공유

Kehidupan Baru Nadia

Hari telah berganti, ini adalah hari pertamanya kembali ke kampus. Nadia segera mendapatkan sambutan dari sahabatnya Amira dan Devan. "Wellcome back!" riang Amira.

"Kalian tunggu saya?" goda Nadia.

"Iyalah, terus tunggu siapa lagi." Pelukan Amira segera melingkar di tubuh Nadia, sedangkan Devan hanya mengucapkan kalimat sambutan senada dengan Amira atas kembalinya sang sahabat. Kini, Amira sudah melepaskan pelukannya, gadis ini segera mengungkapkan hari-harinya tanpa Nadia, "Selama satu bulan ini kita sangat kehilangan kamu, kampus terasa aneh tanpa kamu."

"Masa sih, seharusnya hilangnya saya tidak akan mengubah apapun."

"Tentu saja mengubah keadaan. Ish, jangan menghilang lagi ya ...," mohon Amira yang belum mengetahui penyebab dari menghilangnya Nadia.

"Iya, saya janji." Nadia berani mengatakannya karena kini biaya kuliahnya sudah dilunasi hingga lulus dan andai terdapat biaya lain maka dirinya tinggal membuat laporan pada Wira.

"Sip, akhirnya ... Nadia kembali," riang Amira mengalahkan Nadia.

Kuliah hari ini sangat berbeda untuk Nadia karena jika biasanya setelah kembali dari mengenyam ilmu dirinya akan disambut oleh Abraham atau jika pria itu sedang tidak di rumah maka gadis ini akan mendapatkan kalimat manis dari ayahnya lewat secarik kertas berhiaskan setangkai bunga atau cokelat. Abraham adalah sosok romantis bagi Nadia karena pria ini memang sengaja membentuk kepribadian seperti itu semenjak Naila pergi entah kemana? Dirinya ingin sang putri tetap bersyukur walau hanya memiliki orangtua tunggal.

"Sekarang tidak akan ada kalimat manis dari papa atau sambutan hangatnya," lirih Nadia saat materi berlangsung.

Seusai kuliah, dirinya tidak memiliki rencana kemanapun selain pulang. Maka, gadis ini segera menuju ke halte bus. Namun, hal ini membuat penasaran Amira dan Devan yang sengaja menghentikan mobil untuk mempertanyakan sahabatnya, "Kok kamu di sini, sopir kamu mana?" cemas Amira.

"Eu ... hari ini tidak bisa jemput," jawab bingung Nadia.

"Iya sudah, pulang sama kita saja," ajak Amira dengan senang hati sama halnya dengan Devan.

"Tidak usah, saya akan ...." Kalimat Nadia dijeda kala sebuah mobil mewah berhenti tepat di belakang mobil milik Devan.

Abimana baru saja menampakan dirinya. "Yuk pulang," ajaknya pada Nadia yang sedang tercengang dengan kedatangan si pria.

"Eu ...." Nadia tidak mampu memberikan jawaban.

Amira kembali bersuara saat kesimpulan ditarik secepat kilat. "Jadi kamu pulang sama pacar, pantas saja sopir tidak menjemput," godanya dengan kekeh, "iya sudah kalau begitu, kita duluan ya ..., kamu hati-hati," pamitnya dengan senyuman menggoda dan tatapan meminta penjelasan pada Nadia, kemudian berlalu.

Nadia baru saja selesai melambaikan tangannya ke arah punggung mobil yang menaungi Devan dan Amira, sedangkan Abimana masih menunggu di sisi mobilnya.

"Mau pulang, tidak?" tanyanya tanpa memaksa.

Nadia mulai menghampiri mobil Abimana. "Kenapa jemput saya?"

"Kebetulan saya lewat sini dan lihat kamu duduk di halte bus, apalagi kalau bukan mau pulang? Kita sama-sama saja, searah kok," jelas Abimana tanpa senyuman seiring memasang wajah datar, tapi tawarannya tulus.

"Iya," terima Nadia tanpa mengaharapkan apapun dari Abimana.

Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil hanya diisi oleh keheningan. Nadia maupun Abimana sama-sama pelit bicara, hingga hanya satu, dua patah kata yang keluar dari mulut keduanya. Gadis ini mulai menatap ke arah kaca berwarna gelap, menyaksikan pemandangan di luar sana yang cukup menghiburnya dari keheningan.

Sekilas, Abimana melirik ke arah Nadia, kemudian berbasa-basi. "Bagaimana kuliah pertama kamu?"

Nadia segera menoleh ke arah Abimana. "Baik, semuanya lancar, saya sangat berterimakasih pada kebaikan papa kamu," jawab santunnya.

"Baguslah, tidak sia-sia usaha papa." Raut wajah Abimana sedatar tembok di mata Nadia, pria ini menduduki posisi satu-satunya sebagai seorang yang sangat cuek dalam hidup Nadia.

"Saya turun di depan saja," pinta Nadia karena berada terlalu lama di sisi Abimana membuatnya tidak nyaman.

"Itu bukan daerah rumah kamu," heran Abimana.

"Memang bukan, tapi saya mau mampir dulu ke rumah teman," alasan Nadia.

"Oh, iya sudah." Abimana segera menepikan mobilnya tepat di tempat yang diinginkan Nadia, kemudian memersilakan gadis itu keluar dari mobil dengan senang hati.

Nadia sudah menapaki tanah berbalut aspal, kini dirinya hanya berdiri seiring memandangi kepergian mobil Abimana, kemudian terpaku menunggu transportasi umum. "Saya lebih suka Pak Wira membalas jasa baik papa dengan biaya sekolah dan biaya hidup dibandingkan menikah dengan Abimana.

Gambaran hubungan kami sudah terlihat akan canggung, kaku dan mungkin kacau. Saya tidak mau menikah dengan pria dingin seperti itu!"

Transportasi umum yang dinanti Nadia tidak kunjung datang padahal sudah sekitar lima menit dirinya berdiri di tepian jalan. "Kok lama sih ... padahal tempat ini dekat dengan terminal, biasanya angkutan umum banyak sekali."

Nadia menghentakan satu kakinya dengan suasana hati sedikit kelabu di hari yang cerah, kemudian memutuskan menggunakan kakinya sebagai satu-satunya alat transportasi. Baru saja beberapa meter dari tempat sebelumnya, sebuah kalkson memanggilnya dari belakang. Segera Nadia menoleh, ternyata bunyi klakson itu berasal dari mobil Abimana yang sudah memutar arah. "Eu, ka-mu?"

"Iya, saya. Ayo naik lagi. Tidak perlu berbohong ingin mengunjungi rumah teman kalau kenyataannya cuma luntang-lantung tidak jelas," nasihat tegasnya.

"Suka-suka saya!" Nadia tidak peduli pada kritikan Abimana dan melanjutkan langkah.

"Masuk ke mobil saya," paksanya, "matahari sedang sangat terik, kamu tidak mau kan kulit putih kamu berubah gelap!" Seringai tipis tampak misterius.

Nadia segera memandangi kulit tangannya yang dibalut pakaian berlengan panjang. Jadi, hanya punggung tangannya saja yang terbakar sinar matahari, tapi memang dirinya tidak suka kulitnya berubah gelap. Maka, masuk ke dalam mobil Abimana adalah solusinya.

Kini, mobil mewah itu kembali dihuni oleh Abimana dan Nadia. "Kalau tidak nyaman di dekat saya, tidak perlu kamu menghindar begitu saja, katakan saja masalahnya," ucap santai pria ini.

Nadia memandangi Abimana sesaat, kemudian menyahut singkat, "Iya, nanti saya akan mengatakannya."

Abimana melirik pada gadis muda yang baru saja mekar, kemudian berkata, "Saya tidak akan pernah menikahi kamu, kamu tenang saja, saya sudah punya calon istri yang jauh lebih matang dari kamu."

"Saya tahu, terimakasih tidak menikahi saya," jawab segera Nadia seiring mengungkapkan rasa syukur dan kepuasan atas keputusan Abimana.

"Tapi sebenarnya banyak wanita yang tidak rela melihat saya dengan wanita lain, saya ini idola, asal kamu tahu," ucap santai Abimana dengan sedikit senyuman.

"Saya bukan salah satunya, maaf," jawab Nadia yang segera memalingkan wajahnya ke arah kaca karena pria di sisinya tampak besar kepala.

Abimana terkekeh kecil karena kalimatnya tadi tidak bersungguh-sungguh, dirinya hanya ingin mencari kemungkinan Nadia merasa cemburu, tapi segera dirinya mendapatkan jawaban akurat jika kalimatnya tidak berpengaruh sama sekali pada si gadis.

Batinnya berkata. Bagus sekali sikap Nadia yang ini, saya pikir dia akan mengganggu pesta pernikahan saya dan Tania. Tawa kegeliannya dipendam di dalam hati.

Bersambung ....

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status