Share

Bab 5

last update Last Updated: 2024-12-10 16:44:35

“Cakra ….”

Saira meremas ujung rok yang ia gunakan berusaha keras menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang Mama. 

Namun, sebelum ia sempat melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba suara maskulin yang familiar mengambil alih perhatian.

Aliran hangat menyusuri nadi Saira, sedikit lega sebab akhirnya pria itu pulang tepat waktu. 

Setidaknya, Saira tidak perlu merangkai alasan untuk menutupi kepergiannya malam ini.

“Aku di sini!” seru Cakra sambil melangkah masuk, membuat semua orang secara serempak menoleh ke arahnya. Pria itu tampak menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. 

“Maaf, tadi ada urusan mendadak di kantor.”

“Apa ada masalah?” Ambar segera melayangkan kekhawatirannya pada sang putra, tetapi Cakra hanya menanggapinya dengan gelengan kepala. 

Dengan santai Cakra mengambil kursi di sebelah Saira dan mendaratkan tubuhnya di sana. 

“Enggak, Ma. Cuma ada berkas yang harus aku tanda tangani.”  

“Serius? Kalau ada apa-apa, bilang ke Mama. Nanti Mama bantu,” desak Ambar tak melepaskan pandangan dari Cakra, seolah tak percaya dengan ucapannya. 

“Beneran, Ma. Gak ada masalah, jadi Mama gak perlu khawatir,” ujar Cakra sambil tersenyum, mencoba menenangkan ibunya. Ia lalu dengan cekatan mengalihkan pembicaraan.

“Sekarang aku sudah di sini, dan kayaknya makanannya hampir dingin. Yuk, kita makan.”

Tanpa banyak bicara, Saira segera membantu mengambilkan nasi dan lauk untuk Cakra, sementara pria itu mulai menyendok makanan di piringnya dengan santai.

Namun, suasana makan malam itu tetap terasa kaku. Percakapan hanya diisi oleh komentar tajam Ambar tentang rasa makanan dan candaan Sandrina yang lebih sering terasa seperti ejekan.

Cakra hanya berbicara seperlunya, sementara Saira fokus menyendokkan makanan ke piringnya, menghindari kontak mata dengan siapa pun.

Di tengah suasana makan malam yang terasa canggung, Ambar tiba-tiba melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat Saira hampir tersedak.

"Oh iya, Cakra, Mama dengar Indira sudah pulang ke Indonesia. Kenapa kamu gak undang dia makan malam?" ucap Ambar dengan nada ringan, seolah pertanyaan itu hal yang biasa.

Saira buru-buru meraih gelas air di depannya untuk menghilangkan rasa sesak di tenggorokannya. Tatapannya berusaha tetap tenang meski jantungnya mulai berdegup kencang. 

Cakra hanya mengangkat wajahnya sekilas, lalu menjawab singkat, "Dia baru pulang kemarin, Ma. Masih perlu waktu istirahat dan adaptasi. Mungkin lain waktu kita undang."

"Ah, kamu benar juga, California dan Jogja jelas beda jauh." Ambar mengangguk kecil, mengusap ujung sendoknya di atas piring. Embusan napas pelan meluncur dari bibirnya. 

"Hampir lima tahun tidak bertemu dengan Indira … rasanya Mama masih sulit percaya hubungan kamu dengan Indira yang sudah bertahun-tahun itu bisa berakhir begitu saja."

"Kalau saja Indira yang ada di meja makan ini sekarang, suasananya pasti beda sekali."

Cakra tak merespons. Suasana semakin sunyi. Saira meremas sendoknya erat, menahan perasaan yang meluap-luap. Sandrina, yang sejak tadi diam, tiba-tiba ikut bersuara.

“Kalau Kak Indira yang menikah sama Kak Cakra, pasti aku jadi ipar paling bahagia. Kita bisa shopping bareng, hangout, bahas tren fashion.”

Sandrina berhenti sejenak, lalu menatap Saira dengan senyum sinis. “Sekarang malah punya ipar yang... selera bajunya aja nol. Mandul lagi.”

“Sandrina, jaga ucapanmu!” tegur Ambar dengan nada tegas, tatapannya tajam mengarah ke putrinya. “Tidak pantas bicara seperti itu.”

Sandrina melengos, tapi masih menjawab dengan nada santai. “Tapi itu kan fakta, Ma. Selera bajunya kampungan, dan sudah dua tahun menikah tetap belum punya anak. Apa salah kalau Sandrina bilang mandul?”

“Sandrina!” Kali ini suara Ambar lebih keras, hampir membentak. “Berhenti bicara seperti itu, atau Mama tidak akan membiarkanmu duduk di meja makan ini lagi.”

Sandrina akhirnya terdiam, meski wajahnya masih menunjukkan raut sebal.

“Sudah, jangan ribut di meja makan,” Cakra akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, meski ada ketegasan yang terasa. “Soal baju, Selera kamu tentu berbeda dengan Saira. Nanti Kakak belikan kamu yang baru. ”

“Terus soal anak?” Ambar langsung menanggapi dengan cepat, membuat Cakra menarik napas panjang sebelum menjawab.

“Soal itu, nggak perlu buru-buru, Ma.”

“Bukan Mama yang buru-buru, Cakra,” balas Ambar. Nada suaranya mengeras, penuh tekanan. “Tapi ini sudah dua tahun pernikahan. Jika diantara kalian ada masalah kesehatan, bukankah lebih baik diperiksa? Apalagi posisi Saira saat ini sebagai Nyonya Wiradana.”

Tatapan Ambar beralih pada Saira yang sejak tadi membisu, tertunduk tak ingin  menatap siapa pun.

“Kalau memang Saira tidak bisa memberikan keturunan …,” suara Ambar terdengar melamban, “bukankah lebih baik kalian mempertimbangkan kembali pernikahan ini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 53

    Saira mengembuskan napas lega saat pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Tubuhnya bersandar lemah pada daun pintu, seolah butuh penopang untuk meredakan gemuruh di dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat, menghentak gendang telinga seperti genderang perang yang belum usai.Setelah menarik napas panjang, ia berjalan pelan menuju meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih dua lembar tisu yang tadi dilipat rapi, masing-masing membungkus helian rambut yang berbeda. Ia menatap keduanya sejenak, lalu membuka laci dan mengambil dua plastik ziplock bening.Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan tiap helai rambut ke dalam wadahnya, lalu menandai masing-masing dengan label bertuliskan: Cakra dan Shopia.Pandangan Saira kemudian jatuh pada kalender meja. Lusa, ia harus berangkat ke Bali.Besok adalah satu-satunya kesempatan untuk mengantar sampel ini ke laboratorium.Ya. Besok pagi, sebelum mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk ke sana.Bukan karena ia tak percaya pada hasil te

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 52

    “Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 51

    Liburan ke Bali bersama keluarga, bagi Saira, bukanlah kabar gembira—melainkan sumber sakit kepala baru.Sejak Anggara mengumumkan agenda itu, pikirannya terus dipenuhi kegelisahan. Bahkan setelah melewati hari yang melelahkan, kekhawatiran itu tetap mengendap di dadanya.Semua dosen pasti akan membawa serta pasangan dan anak-anak mereka. Sementara dirinya... masih diliputi kebimbangan. Haruskah ia mengajak Cakra atau tidak?Sebenarnya, ia bisa saja pergi tanpa suaminya. Hidupnya akan terasa lebih mudah.Tapi semua orang tahu siapa Cakra. Jika Saira datang sendirian, pasti akan menimbulkan spekulasi. Mungkin ada yang bisa memaklumi kesibukan suaminya, namun tak sedikit yang akan menyimpulkan bahwa rumah tangga mereka tidak harmonis.Dan justru kemungkinan yang terakhir itu... yang paling merepotkan Saira.Bukan masalah satu kampus akan membicarakannya. Tapi keluarga Cakra. Mereka selalu menghakimi tanpa mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ujung-ujungnya, semua kesalahan ak

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 50

    Tak bisa dipungkiri, malam itu, Saira masih saja menangis. Meski tahu tak ada lagi gunanya.Namun pagi ini, ia sudah tak peduli lagi dengan apa pun yang akan Cakra lakukan.Sudah cukup.Rasa sakit memenuhi setiap sudut hatinya, seakan tak ada lagi ruang untuk luka baru.Saira hanya ingin tenang.Hanya ingin menjalani hidup tanpa dihantui amarah dan kecewa.Apa gunanya menyandang status menantu keluarga Wiradana jika nasibnya tak lebih baik dari orang yang tak dianggap?Saat sedang mematut diri di depan cermin, tiba-tiba pintu kamar terbuka.Cakra berdiri di ambang pintu, kaku, menatapnya tanpa ekspresi."Hari ini pengambilan sampel DNA, kamu nggak mau ikut?" tanyanya pelan.Saira hanya menoleh sekilas, lalu menjawab singkat, “Aku ada kelas pagi.”“Kalau begitu, aku antar. Sekalian ke rumah sakit.”Entah apa yang sebenarnya diinginkan Cakra.Saat dulu Saira sangat mengharapkan sedikit perhatian, lelaki itu begitu dingin. Tapi kini, ketika hatinya sudah beku dan tawar, justru Cakra mula

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 49

    Jemari Saira masih menggenggam gagang pintu. Tubuhnya mulai menggigil saat angin malam menerpa sisi tubuhnya yang basah, meski tadi sudah dipayungi oleh Anggara.Ia tahu pasti—suaminya melihat dengan jelas siapa yang mengantarnya pulang. Bahkan mungkin, Cakra juga mendengar semua percakapan mereka tadi di depan rumah.Namun, pria itu tidak langsung berbicara. Matanya menatap lurus ke arah Saira. Ia berdiri tegak di ruang tamu, mengenakan kemeja abu-abu dan celana panjang hitam. Ekspresinya datar, tetapi sorot matanya menyala, ada amarah yang membara di sana.Dia sedang marah?Entah.Akan tetapi Saira tahu betul, suasana hati Cakra akan selalu memburuk jika sudah menyangkut Anggara. Ia menelan ludah, mencoba terlihat tenang, meski kedua lututnya mulai terasa lemas tak bertulang.Dia bahkan belum menyiapkan mentalnya … setelah apa yang terjadi dengan mereka kemarin.“Kamu tahu sekarang jam berapa?” Akhirnya suara berat itu bertanya. Cakra masih setia berdiri di posisinya, memperhatika

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   BAB 48

    Langit menggelap lebih cepat dari biasanya. Hujan turun deras, membasahi jalanan depan lobi kampus yang mulai sepi. Kilat menyambar sesekali, disusul petir yang menggema hingga ke dada.Saira berdiri di bawah kanopi lobby, memeluk tasnya dengan kedua tangan. Taksi yang ia pesan belum juga datang, terjebak macet entah di mana.Pikirannya melayang. Andaikan ia memiliki suami yang benar-benar mencintainya, mungkin di tengah badai seperti ini, ia tak perlu khawatir bagaimana caranya pulang.Sayangnya … itu hanyalah sebuah angan yang mungkin tak akan pernah terwujudkan.Mana bisa Cakra peduli padanya?Tiba-tiba, suara langkah sepatu di belakang membuatnya menoleh. Anggara keluar dari pintu lobi, mengenakan jas rapinya dan membawa sebuah payung lipat. Ia tampak terkejut melihat Saira masih di sana.“Loh? Belum pulang?” tanyanya seraya berjalan mendekat.“Saya pesan taksi online, tapi masih jauh. Sepertinya terjebak macet,” jawab Saira pelan.Anggara memandang ke luar, memperhatikan hujan d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status