Bel istirahat berbunyi melalui spiker yang dipasang pada langit-langit kelas. Guru langsung pamit dari kelas meski pembelajaran belum tuntas. Yoshh! Aku bisa keliling sekolah!
Sejak tadi pagi aku selalu penasaran dengan berbagai sudut dari sekolah ini. Akan tetapi, sepertinya rencanaku tak akan bisa mulus. Teman-teman sekelas ku tiba-tiba bergerombol mengelilingiku.‘Apa? Kenapa mereka menatapku begitu?’ Mereka menatapku dari dekat seolah aku ini barang pameran. Astaga! Sebenarnya apa yang salah dengan mereka? “Keyra, bisakah kamu tersenyum seperti tadi?” Seorang gadis yang berdiri tepat di depan meja ku membuka suara. Dahi ku berkerut bingung. Tatapan mereka seolah penuh harap. Hanya untuk sebuah senyuman. Dengan kikuk aku menuruti kemauan mereka. “Be-beginikah?” tanya ku dengan gugup setelah menaikan kedua ujung bibirku membentuk lengkungan bulan sabit. Mereka langsung bersorak saat aku memberikan sebuah senyuman. Adapula pemuda yang tersipu dan langsung melarikan diri dengan wajah memerah. Aku semakin keheranan. “Ada apa dengan kalian? Apakah ada yang aneh dengan wajahku?” tanyaku pada mereka. “TIDAK KOK!” Mereka buru-buru menggeleng. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Lantas, apa masalahnya dengan tatapan mereka yang aneh itu? Mungkin karena menyadari bahwa aku tak nyaman dikelilingi begitu, seorang gadis dengan galak mengusir yang lain untuk pergi. Lalu aku ditarik keluar oleh dua gadis. Mereka dengan senang hati mengajakku berkeliling sekolah. Ternyata setelah beberapa percakapan bersama mereka, aku tahu alasan mereka memberikan ku tatapan aneh seperti tadi. “Di sekolah ini, Keyla dijuluki sebagai ‘Ice Princess’ karena dia terlalu minim ekspresi. Apalagi kalo ketemu kita anak IPS. Beuhh..., mukanya bukan cuma datar tapi juga berubah judes. Untung ada kamu, jadi rasa penasaran kami dengan ekspresi Si Ice Princess sudah terpenuhi!” ungkap gadis dengan name tag ‘Giselle’. Aku terkekeh mendengar alasan mereka. Wajah yang serupa ini memang cukup merepotkan. Dari tadi banyak siswa yang terus menatapku. Aku penasaran seberapa besar pengaruh Keyla di sekolah ini. Baru saja membicarakan mengenai Keyla, orangnya muncul bersama dua temannya. Mereka mengenakan jas merah yang sama seperti Abizar tadi pagi. Aku tak bisa menyembunyikan wajah terkejut ku karena kemungkinan besar Abizar juga di sekolah ini. Keyla menarik kedua temannya untuk pergi. Dia bertingkah seperti tidak mengenalku. Aku semakin melongo karena merasa tidak ada masalah dengannya beberapa hari terakhir. "Mereka tuh OSIS. Emang kek gitu kalo ketemu kita. Nggak tahu kenapa anak IPA suka sensi sama anak IPS. Apalagi kita ini IPS terakhir. Hahaha, peringkat terendah dalam peradaban!" jelas Giselle dengan tertawa seolah itu sudah biasa menjadi lelucon mereka. Aku ikut mendengus geli. Ku pikir hanya di sekolah lama ku yang ada kejadian bersitegang nya dua jurusan ini. Mungkin memang sudah ditakdirkan begitu di sekolah mana saja. Kami menuju kantin yang saat ini sedang ramai. Aku kembali terpana dengan kantin yang serupa dengan Cafe sangking bagus dan bersihnya. Saat itu mataku tak sengaja menangkap sosok Abizar yang duduk bersama beberapa orang pemuda dengan jas merah yang sama. Sontak saja aku menutup mulutku karena hampir kelepasan memanggil namanya.‘Dia di sini?!’ Aku tak bisa mengalihkan pandanganku lantaran masih belum percaya jika itu adalah Abizar. Mungkin Abizar merasa ada yang memperhatikan sehingga dia mendongak. Tatapan kami bertemu. Sepersekian detik matanya melebar, terkejut melihat keberadaan ku di sana. Namun Abizar pandai mengontrol ekspresinya. Setelah itu, dia bertingkah dengan ekspresi datar seperti biasa. Aku juga buru-buru pergi mengikuti arah teman-teman ku ke salah satu kursi kantin yang kosong. Kursi kami cukup jauh dari tempat duduk Abizar. Namun dari sana masih bisa dengan jelas aku melihatnya. Aku penasaran, apa arti Jas merah yang dia gunakan itu? Lantaran Keyla tadi memakai Jas yang sama. “Keyra! Hey!” Aku tersentak saat Giselle memanggil serasa mengguncangkan bahuku. “A-ah, ya? Ada apa?” tanyaku dengan sedikit gelagapan. “Kamu?” Giselle mengikuti arah pandangan ku sebelumnya. Lantas gadis itu menatapku dengan mata melotot. “Kamu terpana sama cowok-cowok itu, ya?” goda Giselle. Aku langsung menggeleng, “Enggak kok! Aku cuma penasaran aja karena mereka pake jas merah kayak Keyla tadi,” jelas ku. Namun Giselle tak mau berhenti menggodaku. Dia terus menoel-noel pipiku meminta agar aku jujur jika memang tertarik. Padahal jelas-jelas ku katakan tidak, tapi yang lain juga tidak percaya padaku. Aku berusaha mengalihkan topik dengan mengajak mereka untuk makan saja. Namun tidak lama, karena Giselle kembali mengoceh. “Tenang aja, Keyra. Normal kok kalo terpana sama mereka. Soalnya mereka semua memang tampan paripurna. Siapa dulu dong? OSIS Nusa Bangsa!” kata Giselle dengan bangga. Mataku langsung melebar, “Osis?” beo ku. Hampir saja aku tersedak kuah bakso yang sedang ku makan, buru-buru aku mengambil segelas es teh ku untuk melegakan tenggorokan. “Iya, Osis. Dan, itu yang duduknya menghadap kemari adalah ketua OSIS nya, Abizar Bimantara!” jelas Giselle. Tubuhku langsung kaku saat mengetahui fakta itu. Berarti Keyla juga seorang Osis karena Jas Merah yang tadi dia kenakan sama persis dengan mereka. Apakah Keyla dan Abizar juga dekat? Ataukah hanya sekedar dalam satu naungan Organisasi yang sama? Lantaran terlalu sibuk dengan pikiran ku sendiri, aku tak sadar Abizar dan teman-temannya sudah pergi. Aku mencari ke berbagai sudut kantin, namun tetap tak mendapati gerombolan jas merah tadi. "Ah, teman-teman. Maaf ya, aku balik ke kelas dulu. Kalian lanjut makan saja!" kataku seraya berdiri meninggalkan mereka. Pasti mereka menatap ku aneh karena buru-buru pergi. Namun jika aku tetap di sana juga, aku sudah tak nafsu melahap sisa makanan ku. Saat perjalanan kembali ke kelas, tak sengaja di koridor aku melihat ada Abizar yang sedang berbincang dengan Keyla. Refleks aku langsung bersembunyi agar tak berpas-pasan dengan mereka. Aku semakin merapatkan tubuhku di tembok saat keduanya berjalan semakin dekat. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang serius. “Semua Agenda sudah ku siapkan. Jadi, Ketua, sisa menunggu perintah mu saja,” ujar Keyla. “Oke! Tunggu keputusan bersama, lalu agendakan untuk rapat OSIS segera!” balas Abizar. Keduanya berlalu di satu arah yang sama. Merasa sudah aman, barulah aku keluar dari tempat persembunyianku. Aku tidak bermaksud untuk menguping pembicaraan mereka. Namun memang suara terdengar jelas ketika lewat di dekat ku tadi.‘Berarti memang benar Abizar itu Ketua Osis. Lalu, posisi Keyla apa? Mereka terlihat cukup dekat!’ batin ku sembari menggosok dagu. Jika memang Abizar dan Keyla satu sekolah. Masalah apa yang membuat Keyla sampai membenci Abizar? Dari sudut pandangku saat ini, mereka tak terlihat seperti musuh atau orang yang saling membenci. "Kenapa kau menolak dan mengejek Abizar jelek waktu itu jika kalian sedekat itu, Keyla?"Langit berwarna jingga keemasan, angin sepoi menyapu lembut pekarangan tempat keluarga besar berkumpul sore itu. Setelah semua kekacauan dan luka masa lalu, akhirnya hari ini adalah hari tenang pertama bagi keluarga Bimantara. Keyra berdiri di balkon lantai dua, menatap matahari yang perlahan turun, membawa damai setelah badai panjang dalam hidupnya. Tanpa ia sadari, Abizar datang dari belakang, memeluknya dari belakang, erat dan penuh rasa. “Kamu yakin... masih ingin bersamaku?” bisik Keyra pelan, suaranya bergetar. “Aku sudah menyetujui cerai... aku pikir kamu akan pergi.” Abizar menggeleng. “Kamu pikir hatiku bisa diubah seperti itu, Ra?” “Kamu pikir setelah semua luka yang kita lewati, aku bisa begitu saja membiarkanmu pergi?” Keyra mulai menangis pelan. Namun pelukan Abizar justru semakin erat. “Aku tetap memilihmu, meski dunia bilang aku bodoh. Hatiku terkunci untukmu, Keyra. Dari dulu, sekarang, sampai nanti. Kamu satu-satunya rumahku.” Abizar menarik wajah Keyr
Langit mendung, seolah mencerminkan hati Kinara yang belum tenang. Sejak kepulangannya, dia terus mencoba mendekati Keyla, menyampaikan penyesalan dan keinginannya untuk memperbaiki segalanya. Namun selama berhari-hari, Keyla tak banyak bicara. Dia mengurung diri di kamar tamu, menghindari siapa pun, bahkan Keyra dan Abizar. Hari ini, Kinara kembali berdiri di depan pintu kamar itu. Dengan tangan menggenggam secangkir teh hangat, dia mengetuk perlahan. “Keyla… boleh Ibu masuk?” Tak ada sahutan. Setelah lama menunggu, pintu akhirnya terbuka sedikit. Keyla menatap ibunya tanpa ekspresi. Kinara melangkah masuk. “Ibu hanya ingin bicara… bukan untuk memaksa.” Keyla duduk di tepi ranjang. “Kau sudah bilang itu tiga hari lalu, dua hari lalu, dan kemarin.” Kinara tersenyum pahit, lalu duduk di sisi ranjang. “Ibu tahu tak akan mudah… Tapi kamu harus tahu, Ibu pulang bukan hanya untuk membongkar kejahatan keluarga Sanjaya, tapi juga… untuk menebus kesalahan pada kamu Keyla menatap
Riuh rendah suasana sekolah hari itu berbeda dari biasanya. Bisik-bisik terdengar di lorong kelas, sebagian besar membicarakan satu hal yakni kejatuhan keluarga Sanjaya.Di balik berita viral itu, nama Keyla ikut terseret, bahkan menjadi sorotan utama. Wajahnya yang dulu selalu penuh percaya diri kini terlihat pucat dan penuh tekanan. Beberapa teman dekatnya mencoba bersikap netral, tapi lebih banyak yang mulai menjauh secara halus."Keyla, sabar ya. Pasti kamu juga nggak tahu mengenai kasus keluargamu, kan? Kamu tenang aja, kita masih ada dipihakmu, kok!" hibur salah satu teman Keyla. "Iya. Maaf ya, karena aku tidak tahu tentang kejahatan Papa dan Kakekku. Seandainya aku tahu, aku pasti mengehentikan mereka," balas Keyla dengan ekspresi sedih. Namun berbanding terbalik dengan batin Keyla yang mendumel kesal. 'Sialan! Banyak yang menertawakan ku karena sudah jatuh. Aku tak bisa begini terus. Citraku benar-benar rusak karena rencana Papa gagal! ARRGHHH!' Saat itu, rombongan Keyra le
Hari Minggu menjadi hari istirahat para remaja SMA yang baru menyelesaikan ujian sekolah. Keyra duduk di ruang tamu bersama Tante Sandra, tak sabar menantikan kepulangan Ibunya. Satu Minggu yang lalu, Kinara dengan kondisi belum stabil memaksa ikut ke tempat lelang. Katanya agar bisa memberi kejutan pada Keluarga Sanjaya.Sejak hari itu, Keyra hanya sesekali menghubungi ibunya karena kendala Ujian. Jika dia tidak salah, seharusnya hari ini acara lelang itu berakhir. Apakah rencana mereka berhasil?"Tenanglah..," ujar Tante Sandra dengan lembut."Keyra! Mama!" Abizar tiba-tiba berteriak heboh sambil berlari menuruni tangga."Ada apa?" tanya Keyra yang heran."Kita berhasil! Keluarga kita memenangkan lelangnya!" ungkap Abizar.Keyra ikut terperangah, "Benarkah? Aaah, syukurlah."Keyra ikut senang dengan kabar itu. Sangking senangnya dia melompat memeluk Abizar, meluapkan rasa lega. Abizar membalas dengan senang hati. Akhirnya, rasa lelah mereka saat menyelematkan Kinara terbayarkan.Tan
Lokasi Lelang Tambang Batu Bara - Aula Sementara Dekat Lokasi TambangDeretan kursi VIP tampak dipenuhi oleh para pengusaha tambang dari berbagai daerah. Di bagian depan, dua kubu besar menempati baris utama, perwakilan Sanjaya Corp dan perwakilan dari Bimantara Corp.Di sisi kanan, Wira Sanjaya duduk dengan senyum percaya diri. Di sebelahnya, Kakek Wijaya tampak tenang, meski sorot matanya menyiratkan keinginan menguasai penuh aset tambang tersebut. Mereka sangat percaya diri bisa memenangkan lelang dengan proposal bisnis buatan Kinara, serta bantuan surat wasiat palsu untuk membujuk Tuan Hanafiah.“Lelang ini formalitas saja,” bisik Wira pada Ayahnya. “Dengan surat wasiat ini, mereka tak punya celah untuk menang.”“Pastikan kamu tetap tenang. Setelah ini, tambang itu milik kita,” sahut Kakek Wijaya pelan.Sementara di sisi lain, Om Rudi dan Kak Rangga dari Bimantara Corp duduk dengan tenang. Mereka tampak menunggu dengan senyuman tipis. Dapat mereka lihat raut kesombongan dari sisi
Lorong-lorong sekolah dipenuhi wajah-wajah lega para siswa yang baru saja melewati minggu berat. Suara tawa dan desahan napas lega terdengar di mana-mana. Keyra melangkah keluar dari kelasnya dengan wajah letih, tapi ada sedikit senyum di sana. Ujian itu seperti mimpi buruk yang akhirnya lewat juga.“Keyra!” panggil seseorang dari belakang.Keyra menoleh. Kevin sedang berlari kecil mendekatinya sambil membawa selembar kertas bekas cakaran. Dia meremat kertas itu menjadi bola kecil, lalu melemparnya ke dalam tong sampah. Menandakan akhir dari perjuangan di semester satu.“Eh, Kevin. Udah selesai?” tanya Keyra.“Udah. Gila sih, tadi nomor terakhir bikin nyaris nangis,” Kevin menyodorkan wajah dramatis. “Kamu sendiri gimana?”Keyra mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Lumayan. Kupikir bakal parah, soalnya ini ujian pertamaku di Nusa Bangsa. Tapi ternyata nggak seseram yang aku bayangin.”Kevin mengangguk kagum. “Kamu keren sih, Ra. Bisa ngimbangin materi yang telat dikejar dalam wakt