngeri," jawab ibu, memang ada benarnya juga."Aku juga udah nolak eh dia malah ngasih aku pilihan kita ngurus Hanan atau adopsi anak," jawabku sambil mengacak rambut."Kalau ngurus Hanan sih Ibu setuju, tapi masalahnya 'kan Amira mana mungkin ngasih. Sudahlah Ibu bilang juga balikan lagi sama dia."Curhat dengan ibu bukan menemukan solusi malah memperkeru
"Apa? mau marah?! Emang kenyataannya kamu itu mandul ga bisa kasih keturunan, sekarang aku faham yang mandul itu bukan Satria tapi kamu 'kan? lihatlah sekarang mantan suamimu mau nikah dengan Amira janda anak dua, lihat saja nanti Amira bisa hamil lagi atau engga." Ibu menyeringai puas."Oh ya satu lagi kalau sampai kamu beneran adopsi anak maka akan kusuruh Heri untuk ceraikan kamu, silakan urus anak pungut itu seorang diri kalau berani."Lepas meluapkan emosinya ibu beranjak pergi, tapi tak berselang lama Tania murka dengan cara menjerit sekeras-kerasnya, membuat semua orang jadi tutup telinga."Aku ga mandul! Lihat saja nanti nenek lampir aku bakal hamil dan punya anak!" teriaknya dengan bercucuran air mata.Aku tak dapat membeli siapa diantara mereka, juga tak bisa menenangkan Tania karena mulutnya sudah sering membuat hatiku terluka, jadi rasa iba mendadak sirna."Sudah Tania jangan nangis." Tante Eva merangkul menenangkan keponakannya."Kamu tuh ya dasar benalu, udah numpang di
(POV Heri) Benar saja diantara kerumunan aku melihat ibu mengerang kesakitan, beberapa orang sempat memberikan pertolongan pertama pada lukanya.Aku dan Ardan cepat berlari membelah kerumunan, saat sudah mendekat ternyata ibu sudah kehilangan kesadaran. "Ibuu!" teriak Ardan sambil menangis sesenggukan.Aku pun ingin menangis. Akan tetapi, air mata ini tertahan lantaran malu banyak pasang mata yang menyaksikan.Beruntung ada seseorang yang baik hati mau memberikan tumpangan, entah dia siapa yang jelas aku membantu warga lainnya menggotong tubuh ibu masuk ke dalam mobil.Di rumah sakit aku kembali kebingungan bagaimana membayar administrasi pengobatan ibu yang kemungkinan akan dirawat inapResepsionis bilang jika ibu memiliki BPJS maka kartu itu bisa digunakan, terpaksa aku kembali ke rumah karena yang kutahu ibu memang memilikinya."Ardan, jagain Ibu dulu aku mau ngambil berkas-berkas buat administrasi."Ia menganggukkan kepalanya.Tiba di rumah Tania menatapku tanpa gairah."Tania,
(POV HERI).Baru saja bisa bernapas lega sudah ada lagi kejadian yang menyesakkan dada."Kok ada lagi sih, bukannya tadi pagi udah ada yang nagih ke rumah?" Aku pusing tujuh keliling, tak habis fikir pada ibu yang memiliki hutang begitu banyak."Mana aku tahu, ini orangnya beda lagi bukan yang tadi, pokoknya kamu cepet pulang dan siapkan uang, aku ga mau ada keributan.""Iya aku pulang sekarang."Telpon tertutup, rasanya jengkel sekali melihat tingkah laku ibu, apakah ia tak pernah memikirkan bagaimana melunasi hutang-hutangnya?"Ada apaa lagi sih?" tanya Ardan."Ada yang nagih hutang lagi ke rumah pasti bank emok tuh, mau bayar pakai apa coba," keluhku sambil memijat kening."Aku juga ga punya, Ri. Coba kamu pinjem ke Mbak Amira aja, aku yakin dia pasti ngasih, sekarang 'kan dia banyak uang." Mendengar usul Ardan aku jadi garuk-garuk kepala, apa kata dunia jika seorang Heri meminjam uang pada mantan istri."Ga usah gengsi atau malu, Ri. Kita 'kan kepepet,"sahut Ardan lagi menggampa