Seharian penuh, di sela-sela pekerjaannya, Saira terus memikirkan berbagai kemungkinan jawaban atas semua pertanyaan yang mengusik benaknya. Namun, hingga petang tiba, semuanya tetap menggantung tanpa jawaban.
Saat tiba di rumah, mobil Cakra sudah terparkir rapi di garasi. Ini bukan kebiasaan pria itu; biasanya ia bisa pulang lebih larut.
“Nanti Mama dan Sandrina makan malam di sini.”
Suara bariton Cakra menyambutnya begitu ia melangkah ke ruang tengah. Pria itu tampak sibuk menggulung lengan kemejanya, gerakannya tergesa-gesa.
“Kenapa nggak bilang dari tadi siang?” tanya Saira, menatapnya tajam. “Kalau kamu kasih tahu lebih awal, aku bisa pulang cepat dan menyiapkan semuanya.”
“Nggak sempat,” jawab Cakra singkat tanpa menoleh. “Kalau nggak ada waktu masak, beli aja di luar.”
Saira menahan napas, kecewa. Kalau nanti Mama mertua melihat rumah belum sepenuhnya rapi atau tahu makanannya beli dari luar, siapa yang akan disalahkan? Tentu saja dirinya.
Saira si menantu tak becus, tak pandai memasak. Padahal, putranya sendiri yang tak bisa berkomunikasi dengan baik.
“Jam berapa mereka datang?” tanyanya, mencoba menahan nada kesal.
“Jam tujuh,” jawab Cakra, matanya fokus pada kunci mobil yang diambilnya dari meja.
“Terus kamu mau ke mana?” Saira menyipitkan mata, curiga.
“Keluar sebentar,” jawab Cakra sambil melangkah.
“Ketemu wanita tadi?” pertanyaan Saira langsung menghentikan langkahnya. Ia berbalik, menatap Saira dengan sorot dingin.
“Jemput Sophia di daycare,” ujarnya datar.
Saira mengepalkan tangan, emosi yang sejak tadi ia tahan mulai meluap. “Sophia lagi?”
“Aku cuma jemput dia. Apanya yang kamu ributkan?” balas Cakra.
“Tadi pagi kamu antar dia, sekarang jemput juga. Bukannya itu tanggung jawab ibunya?” sergah Saira.
“Jangan mulai!” hardik Cakra.
“Aku nggak akan mulai kalau kamu nggak bersikap seperti ini! Apa jangan-jangan kamu masih berhubungan sama dia selama ini? Kalian selingkuh?”
“Saira!” nada suara Cakra naik.
“Lantas, alasan apa lagi yang membuat suami meninggalkan istrinya demi urusan wanita lain?” tuntut Saira.
“Sekalipun kamu istri, jangan lupa batasanmu!” Cakra mendekat, berdiri sangat dekat hingga membuat Saira mundur selangkah. “Bisa hidup dengan baik di rumah ini sudah lebih dari cukup buat kamu. Jangan bertingkah seolah punya hak mengatur semuanya!”
Saira terdiam, kedua tangannya mengepal erat. Membalas hanya akan memperburuk situasi. Cakra menarik napas panjang, lalu menunjuk ke arah dapur. “Kalau nggak mau ngurus makan malam, terserah. Tapi jangan cari masalah di saat aku sudah cukup sabar.”
Tanpa menunggu jawaban, pria itu langsung keluar rumah.
Seperginya Cakra, Saira memanggil Bibi Surti, asisten rumah tangga yang telah bekerja lama di rumah itu. Bersama-sama, mereka mulai menyiapkan meja makan, memasak hidangan tambahan, dan memastikan semuanya terlihat rapi.
Namun, waktu berlalu terlalu cepat. Tepat ketika Saira sedang menyusun piring di meja makan, suara ketukan hak tinggi menggema di lantai keramik. Disusul oleh suara desahan napas berat yang langsung membuat Saira menegang.
“Sudah tahu mertua dan ipar mau makan malam di sini, apa pantas penampilanmu seperti ini, Saira?”
Kalimat tajam itu meluncur dari bibir Ambar, mama mertua Saira, dengan nada merendahkan. Saira refleks menundukkan kepala, menghindari tatapan tajam yang diarahkan padanya.
“Ya ampun, apa nggak ada penampilan yang lebih buruk dari ini?” sahut Sandrina yang muncul dari belakang Ambar. Dengan senyum sinis, perempuan muda itu mendekat sambil melirik Saira dari ujung kepala hingga kaki. “Kalau aku jadi kamu, pasti aku sudah dandan dulu. Setidaknya mandi, biar sedap dipandang mertua!”
Saira menelan ludah, mencoba menahan diri untuk tidak membalas. Sejak pertama kali bertemu dengannya, Sandrina memang terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya.
Sandrina mendekati meja makan, mengamati hidangan yang baru saja diatur Saira. “Udah makanannya cuma kayak gini?” Sandrina mendengus. “Kalau bukan karena Kak Cakra, ogah banget aku makan malam di sini!”
Saira menggenggam tepi meja untuk menahan rasa kesal yang semakin membuncah. Bibi Surti, yang baru saja datang membawa hidangan tambahan dari dapur, meliriknya dengan ekspresi iba.
“Makanan ini baru pelengkap, Mbak Sandrina. Ini hidangan utamanya, gulai ikan kesukaan Bu Ambar,” ujar Bibi Surti mencoba menengahi.
“Tetap aja nggak ada spesialnya,” Sandrina mencibir sambil memutar bola matanya.
Ambar kembali menatap Saira. “Sudahlah,” ujarnya dingin. “Kamu siap-siap dulu. Masa penampilanmu begini saat makan malam?”
Saira mengangguk dan buru-buru masuk ke kamar. Setelah merapikan diri, ia kembali ke ruang makan untuk menemani Ambar dan Sandrina. Namun, suasana tetap canggung. Ambar tiba-tiba bertanya, “Saira, di mana Cakra?”
Tenggorokan Saira mendadak kering. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, tetapi suaminya belum juga kembali. Haruskah ia berkata jujur bahwa Cakra sedang menjemput anak mantan kekasihnya?
“Sudah jam segini, kenapa dia belum pulang?” tuntut Ambar lagi, suaranya terdengar tegas.
Saira tergagap, bingung harus menjawab apa. “Cakra...”
“Sayang sekali, pantai seindah ini harus dinikmati sambil bekerja.”Anggara masih berdiri di samping Cakra. Kedua tangannya bersembunyi di saku celana. Pria yang seumuran dengannya itu mengenakan kemeja putih dan celana senada. Cakra menerbitkan senyum tipis untuk menanggapi, tetapi itu hanya sekilas. Selebihnya wajahnya kembali datar. “Mau saya kerja di mana atau ke mana, rasanya nggak perlu persetujuan Anda, bukan?”Anggara tertawa kecil, tetapi bukan tawa yang terdengar ramah di telinga Cakra, melainkan seperti sindiran yang dibalut sopan santun. “Saya hanya mengamati, saja. Barusan saya lihat yang lain tertawa bersama, menikmati waktu liburan. Tapi Anda justru sibuk sendiri. Agak ganjil saja… melihat seorang suami mengacuhkan istrinya sendiri.”Tatapannya Cakra berubah menjadi lebih dingin. Harga dirinya terasa dijatuhkan seolah dia bukan suami yang baik. Ia memang tidak sempurna, tapi tidak perlu begitu juga, kan? Untuk apa pula Anggara memancing perdebatan dengannya? Anggar
Lalu dengan tiba-tiba Cakra menarik tubuhnya dalam satu gerakan cepat Saira sudah terhimpit di dinding.“Ka—kamu mau apa?”"Menurutmu?"Saira terpaku. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya sudah kepalang kelu. Sementara tubuh Cakra semakin tak berjarak darinya. Matanya membulat, jantungnya seolah terhenti sesaat. Ia belum sempat mencerna apa yang terjadi tiba-tiba saja Cakra berbisik di telinganya, “Ada pasir di sini.” Pria itu mengusap pelipis Saira yang terkena pasir, membersihkannya dengan pelan. Sementara Saira cukup bisa bernapas lega karena Cakra tak melakukan hal-hal yang ia pikirkan. “Lain kali jangan begitu...” kata pria itu lagi. Saira lantas mendongak seolah bertanya apa maksudnya. Cakra lantas menatap ke bawah, menunjuk celana pendek yang masih dikenakan Saira dengan dagunya. “Jangan pakai celana sependek ini di depan pria lain!”Sepersekian detik Saira bisa merasakan hangat napas Cakra menyapu kulit. Ia merespon perintah suaminya dengan anggukan pelan.Detik setelahnya pr
“Sayang?”Saira sontak menoleh ke arah suara berat yang sangat familiar. Begitu pula Anggara. Obrolan ringan mereka seputar rencana kegiatan kampus langsung terhenti.Dengan senyum tipis yang sulit dibaca, Cakra berdiri di belakang daybed. Angin malam mengibaskan ujung kemejanya, dan tatapannya langsung tertuju pada Saira.Mata Saira membulat. Ia berdiri tergesa, hingga sweater yang dipakaikan Anggara terjatuh ke pasir. Dadanya berdesir—tidak hanya karena kehadiran pria itu, tapi karena satu hal yang tak pernah ia dengar sebelumnya.Sayang?Ini pertama kali Cakra memanggilnya demikian—di depan orang lain pula.Tatapan Cakra bergeser pada Anggara, masih mempertahankan senyum yang terasa terlalu rapi.Lebih tepatnya terlalu dipaksakan.“Maaf mengganggu obrolan kalian,” ucapnya datar, namun nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar sopan santun.“Maaf mengganggu obrolan kalian,” ucapnya datar, meski nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi.Anggara membalas
Saira masih mencoba berpikir positif. Ia tak ingin menebak-nebak tanpa alasan yang jelas.Anggara mungkin hanya ingin bicara soal pekerjaan atau urusan kampus. Sesederhana itu—dan ia harusnya cukup waras untuk mempercayai hal tersebut.Setidaknya, satu hal sudah tuntas.Sampel rambut yang ia kumpulkan telah diterima dan kini tengah diproses oleh tim laboratorium. Ia hanya perlu menunggu satu minggu hingga hasilnya keluar.***Seperti yang telah diagendakan, Hari berikutnya Saira dan Cakra, juga beberapa dosen yang mendapat penghargaan kemarin melakukan perjalanan via udara dengan destinasi Bali. Meski pada awalnya berdebat dengan Saira soal pesawat terbang, tetapi untuk menghormati penyelenggara kampus, Cakra merendahkan egonya agar tetap bersama rombongan. Satu hal lagi yang membuat Saira lega. Walaupun pria itu sedikit kaku, tetapi berusaha cukup bersikap ramah pada semua rekan kerjanya. Yang lebih melegakan lagi, Anggara menyusul dengan penerbangan berikutnya, sehingga Saira cuk
Saira mengembuskan napas lega saat pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Tubuhnya bersandar lemah pada daun pintu, seolah butuh penopang untuk meredakan gemuruh di dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat, menghentak gendang telinga seperti genderang perang yang belum usai.Setelah menarik napas panjang, ia berjalan pelan menuju meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih dua lembar tisu yang tadi dilipat rapi, masing-masing membungkus helian rambut yang berbeda. Ia menatap keduanya sejenak, lalu membuka laci dan mengambil dua plastik ziplock bening.Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan tiap helai rambut ke dalam wadahnya, lalu menandai masing-masing dengan label bertuliskan: Cakra dan Shopia.Pandangan Saira kemudian jatuh pada kalender meja. Lusa, ia harus berangkat ke Bali.Besok adalah satu-satunya kesempatan untuk mengantar sampel ini ke laboratorium.Ya. Besok pagi, sebelum mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk ke sana.Bukan karena ia tak percaya pada hasil te
“Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende