Share

Bab 4

Penulis: Sinar Rembulan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 16:44:29

Seharian penuh, di sela-sela pekerjaannya, Saira terus memikirkan berbagai kemungkinan jawaban atas semua pertanyaan yang mengusik benaknya. Namun, hingga petang tiba, semuanya tetap menggantung tanpa jawaban.

Saat tiba di rumah, mobil Cakra sudah terparkir rapi di garasi. Ini bukan kebiasaan pria itu; biasanya ia bisa pulang lebih larut.

“Nanti Mama dan Sandrina makan malam di sini.”

Suara bariton Cakra menyambutnya begitu ia melangkah ke ruang tengah. Pria itu tampak sibuk menggulung lengan kemejanya, gerakannya tergesa-gesa.

“Kenapa nggak bilang dari tadi siang?” tanya Saira, menatapnya tajam. “Kalau kamu kasih tahu lebih awal, aku bisa pulang cepat dan menyiapkan semuanya.”

“Nggak sempat,” jawab Cakra singkat tanpa menoleh. “Kalau nggak ada waktu masak, beli aja di luar.”

Saira menahan napas, kecewa. Kalau nanti Mama mertua melihat rumah belum sepenuhnya rapi atau tahu makanannya beli dari luar, siapa yang akan disalahkan? Tentu saja dirinya.

Saira si menantu tak becus, tak pandai memasak. Padahal, putranya sendiri yang tak bisa berkomunikasi dengan baik.

“Jam berapa mereka datang?” tanyanya, mencoba menahan nada kesal.

“Jam tujuh,” jawab Cakra, matanya fokus pada kunci mobil yang diambilnya dari meja.

“Terus kamu mau ke mana?” Saira menyipitkan mata, curiga.

“Keluar sebentar,” jawab Cakra sambil melangkah.

“Ketemu wanita tadi?” pertanyaan Saira langsung menghentikan langkahnya. Ia berbalik, menatap Saira dengan sorot dingin.

“Jemput Sophia di daycare,” ujarnya datar.

Saira mengepalkan tangan, emosi yang sejak tadi ia tahan mulai meluap. “Sophia lagi?”

“Aku cuma jemput dia. Apanya yang kamu ributkan?” balas Cakra.

“Tadi pagi kamu antar dia, sekarang jemput juga. Bukannya itu tanggung jawab ibunya?” sergah Saira.

“Jangan mulai!” hardik Cakra.

“Aku nggak akan mulai kalau kamu nggak bersikap seperti ini! Apa jangan-jangan kamu masih berhubungan sama dia selama ini? Kalian selingkuh?”

“Saira!” nada suara Cakra naik.

“Lantas, alasan apa lagi yang membuat suami meninggalkan istrinya demi urusan wanita lain?” tuntut Saira.

“Sekalipun kamu istri, jangan lupa batasanmu!” Cakra mendekat, berdiri sangat dekat hingga membuat Saira mundur selangkah. “Bisa hidup dengan baik di rumah ini sudah lebih dari cukup buat kamu. Jangan bertingkah seolah punya hak mengatur semuanya!”

Saira terdiam, kedua tangannya mengepal erat. Membalas hanya akan memperburuk situasi. Cakra menarik napas panjang, lalu menunjuk ke arah dapur. “Kalau nggak mau ngurus makan malam, terserah. Tapi jangan cari masalah di saat aku sudah cukup sabar.”

Tanpa menunggu jawaban, pria itu langsung keluar rumah.

Seperginya Cakra, Saira memanggil Bibi Surti, asisten rumah tangga yang telah bekerja lama di rumah itu. Bersama-sama, mereka mulai menyiapkan meja makan, memasak hidangan tambahan, dan memastikan semuanya terlihat rapi.

Namun, waktu berlalu terlalu cepat. Tepat ketika Saira sedang menyusun piring di meja makan, suara ketukan hak tinggi menggema di lantai keramik. Disusul oleh suara desahan napas berat yang langsung membuat Saira menegang.

“Sudah tahu mertua dan ipar mau makan malam di sini, apa pantas penampilanmu seperti ini, Saira?”

Kalimat tajam itu meluncur dari bibir Ambar, mama mertua Saira, dengan nada merendahkan. Saira refleks menundukkan kepala, menghindari tatapan tajam yang diarahkan padanya.

“Ya ampun, apa nggak ada penampilan yang lebih buruk dari ini?” sahut Sandrina yang muncul dari belakang Ambar. Dengan senyum sinis, perempuan muda itu mendekat sambil melirik Saira dari ujung kepala hingga kaki. “Kalau aku jadi kamu, pasti aku sudah dandan dulu. Setidaknya mandi, biar sedap dipandang mertua!”

Saira menelan ludah, mencoba menahan diri untuk tidak membalas. Sejak pertama kali bertemu dengannya, Sandrina memang terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya.

Sandrina mendekati meja makan, mengamati hidangan yang baru saja diatur Saira. “Udah makanannya cuma kayak gini?” Sandrina mendengus. “Kalau bukan karena Kak Cakra, ogah banget aku makan malam di sini!”

Saira menggenggam tepi meja untuk menahan rasa kesal yang semakin membuncah. Bibi Surti, yang baru saja datang membawa hidangan tambahan dari dapur, meliriknya dengan ekspresi iba.

“Makanan ini baru pelengkap, Mbak Sandrina. Ini hidangan utamanya, gulai ikan kesukaan Bu Ambar,” ujar Bibi Surti mencoba menengahi.

“Tetap aja nggak ada spesialnya,” Sandrina mencibir sambil memutar bola matanya.

Ambar kembali menatap Saira. “Sudahlah,” ujarnya dingin. “Kamu siap-siap dulu. Masa penampilanmu begini saat makan malam?”

Saira mengangguk dan buru-buru masuk ke kamar. Setelah merapikan diri, ia kembali ke ruang makan untuk menemani Ambar dan Sandrina. Namun, suasana tetap canggung. Ambar tiba-tiba bertanya, “Saira, di mana Cakra?”

Tenggorokan Saira mendadak kering. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, tetapi suaminya belum juga kembali. Haruskah ia berkata jujur bahwa Cakra sedang menjemput anak mantan kekasihnya?

“Sudah jam segini, kenapa dia belum pulang?” tuntut Ambar lagi, suaranya terdengar tegas.

Saira tergagap, bingung harus menjawab apa. “Cakra...”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 53

    Saira mengembuskan napas lega saat pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Tubuhnya bersandar lemah pada daun pintu, seolah butuh penopang untuk meredakan gemuruh di dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat, menghentak gendang telinga seperti genderang perang yang belum usai.Setelah menarik napas panjang, ia berjalan pelan menuju meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih dua lembar tisu yang tadi dilipat rapi, masing-masing membungkus helian rambut yang berbeda. Ia menatap keduanya sejenak, lalu membuka laci dan mengambil dua plastik ziplock bening.Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan tiap helai rambut ke dalam wadahnya, lalu menandai masing-masing dengan label bertuliskan: Cakra dan Shopia.Pandangan Saira kemudian jatuh pada kalender meja. Lusa, ia harus berangkat ke Bali.Besok adalah satu-satunya kesempatan untuk mengantar sampel ini ke laboratorium.Ya. Besok pagi, sebelum mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk ke sana.Bukan karena ia tak percaya pada hasil te

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 52

    “Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 51

    Liburan ke Bali bersama keluarga, bagi Saira, bukanlah kabar gembira—melainkan sumber sakit kepala baru.Sejak Anggara mengumumkan agenda itu, pikirannya terus dipenuhi kegelisahan. Bahkan setelah melewati hari yang melelahkan, kekhawatiran itu tetap mengendap di dadanya.Semua dosen pasti akan membawa serta pasangan dan anak-anak mereka. Sementara dirinya... masih diliputi kebimbangan. Haruskah ia mengajak Cakra atau tidak?Sebenarnya, ia bisa saja pergi tanpa suaminya. Hidupnya akan terasa lebih mudah.Tapi semua orang tahu siapa Cakra. Jika Saira datang sendirian, pasti akan menimbulkan spekulasi. Mungkin ada yang bisa memaklumi kesibukan suaminya, namun tak sedikit yang akan menyimpulkan bahwa rumah tangga mereka tidak harmonis.Dan justru kemungkinan yang terakhir itu... yang paling merepotkan Saira.Bukan masalah satu kampus akan membicarakannya. Tapi keluarga Cakra. Mereka selalu menghakimi tanpa mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ujung-ujungnya, semua kesalahan ak

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 50

    Tak bisa dipungkiri, malam itu, Saira masih saja menangis. Meski tahu tak ada lagi gunanya.Namun pagi ini, ia sudah tak peduli lagi dengan apa pun yang akan Cakra lakukan.Sudah cukup.Rasa sakit memenuhi setiap sudut hatinya, seakan tak ada lagi ruang untuk luka baru.Saira hanya ingin tenang.Hanya ingin menjalani hidup tanpa dihantui amarah dan kecewa.Apa gunanya menyandang status menantu keluarga Wiradana jika nasibnya tak lebih baik dari orang yang tak dianggap?Saat sedang mematut diri di depan cermin, tiba-tiba pintu kamar terbuka.Cakra berdiri di ambang pintu, kaku, menatapnya tanpa ekspresi."Hari ini pengambilan sampel DNA, kamu nggak mau ikut?" tanyanya pelan.Saira hanya menoleh sekilas, lalu menjawab singkat, “Aku ada kelas pagi.”“Kalau begitu, aku antar. Sekalian ke rumah sakit.”Entah apa yang sebenarnya diinginkan Cakra.Saat dulu Saira sangat mengharapkan sedikit perhatian, lelaki itu begitu dingin. Tapi kini, ketika hatinya sudah beku dan tawar, justru Cakra mula

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 49

    Jemari Saira masih menggenggam gagang pintu. Tubuhnya mulai menggigil saat angin malam menerpa sisi tubuhnya yang basah, meski tadi sudah dipayungi oleh Anggara.Ia tahu pasti—suaminya melihat dengan jelas siapa yang mengantarnya pulang. Bahkan mungkin, Cakra juga mendengar semua percakapan mereka tadi di depan rumah.Namun, pria itu tidak langsung berbicara. Matanya menatap lurus ke arah Saira. Ia berdiri tegak di ruang tamu, mengenakan kemeja abu-abu dan celana panjang hitam. Ekspresinya datar, tetapi sorot matanya menyala, ada amarah yang membara di sana.Dia sedang marah?Entah.Akan tetapi Saira tahu betul, suasana hati Cakra akan selalu memburuk jika sudah menyangkut Anggara. Ia menelan ludah, mencoba terlihat tenang, meski kedua lututnya mulai terasa lemas tak bertulang.Dia bahkan belum menyiapkan mentalnya … setelah apa yang terjadi dengan mereka kemarin.“Kamu tahu sekarang jam berapa?” Akhirnya suara berat itu bertanya. Cakra masih setia berdiri di posisinya, memperhatika

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 48

    Langit menggelap lebih cepat dari biasanya. Hujan turun deras, membasahi jalanan depan lobi kampus yang mulai sepi. Kilat menyambar sesekali, disusul petir yang menggema hingga ke dada.Saira berdiri di bawah kanopi lobby, memeluk tasnya dengan kedua tangan. Taksi yang ia pesan belum juga datang, terjebak macet entah di mana.Pikirannya melayang. Andaikan ia memiliki suami yang benar-benar mencintainya, mungkin di tengah badai seperti ini, ia tak perlu khawatir bagaimana caranya pulang.Sayangnya … itu hanyalah sebuah angan yang mungkin tak akan pernah terwujudkan.Mana bisa Cakra peduli padanya?Tiba-tiba, suara langkah sepatu di belakang membuatnya menoleh. Anggara keluar dari pintu lobi, mengenakan jas rapinya dan membawa sebuah payung lipat. Ia tampak terkejut melihat Saira masih di sana.“Loh? Belum pulang?” tanyanya seraya berjalan mendekat.“Saya pesan taksi online, tapi masih jauh. Sepertinya terjebak macet,” jawab Saira pelan.Anggara memandang ke luar, memperhatikan hujan d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status